Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman meriam, dan ketika Keng Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara yang kelihatannya angker sekali, sedang masuk ke dalam selat gunung.
“Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba,” kata Liong Leng Kiauw. “Siapa utusan itu?” tanya Keng Thian. Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan. “Utusan itu adalah ayahnya,” kata Leng Kiauw. Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat pertolongan Keng Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya. “Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali,” kata Keng Thian sembari tertawa. “Dengan adanya kau dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan dapat diantar sampai di Lhasa dengan selamat. Aku jadi tak usah buat pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja.” Ia manggutkan kepalanya kepada Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong jadi merasa lebih tidak senang, tapi sebab harus buru-buru menyambut utusan, ia jadi tidak mempunyai tempo buat perhatikan Tong Keng Thian lagi. Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng Beng dan lain-lain orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa sangat mendongkol dan mereka ramai-ramai sesalkan pemuda itu. Keng Thian lalu memberi penjelasan berulang-ulang kenapa mereka sekarang tidak boleh rampas guci emas itu dan kemudian lalu keluarkan yowan pemberiannya Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena Pengpok Sintan. Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah mendengar penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja mereka berkata sembari tertawa: “Tong Sieheng benar berpemandangan sangat jauh yang tidak dipunyai oleh orang-orang seperti kami. Dalam urusan di ini hari, kamilah yang bertindak salah.” Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari membungkuk: “Buat luka yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini aku menghaturkan maaf.” “Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?” kata Boe-sie Hengtee sembari tertawa. “Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng? Sehingga Tong-heng sudah haturkan maaf guna ianya?” Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah. “Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu adalah sangat baik, tapi tangannya terlalu kejam,” kata Boe-sie Hengtee. “Jika ada kesempatan, kami ingin minta pengajaran lagi dari ianya. Kita semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak boleh membantu orang luar!” “Ah, janganlah kau main-main, saudaraku,” berkata Keng Thian, yang merasa geli dan berkata dalam hatinya: “Inilah yang dinamakan sang air mau rendam kelenteng Raja Naga. Kau tidak tahu, semuanya orang sendiri. Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng dan kalau dihitung-hitung tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua.” Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat, seorang diri Keng Thian mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya Liong Leng Kiauw yang membikin hatinya jadi penuh dengan kesangsian. Ia buka kotak batu pualam itu yang didalamnya ternyata terisi sepotong batu giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru hijau. Di tengah-tengah giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf kuno yang berbunyi: “Sioe Beng Ie Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima firman dari Langit, rejeki negara kekal abadi). Membaca itu, Keng Thian jadi seperti orang terkesima. Harganya giok itu yang sukar ditaksir berapa besarnya tidaklah cukup buat membikin ia menjadi heran, akan tetapi, huruf-huruf itulah yang keja Keng Thian jadi bukan main terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah miliknya kaizar. “Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?” tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang Eng) yang sering tuturkan sepak terjang ayahnya waktu masih muda. Ibunya pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah pernah dihadiahkan sepotong batu giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok hadiah Konghie? Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak resmi) Kaizar Konghie. Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton buat menemui ibunya, Konghie pernah hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh karena tidak ingin sang putera mengetahui urusan itu yang cuma dapat menambahkan kejengkelan, maka saban-saban ceritakan halnya giok tersebut, Tong Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa lantaran secara kebetulan sudah menolong Konghie dalam peristiwa perebutan tahta antara putera-putera kaizar, maka kaizar tersebut telah hadiahkan giok itu kepadanya. Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak pernah disebut-sebut. Sebab-sebab hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum pernah dengar dari kedua orang tuanya. Maka itulah, ia jadi merasa sangat heran dan terutama merasa sangat tidak mengerti, kenapa barang itu bisa jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw. Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring-uringan, tapi lekas juga ia menjadi sadar dan berkata seorang diri sembari tertawa: “Ah, kenapa juga aku jadi begitu tolol? Dengan menanyakan ayah dan ibu, segala apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan pikiran?” Ia lantas masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung. Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari antara sela-sela puncak gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai es, yang meskipun tidak seindah sungai es pegunungan Nyenchen Tanghla, toh sudah memberi suatu pemandangan yang menggetarkan jiwanya Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu putari lereng gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti, keindahan pemandangan alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang menanggung rindu. Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan yang sukar dilukiskan dan tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair: 冰河映月嫦娥下,天女飞花骚客来。我一定要把月里端娥,请回尘世 Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari menyebar bunga, sang penyair datang. Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke atas bumi.” Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim yang dibawa angin masuk ke dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara tabuh-tabuhan yang merdu itu, lapat-lapat terdengar suara nyanyian Yoe Peng: 云母屏风烛影深 Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. 长河渐落晓星沉 Bintang pagi kelak-kelik akan segera mengundurkan diri, 嫦娥应悔偷灵药 Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab, 碧海青天夜夜心 Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri. Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya Lie Sian Djin, satu penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es, Keng Thian pernah petik baris terakhir dari syair tersebut buat menggubah toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar sang majikan mementil khim, sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian jadi tertawa dan berkata dalam hatinya: “Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun ke dunia.” Ia pentang langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara khim itu. Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di sebelah depannya, pada jarak belasan tombak, dan berbareng dengan itu, dua bayangan manusia yang pakai pakaian hijau kelihatan berkelebat dengan gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi, yaitu Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu tersebut, mereka dapat berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain saat, kedua orang itu sudah menghilang di antara pepohonan. Keng Thian terkejut, sebab ia dapat kenyataan, bahwa ilmu entengi badannya kedua orang itu sedikitnya tidak berada di sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam mereka berada di gunung belukar itu? Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang. Jauh-jauh ia lihat kedua orang itu sedang mengumpat di antara alang-alang dan saling berbisik. Keng Thian menghampiri lebih dekat dan tahan napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh mereka. “Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan buat rampas guci emas,” demikian dengar suaranya seorang lelaki tua. “Tjiauw Tjoen Loei dan kawan-kawannya hampir-hampir dapat malu besar, kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang keluarkan kepandaiannya,sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat begitu, Liong Loosam benar-benar tidak boleh dipandang rendah.” Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya, adalah disebut-sebutnya nama Liong Leng Kiauw. “Yah, memang juga mencurigakan,” kata seorang perempuan. “Kenapa Liong Loosam yang begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai Tjamtjan di bawah perintahnya Hok Kong An? Memang mencurigakan. Tak heran jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat selidiki asal-usulnya. Kiranya Hongsiang pun sudah merasa curiga.” Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki tangannya keraton Tjeng yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan pengawal istana. Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim dan kali ini, lagu yang dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang berbunyi seperti berikut: 缺月挂疏桐 Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan. 漏洞人初静 Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian. 时见幽人独往来 Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian. 缥缈孤鸿影 Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan. 惊直却回头 Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang. 有恨无人省 Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya. 拣尽寒枝不肯栖, Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang. 寂寞沙洲冷 Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya. Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan kesedihan, sehingga Keng Thian jadi terpesona. “Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga dengari orang main khim,” kata si wanita. “Apakah maksudmu yang sebenarnya?” “Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan,” sahut yang lelaki. “Mungkin sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang sedang mementil khim. Sudah ketelanjur lewat disini, kita tidak boleh tidak menyelidiki.” “Hm!” kata si wanita dengan suara di hidung. “Kalau yang pentil khim segala lelaki bau, kau tentu tidak kesudian naik kesini!” Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah suami isteri, sudah membikin Keng Thian jadi terkejut. “Di daerah perbatasan sebelah barat, suami isteri kenamaan yang berusia seperti mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang Lin) dan ayah ibuku, Cuma ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay,” kata ia dalam hatinya. “Apakah mereka itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe yang sudah kena ditarik oleh bangsa Boan?” “Ah, kau orang apa!” si lelaki membentak. “Wanita yang sedang pentil khim itu, kalau bukannya Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang yang mempunyai asal-usul besar. Sesudah menerima firmannya Hongsiang, kita harus bertindak secara hati-hati sekali. Kebetulan lewat disini, tidak dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul.” “Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan bukannya wanita itu,” sahut si wanita dengan suara berdongkol. “Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu tak duga diam-diam ada orang yang incar padanya,” kata yang lelaki dengan suara membujuk. “Begitu tiba di Lhasa, kita tentu akan berhasil. Apalagi Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah, kau tak usah kuatir. Aku rasa perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat beberapa keterangan penting tentang Liong Loosam dari mulutnya.” Sehabis berkata begitu, ia lantas loncat keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh si wanita. Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis mainkan dua lagu, Keng Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut melihat munculnya sepasang lelaki dan perempuan yang beroman jelek sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari perlihatkan giginya yang tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali. Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si wanita naik darahnya dan lantas menanya dengan suara kaku: “Hei! Apakah kau yang hari ini membantu Liong Loosam melindungi guci emas?” Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: “Anjing! Berani betul kau orang curi dengar aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun dari sini!” Berbareng dengan bentakan itu, ia ayun tangannya dan dua butir Pengpok Sintan lantas menyambar. Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah suami isteri In Leng Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka tentu tidak dapat menerima hinaan. Tapi belum sempat turun tangan, mereka sudah rasakan menyambarnya hawa yang sangat dingin, sehingga mereka jadi terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan darahnya, tapi meskipun begitu, mereka toh masih bergidik juga. Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie merasa agak kaget dan segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan dengan gunakan tenaga dalam yang lebih besar. In Leng Tjoe kelit dan Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya, yang lebih sebet, sudah buka ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan yang satunya lagi. Dengan sekali kedut Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan pinggang, yang segera digunakan sebagai pian lemas (djoanpian) buat menghantam Pengtjoan Thianlie. Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang, bagaikan seekor naga, papaki ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat, kedua ikatan pinggang sudah menyambar-nyambar di tengah udara dengan kecepatan kilat, sehingga memberi pemandangan yang indah sekali. “Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?” membentak In Leng Tjoe. “Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding dari sini,” sahut si nona. “Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau jajal-jajal dahulu kepandaianmu,” kata In Leng Tjoe sembari tertawa tawar. Ia lantas cabut sepasang Poankoan pit (senjata yang merupakan pit) dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan darah di bebokongnya Pengtjoan Thianlie. Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat, sudah membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki yang mukanya jelek itu adalah ahli menotok jalanan darah. Lantaran begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan sembari putar badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua senjata yang lantas diacungkan buat papaki Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari emas). Dengan latihan puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai tenaga ribuan kati dan In Leng Tjoe menduga, bahwa dengan sekali bentur saja, ia akan dapat patahkan pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tapi si jelita yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos pedangnya dan berbareng dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali bergidik lantaran sambaran hawa dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie kirim tiga serangan, sehingga dari menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus membela diri. Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Patkwa, ia terpaksa mundur, tapi Poankoan pit-nya sudah tutup rapat seluruh badannya dan ujung senjata itu terus bayangi jalanan darah musuhnya yang dapat ditotok begitu lekas ada kesempatan. Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio, tidak berada di sebelah bawah suaminya. Melihat liehaynya sang lawan, buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya yang lantas jadi lempang bagaikan pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat (Ilmu silat pian naga terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek) dari Bittjong pay di Tibet. Dengan “kelemasan,” ia dapat tindih “kekerasan” dan dengan ilmu itu yang mempunyai delapan rupa jalan, ikatan pinggangnya bukan saja dapat mainkan peranan beberapa macam senjata, tapi juga dapat digunakan buat merebut senjata musuh. Dibanding dengan djoanpian biasa, ikatan pinggang tersebut lebih liehay ratusan kali lipat. Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu, San Tjeng Nio segera kedut senjatanya, yang seperti seekor ular terbang, lantas menyambar ke arah matanya musuh. Dalam keadaan terdesak, Pengtjoan Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam buat menyabet dua kali – ke kanan dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju berhamburan ke enam penjuru), ke kiri dengan gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku jadi es) —— dan dua serangan itu berubah jadi delapan rupa serangan yang menyambar-nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani terlalu mendesak, buru-buru ia tarik pulang ikatan pinggangnya buat lindungi diri. Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak dengan kedua senjatanya yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya, sehingga Pengtjoan Thianlie jadi tidak mempunyai kesempatan lagi buat lakukan serangan membalas. Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus. Kedua belah pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe suami isteri adalah jagoan kelas berat yang sudah dapat nama lama sekali di daerah perbatasan barat, maka dapat dimengerti, jika mereka merasa kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak dapat dijatuhkan biarpun dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang kagetnya sebab ilmu pedangnya yang begitu liehay masih juga belum dapat robohkan dua lawanan itu. Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi jalannya pertempuran dengan mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama serangan In Leng Tjoe suami isteri jadi makin hebat. Sesuatu sambaran Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang ikatan pinggangnya San Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong. Demikianlah, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi, berkat ilmu silatnya yang luar biasa, setiap kali keteter, muncullah pukulan-pukulannya yang aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami isteri, sehingga, walaupun sudah berada di atas angin, mereka selalu mesti berlaku sangat hati-hati buat menjaga serangan-serangan yang tidak diduga-duga. Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-raba ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. “Ah,” ia menghela napas. “Tadinya aku kira Thiansan Kiamhoat adalah ilmu pedang yang tiada keduanya dalam dunia. Tapi sekarang aku dapat kenyataan, banyak pukulannya Pengtjoan Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu pedang Thiansan. Benar-benar pelajaran tidak ada batasnya.” Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie memang sedikit lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-perobahannya yang luar biasa. Akan tetapi, mengenai luasnya, dalamnya dan teguhnya, kiamhoat-nya si jelita masih belum dapat menyusul Thiansan Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi, seorang ahli Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan penjagaannya yang sangat rapat. Di lain pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan, tapi masih kurang sempurna dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang lebih kuat. Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan si pendeta berkelana dan Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam seratus jurus, ia tentu roboh dalam tangannya Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya suami isteri itu jadi terlebih unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar biasa dan ditambah lagi sama Pengpok Hankong kiam yang istimewa, maka buat sementara mereka masih belum dapat menarik keuntungan dari keunggulan itu. Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah bertempur kurang lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa lelah dan napasnya jadi sedikit sengal-sengal. “Kenapa si pemuda baju putih belum juga datang?” ia tanya dalam hatinya yang mulai jadi jengkel, sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya. In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan dalam pertempuran. Begitu lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin hebat. Sepasang Poankoan pit In Leng Tjoe terus tindih pedangnya si nona buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh, sedang ikatan pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang agak lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap acuh tak acuh, sekarang mulai kuatirkan keselamatan majikannya. Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu mengubar bulan), kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan Thianlie, dan hampir berbareng, ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat ke garisan dalam dari pembelaan si nona. Saat itu, pedangnya Pengtjoan Thianlie yang sedang digunakan di garisan luar buat tangkis Poankoan pit, sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan sambarannya ikatan pinggang. Yoe Peng terkesiap dan keluarkan satu teriakan: “Celaka!” Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-benar istimewa. Dengan sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur Poankoan pit musuh, dari Pengpok Hankong kiam seperti juga terbang keluar ratusan “kembang pedang” yang sinarnya bergemilapan dan menyilaukan mata. Satu batang pedang itu seakan-akan berobah jadi ratusan batang pedang. Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer), yaitu pukulan istimewa dari Pengtjoan Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam bahaya. Ketika itu, jika In Leng Tjoe teruskan juga serangannya, batok kepalanya si jelita memang bisa menjadi toblos, tapi mereka pun pasti bakal jadi korbannya Pengpok Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani berlaku mati-matian lantaran, pertama, mereka tidak kenal ilmu pukulannya Pengtjoan Thianlie, ditambah sama silaunya sang mata lantaran sinar Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat tegas badannya musuh, dan kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan, mereka selalu taat pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah kekalahan. Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup rapat dirinya. Pada saat itulah, dari belakang batu besar keluar satu teriakan: “Bagus!” yang keluar dari mulutnya Tong Keng Thian. In Leng Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang senjatanya, In Leng Tjoe membentak dengan suara keras: “Lengsan pay In Leng Tjoe ada disini. Sahabat, keluarlah buat menemui aku.” In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali di daerah perbatasan sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia berharap, orang yang sembunyi akan merasa jeri. Tapi tak dinyana, baru ia tutup mulutnya, dua sinar terang menyambar dan kedua senjatanya kena terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya jadi terbuka, dan berbareng dengan itu, Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk bagaikan kilat. In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin menyambar ke uluhatinya, sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi. “Binasalah aku!” ia mengeluh. Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang berkelebat di atasan kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu silatnya, pada saat itulah, dengan gerakan Yauwtjoe hoansin (Elang balik badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya melesat beberapa tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul ketika ikatan pinggangnya San Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong kiam. Barusan, melihat suaminya berada dalam bahaya, San Tjeng Nio kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan sebatang pedang, ikatan pinggangnya sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang lantas papaki dengan Hankong kiam. Oleh karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng Tjoe jadi dapat loloskan dirinya. Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San Tjeng Nio turut loncat turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas dan lihat Pengtjoan Thianlie mau mengubar, tapi dicegah oleh seorang pemuda baju putih. In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua senjatanya dan begitu lihat, ia terkesiap. “Hei!” ia berseru. “Thiansan Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan kau?” “Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua Lootjianpwee,” sahut Keng Thian. “Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan kekurang ajaranku.” In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga, mereka belum mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw Lan, apalagi ilmu silatnya si pemuda sendiri sudah cukup tinggi dan dapat pukul miring kedua Poankoan pit dengan Thiansan Sinbong. Di sebelahnya itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie yang terus mengawasi dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In Leng Tjoe. Tapi buat tutup perasaan malunya, ia membentak dengan suara keras: “Baiklah! Aku sungkan berurusan sama segala bocah. Aku akan bikin perhitungan dengan ayahmu sendiri!” Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: “Penjahat gundul! Kau masih berani banyak bacot? Apa kau mau rasakan lagi pedangku?” Mendengar perkataan “penjahat gundul,” In Leng Tjoe terkejut dan lantas raba kepalanya. Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan, rambutnya sudah kelimis dan tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia tarik tangan isterinya dan menyingkir secepat bisa. “Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun senjatanya sudah diputuskan dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum merasa puas,” berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara mendongkol. “Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat daripada mereka,” kata Keng Thian sembari tertawa. “Mana boleh kau selalu turuti napsu amarahmu.” Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa: “Apakah kau mementil khim hanya untuk didengar olehku? Sungguh sayang aku bukannya Pek Gee (Djie Pek Gee, seorang ahli khim dari jaman Liatkok), sehingga tidak mengetahui dimana adanya hati tetabuhan tersebut.” Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. “Cis” katanya. “Siapa yang pentil khim untuk kau? Eh, apa kau mau adu pedang lagi?” “Tak usah,” sahut Keng Thian. “Barusan aku sudah saksikan kepandaianmu yang sejati dan benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang mengaku kalah.” “Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain,” kata lagi si nona. “Dalam hati, kau tentu kata: “Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie cuma sebegitu saja? Mana bisa menangkan Thiansan Kiamhoat?” Keng Thian jadi tertawa keras. “Ah!” katanya. “Kalau begitu kau mempunyai ilmu membaca hati orang! Tapi, kali ini kau membaca salah. Barusan hatiku kata: “Kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie benar-benar liehay. Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum dapat menangkan dia.” Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru sedang pikir apa yang dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya si pemuda, ia merasa, bahwa meskipun tak usah kalah, akan tetapi buat bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling sedikitnya ia harus berlatih antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang, sebab apa yang lagi dipikir sudah dikatakan oleh Keng Thian. “Kenapa tarik napas?” tanya Keng Thian. Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata: “Kalau begitu, kau adalah puteranya Thiansan Tong Tayhiap.” “Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing dan kita sebenarnya bukan orang luar,” kata Keng Thian. “Ayahku mempunyai matan buat satu tempo kumpulkan semua turunan dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud, aku akan ajak kau, supaya dapat berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu.” Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah. “Ayahku sudah singkirkan diri ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia sudah tidak anggap dirinya sebagai orang Thiansan pay,” katanya. “Cara bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?” Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh keluarkan perkataan begitu. Tapi ia lihat Pengtjoan Thianlie bicara dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya apa-apa lagi. Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa Seng, dahulu justru pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan perasaan mendongkol, Koei Tayhiap pergi ke lain negara dengan tujuan mempelajari ilmu pedang daerah sebelah barat guna digabung dengan ilmu pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa ilmu pedang yang lebih unggul dari Thiansan Kiamhoat. Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-akan ia sedang berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan suara agak terharu: “Berjodoh, manusia berkumpul. Jodoh habis, berpisah kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas Puncak Es dan aku telah membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan demikian, kita sudah rampungkan sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang lagi dan biarlah kita berpisahan sebagai sahabat.” Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha, sehingga sebagai seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena pengaruh agama tersebut. Keng Thian tercengang mendengar kata-kata itu dan buat beberapa saat, ia tak dapat membuka suara. “Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam dunia pergaulan,” berkata Keng Thian sembari mesem. “Apakah jodoh dalam dunia dapat berakhir dengan begitu saja? Meskipun keraton es ada cukup indah, akan tetapi dingin dan sunyi. Andaikata benar-benar di belakang hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau jadi seperti bidadari dari rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan saja masih kadang-kadang merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan blau dan langit biru! Apakah, selainnya keratin es, dalam dunia sudah tidak ada lain tempat yang cocok bagi dirimu?” Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun naik terlebih cepat. Ia angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang dengan pakaiannya yang serba putih dan parasnya yang cakap sekali, kelihatan angker dan agung di bawahnya sinar rembulan yang laksana perak. Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia dengan sorot matanya yang bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin kusut. Hatinya merasa berat, akan tetapi, ia sendiri tidak mengetahui, apa yang dibuat berat. Apakah keindahan dunia? Apakah pemuda itu dengan kata-katanya dan cara-caranya yang sangat menarik hati? Tapi, bukankah pemuda itu adalah seorang, dengan siapa ia harus ukur tenaga supaya tidak sia-siakan capai lelah ayahnya sendiri? Mengingat begitu, si nona rasakan kepalanya pusing. “Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?” tanya Keng Thian mendadakan. “Yang satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di Ouwpak. Puluhan tahun mereka pikiri ayahmu dan pesan banyak sahabatnya buat bantu mencari. Gurunya Thian Oe, yaitu Thiekoay sian, yang juga pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke atas Puncak Es tanpa perdulikan bahaya, sehingga akhirnya ia mesti membuang jiwa di dalam keraton es. Apakah sesudah mengetahui itu, hatimu sedikitpun tidak jadi tergerak?” “Apa? Thiekoay sian mati di keraton es?” tanya si nona dengan suara terkejut. “Benar,” menyeletuk Yoe Peng. “Guna melindungi keraton es, Thiekoay sian telah binasa dalam tangannya si pendeta jubah merah.” Si dayang lalu tuturkan segala apa yang ia dapat dengar dari Thian Oe, mengenai kebinasaannya Thiekoay sian. Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia ingat budinya Thiekoay sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat mendaki Puncak Es, guna kepentingan lain orang, sehingga akhirnya sang suami harus membuang jiwa secara kecewa sekali. “Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan yang begitu pintar, mereka tentulah juga akan merasa girang sekali,” Keng Thian teruskan bujukannya. “Apa benar-benar kau tidak kepengen menemui pamili di Tiongkok?” “Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?” kata Pengtjoan Thianlie akhir-akhir. Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang sekali. “Itulah, jodoh kita memang belum habis dan kita tidak dapat lantas berpisahan,” katanya. “Biarlah aku antar kau pergi cari kedua pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat buat cari Moh Tjoan Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat menemui Tjio Kong Seng Tayhiap.” Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri bengong buat beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan: “Baiklah. Kapan kita berangkat?” “Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau harus kawani aku pergi cari seorang lain,” sahut Keng Thian. “Siapa? Apa jauh?” tanya si nona. “Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw,” menerangkan Keng Thian “Sekarang kita pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta tempo terlalu lama.” “Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan,” kata Keng Thian. “Apa kau tahu, maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah buat menyusahkan padanya?” Sesudah itu, ia lalu tuturkan segala apa yang ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri tersebut. “Ilmu silatnya suami isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal istana,” Keng Thian sambung penuturannya. “Tapi sebaliknya dari perintah mereka lindungi guci emas, kaizar Boan suruh mereka pergi menyelidiki asal-usulnya Liong Loosam. Dari sini dapat dilihat, bahwa di matanya kaizar, pentingnya penyelidikan itu tidak kalah dari pentingnya guci emas. Itulah sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba pecahkan teka-teki itu.” “Ah, kau memang sangat usilan!” kata si nona sembari kerutkan alisnya. “Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku,” kata Keng Thian sembari tertawa. “Kenapa?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi,” sahut Keng Thian. “Jika dikemudian hari, kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau jadi bisa buka mulut tanpa sungkan-sungkan lagi!” “Cis” membentak si nona sembari tertawa. “Kau benar jail. Baiklah, aku luluskan permintaanmu.” Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada malaman Tahun Baru. Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam suasana pesta. Jalanan-jalanan penuh dengan rakyat yang keluar buat saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu terang-terang dan di segala tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-hentinya. Pusatnya keramaian terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang dipajang indah sekali dengan lampu-lampu yang beraneka warna. Gelombang manusia semuanya mengalir ke kelenteng tersebut yang sudah jadi penuh sesak dengan rakyat yang bersuka ria — ada yang sembahyang, ada yang menari-nari di tengah jalan atau menyanyi sekeras suara. “Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali,” kata Keng Thian dalam hatinya. “Dengan mengirim guci emas, pemerintahan keagamaan di Tibet jadi berada di bawah pimpinan langsung dari pemerintah pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet tak dapat dipisahkan lagi. Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang.” Dalam kepuasannya, si pemuda merasa sedikit menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga tidak dapat saksikan upacara penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa pada siang harinya. Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga lalu menuju ke lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah lewati lapangan tersebut, mereka tiba pada satu daerah pegunungan di sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus mendaki satu tanjakan, di atas mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan terkurung tembok, yaitu rumahnya Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng tunggu di lapangan di kaki gunung, bersama Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu entengi badan, Keng Thian segera masuk ke dalam pekarangan dengan loncati tembok. Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi nonton keramaian. Waktu tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping mereka mendadak dengar suara tindakan orang yang jalan mundar-mandir di dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat ke atas payon rumah dan sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke dalam. Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan, sehingga walaupun Liong Leng Kiauw berilmu tinggi, ia masih belum mengetahui kedatangannya kedua tetamu tersebut. Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak hentinya, dengan paras muka yang sangat guram.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |