Pengtjoan Thianlie dongak mengawasi awan yang melayang hilir mudik, sedang salju yang menutupi puncak menyiarkan ribuan warna gilang gemilang lantaran disoroti sinarnya matahari. Melihat itu semua, mau tak mau, si nona jadi ingat keraton es dan lama sekali ia berdiri disitu, menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
“Gunung ini agaknya lebih tinggi dari Nyenchen Tanghla!” katanya dengan suara kagum. “Pemandangannya juga luar biasa indah! Cuma saja di Nyenchen Tanghla terdapat Thian-ouw (Telaga Namtso), yang merupakan timpalan tepat bagi sang gunung dan tak dapat dicari bandingannya di lain tempat.” Keng Thian mesem dan berkata: “Di atas Puncak Onta terdapat sebuah telaga es, yang meskipun tak dapat direndengkan dengan Thian-ouw (Telaga Namtso), mempunyai semacam keindahan yang sangat istimewa.” Si nona menengok dan tertawa. “Apa benar?” ia tanya, tapi lantas juga ia menghela napas dan berkata lagi: “Cuma sayang kita mesti teruskan perjalanan.” Mendadak di atas gunung lapat-lapat terdengar suara seperti pecahnya kepingan es. “Ih!” kata Yoe Peng. “Itulah suara hancurnya es lantaran kena diinjak orang. Apa di atas puncak terdapat banyak manusia?” “Telaga es yang barusan aku sebutkan, bukan cuma pemandangan-nya yang indah, tapi juga mempunyai daya penarik lain, yaitu Soatlian (Teratai es) yang banyak tumbuh di tengah telaga,” menerangkan Keng Thian. “Pada permulaan musim semi, pemburu yang nyalinya besar sering datang kesitu buat memetik Soatlian yang harganya sangat tinggi. Didengar dari suaranya, orang yang berada di atas bukan cuma satu dua orang.” Thiansan Soatlian adalah semacam bunga yang langka dalam dunia, bukan saja warnanya luar biasa indah, tapi juga merupakan satu obat yang tiada bandingannya. Soatlian dapat menyembuhkan penyakit kurang darah, macam-macam luka dan punahkan racun. Dalam keraton es terdapat macam-macam obat, di antaranya ada juga yang menggunakan Soatlian sebagai campuran, tapi Pengtjoan Thianlie belum pernah lihat Soatlian yang sedang mekar. Kegembiraannya si nona jadi terbangun dan ia berkata sembari tertawa: “Kalau begitu, apa tidak baik kita korbankan tempo setengah hari buat naik ke atas untuk melihat bunga yang langka itu?” Keng Thian hampir bersorak lantaran girangnya, tapi sedapat mungkin, ia tahan perasaan hatinya. “Jika Tjietjie ingin, aku bersedia buat mengantar,” katanya dengan sikap tenang. Oleh karena tertutup es, Puncak Onta luar biasa licinnya, sehingga sekalipun kawanan binatang masih sukar manjat ke atas. Pemetik Soatlian biasanya mendaki gunung beramai-ramai dengan hubungkan badan mereka satu sama lam dengan tambang yang kuat. Mereka pacul es guna membuat tempat taruh kaki dan naik dengan perlahan sekali. Akan tetapi, biarpun begitu, masih tidak jarang terjadi kecelakaan. Tong Keng Thian bertiga yang mempunyai ilmu entengi badan sangat tinggi, masih memerlukan satu jam lebih buat naik ke atas puncak. Setibanya di atas, dengan hati terbuka, mereka pandang alam yang luas. Bagaikan sehelai sutera putih, air yang sangat bening turun dengan perlahan dari atas gunung dan masuk ke dalam satu telaga yang garis tengahnya beberapa puluh tombak. Di atas telaga itu terlihat kepingankepingan es yang bersinar terang dan rontokan bunga yang terombang-ambing kesana-sini, menuruti gerakannya sang air. Di sebelah sana terdapat pohon-pohon bunga hutan yang tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon berduri. “Dimana adanya Soatlian?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Ah, semuanya sudah kena dipetik orang,” jawab Keng Thian dengan suara menyesal. Si nona merasa kecewa, akan tetapi, lantaran pemandangan disitu benar-benar indah, ia merasa ada harganya juga buat datang ke tempat tersebut. Selagi pandang keadaan di sekitarnya, mendadak ia lihat banyak tapak kaki di atas salju, dari pinggir telaga sampai ke gerombolan pohon-pohon kembang. Di sebelah belakang pohon-pohon kembang itu lapat-lapat masih terdengar suara tindakan manusia. “Sesudah tiba disini, kau sebenarnya harus melihat-lihat lebih banyak lagi,” Keng Thian mendadak berkata sembari tertawa. “Tempat ini adalah tempat asal dari partaimu.”“Apa?” menegasi si nona. “Dahulu kakekmu bertemu dengan Soetjouw-mu, Sin Liong Tjoe, di ini tempat,” menerangkan Keng Thian. “Kalau begitu, di belakangnya pohon-pohon kembang itu mesti terdapat guanya Soetjouw,” kata Pengtjoan Thianlie yang lantas cabut pedangnya buat membabat pohon-pohon itu dan lalu masuk ke dalamnya. Baru masuk beberapa tindak, ia dapatkan satu jalanan kecil, yang dilihat dari tanahnya, baru saja habis dibuat. Pengtjoan Thianlie jadi curiga. Di belakangnya pohon-pohon kembang itu terdapat satu batu besar dan di atas batu terpahat sebuah gua cetek yang bentuknya seperti manusia yang sedang bersemedhi. Batu itu adalah tempat bersemedhinya Sin Liong Tjoe yang pernah bersila disitu sembilan belas tahun lamanya, sehingga badannya jadi terpeta di atas batu. Belakangan dengan turuti peta badan itu, muridmuridnya pahat batu itu dan membuat satu gua cetek. Sesudah Sin Liong Tjoe meninggal dunia, ia tinggalkan sejilid kitab ilmu silat. Koei Tiong Beng, kakeknya Pengtjoan Thianlie, adalah murid yang mewarisi kitab tersebut, sesudah Sin Liong Tjoe menutup mata. Maka itulah, tempat tersebut dianggap sebagai tempat suci dari Boetong pay cabang Utara. Sesudah memberi hormat dengan berlutut tiga kali, Pengtjoan Thianlie putari batu itu. Tiba-tiba, suara tindakan kaki jadi semakin jelas kedengarannya. Si nona angkat kepalanya dan lihat belasan gua di lereng gunung seberang. Di depannya gua yang tengah, dipasang satu tetarap bambu dan dalam tetarap itu kelihatan beberapa bayangan manusia. Selainnya itu, ditanjakan gunung kelihatan sejumlah orang yang berjalan berkelompok-kelompok, seperti juga sedang mau menghadiri serupa pertemuan. Pengtjoan Thianlie jadi semakin curiga. Walaupun belum kenal seluk beluknya Kangouw, akan tetapi dengan sekali lihat saja, ia sudah mengetahui, bahwa orang-orang itu bukannya tukang cari Soatlian. Dengan mendadak, dalam hatinya muncul satu pertanyaan: “Buat apa Tong Keng Thian pancing aku naik ke gunung itu?” Mengingat begitu, si nona lantas lari seperti terbang dengan gunakan ilmu entengi badan Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Mendadak ia dengar satu orang berseru: “Hei, siapa wanita itu? Orang luar toh tidak boleh hadiri pertemuan!” “Ah! Dia berani bawa pedang!” berteriak seorang lain. Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia lihat dua pemuda yang mengenakan pakaian hitam dan berdiri ditanjakan, sedang tunjuk-tunjuk dirinya. Selagi mau unjuk kegusarannya, mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. Orang yang tertawa adalah satu gadis cilik yang bukan lain daripada Lie Kim Bwee. “Ha, Tong Koko!” Ia berseru sembari gapekan Tong Keng Thian. “Benar saja kau turut nasehatku dan bawa dia kemari. Hei! Kalian jangan pentang bacot! Bisa-bisa kalian digusari Tong Koko! Dia bukan orang luar. Kau tahu dia siapa? Mari, mari! Aku beritahukan kalian!” Sehabis berseru begitu, ia kembali tertawa nyaring dan mengedip matanya kepada kedua pemuda yang berpakaian hitam, sehingga Pengtjoan Thianlie merasa ia sedang diejek. Di belakangnya Lie Kim Bwee berdiri Boe-sie Hengtee dan dua orang lagi yang tidak dikenal. Bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie. “Hm, Tong Keng Thian!” ia menggerendeng dengan hati panas. “Berani benar kau permainkan aku! Kau pancing aku ke atas gunung buat jadi buah tertawaan orang!” Ia enjot tubuhnya buat bikin perhitungan dengan Tong Keng Thian yang dianggap kurang ajar sekali. Ketika itu, Keng Thian sendiri sudah dicegat dan dikocok oleh Lie Kim Bwe. “Piauwmoay, janganlah omong yang gila-gila!” kata Keng Thian berulang-ulang dengan suara memohon. Pengtjoan Thianlie jadi terlebih gusar lagi, tapi sebelum ia dapat datang dekat, di depannya berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua sudah berdiri di hadapannya. Si nona kenali wanita itu sebagai orang yang pernah permainkan dirinya di tengah jalan. “Apakah kau datang bersama Keng-djie (anak Keng)?” tanya wanita itu sembari tertawa. Seperti api disiram minyak, tanpa pikir panjang, Pengtjoan Thianlie ayun tangannya dan lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng. Ia tahu, ilmu silatnya tidak nempil dengan nyonya itu dan lantas mendahului dengan senjata rahasianya yang liehay. “Apa artinya ini?” kata wanita itu sembari pentang lima jerijinya, yang bagaikan bunga anggrek mendadak mekar, sudah pentil lima butir pelurunya Pengtjoan Thianlie. Sungguh heran, begitu kena pentilan, lima peluru itu melayang-layang di tengah udara, tidak meledak dan juga tidak jatuh ke tanah! Dari sini dapat dilihat, bahwa lweekang-nya wanita itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Tapi ini belum seberapa. Apa yang membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesima adalah: Ketika Pengpok Sintan yang terakhir menyambar, wanita itu sanggap dengan mulutnya dan terus telan peluru tersebut! “Sungguh menyegarkan!” katanya sembari mesem. “Lebih menyegarkan dari air gunung.” Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan mempunyai hawa dingin yang luar biasa. Orang yang lweekang-nya belum cukup, kena hawanya saja sudah menggeletak. Orang yang lweekang-nya cukup tinggi kebanyakan mesti roboh, jika kena dihantam jalanan darahnya. Maka itu, tidaklah heran jika Pengtjoan Thianlie sendiri jadi terkesima waktu lihat wanita tersebut dapat menelan pelurunya, seperti orang telan sebutir es. Tanpa berkata suatu apa, si nona lantas balik badannya dan terus kabur. Badannya wanita itu mendadak melesat ke tengah udara sembari kebas tangannya dan lima butir Pengpok Sintan lantas masuk kedalam tangan bajunya. “Senjata rahasia ini aku belum pernah lihat,” katanya sembari tertawa. “Nona, kita belum kenal satu sama lain, tapi kenapa, begitu bertemu muka, kau lantas menyerang dengan senjata yang begitu hebat?” Pengtjoan Thianlie yang pernah rasakan liehaynya wanita itu, lantas duga dirinya mau dipermainkan lagi. Ia tahu tak akan dapat loloskan diri dan segera hentikan tindakannya. “Jika kau benar-benar seorang pandai dari tingkatan tua, tidaklah pantas berulang kali kau permainkan orang dari tingkatan muda,” ia membentak. “Hm! Thiansan pay benar pandai menghina pihak yang lemah. Sekarang aku baru percaya!” Wanita itu terkejut dan berkata dalam hatinya: “Lagi kapan aku permainkan dia? Kenapa dia memaki?” Sebenarnya nyonya itu bukannya Phang Lin (ibunya Lie Kim Bwee), tapi Phang Eng, ibunya Tong Keng Thian. Phang Lin dan Phang Eng adalah saudara kembar yang rupanya bersamaan seperti pinang dibelah dua, tapi adatnya sangat berlainan bagaikan langit dan bumi. Phang Eng adalah ahli warisnya Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe dan pernah dapat pelajaran juga dari Lu Soe Nio, sehingga ilmu silatnya ada lebih tinggi dari suaminya, Tong Siauw Lan, yang ketika itu jadi pemimpin dari Thiansan pay. Pada jaman itu, ilmu silatnya Phang Eng tidak ada tandingannya di seluruh Tiongkok. Pertemuan di Puncak Onta pada kali itu juga berada di bawah pimpinannya. Melihat kegusarannya Pengtjoan Thianlie, Phang Eng yang lemah lembut berbalik jadi kasihan. Tadinya ia ingin menanyakan lebih jauh, tapi sesudah dengar perkataannya si nona, ia jadi mundur tiga tindak dan berkata sembari tertawa: “Pemandanganmu terhadap Thiansan pay agaknya terlalu mendalam! Baiklah, aku sungkan mendesak kau. Jika kau tak sudi, aku juga tak mau menanyakan asal-usulmu.” “Peng-djie, hayo turun gunung!” berseru Pengtjoan Thianlie sembari enjot badannya yang lantas melesat belasan tombak jauhnya. Melihat begitu, Phang Eng sendiri jadi kagum dan berkata dalam hatinya: “Ketika berusia seperti dia, ilmu entengi badanku masih belum begitu tinggi.” Selagi lari, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar seruannya Keng Thian. Lantaran hatinya panas, ia menengok pun tidak. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di satu lembah. Tiba-tiba saja terdengar suara tertawa. “Bwee-djie bilang, kau tentu datang, aku tadinya belum mau percaya,” ata seorang wanita yang mendadak menghadang di tengah jalan. “Sekarang benar-benar kau erada disini. Tugas comblang rasanya harus dilakukan juga!” Sehabis berkata begitu, ia tertawa bergelak-gelak, sehingga dua pita kupu-kupu bergoyang-goyang di atas kepalanya. Pengtjoan Tianlie tak tahu, bahwa wanita itu adalah Phang Lin. Ia kira Phang Lin adalah wanita yang barusan telan Pengpok Sintan dan yang sekarang sengaja cegat padanya dengan potong jalan. Ia egos badannya dan lari ke arah tanjakan dan selagi mau mencaci, dari gundukan batu di tanjakan itu sekonyong-konyong loncat keluar satu orang yang ternyata Hiatsintjoe adanya! Sesudah Liong Leng Kiauw ditahan oleh Hok Kong An, Hiatsintjoe tidak dapat berbuat suatu apa. Ia cuma bisa perintah In Leng Tjoe pergi ke kota raja untuk memberi laporan kepada Tjongkoan istana dan minta isterinya berdiam di Lhasa untuk mengamat-amati, sedang ia sendiri segera kuntit Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, dengan harapan bisa dapat bantuannya satu dua kawan di tengah jalan. Waktu Keng Thian bertiga tiba di atas Puncak Onta, sebab tidak kenal jalan, ia baru sampai di pinggang gunung. Maka itulah, sebelum sampai di atas, ia sudah bertemu dengan Pengtjoan Thianlie yang sedang kabur ke bawah gunung Mostako. Begitu bertemu si nona, Hiatsintjoe terkesiap. Tapi melihat Pengtjoan Thianlie cuma sendirian dan juga rupanya baru kena dikalahkan orang, diam-diam ia bergirang. Ia lantas loncat keluar dari tempat sembunyinya dan menghantam sama tangannya. Melihat di depan dicegat musuh dan di belakang diubar orang, Pengtjoan Thianlie mengeiuh. Ia tidak berani mundur lantaran wanita yang berada di belakangnya merupakan lawanan yang terlalu berat dan sesudah berpikir beberapa saat, ia ambil putusan untuk terjang musuh yang di depan. Dengan sekali ayun tangannya, ia lepaskan tiga butir Pengpok Sintan dan sesudah cabut Pengpok Hankong kiam, ia segera menerjang dengan sepenuh tenaga. Mengetahui liehaynya peluru itu, Hiatsintjoe mengegos sembari maju setindak, sehingga di lain saat, ia sudah berdampingan dengan si nona. Dengan ilmu Kinna Tjhioehoat (Ilmu menangkap dengan tangan), ia sambar pedangnya Pengtjoan Thianlie. Selagi si nona mau membabat sama pedangnya, mendadak ia rasakan lehernya ditiup angin dingin dan kupingnya dengar orang berkata: “Hawa hari ini benar-benar luar biasa, ada dingin, ada panas!” Itulah Phang Lin yang setelah melihat sambaran hawa panas dari tangannya Hiatsintjoe dan hawa dingin dari Pengpok Hankong kiam, jadi timbul kegembiraannya dan tiup lehernya kedua orang itu. Mendapat kesempatan, sembari kelit, Pengtjoan Thianlie lalu kabur ke arah tanjakan. Hiatsintjoe yang tidak kenal siapa adanya nyonya itu, bukan main gusarnya dan lalu menghantam sama tangannya. Sesudah tiba di tanjakan, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar teriakannya Keng Thian. Hatinya jadi bergoncang dan ia pertahankan tindakannya. Sekonyong-konyong, dari ujung tanjakan muncul keluar dua pemuda baju hitam yang tadi berada sama-sama Lie Kim Bwee. “Tinggalkan pedangmu! Baru boleh turun gunung!” berseru salah satu pemuda itu. Salah satu antara dua pemuda itu adalah kakaknya Lie Kim Bwee yang bernama Lie Tjeng Lian, sedang yang satunya lagi adalah muridnya Tong Siauw Lan yang bernama Tjiong Tian, cucu keponakannya Tjiong Ban Tong (Pemimpin Boekek pay). Mereka berdua yang bersamaan usia dan bersamaan pula pakaiannya adalah seperti saudara kandung. Tadi mereka sudah kena diobor oleh Boe-sie Hengtee dan sengaja cegat baliknya Pengtjoan Thianlie untuk tolong balaskan sakit hatinya kedua saudara Boe itu. Alisnya si nona jadi berdiri bahna gusarnya. “Aku tadinya tak percaya murid-murid Thiansan begitu jago-jagoan!” katanya dengan suara tawar, la jejak kakinya dan bagaikan kilat sudah berada di hadapannya kedua pemuda itu. Dengan gerakan Tjianli penghong (Ribuan li es menutup), ia membuat satu lingkaran dengan pedangnya dan kedua pedang lawannya lantas saja terkurung di dalam sinar Pengpok Hankong kiam. Tadi, jarak antara Pengtjoan Thianlie dan kedua pemuda itu ada kira-kira belasan tombak. Jika si nona menggunakan ilmu entengi badan yang biasa, mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk bersiap. Tak dinyana, kali itu Pengtjoan Thianlie menggunakan Hoasoat (Menyerosot di salju) yang tiada tandingannya dalam dunia dan lebih cepat daripada ilmu Lioktee hoeiteng (Terbang di atas tanah). Suara dan manusianya tiba hampir berbareng dan sebelum kedua pemuda dapat bergerak lebih jauh, pedang mereka sudah berada dalam kurungan Hankong kiam. Mereka terkejut bukan main. Baru Hankong kiam diputar beberapa kali, Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian sudah merasa kewalahan dan hampir-hampir saja pedangnya kena dibikin terpental. Si nona yang sedang panas hatinya tak sungkan-sungkan lagi dan terus desak lawannya secara hebat. Tjiong Tian yang berdiri di sebelah kanannya Pengtjoan Thianlie, adalah murid satu-satunya dari Tong Siauw Lan. Walaupun ilmu silatnya belum matang seperti Tong Keng Thian, tapi ia sudah dapat menyelami isinya Thiansan Kiamhoat. Selagi keteter, ia tak jadi bingung dan mendadakan saja ingat satu cara untuk membela diri. Tiba-tiba ia robah cara bersilatnya dan menyerang dengan gerakan Kanghay lengkong (Sungai dan lautan membeku sinar). Pukulan itu adalah salah satu pukulan dari ilmu pedang Thaysiebie yang digubah untuk pertahankan diri terhadap lawan yang lebih kuat. Dengan Kanghay lengkong, semua tenaga dalam dipusatkan di ujung pedang. Pengtjoan Thianlie yang sedang gembira jadi kaget sekali, ketika dapat kenyataan pedangnya lawan tak dapat lagi disampok terpental. Di lain saat, Lie Tjeng Lian yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari adiknya, tidak mau sia-siakan kesempatan yang baik dan lalu kirim beberapa serangan dengan ilmu silatnya Pekhoat Molie. Jika satu sama satu, memang kepandaiannya Pengtjoan Thianlie ada lebih tinggi dari kedua pemuda itu. Akan tetapi dengan dua lawan satu, si nona jadi berada di bawah angin. Barusan, berkat ilmu Hoasoat, ia dapat mendahului menyerang dan sudah bikin dua lawannya menjadi repot. Tapi itu adalah untuk sementara waktu saja. Sesudah Tjiong Tian dan Lie Tjeng Lian dapat tetapkan hatinya dan bersilat secara tenang, Pengtjoan Thianlie mulai rasakan beratnya sang lawan. Akan tetapi, lantaran sudah pernah lihat cara bersilatnya Lie Kim Bwee dan juga lantaran biasa bersilat di atas salju yang licin, sesudah tiga puluh jurus, Pengtjoan Thianlie masih terus dapat melayani secara berimbang. Melihat begitu, diam-diam Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian merasa terkejut berbareng kagum. Pengtjoan Thianlie juga tidak kurang kagumnya dan mesti akui, bahwa murid-murid Thiansan pay benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Sedang serunya mereka bertempur, sekonyongkonyong terdengar suara teriakan seorang wanita dari atas gunung: “Lian-djie! Tian-djie! Biarkan dia pergi! Lekas balik!” Pengtjoan Thianlie terkesiap. Suara itu terang-terangan datang dari Puncak Onta yang jauh, en toh kedengarannya seperti di dalam kuping! Apa yang lebih mengherankan adalah: Wanita setengah tua itu toh sedang layani Hiatsintjoe di tanjakan gunung, tapi kenapa sekarang suaranya datang dari atas gunung? Si nona tak tahu, bahwa yang sedang layani Hiatsintjoe adalah Phang Lin, sedang yang panggil Tjeng Lian dan Tjiong Tian adalah Phang Eng. Mendengar panggilan itu, Tjeng Lian dan Tjiong Tian tak berani membantah. Mereka mendesak hebat dengan berharap si nona mundur beberapa tindak, supaya dapat undurkan diri. Tapi Pengtjoan Thianlie yang beradat tinggi bukan saja tidak mau memberikan kesempatan, tapi malahan segera ambil putusan untuk jatuhkan lawannya. Demikianlah, selagi kedua pemuda itu mau tarik pulang pedangnya, ia barengi dengan dua kali babatan. Tjiong Tian masih dapat tolong dirinya, tapi Lie Tjeng Lian yang terlambat sedikit kena disontek pedangnya yang lantas terbang ke tengah udara! “Hm! Coba lihat siapa yang keok?” kata Pengtjoan Thianlie sembari menyingkir dengan ilmu Hoasoat. Tjeng Lian berteriak-teriak bahna gusarnya, tapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pulang ke gunung bersama sahabatnya. Sekarang marilah kita tengok Keng Thian yang tadinya dengan pancing Pengtjoan Thianlie ke atas Puncak Onta, ingin mempertemukan si nona dengan kedua orang tuanya, supaya dapat singkirkan ganjelan yang dahulu. Tapi siapa nyana, si nona sudah keliru sangka ibunya sebagai bibinya dan tanpa banyak bicara lantas menimpuk dengan Pengpok Sintan. Keng Thian tahu, ibunya yang pendiam tidak boleh dibuat gegabah, beda jauh dengan bibinya yang suka bercanda. Begitu lihat si jelita menimpuk, hatinya mencelos! la sangat kuatir, dengan adanya peristiwa itu, sang ibu akan membenci kecintaannya. Dalam kebingungannya, ia sudah diganggu oleh Kim Bwee yang nakal dan sesudah buang banyak tempo yang berharga, barulah ia dapat mengubar. Pengtjoan Thianlie lari terus tanpa ladeni segala teriakannya Keng Thian, yang juga tak kenal sudah dan terus mengubar dengan sekuat tenaga. Semakin lama, jarak antara mereka jadi semakin dekat dan sesudah Keng Thian berada belasan tombak dari dirinya, barulah si nona enengok sembari keluarkan suara di hidung. “Peng Go Tjietjie, dengarlah dahulu omonganku!” berseru Keng Thian. Pengtjoan Thianlie pungut segumpal salju yang lantas ditimpukan ke mukanya si pemuda. “Baru sekarang aku tahu kau siapa!” ia membentak. “Aku dibuat bahan guyonan olehmu!” Dengan ilmu Hoasoat, ia kembali sudah terpisah jauh dari Keng Thian. “Sesudah dengar omonganku, masih belum terlambat kalau kau mau pergi juga,” mengeluh Keng Thian. Si nona kembali menimpuk dengan bola salju. “Siapa mau dengar ocehanmu!” membentak ia. “Sudah, kau jangan bicara lagi sama aku!” Sebagai seorang yang masih mempunyai keangkuhan, mendengar itu Keng Thian segera hentikan tindakannya. Sedang ia putar otaknya untuk mencari lain jalan, dari atas Puncak Onta mendadak terdengar suara ibunya: “Keng-djie, balik!” Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang angker: “Keng-djie, tak boleh kau halangi nona itu!” Itulah suara ayahnya, Tong Siauw Lan. Waktu baru bertemu, Tong Siauw Lan suami isteri duga Pengtjoan Thianlie adalah sahabat puteranya. Meskipun merasa kurang senang puteranya bawa-bawa orang luar kesitu, mereka tidak merasa terlalu keberatan. Belakangan, setelah tanpa sebab, si nona menyerang dengan Pcngpok Sintan, mereka jadi salah menaksir. Mereka taksir nona itu adalah muridnya salah satu siapay (cabang persilatan yang kotor) yang sengaja dikirim kesitu untuk coba mengacau. Mereka malahan menduga, bahwa nona itu sudah digiring ke Puncak Onta oleh Keng Thian, supaya mereka dapat menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, mengingat tingkatannya yang tinggi dalam Rimba Persilatan, Tong Siauw Lan suami isteri sungkan menyusahkan orang yang tingkatannya lebih rendah. Terlebih pula, tadi Phang Eng sendiri sudah membiarkan ia turun gunung. Oleh karena begitu, mereka lantas teriaki puteranya untuk larang sang putera menghalangi perginya si nona. Keng Thian tentu saja tidak berani membantah perintah kedua orang tuanya. Dengan mata mendelong, ia mengawasi si nona yang kabur dengan gunakan ilmu Hoasoat dan dalam tempo sekejapan saja, badannya berubah seperti satu titik hitam, akan kemudian menghilang dari pandangan. Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan Keng Thian mendaki gunung. Sesampainya di pinggang gunung, ia bertemu bibinya yang sedang permainkan Hiatsintjoe. “Keng-djie!” berseru sang bibi. “Lihat, aku sedang main-main dengan monyet tua ini. Lihat yang benar! Pukulan ini mesti kau pelajari!” Sehabis berseru, ia tiup lawannya! Hiatsintjoe jadi kalap. Dengan kuping yang sudah terlatih, ia tahu si nyonya sedang berada di belakangnya. Sembari berbalik, ia menghantam dengan sekuat tenaga. Phang Lin pentang tiga jerijinya dan dengan meniru caranya Niauw-eng (semacam burung elang), ia sambar nadinya Hiatsintjoe. Nadi adalah bagian tubuh yang sangat berbahaya. Jika nadi kena dicekel, biar bagaimana pandai pun, ia bakalan tidak berdaya lagi. Secepat mungkin, Hiatsintjoe tarik pulang tangannya, tapi toh masih kena juga kepentil, sehingga tanpa tercegah lagi, tangannya balik menggaplok mukanya yang lantas saja menjadi bengkak! “Pukulan itu dinamakan pukulan gaplok diri sendiri!” kata si nyonya sembari tertawa besar. Tong Keng Thian sebenarnya lagi sangat jengkel. Tapi mendengar omongan bibinya yang sangat jail itu, ia jadi tertawa berkakakan. Puluhan tahun Hiatsintjoe berlatih dan sebegitu jauh ia merasa kepandaiannya sudah tiada tandingannya lagi. Tapi siapa nyana, baru saja turun gunung, beruntun dua kali ia kena tubruk tembok. Tidaklah heran jika ia jadi berteriak-teriak seperti orang gila dan lantas ambil putusan untuk bertempur mati-matian. Lebih dahulu ia tutup semua bagian badannya yang berbahaya dan kemudian kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai pada kedua tangannya yang lantas digunakan untuk serang Phang Lin secara nekat-nekatan. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan itu. Keng Thian yang berdiri dalam jarak tiga tombak, masih dapat rasakan hawa yang sangat panas! “Aku sungguh sebal menghadapi setan kecil ini,” kata Phang Lin sembari kerutkan alisnya. “Anjing kecil bisa juga ngambek! Hm! Baiklah, aku kasih kau sedikit ajaran!” Ia berpaling kepada Keng Thian dan berkata: “Eh, Keng-djie! Kau tahu, siapa adanya siluman tua ini?” “Anjingnya kerajaan Tjeng,” jawab sang keponakan. Phang Lin tanya begitu lantaran mau menimbang berat entengnya hukuman yang ia mau jatuhkan. Begitu dengar jawaban Keng Thian, ia tertawa gembira sekali. “Bagus! Bagus!” katanya. “Kau andalkan kedua tangan anjingmu untuk hinakan orang, baiklah aku putuskan dua tangan anjing itu!” “Iebo (bibi), pakailah pedangku,” kata Keng Thian. “Hm, masakah untuk kutungkan tangan anjing saja aku memerlukan pedang wasiat,” kata si nyonya. “Kau lihat saja.” Phang Lin tertawa bergelak-gelak sehingga kedua kupu sutera yang dipasang pada rambutnya, jadi tergoyang-goyang. Mendadakan, ia raba kepalanya dan copotkan dua kupu-kupu itu, yang ternyata dibuat dari puluhan lembar benang sutera berwarna. Ia buka benang-benang itu yang lantas saja melayanglayang di tengah udara. “Nah, kau lihat biar betul,” kata sang bibi sembari menengok kepada Keng Thian. Kedua tangannya pegang benang-benang itu yang lantas disabetkan ke arah Hiatsintjoe. “Perempuan siluman! Sungguh kau menghina aku!” membentak Hiatsintjoe sembari membabat dengan dua tangannya. Sedikitpun ia tidak percaya, benang yang begitu halus dapat mengikat tangannya. Tapi siapa nyana, benang-benang itu yang tidak dapat dicengkeram dan juga tidak dapat diputuskan dengan sabatan tangan, melayang terus ke arah kedua tangannya yang dalam sekejap lantas kena terikat dan tidak dapat bergerak lagi! Ternyata, diam-diam Phang Lin sudah kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang itu yang lantas berobah sifatnya seperti kawat baja. Demikianlah, seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, dapat binasakan musuhnya dengan selembar daun atau sekuntum bunga. Dalam Rimba Persilatan, tidak ada orang yang mempunyai begitu banyak macam kepandaian seperti Phang Lin. Ilmu yang barusan dikeluarkan olehnya berasal dari sekte Topi Merah di Tibet. Orang Tibet suka tangkap badak dengan menggunakan laso. Oleh karena sang badak mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya, kecuali kalau kejirat kaki depannya, tambang laso dengan mudah dapat dibikin putus olehnya. Melihat cara menangkap badak itu, Tjouwsoe sekte Topi Merah yang bernama Khalpa segera menggubah semacam ilmu untuk jirat nadinya musuh dengan tambang lemas. Jika nadi kena diikat, biar orang itu mempunyai tenaga yang bagaimana besar juga, ia pasti tidak berdaya lagi. Waktu masih kecil, selagi berdiam dalam gedungnya Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan jadi kaizar Yongtjeng), Phang Lin telah pelajari ilmu tersebut. Belakangan, sesudah undurkan diri ke Thiansan dan pelajari Lweekeh Khiekang, ia dapat kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang halus yang lantas berobah sifatnya jadi seperti kawat baja. Begitulah, dengan terjiratnya kedua nadi, darahnya Hiatsintjoe tidak dapat berjalan benar, sehingga bukan saja ia rasakan kesakitan hebat, tapi napasnya juga lantas menjadi sesak. Ia tak dapat kerahkan tenaga dalamnya, matanya melotot dan tak dapat mengeluarkan suara. Melihat begitu, Keng Thian taksir, setengah jam lagi, biarpun kedua tangannya tidak sampai menjadi putus, Hiatsintjoe pasti akan binasa. Tiba-tiba dengan berkelebatnya bayangan orang di puncak seberang, terdengar teriakan: “Lin-moay, guyonanmu sudah sedikit keterlaluan!” Orang yang berseru begitu adalah Tong Siauw Lan. “Kau tak tahu kejahatannya manusia ini,” jawab Phang Lin. “Dia adalah kaki tangannya bangsa Boan!” Sesudah dapat tahu siapa yang terikat kedua tangannya, Tong Siauw Lan segera berseru lagi: “Orang itu dahulu pernah dilepaskan oleh Popo-mu (mertuanya Phang Lin, Boe Kheng Yao). Bukan gampang dia berlatih beberapa puluh tahun. Jika tidak melanggar kedosaan besar, baik kau lepaskan padanya.” “Lin-moay!” Phang Eng turut berseru dari Puncak Onta. “Kau masih suka umbar adat seperti anak-anak. Lepas padanya! Tak senang aku lihat paras mukanya.” Phang Lin paling segani kakaknya. Sembari mesem-mesem, ia lepaskan benangnya seraya berkata: “Baiklah. Jika lain kali manusia ini satrukan Keng-djie, aku tak akan ladeni lagi segala perintahmu.” Begitu lekas ikatan terbuka, Hiatsintjoe tarik napas dalam-dalam sembari loncat menyingkir. Ia lihat di seputar nadinya terdapat tanda seperti kena dibakar dan ugal-ugalan tangannya masih sukar digerakkan. Mendengar panggilannya Siauw Lan, ia tahu wanita itu adalah ie-ie-nya (saudara perempuan dari isteri). Ia juga tahu, kepandaiannya Tong Siauw Lan suami isteri ada terlebih tinggi daripada Phang Lin dan mengingat begitu, ia jadi bergidik, sebab dahulu ia pernah tantang Siauw Lan mengadu silat. Tanpa berkata sepatah kata, buru-buru ia kabur ke bawah gunung. “Keng-djie, mari!” berseru Tong Siauw Lan sembari balik ke Puncak Onta dengan diikuti oleh puteranya. Mereka masuk ke dalam gua tengah. Gua-gua itu semua dibuat untuk keperluan pertemuan Thiansan pay kali itu. Gua yang di tengah adalah untuk Tong Siauw Lan suami isteri. Sesudah ajak puteranya masuk, Siauw Lan undang juga Lie Tie dan Phang Lin dan kemudian barulah menanya: “Keng-djie, siapa nona itu? Apa kau kenal? Kenapa begitu bertemu, dia lantas timpuk ibumu dengan peluru es?” “Ia biasa dipanggil Pengtjoan Thianlie,” jawab sang putera. Oleh karena sudah dua puluh tahun Siauw Lan tidak pernah ceburkan diri ke dalam dunia Kangouw, ia jadi heran mendengar nama itu. “Nama itu kedengarannya aneh sekali,” katanya. “Timpukannya indah sekali!” Phang Lin menyeletuk sembari tertawa. “Apa?” tanya sang kakak. “Tjietjie, kaulah yang kena getahnya,” kata Phang Lin sembari ha-ha, hi-hi. “Dia sebenarnya mau hajar aku!” Phang Eng kenal adat adiknya. “Tentulah kau yang sudah ganggu padanya,” kata ia. “Aku lihat dia, rasanya kasihan, tapi kau permainkan padanya. Tua-tua tak tahu harga diri!” “Tjietjie rewel sekali,” jawab si adik. “Sang menantu belum masuk, kau sudah bantu dia menyerang diriku. Aku cuma main-main sedikit. Siapa hinakan padanya?” “Keng-djie, kalau begitu, nona itu benar kau yang bawa kemari untuk menemui kami, bukan?”Phang Eng tanya puteranya. “Ibu jangan dengari omongannya Le-ie,” jawab Keng Thian. “Tjietjie, kau tak tahu, mereka berdua sudah bergaul rapat sekali dan luar biasa manisnya!” menggoda Phang Lin yang lantas tuturkan segala pengalamannya waktu bertemu Pengtjoan Thianlie pada malam itu. “Sekarang kau masih berani menyangkal, bahwa dia memang dibawa olehmu kemari?” tanya si bibi sembari tunjuk keponakannya. “Benar,” jawab Keng Thian sembari tertawa. “Benar aku yang ajak ia datang kesini. Tapi kalian belum tahu, siapa adanya ia.” “Kalau tahu, untuk apa kita tanya kau?” kata lagi Phang Lin. “Ayah,” kata Keng Thian. “Pada waktu kau perintah aku turun gunung, bukankah kau pesan aku sekalian cari tahu dimana adanya Koei Hoa Seng Pehpeh? Koei Pehpeh sudah meninggal dunia, Pengtjoan Thianlie adalah puteri tunggal dari Koei Pehpeh! Jadi dia bukannya orang luar dan kalian tak dapat salahkan aku bawa-bawa orang luar datang kemari.” Keterangan itu sudah membikin semua orang jadi girang tercampur kaget. Mereka lantas saja minta keterangan yang lebih jelas. Keng Thian segera tuturkan segala pengalamannya di keraton es, cara bagaimana ia minta si nona bantu lindungi guci emas dan sebagainya. Ketika Keng Thian lukiskan keindahan keraton es yang seperti surga, semua orang jadi terpesona dan seakan-akan sedang dengar cerita dongeng. “Aku tak nyana, Koei Hoa Seng bisa mendapat pengalaman yang begitu luar biasa dan mempunyai juga seorang puteri yang cantik bagaikan bidadari,” kata Phang Eng.“Nah, sekarang Tjietjie lekas-lekas perintah Keng-djie susul padanya,” kata Phang Lin dengan suara menggoda. “Kalau terlambat, bisa-bisa didahului orang!” Keng Thian tak gubris godaan bibinya dan lantas berkata pada ayahnya: “Tapi ada satu hal yang aku merasa sangat tidak mengerti. Kalau diusut, ia sebenarnya masih terhitung anggauta dari keluarga Thiansan pay. Tapi kenapa, setiap kali aku menyebutkan namanya Thiansan, ia lantas bersikap tawar dan seperti juga merasa kurang senang. Thiansan yang menjadi tempat ziarahnya orang-orang Rimba Persilatan, di mata dia seakan-akan satu tempat yang menyebalkan.” Tong Siauw Lan kerutkan alisnya. Ia juga tidak mengerti sikapnya Pengtjoan Thianlie yang aneh. Phang Eng yang sangat cerdas lantas saja ingat satu kejadian dahulu. Ia tertawa seraya berkata: “Lin-moay, urusan ini juga lantaran gara-garamu.” “Apa? Memang, segala apa kau salahkan aku!” kata sang adik sembari monyongkan mulutnya. “Keng-djie,” kata Phang Eng pada puteranya. “Sekarang biarlah aku tuturkan satu cerita. Pada kira-kira tiga puluh tahun berselang, ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit adalah Tong Kim Hong dan dia mempunyai seorang menantu, Ong Go namanya, yang telah lukakan ie-ie-mu dengan dengan jarum Pekbie tjiam. Dalam gusarnya, ie-ie-mu telah bunuh mati padanya. Dengan bawa puterinya Tong Kim Hong datang untuk bikin pembalasan. Ketika itu, aku sedang berdiam di rumahnya Shoatang Tayhiap Yo Tiong Eng. Tong Kim Hong dan puterinya salah anggap diriku sebagai ie-ie-mu. Bersama Yo Tayhiap, aku pukul mundur mereka dan salah mengerti serta sakit hati jadi semakin mendalam. Koci Hoa Seng adalah sahabatnya keluarga Tong. Untuk kedua kalinya, mereka menyatroni bersama-sama Koei Hoa Seng. Kami semua waktu itu tidak mengetahui, bahwa Koei Hoa Seng adalah puteranya Koci Tiong Beng. Ilmu pedangnya Koei Hoa Seng sangat liehay dan ia sudah bikin puterinya Yo Tayhiap kecebur di dalam telaga dan kemudian diseret air deras.” Berkata sampai disini, Phang Eng awasi suaminya sembari tertawa. Puterinya Yo Tiong Eng, yang bernama Yo Lioe Tjeng, dahulu adalah tunangannya Tong Siauw Lan dan sesudah pertunangan diputuskan, barulah Siauw Lan menikah sama Phang Eng. “Hari itu, ayahmu justru berada disitu,” Phang Eng teruskan penuturannya. “Dalam gusarnya, ia segera mau lakukan pertempuran mati hidup dengan Koei Hoa Seng. Belakangan dengan gunakan Thiansan Kiamhoat kita desak ia sampai hampir-hampir jatuh ke dalam telaga dan tewas jiwanya. Beruntung Lu Soe Nio keburu datang sehingga jiwanya ketolongan. Sesudah lewat beberapa lama diketahui bahwa Yo Kouwkouw tidak mati di dalam air. Sebab sudah lama, sekarang ternyata ayahmu sudah lupakan kejadian itu. Sedari waktu itu, Koei Hoa Seng menghilang. Mungkin sekali, itulah kejadiannya yang ia tak dapat lupakan.” “Oh, begitu?” kata Keng Thian. “Sekarang aku tak heran lagi.” “Apa?” tanya ibunya. “Tak heran kalau Koei Hoa Seng Pehpeh pergi merantau ke lain negara dan dengan memetik bagian-bagian yang liehay dari ilmu pedang Tionghoa dan Barat, menggubah semacam ilmu pedang baru,” menerangkan sang putera. “Juga tak heran kalau Pengtjoan Thianlie selalu ingin jajal ilmu silatku.” Tong Siauw Lan menghela napas. “Tak nyana Koei Hoa Seng mempunyai keinginan mau menang yang begitu besar,” katanya. “Aku sendiri sebaliknya hargakan ia,” kata sang isteri. “Dengan cara begitu, ilmu pedang Tionghoa jadi bertambah maju. Bukankah kejadian itu harus dibuat girang?” Siauw Lan manggut-manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata suatu apa lagi. “Ibu,” Keng Thian mendadak berkata lagi. “Barusan kau bilang, ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit adalah Tong Kim Hong. Apakah ia itu bukannya yang biasa dipanggil Tong Djie Sianseng?” “Bagaimana kau tahu?” tanya si ibu dengan perasaan heran. “Apa Tong Djie Sianseng mempunyai murid?” Keng Thian menanya pula. Paras mukanya Siauw Lan jadi sedikit berobah. “Keng-djie, dengan siapa kau sudah bertemu?” tanya ia. “Ada orang kasihkan aku semacam barang untuk diserahkan kepada ayah,” menerangkan sang putera. “Ia bilang, barang itu sebenarnya milik keluarga kita.” Semua orang jadi merasa heran. “Coba kasihkan kepadaku,” kata Siauw Lan. Keng Thian segera keluarkan batu giok yang ia dapat dari Liong Leng Kiauw dan serahkan itu kepada ayahnya. Sesudah permainkan batu pualam tersebut dalam tangannya Siauw Lan menghela napas dan segala kejadian di jaman lampau kembali terbayang di depan matanya. “Siapa yang kasih?” tanya Phang Eng. “Orangnya Hok Kong An, yang dikenal sebagai Liong Leng Kiauw,” jawab sang putera. Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya. “She Liong?” ia menegasi. “Tidak, tak bisa. Orang yang simpan Han-giok ini pasti bukannya orang biasa. Aku rasa, nama itu mesti nama samaran.” “Benar, ayah,” kata Keng Thian. “Hiatsintjoe pun bilang, ia tentu gunakan nama palsu. Ia dikatakan sedang berusaha melakukan pekerjaan yang melanggar undang-undang. Tapi Hiatsintjoe cuma tahu ia itu adalah muridnya Tong Kim Hong dan tak tahu namanya yang sejati. Ayah, siapakah dia?” “Puteranya Lian Keng Giauw!” jawab sang ayah. Tong Keng Thian terkesiap mendengar nama itu. Lian Keng Giauw adalah jagoan yang dahulu menjadi satru terutama dari suami isteri Tong Siauw Lan, Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Kanglam) dan lain-lain orang gagah dari Rimba Persilatan. Cerita-cerita yang menggetarkan hati dari orang she Lian itu, Keng Thian sudah sering dengar dari kedua orang tuanya. “Ah, puteranya Lian Keng Giauw!” kata Keng Thian. “Tak heran, kalau ia mengadakan persekutuan dengan para Touwsoe di Lhasa. Dilihat begini, ia agaknya mau dirikan kerajaan baru di daerah perbatasan, supaya jika berhasil dapat jatuhkan kerajaan Tjeng, kalau gagal, bisa mundur dan jaga daerahnya sendiri. Tapinya, Tibet mempunyai latar belakang yang sangat sulit. Jika ia bergerak, kemungkinan besar orang luar akan gunakan kesempatan itu untuk masuk ke Tibet.” “Tak salah pandanganmu, anak,” kata Tong Siauw Lan. “Tapi kenapa kau bisa pastikan dia anaknya Lian Keng Giauw?” tanya Phang Lin. “Pada waktu In Tjeng baru naik ke atas tahta kerajaan, diam-diam aku telah masuk ke keraton,” menerangkan Siauw Lan. “Disitu aku kena ditangkap oleh Haputo dan Liauw In. Hangiok pemberian Kaizar Konghie kena dirampas oleh mereka. Lian Keng Giauw adalah seperti juga majikannya kedua orang itu. Aku merasa pasti, batu giok tersebut tidak diserahkan kepada Yong Tjeng, tapi kepada Lian Keng Giauw.” “Jika orang itu benar-benar puteranya Lian Keng Giauw dan hal ini dapat diketahui oleh si kaizar, ia tentu mesti mati,” kata lagi Phang Lin. “Bagaimana pikiranmu: Apa kau bersedia menolong padanya atau tidak?” “Musuh besar kita adalah ayahnya dan bukan dia,” jawab Siauw Lan. “Dalam gerakannya menentang kerajaan Tjeng, rasanya ia akan berusaha tarik tangan kita. Dengan menyerahkan batu giok itu kepada Keng-djie, ia pasti mempunyai maksud yang dalam.” “Sudah terang, ia mau bergandengan tangan dengan kita,” kata Phang Eng. Mendadak Phang Lin menghela napas panjang. “Hm!” katanya. “Sampai sekarang begitu dengar orang menyebut namanya Lian Keng Giauw, aku lantas merasa mendeluh. Harap saja anaknya tidak seperti bapaknya.” Mendengar bibinya menghela napas panjang, Keng Thian jadi merasa agak heran, sebab sang bibi biasanya tak kenal jengkel dan selalu suka bercanda. Keng Thian tidak tahu, bahwa dahulu, waktu masih kecil, bibi itu dikukut dalam rumah keluarga Lian dan Lian Keng Giauw adalah kawan bermainnya. Sesudah besar. Lian Keng Giauw jatuh cinta padanya, tapi Phang Lin yang belakangan mengetahui bahwa orang she Lian itu busuk hatinya, jadi berbalik benci padanya. Tapi biar bagaimana juga, sedikit banyak ia masih ingat perhubungan yang dahulu. Maka itu, mendengar warta tentang puteranya Lian Keng Giauw, ia jadi menarik napas panjang. Phang Eng mesem melihat sikap adiknya. “Aku pun mengharap anaknya jangan turut-turut kebusukan ayahnya,” kata ia. “Tapi, oleh karena belum mengetahui benar latar belakangnya, kita tidak boleh sembarangan menolong. Begini saja: Keng-djie, bukankah kau mau pergi ke Soetjoan? Sekalian jalan, baik kau mampir pada keluarga Tong dan beritahukan halnya Liong Leng Kiauw. Keluarga Tong adalah keluarga yang terkenal dalam Rimba Persilatan dan menurut peraturan Kangouw, merekalah yang berhak campur tangan.” Keng Thian yang tadinya kuatir kedua orang tuanya akan menahan ia, jadi merasa girang sekali. Sesudah berdiam beberapa saat, Phang Eng tertawa seraya berkata: “Jika kau bertemu dengan Koei Moaymoay (Pengtjoan Thianlie), bilanglah, bahwa aku sangat suka padanya. Kau juga boleh minta Moh Pehpeh membujuk ia, supaya ganjelan dahulu dibikin habis saja. Undanglah ia untuk datang kesini tiga tahun kemudian.” “Eh, Keng-djie,” Phang Lin mendadak menyeletuk dengan paras sungguh-sungguh. “Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat bagus. Coba kau ajak ia adu pedang lagi dan sengaja berlagak kalah dalam pertandingan itu. Aku merasa pasti, dengan jalan begitu hatinya akan merasa puas.” Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya mendengar ajaran itu. “Ah, inilah yang dinamakan orang tua tidak tahu tuanya,” kata ia. “Sekarang kau berbalik mengajar anak-anak jadi orang palsu.” Mendengar tegoran itu, Phang Lin jadi tertawa geli sekali. Pada besok harinya, Tong Keng Thian kembali turun dari Puncak Onta dan berjalan menuju ke jurusan timur. Jalan yang semula diambilnya adalah dari Siamsay terus ke Soetjoan. Akan tetapi, oleh karena sudah mengambil jalan mutar, maka sekarang ia harus masuk ke Tjenghay, akan kemudian menuju ke Soetjoan barat. Sesudah berjalan belasan hari, tibalah Keng Thian di padang rumput Tsaidam yang terletak di Tjenghay tengah. Padang rumput itu luas luar biasa dan meskipun di sana-sini terdapat pasir serta tanah yang berwarna kuning, akan tetapi pada umumnya daerah itu gemuk tanahnya. Dengan hati yang lapang, Keng Thian larikan kudanya di padang rumput itu, dengan saban-saban bertemu rombongan-rombongan kambing liar yang pada lari serabutan jika bertemu manusia. Melihat itu semua, Keng Thian sungguh merasa tidak mengerti, kenapa tanah yang sedemikian kaya dibiarkan tinggal tersia-sia. Selagi enak berjalan, kupingnya mendadak mendengar suara kelenengan kuda dan serombongan pelancong kelihatan mendatangi dari sebelah depan. Di antara mereka itu terdapat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Keng Thian merasa heran. “Sekarang adalah permulaan musim semi dan menurut kebiasaan, hanya orang-orang dari sebelah utara yang datang ke selatan,” katanya di dalam hati. “Kenapa orang-orang ini dari selatan datang kemari?” Waktu hampir berpapasan, hatinya jadi lebih heran lagi, oleh karena mereka kelihatan seperti orang sedang kebingungan, seolah-olah orang hukuman yang sedang melarikan diri. Ia segera majukan kudanya dan menanya seorang tua yang berjalan paling depan. Orang tua itu mengawasi ia seraya berkata: “Apakah kau sendirian?” “Benar,” sahut Keng Thian. “Bolehkah aku menanya, kenapa Loopeh meninggalkan daerah selatan yang sangat subur? Apakah kalian hendak pergi ke Tibet untuk berdagang?” Si tua menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jika kau seorang diri, tak halangan berjalan terus,” katanya. “Dua hari lagi, kau akan tiba di kota Naichi, satu kota besar yang berada di bawah kekuasaan Tukuhun Khan.” “Kenapa, jika seorang diri tak ada halangan untuk aku berjalan terus?” tanya Keng Thian dengan suara heran. “Entah kenapa, sedari beberapa waktu berselang, Hoat-ong (Raja Agama) dari Lhama sekte Topi Putih telah mencari wanita-wanita muda yang berparas cantik. Setiap wanita yang datang dari tempat lain, asal ia berparas cantik, tak ampun akan ditangkap, jika bertemu dengan orangorangnya Hoat-ong. Oleh karena itu, semua orang jadi ketakutan. Ketika melewati kota itu, kami semua tak berani berhenti mengasoh dan terus kabur secepat mungkin. Menurut pendengaran, lagi kemarin dulu, seorang tetamu wanita yang berparas cantik dan pandai silat, sudah kena dibekuk oleh mereka!” “Hoat-ong sekte Topi Putih toh bukannya kaizar, untuk apa ia mencari wanita-wanita cantik?” menanya Keng Thian dengan penuh keheranan. “Kami pun tak tahu,” sahut orang tua itu. “Ada orang berkata, mereka mau dipersembahkan kepada malaikat. Ah! Sungguh menakutkan! Baik juga, mereka hanya menangkap wanita. Orang lelaki sama sekali tidak diganggu. Oleh karena itu, kau boleh tak usah kuatir.” Keng Thian kerutkan alisnya, hatinya sangat bersangsi. “Hoat-ong sekte Topi Putih adalah pemimpin dari satu cabang agama,” katanya dalam hati. “Sungguh aku tak percaya, jika ia dikatakan melakukan perbuatan yang tidak patut. Selain itu, agama Lhama masih merupakan satu cabang dari agama Budha dan aku belum pernah mendengar kaum Lhama memerlukan Tong-lamlie (anak lelaki dan perempuan) untuk sembahyangi malaikat. Bagaimana sih, duduknya persoalan yang sebenarnya? Aku sebetulnya tak ingin pergi ke Naichi, tapi ada baiknya juga jika aku mampir disitu untuk menyelidiki.” Memikir begitu, sesudah berpisah dengan rombongan itu, Keng Thian segera menuju ke kota tersebut. Pada esok harinya, kira-kira tengah hari, Keng Thian tiba di kota Naichi. Naichi terletak di pinggir Tsaidam dan terhitung salah satu kota besar di wilayah Tjenghay, akan tetapi, dengan jumlah penduduk yang belum cukup sepuluh ribu jiwa, Naichi tentu saja tak dapat dibandingkan dengan kota-kota di wilayah Tionggoan. Dalam kota tersebut hanya terdapat beberapa jalan dan kecuali rumah-rumah makan serta penginapan, pintu rumah-rumah penduduk hampir semua terkunci rapat-rapat, sehingga member kesan yang agak menyedihkan. Keng Thian masuk ke sebuah rumah penginapan dan sesudah bersantap, ia memberi persen yang lumayan kepada sang pelayan yang jadi girang sekali dan mulutnya lantas saja terbuka. “Aku dengar Hoat-ong sedang memilih wanita cantik, apa benar?” tanya Keng Thian. “Benar,” jawab si pelayan. “Apa kau tak lihat rumah-rumah yang pada terkunci? Wanita muda tak berani keluar pintu. Tapi, kehebohan sudah lewat. Katanya, jumlah wanita yang diperlukan, sudah cukup. Mulai hari ini, sudah tak ada lagi peristiwa Lhama menangkap wanita muda.” “Kenapa mesti mengambil wanita-wanita cantik? Apa mau sembahyangi malaikat?” menanya pula Keng Thian. “Hoat-ong mengeluarkan perintah, siapa berani tanya-tanya?” jawabnya. “Hanya katanya, dari Tibet datang satu Lhama Besar dan Hoat-ong hendak menyambut ia dengan segala upacara. Dua hari lagi bakal ada satu perhimpuan besar. Aku tak tahu perhimpunan apa, tapi yang pasti bukan sembahyang malaikat.” Mendengar keterangan itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti. Harus diketahui, pada buntutnya ahala Beng, yaitu pada jaman pemerintahan Kaizar Tjong Tjeng. Lhama sekte Topi Putih telah diusir keluar dari Tibet oleh kaum Lhama sekte Topi Kuning, yang kemudian berkuasa pada jaman itu (Kaizar Kian Liong). Selama seratus tahun lebih, hubungan kedua sekte adalah seperti api dan air. Kenapa Lhama Besar sekte Topi Kuning datang ke Naichi dan Hoat-ong Topi Putih mau menyambut dengan upacara besar? “Baik juga kau adalah seorang lelaki,” kata lagi si pelayan. “Jika kau seorang wanita, bisa-bisa diculik tanpa diketahui oleh keluargamu. Dua hari berselang, seorang wanita yang datang dari tempat lain sudah kena ditawan oleh beberapa Lhama. Wanita itu paham ilmu silat.” Hati Keng Thian jadi bergoncang. “Bagaimana kau tahu ia pandai ilmu silat?” ia menanya. “Kejadiannya di rumah makan seberang,” jawab si pelayan. “Aku sendiri turut menyaksikan peristiwa itu! Wanita itu mengenakan pakaian orang Tibet. Ia bukan hanya pandai silat, tapi pandai juga ilmu siluman!” “Omong kosong!” kata Keng Thian. “Siang hari bolong, dimana ada ilmu siluman?” “Kau tak percaya?” kata si pelayan, sungguh-sungguh. “Aku lihat dengan mata sendiri. Bermula, yang turun tangan adalah empat Lhama. Sekali bergebrak saja, dua antaranya roboh. Kemudian ia ayun tangannya. Mendadak muncul hawa dingin yang sangat hebat dan dua Lhama yang lain gemetar sekujur badannya. Apa itu bukan ilmu siluman?” Begitu mendengar, Keng Thian terkesiap. Senjata rahasia itu sudah pasti Pengpok Sintan adanya. Ia tak percaya, Pengtjoan Thianlie kena ditangkap. Apa Yoe Peng? Sementara itu, si pelayan sudah berkata lagi: “Tapi, biar bagaimanapun juga, Yauwhoat (ilmu siluman) tak dapat mengalahkan Hoedhoat (ilmu Budha). Sesudah empat Lhama kecil itu dirobohkan, datang pula dua Lhama lainnya, sekali ini Lhama besar. Mereka tak takut ilmu siluman itu Mereka hanya bergidik sedikit dan berhasil membekuk wanita itu.” “Agaknya mungkin benar-benar Yoe Peng-lah yang kena ditangkap,” kata Keng Thian dalam hatinya. “Sudah pasti Pengtjoan Thianlie tidak akan berpeluk tangan saja. Tak nyana, aku dapat menemukan ia disini.” Tanpa membuang tempo, ia segera menanyakan dimana letaknya kuil Lhama. “Apa tuan mau sembahyang?” tanya si pelayan. “Kuil itu biasanya sangat ramai, tapi selama beberapa hari ini, sedikit sekali yang datang berkunjung. Sebagai tetamu dari tempat lain, aku rasa tak ada halangannya kalau kau ingin pasang hio. Kuil itu adalah gedung paling besar yang terdapat dalam kota ini. Memang juga, sesudah tiba disini, ada harganya untuk jalan-jalan di kuil itu.” Sesudah mendapat keterangan tentang letaknya kuil itu, Keng Thian mengasoh sebentar dan setelah makan tengah hari, ia segera pergi ke kuil itu. Jika dibandingkan dengan Keraton Potala, kuil itu tentu masih kalah jauh. Akan tetapi, menurut ukuran biasa, kuil itu sudah cukup besar dan indah. Puluhan gedung besar dan kecil berdiri berjajar di lereng gunung dan seluruh bangunan itu kelihatan angker dan mewah. Tiga gedung yang paling depan adalah tempat pemujaan yang penuh dengan patung-patung Budha. Ketika Keng Thian datang, jumlah tetamu yang mau pasang hio, boleh dikatakan banyak juga. Ia menempatkan dirinya di antara para tetamu itu, sambil memasang kuping. Benar saja, ia mendengar banyak sekali pembicaraan tentang ditangkapnya wanita-wanita muda. Akan tetapi, ia juga mendapat kenyataan, bahwa mereka itu sangat menghormat terhadap Hoat-ong. Salah seorang malah berkata begini: “Dalam bertindak begitu, Budha Hidup pasti mempunyai alasan kuat. Wanita-wanita itu dapat dikatakan besar rejekinya oleh karena mereka sudah mendapat perhatiannya Budha Hidup. Lebih baik kita jangan terlalu banyak bicara. Apa kau tak takut masuk ke neraka?” Sesudah memperhatikan kedudukan seluruh bangunan itu, Keng Thian segera balik ke rumahpenginapan. Malam itu, kira-kira jam tiga, ia segera menukar pakaian untuk jalan malam yang berwarna hitam dan memakai topeng, dan begitu beres berdandan, ia segera pergi ke kuil Lhama dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Berhubung dengan banyaknya gedung-gedung, Keng Thian tidak dapat lantas mengetahui dimana adanya gedung Hoat-ong. Ia loncat naik ke atas genteng sebuah gedung yang paling besar dan memasang kupingnya. Sayup-sayup, ia mendengar suara tabuh-tabuhan dan nyanyian di sebelah bawah. Sembari mengkerutkan alisnya, ia loncat turun. Tiba-tiba dari sebelah depan mendatangi dua orang Lhama. Buru-buru Keng Thian berlindung di belakang pohon. “Tak lama lagi kita akan mempunyai Wanita Suci,” kata salah seorang Lhama. “Dengarlah! Mereka membaca Keng (kitab suci) dan menyanyikan lagu-lagu Budha. Sungguh merdu! ‘Ku dengar, mereka juga akan belajar menari. Mulai dari sekarang, jangan kuatir kesepian lagi.” “Setan kecil!” membentak kawannya. “Jangan sekali-kali kau mengingat-ingat soal-soal keduniawian. Kau tahu, melihat saja sudah berdosa!” “Omong kosong!” jawab Lhama yang pertama. “Bukan aku, tapi kaulah yang hatinya sudah bergoncang. Aku hanya mendengarkan dari jauh, tapi kau sendiri sudah tiga kali lewat di depan gedungnya.” Dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah dapat merobohkan kedua Lhama itu. “Jangan bersuara!” ia berbisik. “Jawab apa yang aku tanya. Mampus kau, jika berani berteriak!” Kedua Lhama itu jadi kesima dan mengawasi dengan mulut ternganga. “Dari mana wanita Suci itu?” menanya Keng Thian. “Apa mereka adalah wanita-wanita yang telah ditangkap beberapa hari berselang?” Kedua Lhama itu manggut-manggutkan kepalanya. “Dimana mereka dikurung?” Keng Thian menanya pula. “Mereka di tempatkan di gedung Wanita Suci, yaitu gedung yang berdampingan dengan gedungnya Hoat-ong,” jawab Lhama yang satu. “Kau adalah murid-murid Budha,” berkata Keng Thian. “Untuk apa menangkap wanita-wanita muda?” “Itu semuanya adalah hokki (untung bagus) mereka,” jawabnya. “Hoat-ong ingin mengangkat mereka sebagai Wanita Suci rombongan pertama.” “Untuk apa Wanita Suci itu?” mendesak Keng Thian. Kedua Lhama itu mengawasi Keng Thian dengan paras muka heran, seolah-olah menganggappemuda itu sebagai seorang tolol. “Ah! Apakah kau belum mengetahui?” kata satu antaranya. “Yang lelaki menjadi Lhama, yang wanita menjadi Wanita Suci. Itu toh sudah disebutkan dalam kitab suci. Sungguh heran, kau masih merasa perlu untuk menanya lagi!” Keng Thian terkejut dan segera ingat, bahwa memang benar dalam agama Lhama ada beberapa cabang yang cara-caranya agak berlainan. Cabang (sekte) Topi Merah dan Topi Kuning sama sekali tidak menerima murid wanita, tapi menurut kata orang-orang tua, sekte Topi Putih biasa menerima penganut wanita. Oleh karena sudah seabad lamanya sekte Topi Putih berada diluar Tibet, maka peraturan tersebut jarang sekali dibicarakan orang, sehingga Keng Thian sendiri sampai menjadi lupa. Ia sekarang mengerti, bahwa “Wanita Suci,” atau Shengnu, berarti Lhama wanita. Hati si pemuda menjadi lega. “Apakah tidak ada yang mengganggu mereka?” ia menanya dengan suara lunak. Walaupun sedang dicekal keras dengan tangan yang seperti jepitan besi, begitu mendengar pertanyaan Keng Thian, kedua Lhama itu lantas saja menjadi gusar. “Kau sungguh berdosa!” kata satu antaranya. “Berani sungguh kau mengeluarkan perkataan begitu! Dalam istana Wanita Suci, lelaki mana juga tidak dipermisikan datang berkunjung. Hanya beberapa Ibu Suci yang diperbolehkan masuk kesitu untuk mengajar kitab suci dan lagu-lagu suci kepada mereka. Mereka baru boleh keluar jika ada sembahyang atau upacara besar.” “Di antara yang kena ditangkap oleh kau orang, bukankah terdapat seorang wanita yang pandai silat?” menanya Keng Thian, tanpa memperdulikan comelan orang. “Yah, aku dengar memang begitu,” jawab yang satu. “Akan tetapi, katanya ia tak sudi menjadi Wanita Suci. Ini berarti ia tidak mempunyai jodoh dengan agama kita dan Budha Hidup pun tak dapat memaksa padanya.” “Apa ia juga dikurung dalam istana Wanita Suci?” tanya Keng Thian. “Mana aku tahu?” jawabnya. “Bukankah ‘ku sudah kata, orang lelaki tak boleh datang kesitu?” Keng Thian percaya, bahwa Lhama itu bicara dengan sejujurnya, maka ia sungkan mendesak lagi. Berselang beberapa saat, ia menanya pula: “Tapi, dimana istananya Hoat-ong?” Dengan jerijinya, mereka menunjuk sebuah gedung besar yang terletak di tengah-tengah. “Tapi, siapakah kau ini?” tanya mereka. Sesudah mendapat keterangan yang diperlukan, Keng Thian tidak meladeni lagi dan segera menotok Ah-hiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) mereka. Dengan totokan itu, dalam tempo dua belas jam, kedua Lhama tersebut tidak akan dapat bergerak atau berbicara. Gedung yang di tengah-tengah itu terkurung tembok, dengan genteng kaca yang berwarna kuning emas. Sesudah menyembunyikan kedua Lhama itu di belakang pohon, Keng Thian segera melompati tembok dan masuk ke dalam pekarangan gedung. Muka gedung itu ternyata dijaga oleh dua Lhama baju putih. Ilmu mengentengkan badannya Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncaknya kesempurnaan, gerakannya cepat bagaikan kilat dan hinggapnya di atas bumi seperti juga jatuhnya selembar daun kering. Tapi, meskipun begitu, kedua Lhama itu toh masih dapat mengetahui kedatangan pemuda tersebut. Mereka agak kaget dan celingukan ke empat penjuru. Keng Thian terkejut dan kemudian mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah turut dalam perebutan guci emas dan sudah pernah bertempur dengan ia. Ia mengetahui, mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan jika kepergok, ia bakal jadi berabe. Dalam pekarangan itu terdapat sebuah pohon tua yang berusia ratusan tahun, Keng Thian mengenjot badannya dan seperti burung ia hinggap di sebuah cabang. Di ujung pohon terdapat beberapa ekor burung besar yang sedang mengasoh dan kedatangan Keng Thian, sudah membikin mereka mengebas-ngebaskan sayap. Keng Thian segera memetik sehelai daun dan mementil dengan menggunakan tenaga dalamnya. Bagaikan senjata rahasia, daun itu menyambar ke atas, sehingga burung-burung itu pada berterbangan sambil berbunyi keras. “Ah, benar saja burung-burung itu yang kurang ajar!” berkata kedua Lhama itu. Tanpa mensia-siakan waktu, selagi kedua Lhama itu berdiri membelakangi ia, dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah hinggap di atas genteng dan lalu bersembunyi di pojok payon rumah. Beberapa tombak dari tempat sembunyi Keng Thian terdapat sebuah kamar, dimana, teraling tirai jendela, kelihatan dua bayangan manusia. Seorang berbadan tinggi besar, yang sudah boleh dipastikan adalah Hoat-ong sendiri, duduk di tengah kamar, sedang orang yang satunya lagi berdiri didampingnya. Keng Thian segera pusatkan semangatnya untuk mendengarkan pembicaraan kedua orang itu. “Sesudah menunggu seratus tahun lebih, hari yang ditunggu akhirnya datang juga,” kata Hoatong. “Utusan Panchen telah mengundang kita pulang ke Tibet, dengan mengatakan, bahwa mulai dari sekarang, kita jangan bertengkar lagi. Anan! Bagaimana pikiranmu?” “Itulah memang kita semua harap-harapkan,” sahut orang yang dipanggil Anan. “Akan tetapi…” “Tapi apa?” menanya Hoat-ong. “Apa pulangnya kita tidak cukup mentereng?” “Bukan, bukan itu yang aku maksudkan,” jawab Anan. “Tapi kedudukan kita disini adalah kedudukan yang paling atas…” “Dan kalau pulang, kita jadi berada di bawah orang lain,” Hoat-ong menyambung. “Begitu yang kau maksudkan? Aku sekarang memberitahukan kau, bahwa utusan itu sudah menyampaikan pesan kedua Budha Hidup, bahwa mereka telah menyediakan tiga tempat untuk kita mendirikan kuil. Aku anggap, tawaran itu cukup baik. Persoalan antara kita sama kita, memang juga harus dipecahkan dengan saling mengalah. Sesudah bergulat seabad lebih, aku sekarang sungkan mengangkat senjata lagi.” Mendengar itu, diam-diam Keng Thian memuji Raja agama itu, yang ternyata mempunyai pandangan yang luas. “Aku sendiri tak dapat berlalu dari sini,” kata pula Hoat-ong. “Di kemudian hari, tiga tempat itu di Tibet harus diurus olehmu.” Keng Thian melihat Anan merangkap kedua tangannya sambil membungkuk untuk menghaturkan terima kasih. Hoat-ong menghela napas panjang dan kemudian berkata pula: “Ah! Dengan dapat pulang ke Tibet, terkabullah sudah angan-angan Tjouwsoe. Dan dengan mempunyai tiga tempat itu, hatiku sudah merasa puas. Eh, bagaimana dengan rombongan Wanita Suci?” “Kecuali beberapa orang, yang lain semuanya rela menurut perintah Budha Hidup,” jawab Anan. “Tak boleh kita memaksa mereka,” berkata Hoat-ong dengan suara halus. “Pada seratus tahun yang lalu, yaitu pada waktu Tjouwsoe memegang tampuk pimpinan agama di Tibet, para wanita pada berebut untuk menjadi Wanita Suci. Akan tetapi, keadaan disini, yang penduduknya sebagian besar terdiri dari orang Han, berlainan dengan keadaan di Tibet. Mereka tak mengetahui, kemuliaan seorang Wanita Suci sehingga tidaklah heran mereka jadi ketakutan tak keruan. Itulah justru sebabnya, kenapa selama satu abad kami tidak memilih Wanita Suci. Akan tetapi, oleh karena sekarang kita harus membuat persiapan untuk pulang ke Tibet, maka tak dapat tidak, kita harus kembali pada kebiasaan lama. Dalam upacara pembukaan kuil baru, kita mesti mempunyai rombongan Wanita Suci untuk menjalankan upacara dengan nyanyian dan tarian.” “Oh! Kiranya begitu?” berkata Keng Thian dalam hatinya. “Hampir-hampir saja aku menganggap mereka sebagai paderi cabul!” “Benar,” kata Anan. “Mereka ketakutan tak keruan. Sungguh tak bagus!” “Kita tak boleh terlalu salahkan mereka,” berkata Hoat-ong.”Tak banyak orang Han yang rela mengirim puteranya untuk menjadi Lhama. Apalagi puterinya! Mereka yang menentang kebanyakan adalah orang-orang Han. Bukankah begitu?” Anan manggut-manggutkan kepalanya. Sebelum ia keburu menjawab, Hoat-ong sudah berkata pula: “Oleh karena terlalu repot, kita tidak memberi penjelasan terlebih dulu kepada mereka. Ini sebenarnya adalah kurang betul. Begini sajalah: Besok kita mengadakan sembahyang besar dan pergilah kau mengundang para pemuka dan orang-orang tua di seluruh kota ini, supaya kita dapat memberi keterangan kepada mereka. Gadis-gadis yang sungkan menjadi Wanita Suci boleh diambil pulang oleh orang tuanya.” “Di antara yang menolak terdapat seorang gadis, yang bukan orang Han,” melaporkan Anan. “Dilihat dari pakaiannya, ia kelihatannya datang dari Tibet barat. Ketika mau ditangkap, ia sudah hajar beberapa orang kita. Bagaimana? Apa ia pun dilepaskan saja?” Mencaci atau memukul seorang Lhama adalah satu kedosaan besar di daerah itu, sehingga Hoat-ong jadi bersangsi setelah mendengar laporan Anan. Berselang beberapa saat, barulah ia berkata: “Lihat saja nanti. Tapi janganlah membikin susah padanya.” “Aku dengar ia tak mau makan,” Anan berkata lagi. “Oh, begitu?” Hoat-ong menegaskan. “Biarlah besok aku perintah seorang Ibu Suci pergi membujuk ia.” Berkata sampai disitu, Hoat-ong mendadak bangun seraya berkata: “Tolong tuangkan secangkir arak.” Di lain saat, dengan jerijinya menjepit cangkir, ia menghampiri jendela yang dibukanya secara tiba-tiba. Dengan sekali mementil, cangkir itu melesat ke atas dan menyambar ke arah Tong Keng Thian! Bukan main kagetnya Keng Thian. Melesatnya cangkir tersebut disertai dengan suara mengaung dan apa yang mengherankan, cangkir tersebut tepat menyambar ke arah jalan darah Hiankie hiat, di dadanya Keng Thian. Pada sebelum sang cangkir mengenakan dada, hidung Keng Thian mendadak mengendus bau wangi arak, dan berbareng dengan itu, bagaikan air mancur, arak yang berada dalam cangkir, menyambar padanya! Ternyata, dengan tenaga dalam yang luar biasa dan kepandaian menggunakan senjata rahasia yang sudah mencapai puncaknya kesempurnaan, Hoat-ong sudah menyerang Keng Thian bukan saja dengan cangkir, tapi juga dengan araknya. Bagaikan kilat, Keng Thian mementil dan berkelit. Dengan terdengarnya suara “tring!” cangkir itu hancur, tapi, biarpun gerakannya cukup cepat, tak urung bajunya kecipratan juga beberapa tetes arak dan menjadi berlubang! “Manusia dari mana yang mempunyai nyali begitu besar?” membentak Hoat-ong. Berbareng dengan bentakannya bagaikan segundukan awan, badan Hoat-ong yang berjubah merah sudah melesat ke atas. Ketika itu, kedua kaki Keng Thian masih menyantel di payon sedang sebagian badannya masih menggelantung di luar genteng. Dengan kedua tangannya, Hoat-ong mendorong dan lantas saja ia terkejut, oleh karena badan Keng Thian tidak bergeming. Dengan tangan kirinya tetap menahan kedua tangannya Keng Thian, tiba-tiba ia tarik pulang tangan kanannya yang lalu digunakan untuk mengorek kedua mata Keng Thian. Berbareng dengan itu, ia mengempos semangatnya dan menambahkan tenaga pada tangan kirinya. Di lain pihak, Keng Thian yang sedang bertahan dengan kedua tangannya mendadak rasakan tekanan musuh di sebelah kiri menghilang dan tekanan di sebelah kanan bertambah dua kali lipat. Pada detik itu juga badannya bergoyang-goyang. Lebih celaka lagi, dua jeriji Hoat-ong dengan mendadak menyambar matanya! Selagi Keng Thian hendak menurunkan tangan kejam untuk menolong diri, sekonyony-konyong ia ingat, bahwa orang berilmu itu adalah pemimpin dari satu cabang agama, sehingga jika ia sampai celaka, akibatnya bakal jadi besar sekali. Mengingat hal itu, ia lantas saja mengurungkan niatannya. Buru-buru ia tarik pulang tenaga dalamnya dan menjejek kedua kakinya, sehingga badannya melesat ke atas, akan kemudian melayang turun ke bawah. Hoat-ong tertawa dingin, “Hm!” katanya didalam hati: “Meskipun dengan ilmu mengentengkan badan, kau dapat meloloskan diri dari serangan jeriji, tapi punggungmu dijual kepadaku!” Dengan gerakan Tjhioehoei pipee (Tangan merabu tali pipee), ia gasak punggung Keng Thian. Dengan terdengarnya suara “buk!” tubuh Keng Thian terpental keluar tembok, tapi, pada saat yang sama, dengan satu teriakan keras, badan Hoat-ong pun roboh di atas genteng. Ternyata, pada waktu punggungnya dihajar, Keng Thian membalik sebelah tangannya dan mengebas dengan ilmu Hoedhiat (Mengebas jalanan darah), semacam ilmu istimewa dari Thiansan pay. Dengan hanya satu kebasan itu, lima jerijinya sudah menotok lima jalan darah Hoat-ong! Buru-buru Hoat-ong menjalankan pernapasannya tiga kali, lima jalan darahnya sudah kembali terbuka semua, tapi kaki tangannya masih dirasakan sangat lemas. Herannya Hoat-ong tidak kepalang. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di sebelah bawahnya, dan jika mau, pemuda itu dapat memunahkan serangannya dengan balas menyerang. Sungguh ia tak mengerti, kenapa Keng Thian seperti sengaja menempuh bahaya dan memasang punggungnya?
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |