Keng Thian telah gagal dalam usahanya mencari Kim Sie Ie. Ia telah pergi ke segala peloksok Gobie san, tapi yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangnya. Ia hanya berhasil menemukan beberapa potong kain, yaitu sobekan baju yang dikenakan Kim Sie Ie hari itu. Beberapa tetes darah disobekan baju itu dan beberapa tapak kaki saja telah ditinggalkan Kim Sie Ie. Lebih dari itu, tak dapat ditemukannya. Kemana Kim Sie Ie pergi?
Dengan pikiran kalut, ia kabur sekeras-kerasnya dari Kimkong sie. Baginya, sinar mata Pengtjoan Thianlie yang memandang Keng Thian dengan penuh kecintaan, seakan-akan sebilah pisau yang menikam jantungnya. “Jika ada seorang wanita memandang aku seperti ia memandang Keng Thian, walaupun mesti lantas mati, aku tentu akan rela,” ia berteriak bagaikan sudah menjadi gila. Dalam saat-saat itu, kejadian-kejadian yang lampau silih berganti berkelebat dalam otaknya. Caci Yoe Peng, yang mengumpamakan ia seekor “kodok buduk yang ingin makan daging angsa kahyangan”, teguran Peng Go yang menasehatkan supaya ia jangan membawa “lagak buaya”, segala penderitaannya di masa kecilnya… kembali terbayang di depan matanya. Pukulan Tongbengtjoe yang mengandung racun ditambah dengan kedukaan dan penasaran yang sangat besar sudah membikin otaknya tidak bisa bekerja secara normal lagi. Apapula sesudah membandingkan dirinya dengan Keng Thian, ia merasa dirinya kecil sekali dan agaknya di dunia yang lebar ini, sudah tak ada tempat lagi untuk ia menyembunyikan diri. Bagaikan seorang gila, ia lari dan lari terus. Tanpa merasa, ia telah tiba di tempat ia bertemu dengan Lie Kim Bwee. Agaknya ia masih bisa mengenali tempat itu dan ia menghentikan tindakannya dengan hati terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring yang bernada riang gembira, disusul dengan munculnya seorang wanita muda. Di saat itu, Kim Sie Ie masih berada dalam keadaan setengah linglung. Lapat-lapat ia merasa, bahwa ia pernah bertemu dengan nona itu, tapi ia tak ingat, bahwa gadis tersebut adalah Lie Kim Bwee yang pernah mempermainkan dirinya. Kim Bwee muncul dengan diikuti beberapa ekor kera, yang begitu melihat Kim Sie Ie, lantas kabur semua. “Lihatlah!” kata si nona sembari tertawa. “Karena kau suka menghina orang, binatang pun tak sudi bersahabat dengan dirimu.” Mendadak Kim Sie Ie ingat, bahwa ia pernah bergebrak dengan wanita itu di tempat tersebut dan ditambah mendengar kata-kata yang menusuk itu, Kim Sie Ie… yang sedang was-was… lantas saja naik darah. “Bagus!” ia berteriak. “Kamu lebih suka bergaul dengan binatang daripada bergaul denganku. Jika aku mau menghina kau, mau apa kau?” Hampir berbareng dengan perkataannya, ia mengangkat tongkatnya dan menyabet pinggang Lie Kim Bwee. “Belum tentu kau mampu menghina aku!” kata si nona sembari tertawa. Kim Sie Ie terkejut ketika sabetannya jatuh di tempat kosong. Ia jadi semakin gusar dan menghantam kalang-kabut. Dalam sekejap Kim Bwee sudah terkurung, antara lingkungan tongkatnya dan semua jalanan mundur si nona sudah tertutup seanteronya. Ternyata, dalam keadaan was-was, Kim Sie Ie berubah buas. Bukan main herannya Lie Kim Bwee. Pemuda itu disebut orang Toktjhioe Hongkay (Pengemis gila yang tangannya beracun), tapi menurut ibunya, ia bukan gila benar-benar. Dalam pertempurannya yang pertama dengan pemuda itu, walaupun serangan-serangannya hebat, tapi semua serangan itu hanyalah gertakan belaka. Tapi sekarang, setiap serangan Kim Sie Ie bersifat sungguh-sungguh dan jika ia terkena, akibatnya tentu hebat. “Baik juga ibu sudah mengajarkan ilmu baru kepadaku untuk melayani kau,” katanya di dalam hati. Sesudah belasan kali memukul angin, Kim Sie Ie berteriak-teriak seakan-akan orang gila sembari menyerang kalang-kabut. “Awas!” kata Lie Kim Bwee disertai tertawanya. “Aku akan menotok Siauwyauw hiat-mu!” Dengan suatu gerakan aneh, ia mendesak dan kedua jerijinya menyambar ke arah Siauwyauw hiat Kim Sie Ie. Ilmu silat Kim Sie Ie sebenarnya lebih tinggi daripada Lie Kim Bwee, tapi karena gerakan si nona sangat luar biasa, pukulan tongkatnya tak dapat merintangi Kim Bwee. Dalam keadaan berbahaya, seorang yang berkepandaian tinggi sering mengeluarkan pukulan aneh untuk menolong diri. Demikian juga dengan Kim Sie Ie. Ia mendadak memukul tanah dengan tongkatnya dan badannya lantas saja berjungkir balik, sehingga totokan Kim Bwee jatuh di tempat kosong. “Lari ke kedudukan Sunwie! Totok Honghoe hiat-nya!” demikian terdengar suara ibunya. Begitu Kim Sie Ie menyerang lagi, Kim Bwee sudah melompat ke sampingnya sembari menotok dengan jerijinya. Tapi totokan itu lagi-lagi meleset karena Kim Sie Ie sudah berhasil meloloskan diri dengan berjungkir balik. “Aku dan ibu sudah berlatih tiga hari, tapi masih tetap aku hampir tak dapat melayani dia,” pikir Kim Bwee dengan heran. Tapi di lain pihak, keheranan Kim Sie Ie bahkan lebih besar. “Kenapa Tiamhiat hoat wanita ini begitu liehay?” tanyanya kepada dirinya sendiri. “Siapakah wanita yang barusan bicara? Dimana dia bersembunyi?” Sesudah berjungkir balik beberapa kali untuk meloloskan diri dari totokan si nona, napas Kim Sie Ie jadi tersengal-sengal. “Aku sudah mengatakan, bahwa kau tak akan dapat menghina diriku,” kata Kim Bwee sembari tertawa. “Apakah kau masih belum percaya? Sekarang kau sudah lelah. Mengasohlah dulu.” Diejek begitu, bukan main gusarnya pemuda itu. “Fui!” mendadak ia menyemburkan ludahnya. “Bwee-djie!” teriak Phang Lin yang bersembunyi di dalam hutan. “Lekas mundur!” Kim Bwee berkelit secepat mungkin. Mendadak matanya berkunang-kunang, kakinya lemas dan ia roboh di atas tanah. Tiba-tiba saja, Kim Sie Ie sadar, pikirannya jernih kembali. Ia ingat, bahwa dalam dunia ini, Kim Bwee adalah wanita kedua yang memperlakukan dia sebagai sahabat (wanita pertama adalah Pengtjoan Thianlie). Teringat itu, bukan main rasa menyesalnya. Semenjak berkelana dalam kalangan Kangouw ia telah mengganggu banyak sekali orang-orang gagah, tapi sebegitu jauh, belum pernah ia membunuh manusia secara sembarang. Tak dinyana, hari ini ia telah mengambil jiwa seorang nona muda yang telah menganggap dirinya sebagai kawan. Dalam perasaan menyesalnya yang sangat besar, tanpa merasa ia berlutut dan merangkapkan kedua tangannya sembari menundukkan kepala. Tak berani ia melihat si nona yang rebah di atas tanah, karena hatinya tak kuat melihat penderitaan gadis itu. Jangankan nona cilik itu, sedangkan Tongbengtjoe yang berkepandaian begitu tinggi masih tak mampu menahan serangan racun tersebut. Selagi ia berlutut dengan pikiran linglung, mendadak terdengar suara tertawa Kim Bwee yang sangat nyaring. “Kenapa kau?” tanya si nona. “Aku bukan nenekmu. Kenapa kau berlutut di hadapanku?” Kim Sie Ie terperanjat tidak kepalang. Bagaikan dipagut ular, ia melompat bangun. Di hadapannya berdirilah Lie Kim Bwee yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Hampir-hampir ia tak mempercayai kedua matanya sendiri! Mendadak si nona meloncat dan berkata sembari tertawa: “Sekarang akan kuajarkan semacam Tiamhiat hoat kepadamu!” Berbareng dengan perkataannya, jeriji Kim Bwee sudah menyambar. Cepat-cepat Kim Sie Ie coba menangkis, tapi gerakan menotok itu aneh sekali, baru saja ia mengangkat tangannya, tahu-tahu jalan darah di pinggangnya sudah tertotok. Seketika itu juga, ia menari-nari dan tertawa tiada hentinya seperti seorang gila. Si nona nakal menjadi kegirangan, ia bertepuk tangan sembari tertawa geli, seperti anak kecil melihat kelakar pelawak. “Hi-hi-hi! Inilah yang dinamakan budi dibalas dengan budi,” kata Kim Bwee. “Akan kulihat, apakah kau masih berani mempermainkan orang atau tidak.” Ia menengok ke arah hutan dan berteriak: “Ibu! Lekas keluar! Ilmu yang kau ajarkan, benar-benar liehay. Sekarang dia sudah menjadi seekor kera. Sungguh lucu!” Ternyata, selama tiga hari bersembunyi di dalam hutan, Phang Lin telah mengajarkan semacam Tiamhiat hoat (Ilmu menotok jalanan darah) kepada puterinya untuk menaklukkan Kim Sie Ie. Pada hakekatnya, ilmu menotok itu sama dengan ilmu yang diajarkan kepada Tong Keng Thian oleh Moh Tjoan Seng. Hanya saja, sedang Moh Tjoan Seng, sekali melihat ilmu silat Kim Sie Ie, sudah lantas bisa menggubah semacam ilmu untuk menaklukkan pemuda itu, Phang Lin harus mengasah otak dua hari untuk menyusun ilmu tersebut. Terbuktilah, bahwa jalan ke arah ilmu silat yang paling tinggi, adalah satu. Lie Kim Bwee yang sedang bertepuk tangan dan melompat-lompat, mendadak melihat suatu perubahan aneh pada wajah pemuda itu, perubahan yang lain daripada semestinya, jika hanya tertotok jalan darah Siauwyauw hiat-nya. Kim Bwee berhenti tertawa dan memandang muka Kim Sie Ie dengan terkejut. Sesaat itu Phang Lin keluar dari dalam hutan. Begitu melihat muka Kim Sie Ie, ia berteriak: “Celaka! Inilah tanda-tanda dari lweekang yang makan tuan!” Buru-buru, ia meloncat dan menarik tangan Kim Sie Ie, sembari membuka jalan darah Siauwyauw hiat-nya yang barusan ditotok oleh puterinya. Begitu jalan darahnya terbuka, Kim Sie Ie berontak. Tapi Phang Lin sudah bersiap sedia, ia menekan tempat pertemuan antara Tayyang hiat dan Siauw-im hiat Kim Sie Ie. Seketika itu juga, Kim Sie Ie merasakan semacam hawa sejuk perlahan-lahan mengalir ke dalam tubuhnya yang lantas saja terasa nyaman luar biasa. Ia memejamkan kedua matanya, sedang pundaknya ditepuk-tepuk perlahan-lahan oleh Phang Lin. Dalam keadaan begitu ia ingat kepada kejadian di jaman yang lampau, di waktu ia masih kecil, bila ibunya sedang menepuknepuknya supaya dia lekas-lekas tidur. Tak lama kemudian, ia pulas dengan bibir menyuntingkan senyuman. Kepandaian Phang Lin memang beraneka ragam. Pada saat itu ia menggunakan ilmu Tjiansim modjie koeitjin (ilmu memulihkan tenaga dalam yang mendapat gangguan) yang didapatkannya dari kaum Ihama Topi Merah di Tibet. Sambil mengerahkan lweekang-nya, ia mengurut sekujur badan pemuda itu. Sebentar pula, aliran darah dan hawa Kim Sie Ie yang tadinya kacau balau sudah menjadi beres dan tenang kembali. Ketika itu, Phang Lin sudah mengerti, bahwa latihan lweekang Kim Sie Ie menyimpang dari jalan yang benar, tapi ia belum mengetahui apa sebabnya sehingga pemuda itu mendapat serangan mendadak. Sesudah membuka baju Kim Sie Ie dan melihat lukanya, akibat pukulan Tongbengtjoe, barulah nyonya itu mengerti. Tapi dengan rasa menyesal, ia harus mengakui, bahwa ia tak dapat menolong jiwa Kim Sie Ie. “Lweekang pemuda ini berbeda sekali dengan lweekang dari cabang persilatan lain,” katanya pada puterinya. “Semakin besar kemajuannya, semakin besar pula bencana yang terhimpun dalam tubuhnya. Tjiansim modjie koeitjin hanya dapat memperpanjang usianya untuk tujuh puluh dua hari, tapi tak dapat menolong jiwanya.” “Habis bagaimana ibu?” tanya si nona dengan hati berdebar-debar. “Jalan satu-satunya adalah mengajaknya pergi ke Thiansan,” kata sang ibu. “Iethio dan lebomu (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) adalah ahli-ahli Lweekeeh dari cabang persilatan yang asli. Mungkin sekali mereka akan dapat menolongnya, apapula jika diingat, bahwa kita sudah mengetahui siapa gurunya. Di samping itu, guru pemuda ini mempunyai hubungan yang akrab dengan Iethio dan lebo-mu.” Selagi Kim Bwee akan bertanya lebih lanjut, Kim Sie Ie sudah sadar dari pulasnya dan perlahanlahan membuka kedua matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa di samping Kim Bwee, terdapat seorang nyonya cantik yang sedang memandangnya secara menyayang. Wajah nyonya itu mirip sekali dengan Kim Bwee dan cara-caranya juga serupa dengan gadis yang nakal itu. “Apakah artinya, semua ini?” tanyanya kepada Kim Bwee. “Kau terkena jarum racunku. Kenapa kau masih hidup? Siapakah nyonya itu?” Phang Lin tertawa dan menanya: “Bukankah kau murid Tokliong Tjoentjia?” Kim Sie Ie lantas saja bangun berduduk. “Dalam dunia ini tak ada yang mengetahui asal-usulku,” katanya dengan nada heran. “Bagaimana kau mengenal nama guruku?” “Tak usah bertanya melit-melit,” kata Phang Lin sembari tertawa. “Senjata rahasiamu hanya dapat digunakan oleh Tokliong Tjoentjia. Kecuali muridnya sendiri, tak ada pula yang mampu menggunakan senjata rahasia itu. Aku juga tahu, bahwa racun jarum itu hanya dapat dipunahkan dengan pil yang dibuat dari ilar burung Niauw-eng. Bukankah begitu?” “Benar,” jawabnya. “Tapi pil itu harus segera diberikan, lagi pula, meskipun sudah menelan obat itu, tak bisa ia sembuh begitu cepat. Untuk berterus terang, di seluruh dunia sudah tidak ada yang punya obat itu lagi, bahkan juga aku sendiri. Dari mana kau mendapatkan obat itu?” Ketika meninggalkan Pulau Ular, Kim Sie Ie memang membekal sejumlah pil itu. Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan pertama dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Gobie san, ia sudah disemprot Yoe Peng dengan kata-kata tajam. Dalam gusarnya, ia bergulingan di tanah, merobek bajunya dan kemudian melompat ke sungai. Karena itu, semua obatnya hilang di dalam air. Ia merasa sangat menyesal tapi tak bisa mengambil kembali obat itu. Phang Lin tertawa haha-hihi seraya berkata: “Obatku jauh lebih liehay dari obatmu.” Ia .mengeluarkan sebutir pil merah sebesar bola kecil dan menggoyang-goyangnya di tengah udara Seketika itu juga, Kim Sie Ie mencium semacam bau aneh yang dikenalnya baik-baik. Ia meloncat dan berteriak: “Bagaimana kau bisa memiliki mustika itu? Apakah kau sahabat guruku? Apakah kau Lu Soe Nio?” Phang Lin tertawa terpingkal-pingkal. “Hm! Kau hanya mengenal Lu Soe Nio,” katanya. Sebenarnya ia lantas hendak memperkenalkan dirinya, tapi di lain saat ia berpikir lain. Ia tidak membenarkan dan juga tidak membantah dugaan Kim Sie Ie. Pil merah itu mempunyai riwayat menarik, dan telah diperolehnya sebagai hadiah dari Phang Eng, kakak perempuannya. Kira-kira tiga puluh tahun sebelumnya, ketika akan menghembuskan napasnya yang penghabisan, majikan pulau Niauw-eng to, yaitu Sat Thian Tjek, telah menghadiahkan pil tersebut kepada Phang Eng. Sebagai telah dikatakan oleh nyonya itu, obat tersebut jauh lebih mustajab untuk memunahkan racun senjata rahasia Tokliong Tjoentjia. Ketika sang adik mau berangkat ke wilayah Tionggoan, Phang Eng telah memberikan pil itu kepada adiknya yang dikuatirkan akan mampir di Pulau Ular. “Dimana gurumu?” tanya Phang Lin. “Sudah meninggal dunia,” jawabnya. “Ah! Sayang! Sungguh sayang!” kata Phang Lin sembari menghela napas panjang-panjang. Mendengar perkataan itu, di dalam hati Kim Sie Ie lantas saja timbul perasaan suka terhadap nyonya tersebut. “Jika ia bukan Lu Soe Nio, paling sedikitnya ia tentu sahabat Soehoe,” pikirnya. “Coba jalankanlah pernapasanmu,” kata Phang Lin. Kim Sie Ie segera bersila dan melakukan apa yang diminta oleh nyonya itu. Mendadak kepalanya pusing dan terasalah hawa kotor naik, menyesakkan dadanya. Dengan perlahan Phang Lin segera mengurut punggung pemuda itu. “Apakah kau sekarang sudah insyaf, bahwa jiwamu berada dalam bahaya?” tanyanya. Sesaat itu, Kim Sie le merasakan semacam hawa dingin menerobos masuk ke dalam jantungnya dan ia kembali berada dalam keadaan setengah sadar. Dengan perlahan Phang Lin menyentil kedua pipinya dan ia segera sadar kembali. Pengalaman itu — dadanya terasa sesak begitu lekas ia mengerahkan lweekang-nya —— adalah pengalaman yang baru bagi Kim Sie Ie. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ia juga lantas insyaf, bahwa perkataan nyonya tersebut bukan gertakan belaka. Bukan main terperanjatnya, tetapi sedetik kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. “Kawanan semut sukar hidup untuk sehari, kutu-kutu tak mengenal musim semi dan musim rontok,” katanya dengan nyaring. “Aku sudah hidup dua puluh tahun dan dibandingkan dengan mereka, aku sudah hidup cukup lama. Sedang semua orang membenci aku, lebih cepat aku mati agaknya lebih baik, supaya mata mereka tak usah melihat lagi romanku yang menyebalkan!” “Bagaimana kau tahu, semua orang membenci kau?” tanya Phang Lin. “Bagiku, hidup lebih lama malah lebih menyenangkan. Dunia ini sungguh indah dan penghidupan selalu penuh kegembiraan!” Sembari berkata begitu, ia menekan punggung pemuda itu dengan jerijinya. Pada saat itu juga, hilanglah rasa sesak di dada Kim Sie Ie dan ia dapat bernapas lagi dengan bebas. Ia mengerti, bahwa dengan lweekang-nya yang sangat sempurna, si nyonya sudah melancarkan lagi aliran darahnya yang kalang kabut dan untuk bantuan itu, besar sekali terima kasihnya. “Bagiku, ia bukan sanak dan bukan saudara, tapi dengan suka rela ia sudah menolong diriku,” katanya di dalam hati. “Benar juga, tidak semua orang membenci aku.” “Bagaimana?” tanya Phang Lin. “Apakah kau masih ingin mati?” “Ah!” kata Kim Sie Ie. “Mengapa kau begitu memaksa hendak menolongku?” “Aku senang, jika semua orang bisa hidup gembira,” jawabnya. “Hatiku jengkel, jika melihat kedukaan orang lain. Maka, pada hakekatnya, pertolongan itu kuberikan kepada diriku sendiri, yaitu untuk menyenangkan hatiku. Eh, hayolah ikut aku! Biarpun aku tak bisa menjamin kau akan hidup seratus tahun, tapi kutanggung kau akan dapat mencapai usia tua. Dalam dunia terdapat banyak sekali hal yang menggembirakan hati. Kesalahanmu satu-satunya adalah, bahwa kau tak mampu mencari kegembiraan!’ Selama berkelana dalam dunia Kangouw, setiap kali ia mempermainkan orang, tujuannya adalah untuk mencari kegembiraan. Tentu saja ia menjadi kaget ketika mendengar Phang Lin mengatakan, bahwa ia tak mampu mencari kegembiraan. “Kau benar-benar sangat menarik,” katanya sembari tertawa. “Baiklah, sekarang aku tak mau mati. Aku akan mengikuti kalian mencari kegembiraan hidup. Kemana kau mau mengajak aku!” “Jika diberitahukan, sebagian kegembiraanmu akan menjadi hilang,” sahut Phang Lin. Kim Sie Ie yang wataknya sama dengan ibu dan anak itu, lantas saja bertepuk tangan dan berkata: “Bagus! Hayolah kita berangkat.” Demikianlah mereka segera meninggalkan Gobie san. Dari Soetjoan utara, mereka melewati gunung Thaysoat san, Lengtjeng san dan lalu masuk ke Tibet, dari mana mereka akan terus pergi ke Sinkiang. Dengan watak mereka yang hampir serupa, di sepanjang jalan mereka berkelakar dan bercakap-cakap dengan gembira, sehingga mereka tidak merasa kesepian. Tapi Phang Lin tetap tak mau memperkenalkan diri dan juga sungkan memberitahukan kemana mereka menuju. Jika sedang mengasoh di waktu malam, ia menurunkan ilmu Tjiansim modjie koeitjin kepada Kim Sie le, sehingga, dengan bantuan ilmu tersebut, kecerdasan otak pemuda itu jadi kembali seluruhnya, juga lagaknya yang gila sudah berkurang banyak dan muncullah kegembiraan yang wajar bagi seorang pemuda. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ia sangat cocok dan bisa bergaul secara baik sekali dengan Lie Kim Bwee. Dengan masing-masing memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, dalam dua puluh hari saja, mereka sudah tiba di Tibet. Pada suatu hari, sedang mereka berjalan dengan gembira, tiba-tiba mereka melihat suatu ringiringan manusia di lembah sebelah bawah. Iring-iringan itu didahului delapan gajah putih dengan payung-payung emasnya dan seluruh rombongan itu kelihatan megah sekali. “Ibu, coba lihat!” kata Kim Bwee. “Bukankah iring-iringan Hoan-ong (raja) itu, yang sedang meronda?” Phang Lin memperhatikan rombongan itu dengan matanya yang tajam. “Bukan,” jawabnya. “Hoan-ong tidak biasanya begitu mewah. Mungkin sekali iring-iringan itu adalah rombongan salah seorang kepala agama. Ah! Sungguh menarik. Coba kuselidiki.” Hampir berbareng dengan perkataannya, badannya sudah meluncur turun belasan tombak. “Anak-anak!” ia berseru dari tanjakan. “Ingat pesanku! Kamu jangan pergi ke tempat lain. Jika ada apa-apa yang menarik, sudah pasti aku akan segera kembali untuk memberitahukannya.” Baru saja mengucapkan perkataan itu, dengan sekali berkelebat, ia sudah menghilang, sehingga Kim Sie Ie sangat kagum akan ilmu mengentengkan badan si nyonya yang begitu tinggi. Pemuda itu tentu saja tidak tahu, bahwa Phang Lin — selain ingin menyelidiki iring-iringan itu — mempunyai maksud lain. Dengan kesempatan itu, ia ingin membiarkan Kim Sie Ie berada berduadua saja dengan puterinya, agar mereka jadi lebih bebas untuk membicarakan segala urusan pribadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perginya itu sudah membawa akibat lain. Sambil mengawaskan iring-iringan itu, sesaat kemudian Kim Sie Ie berkata semhari menghela napas: “Kau sungguh beruntung mempunyai ibu yang begitu baik!” “Ibumu?” tanya si nona. “Sejak kecil aku sudah menjadi piatu, tak punya ayah ibu lagi,” jawabnya dengan sedih. “Kasihan!” kata Kim Bwee. Mendadak, wajah pemuda itu berubah dan ia berkata dengan suara kaku: “Aku tak perlu dikasihani orang!” “Aku salah,” kata si nakal sembari tertawa. “Janganlah gusar. Kau memang seorang laki-laki luar biasa yang bisa berdiri di atas kedua kakimu sendiri.” Sebagaimana diketahui, Lie Kim Bwee adalah seorang gadis berandalan yang suka sekali membawa maunya sendiri. Akan tetapi, entah kenapa, terhadap Kim Sie Ie yang sifatnya lebih berandalan lagi, ia menjadi jinak. Mendengar pujian itu, kemendongkolan Kim Sie Ie lantas saja reda. “Aku pun belum pernah bertemu dengan orang yang begitu luar biasa seperti kau dan ibumu,” katanya sembari tertawa. “Ibumu simpatik sekali, kepandaiannya tinggi, kepribadiannya menarik.” “Apa iya?” tanya Kim Bwee sembari tertawa nyaring. “Koko (kakak) tolol! Sebenarnya ibuku seperti juga ibumu sendiri. Kau tahu? Ia menyayang kau lebih-lebih daripada aku.” Inilah untuk pertama kali dalam penghidupannya, bahwa seorang manusia, wanita cantik, memanggil “Koko tolol!” kepadanya dengan nada yang penuh kecintaan. Jantungnya berdebar keras dan ia merasakan kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan. Untuk beberapa saat, ia memandang ke tempat jauh tanpa melihat suatu apa. Mendadak ia melompat dan berkata: “Eh, kenapa ibumu berlaku begitu baik terhadapku?” “Ia mengatakan, bahwa sebatang kara kau terombang-ambing dalam dunia ini,” jawab si nona. “Nasib itu sangat mirip dengan nasibnya sendiri di waktu ia masih kecil.” “Apakah sedari kecil ibumu sudah tidak mempunyai ayah dan ibu?” tanya Kim Sie Ie. “Benar,” jawabnya. “Menurut ceritanya, ketika ia baru berusia kira-kira setahun, keluarganya telah ditimpa bencana hebat. Kakek telah binasa dalam peristiwa itu dan sesudah berselang kurang lebih dua puluh tahun, barulah nenek bisa bertemu pula dengan ibu.” “Kalau begitu, ibumu bukan Lu Soe Nio,” kata pemuda itu. Harus diketahui, bahwa Lu Soe Nio adalah orang yang paling dikagumi dan dihormati oleh Tokliong Tjoentjia. Ketika masih hidup, sering sekali ia menceritakan riwayat hidup pendekar wanita itu kepada muridnya. Kakek Lu Soe Nio, yaitu Lu Lioe Liang, adalah seorang sasterawan kenamaan pada jamannya. Ketika ayah Lu Liehiap, Lu Po Tiong, dibinasakan oleh kerajaan Tjeng, pendekar wanita tersebut sudah berusia dua puluh tahun lebih. “Siapa kata ibuku Lu Soe Nio?” tanya si nona. “Kenapa kau menganggap ia sebagai Lu Soe Nio?”. “Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, siapapun akan menduga, bahwa ia adalah Lu Liehiap,” kata Kim Sie Ie. “Kau seperti juga kodok di dalam sumur,” kata si nona sembari tertawa. “Hm! Lagi-lagi aku mengejek kau. Jangan marah.” “Ejekanmu sekali ini kuterima dengan tangan terbuka,” katanya. “Baru sekarang aku percaya, bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai.” “Terus terang saja, ibuku mungkin belum bisa menandingi Lu Soe Nio,” kata si nona. “Tapi ibu sama tersohornya dengan Lu Liehiap, karena ia memang salah seorang dari tiga pendekar wanita di jaman ini.” Bukan main girangnya Kim Sie Ie. “Siapakah pendekar wanita yang satu lagi?” tanya ia. “Iebo-ku,” jawabnya. “Kepandaian bibi masih jauh lebih tinggi daripada ibuku. Walaupun Iethio sekarang menjadi Tjiangboendjin Thiansan pay, tapi masuknya ke partai itu masih terlebih belakang daripada Iebo. Tahukah kau, siapa bibiku? Ia bukan lain daripada ahli waris le Lan Tjoe, salah seorang pendekar dari Thiansan.” Dalam kegembiraannya memuji bibinya, Kim Bwee melupakan segala apa. Mendadak, muka Kim Sie Ie menjadi pucat dan ia menanya dengan perlahan: “Ah! Kalau begitu, Iethio-mu adalah Tjiangboen dari Thiansan pay. Bukankah ia bernama Tong Siauw Lan?” Si nona yang belum melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, lantas saja menjawab sembari tertawa: “Benar. Kau ternyata sudah mengenal juga nama Iethio-ku. Sekarang ini ibu akan mengajak kau naik ke Thiansan untuk meminta pertolongan Iebo dan Iethio, supaya mereka suka mengobati penyakit yang mengeram dalam tubuhmu!” Kata-kata Kim Bwee itu dirasakan Kim Sie Ie sebagai sebuah palu yang menghantam jantungnya. Mukanya lantas saja menjadi merah. Tabir rahasia yang sudah lama ingin dibukanya, sekarang sudah terbuka lebar-lebar. Insyaflah ia sekarang, bahwa lweekang yang telah diyakinkannya adalah ilmu yang tidak benar, dan juga telah menewaskan gurunya sendiri. Baru sekarang ia mengerti pesan gurunya supaya ia mencari ahli Thiansan pay untuk memohon pertolongan. Dalam sekejap itu, segala kesangsian yang bertahun-tahun, telah mengganggu pikirannya sudah terjawab semua. Kim Sie Ie mempunyai watak angkuh dan ia gampang sekali tersinggung. Ia senantiasa menganggap, bahwa ilmu silat gurunya nomor satu di kolong langit, sehinggga ia tak mau tunduk kepada orang lain, apapula jika orang itu justru ayah Tong Keng Thian. Sesaat kemudian, Kim Bwee sudah melihat perubahan pada wajah Kim Sie Ie itu. “Koko tolol,” katanya, sembari memaksakan diri untuk tertawa. “Kau sedang memikirkan apa?” Kim Sie Ie menahan amarahnya. “Kalau begitu, Tong Keng Thian adalah piauwheng-mu (saudara misan),” katanya. “Benar! Kau kenal ia?” jawabnya dengan girang. “Bukan saja kenal, malah bersahabat baik,” kata Kim Sie Ie sembari tertawa dingin. Mulutnya mengatakan begitu, tapi hatinya berpikir lain. Tahulah ia sekarang, bahwa Phang Lin adalah bibi Keng Thian. Ia menganggap, bahwa nyonya itu sengaja mengatur siasat supaya ayah Tong Keng Thian melepaskan budi kepadanya, sehingga ia tak mampu mengangkat kepala lagi di hadapan Keng Thian. Dengan demikian, maksud Phang Lin yang sangat mulia, sudah salah diartikan olehnya. Pada saat itu, ia kembali merasakan, bahwa dirinya sebatang kara dan di mana-mana selalu dihina orang. Daripada dihina orang, ia lebih suka mati lekas-lekas. Lie Kim Bwee tak bisa menebak pikiran pemuda itu. Sembari tertawa dan bertepuk tangan ia berkata: “Ah! Kalau kalian memang sudah bersahabat, aku benar-benar merasa girang.” “Tak salah! Sungguh bagus!” kata Kim Sie Ie, suaranya sumbang. “Siasatmu juga sangat bagus. Mari sini!” Melihat muka Kim Sie Ie yang merah padam, si nona menduga, bahwa pemuda itu diserang demam. “Kau sakit?” tanyanya sembari mendekati. Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak, tertawa yang membangunkan bulu roma. “Terima kasih banyak-banyak kepada kalian yang sudah mengatur siasat begitu bagus!” katanya. Mendadak, mendadak saja, jerijinya menotok jalan darah si nona! Sedetikpun tak pernah terkilas dalam pikiran Kim Bwee bahwa ia akan diserang secara begitu tiba-tiba. Keruan saja, tanpa mengeluarkan suara, ia terguling dan roboh di atas tanah. Di detik selanjutnya, ia mendengar suara tertawa kegila-gilaan pemuda itu, yang semakin lama sudah semakin jauh. Kim Bwee — yang tertotok Djoanma hiat-nya (jalan darah yang membikin orang lemas) – tak bisa berbangkit. Untung juga, sesudah mempelajari Tiamhiat hoat Kim Sie Ie dari ibunya, ia bisa membuka jalan darahnya sendiri. Sesudah mengerahkan lweekang-nya selama setengah jam, kaki tangannya mulai bisa bergerak pula dan beberapa saat kemudian, ia sudah dapat berdiri. Termangu-mangu, seperti kehilangan apa-apa, ia memandang gunung-gunung di kejauhan. “Kenapa, baru saja ia masih baik-baik, mendadak kumat lagi penyakit gilanya,” pikir si nona yang menduga, bahwa pemuda itu benar-benar menderita penyakit gila. Suatu perasaan aneh yang sukar dijelaskan datang kepadanya dan tanpa merasa, ia berlari-lari ke bawah untuk mengejar si Koko tolol. Begitu tiba di dasar lembah, sekonyong-konyong dari jurusan depan datanglah iring-iringan itu dengan delapan ekor gajah putihnya yang sangat besar. Di punggung seekor gajah putih yang berjalan di tengah-tengah, kelihatan berduduk seorang Lhama yang bertubuh tinggi besar dan yang dipayungi dengan payung kuning. Barisan gajah itu diiring oleh enam belas Lhama yang menunggang kuda, sedang di kedua sampingnya terdapat barisan wanita muda yang mengenakan pakaian putih. Di antara mereka, terdapat satu nona yang sangat cantik dengan paras dingin dan agung. Ia duduk di atas kuda dengan badan tak bergerak, seolah-olah satu patung batu. Lie Kim Bwee yang menghampiri barisan itu sembari lari keras, tiba-tiba mendengar satu bentakan: “Siapakah yang berani mengganggu iring-iringi Hoat-ong (Raja agama)?” Berbareng dengan bentakan itu, seorang wanita yang memakai kudungan muka loncat turun dari kudanya dan coba mencengkeram tangan si nona. Kim Bwee berkelit sembari mendorong dengan kedua tangannya. Wanita itu, yang lantas saja terhuyung beberapa tindak, mengeluarkan seman tertahan dan kemudian, sesudah memutar badan, ia merangsek pula. Lie Kim Bwee tentu saja tidak mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah Sengbo atau Ibu Suci dari Lhama sekte Topi Putih. Ia juga tidak mendusin, bahwa secara tidak disengaja, ia sudah mengganggu iring-iringan Hoat-ong. Kedudukan Hoat-ong atau Raja agama dari sekte Topi Putih adalah setingkat dengan kedudukan Dalai atau Panchen. Mereka dipandang sebagai Budha Hidup. Maka itu, di mata para Lhama, gangguan Kim Bwee adalah pelanggaran yang sangat hebat. Di lain saat, enam belas Lhama yang berpakaian putih sudah mengurung Kim Bwee dalam satu lingkaran. Mereka mengawasi si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata dan maju mendekati setindak demi setindak. Kim Bwee jadi bingung. “Eh, mau apa kau orang?” tanyanya. “Perempuan siluman!” membentak satu antaranya. “Besar benar nyalimu, berani mengganggu iring-iringan Hoat-ong! Kenapa kau tak lekas memohon ampun kepada Budha Hidup?” “Yang mana Budha Hidup?” tanya si nona. “Coba beritahukan kepadaku.” Ia berkata begitu seperti satu anak kecil yang sangat ingin melihat apa-apa yang luar biasa. Semua Lhama jadi sangat gusar dan dua antaranya segera bergerak. Yang satu mengeluarkan tangan kiri, yang lain mengeluarkan tangan kanan dan membuat satu lingkaran, akan kemudian, dengan serentak mereka coba membekuk Kim Bwee. Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat sekte Topi Putih merupakan satu cabang yang istimewa. Pukulan itu, yang dinamakan Kimkong Menangkap Siluman, adalah lebih hebat daripada Kinna tjhioehoat (ilmu menangkap) dari wilayah Tionggoan. Tapi di luar dugaan, Kim Bwee yang semenjak kecil sudah dilatih baik oleh kedua orang tuanya, gesit luar biasa. Baru saja tangan kedua Lhama itu bergerak, sembari tertawa nyaring, bagaikan seekor ikan, ia melejit dari serangan itu. Kedua Lhama tersebut terkesiap dan buru-buru balik ke kedudukannya yang semula. Masih untung, si nona belum menoblos keluar dari kurungan. “Eh!” berteriak Kim Bwee dengan suara nyaring. “Jalan raya bukan dimiliki oleh kau orang. Seorang Budha Hidup mestinya mempunyai hati yang murah. Kenapa kau orang menjajah jalan? Apakah berjalan disini merupakan satu kedosaan?” Enam belas Lhama itu sama sekali tak menggubris teguran si nona. Perlahan-lahan mereka memperkecil lingkaran. Dengan hati bingung, Kim Bwee menerjang ke sana-sini, tapi kurungan itu teguh bagaikan tembok tembaga. “Hei!” ia berteriak pula sesudah usahanya untuk menoblos keluar tidak berhasil. “Masakah enam belas lelaki gagah menghina seorang perempuan? Apa kau orang tak mengenal malu?” Dalam jengkelnya, ia menunduk dan terus menyeruduk kurungan itu. Sekonyong-konyong dua Lhama mengeluarkan suara tertawa aneh sedang mukanya memperlihatkan paras seperti orang yang kena digaruk di bagian badannya yang gatal. Karena tertawanya itu, badan mereka agak miring dan Kim Bwee sungkan menyia-nyiakan kesempatan bagus, lantas saja menerobos keluar dari lubang itu. Sembari melompat, si nona merasa heran dalam hatinya. “Ah! Mereka tentu merasa jengah karena dicaci olehku dan sengaja melepaskan aku,” katanya didalam hati. Ia menengok, menjebi dan terus kabur. Tapi, baru saja lari beberapa tindak, dua ekor gajah sudah menghadang di depan dan dua Lhama yang bersenjata Kioehoan Sekthung (toya timah) mencegat jalan. “Hei! Benar-benar kau orang mau berkelahi?” membentak Kim Bwee sembari membabat dengan pedang pendeknya. Dengan satu suara “trang!”, pedangnya terpukul balik, sedang toya si Lhma sama sekali tidak bergeming. Kedua Lhama itu adalah murid Hoat-ong yang berkepandaian paling tinggi dan yang dulu pernah dikirim untuk coba merampas guci emas. Sekarang Kim Bwee yang nakal benar-benar bingung. Jalan di depan dicegat, sedang dari belakang mendatangi enam belas Lhama. Selagi hatinya kebat-kebit, sekonyong-konyong Lhama yang badannya tinggi besar dan paras mukanya merah, berkata dengan suara agung: “Anak itu belum mengerti apa-apa, biarlah dia pergi.” Sembari berkata begitu, dari atas punggung gajah, ia mengebas dengan hudtim-nya. Mendadak, Kim Bwee merasa dirinya didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia jungkir balik. Hampir berbareng, dua Lhama yang menghadang di depan minggir ke kiri kanan, dan enam belas Lhama yang sedang merangsek dari belakang, juga menghentikan gerakannya. “Benar juga apa yang dikatakan oleh anak itu,” kata pula Lhama yang tinggi besar. “Seorang Budha Hidup harus mempunyai hati yang murah.” Sehabis berkata begitu, ia mengucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Tibet, seperti orang sedang memberi berkah kepada si nona. Kim Bwee menengok dan mendapat kenyataan, bahwa semua Lhama berdiri tegak dengan sikap menghormat. “Ah! Kalau begitu dia adalah Budha Hidup yang dimaksudkan,” katanya di dalam hati. Ia tak berani mengawaskan lama-lama dan lalu kabur secepat mungkin. Sesudah lari dua tiga li, di tanjakan sebelah depan kelihatan menunggu seorang wanita. “Kimdjie!” berseru wanita itu yang bukan lain daripada ibunya sendiri. “Kau sungguh berani mati! Lekas kemari!” Kim Bwee mempercepat tindakannya dan di lain saat, ia sudah berada dalam pelukan ibunya. “Aku sendiri tidak berani mengganggu mereka,” kata Phang Lin sembari tertawa. “Jika tidak ditolong olehku, kau akan merasakan lebih banyak penderitaan!” “Ah! Sekarang aku tahu!” kata si nona. “Dua Lhama itu tentu juga ditimpuk Siauwyauw hiat-nya (jalan darah yang membangkitkan perasaan geli) olehmu. Tadinya aku menduga, bahwa mereka melepaskan aku karena merasa jengah dicaci olehku.” Ternyata, kedua Lhama itu sudah ditimpuk oleh Phang Lin dengan menggunakan ilmu Hoeihoa tjekyap (menggunakan bunga dan daun sebagai senjata rahasia). Dengan menggunakan bunga atau daun, ia dapat membinasakan musuh atau menotok jalanan darah. Lie Kim Bwee yang lweekang-nya masih sangat cetek, tentu saja belum bisa belajar ilmu yang tinggi itu. Tapi begitu mendengar perkataan ibunya, ia segera mengetahui, bahwa tadi ia sudah dibantu oleh sang ibu. Ia tertawa dan berkata: “Hm! Tadinya aku kira Budha Hidup itu seorang baik. Tak tahunya, ia sudah melepaskan aku karena takuti ibuku!” “Jangan ngaco!” membentak Phang Lin dengan suara keras. “Hoat-ong adalah seorang yang berhati sangat mulia. Aku sendiri sangat menghormati padanya. Jangan kau mengaco belo! Apa kau tahu, untuk apa mereka datang kesini?” “Tidak,” jawab puterinya. “Barusan, sesudah menyelidiki, aku mengetahui duduknya persoalan,” menerangkan sang ibu. “Di sebelah depan terdapat satu kota, Sakya namanya. Sekarang ini, Raja agama dari sekte Topi Putih sudah mengadakan perdamaian dengan Lhama dari sekte Topi Kuning. Panchen sudah mempermisikan mereka untuk menyebarkan pula agama mereka di Tibet dan mendirikan satu kuil Lhama yang sangat besar di kota Sakya. Kedatangan Hoat-ong dengan murid-muridnya ke kota Sakya, adalah untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut.” “Apakah dalam tempo yang sependek itu ibu sudah pergi ke Sakya?” tanya Kim Bwee. “Pendek? Sudah setengah harian!’ kata Phang Lin sembari tertawa. “Apa belum cukup kau beromong-omong dengan dia? Eh! Mana Kim Sie Ie?” Paras muka si nona lantas saja berubah. “Dia kumat lagi penyakit gilanya,” jawabnya dengan suara duka. “Dia kabur, entah kemana.” “Ngaco!” membentak sang ibu. “Beruntun beberapa hari, dengan ilmu Tjiansimmo aku menekan ‘api’ yang bisa membakar dirinya. Menurut perhitunganku, paling sedikit ia bisa mempertahankan diri selama tujuh puluh dua hari. Tak mungkin ia gila mendadak. Urusan apa yang sudah dibicarakan oleh kau orang selama aku pergi?” “Tidak, sama sekali kita tidak bicarakan apa-apa yang penting,” kata Kim Bwee. “Aku hanya memberitahukan kepadanya, bahwa kau ingin membawa dia ke Thiansan untuk memohon supaya Iethio suka mengobati padanya.” Phang Lin menghela napas panjang. “Kau benar-benar bocah tak tahu urusan,” ia berkata dengan suara menyesal. “Aku justru sangat kuatir, ia sungkan menerima budi orang, karena wataknya yang angkuh. Maka itu, aku sengaja sudah mempedayai ia. Tapi, kau yang membuka rahasia! Kau tentu tak mengetahui, bahwa dia dan Tong Keng Thian mempunyai ganjelan hati.” “Ganjelan apa?” tanya Kim Bwee dengan suara heran. Sang ibu kembali menghela napas panjang. “Hai!” katanya. “Benar-benar kau lebih gila daripada aku, waktu aku semuda kau. Kau lebih suka mencampuri urusan orang lain, daripada aku. Sudahlah! Tak perlu aku memberitahukan kau. Sekarang sekali lagi aku mesti capai hati untuk mencari dia. Hai! Anak perempuan sudah besar, benar-benar memusingkan kepala!” Paras muka si nona lantas saja berubah merah. “Siapa suruh kau mencari dia?” ia tanya sembari monyongkan mulut. “Baiklah,” jawab sang ibu. “Hm! Di kolong langit memang terdapat banyak sekali lelaki gagah. Tapi aku tahu, tak satupun yang cocok dengan adat gilamu. Bukankah begitu?” “Benar,” jawab puterinya sembari merengut. “Nah, kalau begitu paling baik kita cari dia,” kata pula sang ibu sambil menyengir. “Mari! Kita pergi ke Sakya untuk melihat-lihat keramaian. Kim Sie Ie juga suka ramai-ramai. Dia tentu tidak pergi jauh.” Sambil berkata begitu, ia berjalan dengan menyeret tangan puterinya. Sakya adalah sebuah kota pegunungan yang sangat indah di Tibet Selatan. Biasanya kota itu sangat sepi, tapi sekarang, berhubung dengan kedatangan Hoat-ong Sekte Topi Putih, maka tempat yang sunyi itu dengan mendadak menjadi ramai, dikunjungi tetamu dari tempat-tempat jauh. Touwsoe dan Soanwiesoe Tan Teng Kie jadi repot bukan main, karena mereka harus menyediakan tempat penginapan dan makanan untuk Raja agama (Hoat-ong) itu dan sekalian pengiringnya. Di seluruh kota Sakya hanya ada seorang yang senggang dan nganggur dan yang duduk melamun di taman bunga Soanwiesoe sambil menghela napas berulang-ulang. Orang itu adalah Tan Thian Oe, putera Tan Teng Kie. Begitu Thian Oe kembali ke Sakya bersama ayahnya, si Touwsoe lantas saja mengajukan pula soal yang lama, yaitu soal perangkapan jodoh antara puterinya dan pemuda itu. Thian Oe menghadapi desakan itu dengan menggunakan siasat mengulur waktu, sedang sang ayah pun, yang tak penuju calon menantu itu, membantu puteranya dengan mengusap-usap si Touwsoe. Sementara itu, atas nasehat puteranya, Teng Kie telah memerintahkan Kang Lam pergi ke kota raja dengan membawa suratnya untuk seorang berpangkat Tjiesoe yang masih terkena sanak dengannya. Dalam surat itu ia meminta pertolongan supaya sanak tersebut mengajukan permohonan kepada kaizar, agar ia diperbolehkan pulang dengan mengingat jasanya waktu menyambut guci emas. Akan tetapi, karena perjalanan yang sangat jauh, sesudah pergi kurang lebih setengah tahun, Kang Lam belum juga memberi warta suatu apa. Ayah dan anak itu melewati hari dengan hati mendongkol, karena si Touwsoe sering sekali mengganggu mereka dengan undangan-undangan untuk menghadiri perjamuan, dimana sang puteri coba memikatmikat Thian Oe, yang jadi serba salah, tertawa salah, menangis pun keliru. Hari itu, Tan Teng Kie dan Touwsoe menyambut Hoan-ong, sedang semua pegawai kantor Soanwiesoe pun pergi keluar untuk melihat keramaian. Thian Oe sendiri yang tidak mempunyai kegembiraan untuk pelesir, dan ia menyembunyikan diri di dalam gedung. Sampai jauh malam, ayahnya belum pulang dan suara ramai-ramai pun belum mereda. Kira-kira tengah malam, seorang diri ia pergi ke taman bunga. Sang rembulan memancarkan sinarnya yang dingin dan taman itu seolah-olah mandi dalam lautan perak. Sambil menghela napas, Thian Oe mendongak dan berkata dengan suara duka: “Ah, malam ini tiada bedanya dengan malam dulu itu. Malam di musim semi dan bulan yang bersinar perak. Tapi dimana sekarang adanya Chena? Malam itu ia mendampingi aku, tapi sekarang…” Pada saat itu, Chena yang cantik manis, dengan senyuman yang penuh rahasia, kembali terbayang di depan matanya. Hanya beberapa kali ia bertemu dengan gadis Tsang itu, tapi tak dapat ia melupakannya lagi. Ia ingat peristiwa melempar golok di gedung Touwsoe, ia ingat pertemuan di gunung belukar pada malam itu, dimana untuk pertama kalinya ia mengetahui asal-usul si nona, ia ingat pula pertemuan di istana es yang seperti surga, pertemuan yang tak akan dapat dilupakannya. Tak dinyana, bahwa Puncak Es akan roboh dan akhirnya ia kembali ke Sakya tanpa mendapat warta apapun juga tentang gadis yang dicintainya itu. “Apakah Chena binasa dalam bencana alam itu?” ia tanya dirinya sendiri berulang-ulang. Di lain saat, ia menghibur hatinya: “Jika Yoe Peng selamat, Chena juga tentu bisa meloloskan diri.” Sementara itu, suara keramaian sudah mulai mereda, tapi Thian Oe masih duduk terpekur di antara pohon-pohon bunga. Mendadak terdengar suara berkreseknya daun-daun dan tindakan kaki yang sangat enteng. Thian Oe agak terkejut dan menoleh ke arah suara itu. Ia terkesiap karena apa yang dilihatnya adalah seorang wanita muda yang mengenakan pakaian serba putih dan yang menghampirinya dengan bibir tersungging senyuman. Ia mengawaskan dengan mata membelalak. “Chena!” teriaknya. “Apa aku lagi mimpi?” “Bukan, bukan mimpi,” kata wanita itu. “Tapi, memang tiada beda dengan impian.” Senyumannya belum hilang, air matanya sudah berlinang-linang. Wanita itu memang Chena adanya! Thian Oe menggigit jarinya kuat-kuat. Ia melompat karena kesakitan dan berteriak sebab kegirangan. “Chena! Bukan impian! Kita benar-benar bertemu pula. Kita tak akan berpisahan lagi!” “Ya, kita tak akan berpisahan lagi,” kata si nona. Thian Oe memeluk erat-erat seolah-olah ia kuatir kecintaannya menghilang dengan mendadak. Sekonyong-konyong ia melihat berlinangnya air mata dan paras yang penuh kedukaan. Ia merasa seperti diguyur dengan air dingin. “Chena,” katanya dengan suara bingung. “Kenapa kau? Apa yang dipikiri olehmu? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa kita tak akan berpisahan lagi!” “Aku selalu berada di dampingmu,” jawabnya secara menyimpang. “Apakah dalam impian, kau tak pernah mimpi bertemu denganku?” “Benar,” kata Thian Oe. “Setiap kali bermimpi, aku selalu mimpi bertemu denganmu… kau sedang tertawa, sedang berdiri di bawah sinar bulan, sedang menangis… Tapi itu semua sudah lewat. Mulai dari sekarang, kita tak akan mengenal kesedihan lagi, kita akan berada dalam – kebahagiaan.” “Aku juga sering mimpi bertemu denganmu,” kata Chena. “Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kita sebenarnya belum pernah berpisahan.” “Tidak,” kata Thian Oe. “Apa yang diingin olehku bukan dunia mimpi. Aku menghendaki berkumpul secara abadi.” Mata si nona mengawasi ke tempat jauh dan ia berkata dengan suara serak: “Apa artinya sungguh? Apa artinya mimpi? Apa yang dikatakan sekejap mata? Dan apa yang dinamakan abadi?” Thian Oe terperanjat. Ia menatap muka si nona tanpa bisa menjawab. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah terdengar semenjak dahulu, memang belum dapat dijawab oleh ahli-ahli pemikir sehingga di jaman ini. Di luar, sayup-sayup masih terdengar suara orang berpesta, suara penjual silat, suara tukang sulap, suara menyanyi… Untuk beberapa lama, kedua orang muda itu saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kemudian, dengan sorot mata berduka dan dengan suara agak gemetar. Chena menyanyi dengan perlahan: Cinta abadi adalah sinar terang yang sekelebatan, Bagaikan berkeredepnya kilat di tengah udara gelap gulita, Tapi walaupun hanya untuk sekejapan. Kemuliaan sang kekasih sudah terlihat nyata. Itulah sebuah nyanyian rakyat Nepal yang merembes masuk ke Tibet, nyanyian yang gembira, tercampur sedih. Thian Oe berduka sangat. Ia bengong dan kemudian berkata dengan suara perlahan: .”Apa artinya sekejap mata? Apa arti abadi? Tidak! Yang dikehendaki olehku adalah abadi yang bahagia!” “Thian Oe,” kata si nona sembari mesem. “Sekarang kita jangan rewel tentang hal yang tak penting. Biarpun bagaimana juga, kita sudah bertemu kembali dan biarpun bagaikan berkeredepnya kilat di tengah udara yang gelap gulita, apakah dalam tempo yang sependek itu, kita tak bisa mengicipi kebahagiaan yang sebesar-besarnya? Thian Oe, cobalah kau bicara tentang sesuatu yang menggembirakan.” Thian Oe terperanjat, mukanya lantas saja berubah pucat. “Apa?” ia menegas. “Apakah pertemuan kita ini hanya seperti berkelebatnya kilat? Kenapa kau tak bisa berdiam terus disini?” Si nona menghela napas. “Hai! Kau tak tahu,” katanya. “Untuk mengadakan pertemuan ini, aku sebenarnya sudah menempuh bahaya yang sangat besar. Sudahlah, Thian Oe! Jangan kau menanya banyak-banyak. Marilah, kita bicarakan saja tentang sesuatu yang menggirangkan hati. Aku tak bisa berdiam lama-lama. Aku mesti segera berlalu!” Kata-kata itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Thian Oe ternganga. Ia hanya mengawasi muka si nona dengan sorot mata menanya. “Thian Oe…” kata pula Chena, sambil tertawa. “Hayolah! Mari kita bergembira…” Suaranya bergemetar dan meskipun ia tertawa, nada suara itu lebih menyayatkan hati daripada tangisan. “Chena… sesudah kau mengatakan, bahwa kau akan segera berlalu, apakah aku masih bisa bergembira?” tanya Thian Oe. “Satu kali, kita pernah mengalami bencana robohnya Puncak Es dan kita sudah terlolos dari bencana itu. Apakah sekarang kita sedang menghadapi bencana yang kedua, yang lebih hebat daripada yang pertama?” “Sedari dilahirkan, bencana memang membayangi diriku terus menerus,” jawabnya. “Aku tak dapat mengelakkannya. Ah! Kau tak tahu…” “Aku tahu! Aku tahu semuanya,” kata Thian Oe. “Aku tahu, kau ingin membalas sakit hati. Chena, kita sama-sama hidup dan mati pun sama-sama. Marilah kita pergi membalas sakit hati bersama-sama. Andaikata, dengan berkah Tuhan, kita tak mati, kita boleh lantas melarikan diri ke selatan, ke kampung kelahiranku.” Si nona kembali tertawa, tertawa duka. “Anak tolol,” katanya. “Sakit hati yang dalam bagaikan lautan, mana bisa diwakili? Di samping itu, aku tak bisa mempermisikan mengamuknya badai di Tibet, karena urusan pribadiku. Soal pembalasan sakit hatiku adalah soal remeh. Tapi begitu lekas kau campur tangan, soal itu akan menjadi besar.” Thian Oe insyaf, bahwa si nona bicara sejujurnya. Ayahnya adalah Soanwiesoe dari Sakya. Karena kuatir terjadi pemberontakan para Touwsoe di Tibet, maka selain mengirim Hok Kong An untuk menilik dari Lhasa, kaizar Tjeng telah mengirim juga Soanwiesoe ke berbagai tempat dengan tugas “menempel” dan mengawasi sepak terjangnya para Touwsoe itu. Jika ia benar-benar membantu Chena dan membinasakan Touwsoe dari Sakya, maka ayahnya sudah pasti akan mendapat hukuman mati. Juga terdapat kemungkinan timbulnya sengketa yang lebih besar garagara itu. Dengan air mata berlinang-linang, Chena dongak mengawasi awan yang terombang-ambing di atas langit. “Jika kau mati, aku pun tak bisa hidup terus,” kata Thian Oe. “Tidak, kau tak boleh mati,” kata si nona. “Kau masih mempunyai banyak sekali tugas. Di samping itu, aku pun belum tentu mati.” “Kalau begitu, biarlah aku menunggu kau,” kata Thian Oe. “Tak perduli apa kau hidup atau mati, aku akan menunggu terus.” Chena menghela napas. “Terima kasih,” katanya. “Tapi, apa kau tahu, siapa aku sekarang? Seumur hidup, aku tak boleh mencintai atau menikah dengan seorang pria. Kedatanganku sekarang sudah melanggar peraturan. Thian Oe, sebaiknya kau menganggap, bahwa pertemuan ini adalah pertemuan di dalam mimpi.” Mendengar perkataan itu, bukan main kaget dan herannya Thian Oe. “Kenapa?” ia menegaskan. “Aku mengetahui, bahwa kau adalah puteri Raja muda Chinpu. Apakah puteri seorang raja muda di negerimu tidak boleh menikah dengan seorang Han?’ Pada jaman itu, di Tibet memang ada kebiasaan tersebut. Akan tetapi, Thian Oe sudah menebak salah, karena hal itu bukan sebab yang terutama. Si nona tak menyahut, ia terus menunduk. “Sudahlah!” kata Thian Oe dengan suara keras. “Jika begitu, aku tak akan menikah seumur hidup.” Chena menyeka air matanya dengan tangan baju dan mendadak ia tertawa. “Kau adalah manusia pertama yang mengenal jiwaku,” katanya. “Kebahagiaanmu adalah keberuntunganku. Aku ingin sekali kau bisa hidup beruntung. Apa kau tahui” “Aku tahu,” jawabnya. “Kalau begitu, kau dengarlah perkataanku,” katanya pula. “Pengtjoan Thianlie telah membuang banyak budi kepadaku dan ia adalah orang kedua dalam dunia ini yang dapat menyelami isi hatiku. Aku menganggapnya sebagai kakakku sendiri.” “Aku tahu,” kata Thian Oe. “Aku pun pernah mendapat banyak sekali pertolongannya dan aku merasa sangat berterima kasih.” Chena kembali menghela napas, sedang kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. “Thianlie Tjietjie banyak lebih beruntung daripadaku,” katanya dengan suara perlahan. “Tong Keng Thian mencintainya dengan segenap hati, seperti juga kau…” Mukanya mendadak berubah merah dan tak dapat meneruskan perkataannya. “Dalam ilmu silat, aku memang tak dapat dibandingkan dengan Tong Keng Thian,” kata Thian Oe. “Tapi… mengenai rasa cintaku, aku sedikitpun tak kalah dengannya.” Chena tersenyum, senyuman puas yang, untuk sejenak, telah menyapu awan kedukaan dari mukanya. Sesaat kemudian, ia berkata pula: “Orang ketiga yang mengenal jiwaku adalah Yoe Peng, dayangnya Thianlie Tjietjie. Ia adalah seorang yang selalu bergembira, sehingga siapa juga yang bergaul dengannya, akan turut merasa gembira.” Thian Oe terkejut. “Apa maksudnya perkataan Chena?” ia tanya dirinya sendiri, la menatap wajah si nona dengan rasa kasihan dan kemudian berkata: “Chena, aku hanya bisa berkumpul dengan kau seorang. Dalam dunia ini, tiada lain manusia yang bisa dibandingkan denganmu.” Si nona dongak dan melihat sang rembulan yang sudah doyong ke barat. Untuk sekian kalinya ia menghela napas. “Sekarang benar-benar aku mesti lantas berlalu,” katanya. “Tidak!… Tidak!… Chena, kau tak boleh meninggalkan aku dengan begitu saja!” kata Thian Oe dengan suara serak, sambil mencekal erat-erat ujung baju si nona. Tiba-tiba di sebelah kejauhan terdengar suara lonceng. Si nona kelihatan terkejut dan lalu mulai menghitung dengan suara perlahan: Satu… dua… tiga… dua belas… tiga belas… tujuh belas… delapan belas…” “Kenapa kau menghitung?” tanya Thian Oe. “Apa suara lonceng itu dari istana sementara Hoatong?” “Sudah hampir sembahyang pagi,” jawabnya. “Sembahyang pagi?” menegas Thian Oe, sambil menatap wajah si nona. Chena melengos. Mendadak ia berkata: “Hoat-ong sudah tiba disini dan kota Sakya ramai bukan main. Dua hari lagi akan diadakan upacara pembukaan kuil Lhama.” “Tanpa kau, aku tak mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan keramaian apapun juga,” kata Thian Oe. “Aku tak ingin menyaksikan pembukaan kuil itu.” “Baiklah,” kata si nona dengan tertawa sedih. “Biarlah sekarang saja kita berpisahan.” Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebilah pisau dan memotong ujung bajunya yang sedang dicekal Thian Oe dan di lain saat, ia sudah berada di atas tembok!… Bagaikan orang lupa ingatan, Thian Oe berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Kejadian barusan seolah-olah suatu impian menakuti. Ia merasa otaknya pusing dan tak dapat bekerja lagi. Kenapa Chena datang untuk segera pergi lagi dengan begitu terburu-buru? Apa arti perkataanperkataannya? Kenapa ia tak boleh menikah? Peraturan apa yang dilanggarnya? Berbagai pertanyaan masuk ke dalam otaknya, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat jawabnya. Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan orang-orang yang bersuka ria sudah mulai pulang. Mereka tak tahu, bahwa sang majikan muda juga tak tidur semalam suntuk. Karena sudah ketelanjur, mereka tidak lantas pergi tidur dan lalu beromong-omong. Thian Oe adalah majikan yang selalu bersikap manis terhadap pegawai dan bujang, sehingga mereka tidak merasa takut untuk bicara di hadapannya. “Sayang sungguh Wanita-wanita Suci itu mengenakan kudungan muka,” kata yang satu. Thian Oe kaget dan segera mendekati sambil menanya: “Wanita Suci apa?” Yang baru pulang menonton ada delapan orang dan mereka lantas saja memberi keterangan. “Wanita Suci yang dibawa Budha Hidup. Agama Topi Putih berbeda dengan Topi Kuning. Topi Putih boleh mempunyai Lhama wanita.” “Menurut katanya orang, Wanita Suci itu pandai menyanyi dan menari. Pada upacara pembukaan kuil, mereka akan memperlihatkan kepandaiannya.” “Ya. Mereka kelihatannya cantik sekali, hanya sayang mengenakan kudungan muka.” “Kau jangan mengeluarkan perkataan gila-gila! Menurut pendengaranku, Wanita Suci itu sungguh-sungguh suci dan tak boleh dilanggar-langgar. Jika kau tak turut menghadiri upacara, mencuri lihat saja sudah merupakan satu kedosaan.” “Apa dia tak boleh menikah?” “Tidak! Jangankan menikah, sedangkan bicara dengan lelaki sudah tak boleh.” “Ah! Sungguh sayang! Setiap Wanita Suci itu pasti cantik luar biasa. Pakaiannya saja sudah begitu indah. Baju dan koen serba putih dan dua ikatan pinggang sutera yang berwarna putih pula. Setiap orang ramping badannya, ceking pinggangnya dan kalau dia berjalan, aduh! Bagaikan Puteri Kahyangan yang turun ke bumi!’ Thian Oe mendengari pembicaraan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya jantungnya semakin lama memukul semakin keras. “Apa Chena sudah jadi Wanita Suci? Kenapa ia mau jadi Wanita Suci?” tanyanya di dalam hati. Pikirannya jadi semakin kusut, kepalanya semakin pusing. Semalam ayahnya menginap di gedung Touwsoe dan sampai tengah hari belum juga pulang. Pagi itu, seperti orang kehilangan semangat, Thian Oe duduk termenung dalam kamar tulis sambil mengasah otak untuk memecahkan teka-teki sekitar kecintaannya itu. Tiba-tiba ia terkejut karena terdengarnya suara orang memanggil: “Kongtjoe, ada tamu.” “Siapa?” tanyanya. Alisnya berkerut dan ia berkata pula sambil mengebas tangan: “Hari ini aku tidak menerima tamu. Minta dia datang di lain hari saja.” “Baiklah,” kata si pelayan, tapi ia terus berdiri di depan pintu. “Ada apa?” tanya pula Thian Oe. “Menurut katanya tamu itu, ia adalah sahabat Kongtjoe,” jawabnya. “Pengurus rumah tanga sedang menemaninya di kamar tamu.” “Siapa ia?” menegas Thian Oe dengan perasaan heran, karena si pengurus rumah tangga sudah berani menerima tamu itu tanpa permisi. “Dandannya seperti seorang sasterawan dan ia she Tong,” menerangkan si pelayan. “Menurut katanya pengurus rumah tangga, ia pernah membuang budi besar kepada Looya.” “Aduh!” teriak Than Oe sambil berlari-lari keluar tanpa menukar pakaian lagi. Tamu itu bukan lain daripada Tong Keng Thian. Pengurus rumah tangga keluarga Tan pernah mengikut Tan Teng Kie waktu menyambut guci emas, sehingga ia mengenali pemuda itu. Tak usah dikatakan lagi, pertemuan itu sangat menggirangkan kedua belah pihak. “Tong-heng,” kata Thian Oe sambil menjabat erat-erat tangan Keng Thian. “Angin apa yang sudah meniup kau datang kemari? Benar-benar aku bisa pingsan karena kegirangan.” “Kebetulan lewat, aku mampir,” jawabnya. “Dan lebih-lebih kebetulan, karena kota ini sedang bersuka ria.” “Apa Tong-heng ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil?” tanyanya. “Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak,” sahutnya. Melihat paras tamunya seperti orang yang ingin membicarakan suatu rahasia, Thian Oe lantas saja berkata: “Marilah masuk, supaya kita bisa bicara dengan leluasa dan gembira.” Tanpa menunggu jawaban, ia menuntun tangan Keng Thian yang lalu diajak ke kamar buku. Baru saja pelayan mengantarkan teh, Keng Thian sudah berbisik: “Bagaimana dengan Chena?” Thian Oe berjingkrak bahna kagetnya. Cangkir teh jatuh dan hancur di lantai. “Tong-heng, kau kenal Chena?” tanyanya dengan suara gemetar. Sebagai seorang yang sangat pintar, Keng Thian lantas saja dapat menebak, bahwa gadis Tsang itu adalah jantung hatinya Thian Oe. “Dimana Tong-heng bertemu dengannya?” tanya Thian Oe, tak sabaran. “Di istana Hoat-ong Sekte Topi Putih,” jawabnya. “Sungguh sayang, waktu itu aku belum tahu, bahwa ia adalah gadis idam-idamanmu. Jika ‘ku tahu, aku tentu akan membujuk supaya ia mengurungkan niatan untuk menjadi Wanita Suci.” Sesudah itu, secara ringkas ia lalu menuturkan segala pengalamannya di istana Hoat-ong dan di keraton Wanita Suci. “Kalau begitu, dia sendiri yang rela menjadi Wanita Suci,” kata Thian Oe dengan suara perlahan. “Tapi kenapa? Kenapa?…” Mereka segera coba menduga-duga, tapi tak dapat menebak apa maksudnya Chena. Waktu magrib, Tan Teng Kie pulang dan kunjungan Keng Thian menggirangkan sangat hatinya. Biarpun sangat lelah, ia memaksakan diri untuk menemani pemuda itu dan menghaturkan terima kasih untuk segala pertolongannya pada waktu penyambutan guci emas. Dalam omong-omong, mereka tentu saja membicarakan juga soal kedatangan rombongan Hoat-ong dengan Wanita-wanita Suci yang sangat menarik perhatian. “Sebenarnya Touwsoe ingin membuat satu tempat istimewa dalam bentengannya untuk tempat menginap para Wanita Suci,” •menerangkan Teng Kie. “Ia juga ingin memerintahkan budak-budak perempuannya untuk belajar menari dengan Wanita Suci itu. Hoat-ong tidak berkeberatan, tapi Ibu Suci katanya tidak menyetujui. Belakangan mereka membuat sebuah tempat penginapan di dalam taman istana sementara Hoat-ong. Touwsoe merasa sangat mendongkol, tapi ia tak bisa berbuat suatu apa.” Hati Thian Oe berdebar-debar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian, sebab merasa terlalu capai, Teng Kie lalu meminta maaf kepada Keng Thian dan masuk ke dalam untuk mengasoh. Begitu ayahnya berlalu, Thian Oe segera mengajak tamunya kembali ke kamar tamu dan begitu mereka mengambil tempat duduk, ia segera berkata: “Malam ini aku ingin mengunjungi Chena.” Keng Thian terkejut: “Tidak! Kau tak boleh pergi!” ia mencegah. “Istana sementara Hoat-ong bukan tempat sembarangan. Tahun yang lalu, waktu menyelidiki keraton Wanita Suci, hampir-hampir aku hilang jiwa.” Thian Oe mengawaskan tamunya dengan sorot mata duka. “Terima kasih untuk nasehatmu,” katanya dengan suara perlahan. “Tapi, walaupun mesti berenang di air atau menyerbu api, biarpun badanku bisa hancur lebur, malam ini aku mesti menemuinya. Andaikata tak dapat bicara, sedikitnya aku harus melihat dia.” Tong Keng Thian yang cukup mengenal penderitaan cinta, menghela napas panjang. Ia menatap wajah Thian Oe dengan perasaan kasihan. “Baiklah,” katanya. “Malam ini aku akan mengantar kau.” Bukan main girangnya Thian Oe. Ia menjabat tangan Keng Thian erat-erat dan mencekalnya lama sekali. “Sekarang pergilah kau mengasoh, supaya sebentar kau mempunyai cukup tenaga dan semangat,” kata Keng Thian. “Mana aku bisa pulas?” kata Thian Oe sambil tertawa getir. “Jika mungkin, sekarang juga aku ingin pergi kesana.” Keng Thian tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pemuda itu. “Jika kau tak mau mengasoh, aku ingin menanya tentang satu orang,” katanya. “Siapa?” tanya Thian Oe. “Seorang pengemis yang lagaknya gila-gilaan dan selalu cari-cari urusan,” kata Keng Thian. “Menurut katanya beberapa pegawai, beberapa hari berselang di kota ini berkeliaran seorang pemuda otak miring yang membagi-bagikan kembang gula dan kue-kue kepada anak-anak di sepanjang jalan,” menerangkan Thian Oe. “Tapi dia bukan pengemis, pakaiannya bagus sekali.” “Dimana dia sekarang?” tanya Keng Thian. “Entah,” sahutnya. “Dalam beberapa hari ini, orang tidak memperhatikannya lagi karena repot menyambut rombongan Hoat-ong. Aku pun hanya mendengar cerita orang.” Alis Keng Thian berkerut, tapi ia tak menyatakan suatu apa. “Kalau begitu Kim Sie Ie tentu sudah berada dalam kota ini,” katanya didalam hati. “Untuk apa Tong-heng menyelidiki orang itu?” tanya Thian Oe. Keng Thian menghela napas panjang seraya berkata: “Biarpun urusanku tidak sesedih urusanmu, tapi cukup sulit. Aku ingin menolong seorang yang tak disuka olehku. Jika mau diceritakan, urusan ini panjang sekali. Hai! Biarlah nanti saja aku memberitahukannya.” Malam itu, dengan menggunakan lweekang, Keng Thian membantu Thian Oe menjalankan pernapasannya. Kira-kira tengah malam mereka lalu menukar pakaian jalan malam dan segera berangkat ke istana sementara Hoat-ong. Istana sementara itu adalah sebuah gedung yang berdiri membelakangi gunung. Gedung itu sebenarnya adalah rumah tinggal seorang Nyepa (semacam pangkat di sebelah bawah Touwsoe). Untuk menyambut kedatangan Hoat-ong, maka pada satu bulan berselang, Touwsoe telah memerintahkan supaya Nyepa dan keluarganya pindah dari gedung itu yang lalu diperbarui, diperindah dan ditambah segala kekurangannya. Sebab hatinya tidak sabaran, Thian Oe lari secepat-cepatnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, sehingga kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak bumi. Keng Thian kaget karena ia tidak menduga, bahwa selama beberapa tahun saja, pemuda itu sudah mendapat kemajuan yang sedemikian jauh. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa kemajuan tersebut adalah berkat buah luar biasa yang telah dimakan Thian Oe di istana es. Belum cukup setengah jam, mereka sudah tiba di istana Hoat-ong dan lalu melompat masuk ke dalam taman bunga. Sesudah berjalan beberapa tombak, di antara ratusan pohon bunga yang menyiarkan wewangian menyedapkan, mereka melihat sebuah loteng cat merah yang agak tertutup dengan pohonpohon tinggi yang rindang daunnya. Selagi Thian Oe jalan memutari gunung-gunungan batu untuk melompat ke atas loteng itu, sekonyong-konyong Keng Thian menarik tangan bajunya dan mereka lalu bersembunyi di belakang gunung-gunungan itu. Tiba-tiba terdengar kesiuran angin dan tiga bayangan manusia berkelebat masuk ke dalam taman. Waktu mereka hinggap di muka bumi, hanya seorang yang kakinya memperdengarkan suara, sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dua orang lainnya mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi. Begitu masuk, mereka mengawasi ke empat penjuru dan kemudian bersembunyi di belakang gunung-gunungan batu yang lain. Thian Oe mengintip dari sela-sela batu dan lapat-lapat ia melihat bayangan badan mereka. Sesaat kemudian, seorang antaranya yang bertubuh gemuk dan yang tadi kakinya mengeluarkan suara waktu hinggap di atas tanah, tiba-tiba menoleh ke belakang. Dalam sekelebatan Thian Oe melihat mukanya dan ia terkejut. Orang itu ternyata bukan lain daripada orang kepercayaan Touwsoe, yaitu Omateng, yang pada suatu malam dua tahun berselang, telah mengubar-ubar Chena di sebuah gunung. Mendadak kuping Thian Oe menangkap suara yang sangat perlahan. “Apa kau sudah melihat tegas, bahwa wanita itu adalah puteri Raja muda Chinpu?” tanya seorang. “Ya, biarpun dia mengenakan kudungan, aku bisa memastikannya,” jawab Omateng. Thian Oe heran tak kepalang. “Kenapa dia begitu memperhatikan Chena?” ia menanya dirinya sendiri. “Kedatangannya di kali ini juga adalah untuk menyelidiki Chena.” Sesaat itu, ia lantas saja ingat segala tindakan Omateng dalam waktu yang lalu. Dulu, ketika Chena jatuh ke dalam tangan Touwsoe, dialah yang sudah memohon ayahnya untuk menolongnya. Tapi belakangan, kenapa ia terus mengubar-ubar, sampai di Puncak Es? Apa maksudnya? Maksud baik atau maksud jahat?” “Apa kau ingin memberitahukan Touwsoe?” tanya kawannya. “Jika Touwsoe diberitahukan, ada baiknya, ada juga tidak baiknya,” jawabnya. “Paling bagus jika kita bisa bertemu dengan Chena. Tapi…” Belum habis perkataannya, di atas loteng mendadak terdengar suara apa-apa. Thian Oe mendongak dan melihat terbukanya pintu di satu sudut, disusul dengan keluarnya seorang wanita yang tangannya memegang serupa alat musik. Perlahan-lahan ia menghampiri langkan dan kemudian, sambil menyender di langkan, ia mementil alat musik yang dibawanya. Sesaat kemudian, terdengar nyanyian yang seperti berikut: Sungai es di puncak gunung, laksana Bima Sakti (Milky Way) yang nyungsang. Dengarlah ‘tu kepingan es mengalir dengan perlahan sekali. Ibarat suara letabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita. Si nona menanya si pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki? Berapa topan lagi harus kau lewati? Itulah suatu lagu gembala di wilayah Tibet yang sangat mengharukan hati, yang dulu pernah didengar Thian Oe, waktu pertama kali ia bertemu dengan si nona di padang rumput. Hatinya perih seperti diiris-iris dan matanya terus mengawasi seperti orang lupa ingatan. Tiba-tiba salah satu jendela yang bersinar terang, terbuka dan seorang Wanita Suci memanggil dengan suara perlahan: “Sudah malam, Chena Tjietjie. Apa kau tak mau tidur? Jangan melamun!” “Aku tak bisa pulas,” jawabnya. “Aku ingin turun sebentaran dan waktu kembali, aku akan membawa bunga bwee untukmu.” Sehabis berkata begitu, sambil memeluk alat musiknya ia turun dari atas loteng dan menyanyi dengan suara perlahan: Di langit, sang elang terbang berputaran. Di bumi, kawanan binatang lari lintang pukang. Ah! Sungguh ‘ku ingin menjadi sang elang! Sungguh ‘ku ingin menjadi pisau pembalasan! Untuk menerkam si raja singa yang kejam. Untuk menikam jantungnya musuh! Nyanyian itu adalah nyanyian pembalasan sakit hati di wilayah padang rumput dan bahwa nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang Wanita Suci, adalah kejadian yang sungguh luar biasa. Setindak demi setindak Chena berjalan ke arah tempat bersembunyinya Thian Oe yang terus mengincarnya sambil menahan napas. Tak jauh dari situ adalah gunung-gunungan tempat bersembunyinya Omateng dan kedua kawannya. Thian Oe melirik dan kebetulan si gemuk sedang mengintip sambil menongolkan sedikit kepalanya. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, tiba-tiba ia melihat Omateng ‘ tersenyum, satu senyuman licik dan kejam yang membangunkan bulu roma. Beberapa tahun berselang, waktu bertemu Chena dan Omateng di bukit es pada suatu malam terang bulan, ia pun pernah melihat senyuman begitu. Tanpa merasa ia bergidik. Tiba-tiba si nona menghentikan tindakannya dan mendongak memandang rembulan sambil menghela napas berulang-ulang. “Ah! Thian Oe, Thian Oe!” ia mengeluh dengan suara perlahan. “Sungguh-sungguh aku kejam terhadapmu!” Mendengar itu, Thian Oe tak dapat menguasai dirinya lagi. Ia tak ingat lagi dimana ia berada dan lalu melompat sambil berteriak: “Chena!” Di lain saat. Dalam taman itu sudah terdengar teriakan-teriakan orang. Tiba-tiba Thian Oe merasa dirinya dikempit dan dibawa terbang, akan kemudian kedua kakinya hinggap di atas tembok. Hampir berbareng ia melihat satu sinar merah menyambar ke bawah. “Lekas! Lekas lari!” Keng Thian berbisik. Thian Oe segera meloncat ke bawah dan terus kabur, diikuti oleh kawannya. Sayup-sayup mereka mendengar suara ramai-ramai di dalam taman. “Hoatong sudah keluar,” kata Keng Thian sambil tertawa. “Omateng bisa celaka.” Sesuai dengan dugaan Keng Thian, sebelum keburu kabur, Omateng bertiga sudah dikepung. Orang yang menerjang paling dulu adalah si Ibu Suci dan empat murid utama dari Hoat-ong yang meronda di taman itu. Dua kawan Omateng, yang satu bernama Teruchi dan yang lain Kili Singh, adalah jago-jago yang mempunyai kepandaian paling tinggi di Kalimpong. Begitu berhadapan, si Ibu Suci yang bersenjata sepasang pantek konde yang panjangnya satu kaki, segera menikam Teruchi. Senjata itu yang terang-terangan mengenakan tepat di dada musuh, mendadak melejit seperti melanggar benda licin, sehingga, waktu Teruchi melompat ke samping, si Ibu Suci terhuyung ke depan dan menubruk salah satu Lhama. Ia malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah merah padam. Ternyata jago Kalimpong itu memiliki ilmu Yoga yang sangat liehay. Sementara itu, Kili Singh yang tidak mempunyai ilmu Yoga, tapi yang ilmu silatnya lebih tinggi daripada Teruchi, sudah mulai bergebrak dengan murid Hoat-ong. Sesudah lewat beberapa jurus, murid Hoat-ong mendadak mengirim satu pukulan geledek yang menyambar bagaikan kilat ke dada musuh. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Kili Singh menangkis kekerasan dengan kekerasan. Begitu kedua tangan beradu, murid Hoat-ong sempoyongan, sedang Kili Singh pun bergoyang-goyang badannya. Melihat kesempatan baik, Ibu Suci menerjang dan menikam jalanan darah Tiongpeng hiat dan Kietjong hiat, di kempungan Kili Singh. Tapi, biarpun diserang mendadak selagi badannya tergetar akibat pukulan musuh, Kili Singh yang memiliki ilmu silat Poloboen, bisa juga menolong diri dengan jungkir balik. Pantek konde itu menembus celananya, tapi tak sampai mengenakan jalanan darah. Sesudah itu, dengan gerakan Leehie tahteng (Ikan gabus meletik), ia melompat berdiri dan terus kabur. Ibu Suci jadi kalap karena gusarnya. Ia menganggap, bahwa dua musuh itu sengaja mempermainkannya dengan ilmu yang aneh. Ia berteriak memberi komando dan dalam sekejap empat murid utama dan sejumlah Lhama sudah mengubar dan mencegat dua jago Kalimpong itu. Melihat ketika baik, dengan hati berdebar-debar Omateng melompat ke arah loteng merah dengan niatan menyembunyikan diri untuk sementara waktu. Tapi apa mau, Hoat-ong yang baru keluar dari istana, telah melihat gerak-geriknya. Ia lantas saja mematahkan cabang pohon yang lalu dipentilnya. Bagaikan kilat cabang itu menyambar kaki Omateng yang segera roboh terguling di atas tanah. Muka si gemuk jadi pucat seperti kertas waktu mengetahui siapa yang merobohkannya, sedang Hoat-ong sendiri agak terkejut ketika melihat, bahwa si pengacau adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya sendiri. Tangannya yang sudah terangkat diturunkan lagi dan ia lalu memerintahkan seorang Lhama untuk mengikat tawanan itu. Sementara itu, Teruchi dan Kili Singh sudah kabur sampai di pinggir tembok. Dalam keadaaan terdesak, buru-buru Kili Singh membuka Djoanso (tali) yang mengikat pinggangnya dan lalu memutarnya bagaikan titiran. Karena titiran tali itu disertai dengan tenaga hebat, maka semua Lhama tidak berani maju menyerang. Dengan gusar Hoat-ong lalu memburu kesitu dan begitu tiba, Teruchi justru sedang naik ke atas tembok. Sekali menjejak kaki, badannya melesat bagaikan anak panah dan tangannya menjambret tumit kaki jago Kalimpong itu. Mendadak ia merasa tangannya seperti mencengkeram kapas, tumit itu mengkeret dan terlepas dari cengkeramannya. Ia mendongkol bukan main dan sambil mengerahkan lweekang, lalu menekuk jerijinya untuk mementil dengan ilmu Tantjie Sinthong (ilmu mementil). Jika kena, tulang kaki Teruchi pasti akan hancur. Kili Singh terkesiap. Untuk menolong kawan, buru-buru ia menyapu dengan Djoanso-nya. Hoat-ong marah, ia membalik tangan dan lalu membabatnya. Hebat sungguh babatan itu yang disertai lweekang! Begitu tersentuh, Djoanso Kili Singh putus jadi dua potong. Sementara itu, berkat pertolongan sang kawan, Teruchi berhasil meloloskan diri dan terus mabur. Dengan gergetan Hoat-ong menotok jalan darah Kili Singh yang terus roboh dan lalu diikat oleh seorang Lhama. Semua kejadian itu terjadi dalam tempo pendek. Chena sendiri berdiri terpaku bagaikan patung sambil memeluk alat musiknya yang bertali lima. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh, sedang di kupingnya masih terus berkumandang teriakan Thian Oe. Seolah-olah tidak melihat segala kekacauan dan tidak mendengar teriakan-teriakan dalam taman itu. Sesudah Omateng dan Kili Singh dibekuk dan Hoat-ong memanggil namanya, barulah ia tersadar dari lamunannya. Ia mendongak dan matanya kebentrok dengan mata Omateng. Ia kelihatan kaget dan berkata dengan suara perlahan: “Hm! Omateng!” “Kau kenal dia?” tanya Hoat-ong. “Kenal,” jawabnya “Dia adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya.” “Nona itu adalah piauwmoay-ku (adik misan),” kata Omateng. “Chena,” kata Ibu Suci dengan perasaan heran. “Kenapa kau tidak pernah memberitahukan, bahwa kau masih punya saudara misan?” Sebelum menjawab, si nona melirik Omateng yang parasnya kelihatan bingung sekali. Sesaat itu juga, ia ingat beberapa kejadian pada waktu yang lalu. Ia ingat, bahwa Omateng pernah meminta pertolongan Tan Teng Kie untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman Touwsoe. Ia ingat pula perkataan Omateng pada malam terang bulan itu, bahwa Touwsoe adalah musuh bersama dari mereka berdua dan bahwa dia bersedia memberi bantuan dalam usaha membalas sakit hati. Walaupun ia tidak melupakan perkataan Thian Oe yang memperingatkan, bahwa Omateng bukan manusia baik-baik, tapi, baik atau jahat, ia belum mempunyai bukti yang teguh. “Tak perduli dia baik atau jahat, dia adalah seorang yang pernah coba menolong aku,” katanya di dalam hati. Mengingat begitu, dengan suara tawar ia menjawab: “Sesudah mengabdi kepada Budha Hidup dan menjadi Wanita Suci secara suka rela, aku telah membebaskan diri dari segala ikatan dunia. Jangankan piauwko (saudara misan), sedangkan ayah dan ibu sendiri pun sudah jadi seperti orang luar.” Si Ibu Suci manggut-manggutkan kepalanya seraya memuji: “Bagus! Dengan demikian, kau adalah seorang Wanita Suci yang benar-benar sudah memisahkan diri dari segala keduniawian.” Hoat-ong yang sudah agak mereda kegusarannya, lantas saja berkata: “Sebagai seorang Nyepa, kau sudah mengacau dalam istana kami. Apa kau tak tahu, bahwa perbuatanmu itu adalah satu kedosaan?” “Tahu,” jawabnya, menunduk. “Aku memohon pengampunan Budha Hidup.” “Apa kau datang kemari hanya untuk bertemu Chena?” tanyanya pula. “Benar,” sahutnya. “Aku mengetahui, bahwa seorang Wanita Suci tidak boleh bertemu dengan orang luar dan dengan tersesat, aku sudah masuk kesini seorang diri. Untuk kedosaan itu, aku memohon pengampunan.” Alis Hoat-ong berkerut. “Kau datang sendirian?” ia menegas. “Apa dua orang itu bukan kawanmu?” “Bukan,” si gemuk menyangkal. “Waktu tiba disini, dua penjahat itu sudah berada di dalam taman. Lantaran begitu, aku segera menimpuk dengan batu untuk memperingatkan orang-orang yang menjaga disini. Jika mereka adalah kawanku, aku tentu tak begitu gila.” Si gemuk ternyata satu pendusta yang liehay juga otaknya. Thiansan Sinbong yang ditimpukkan oleh Tong Keng Thian, diakui sebagai batu yang dilontarkan olehnya. Hoat-ong merasa sangsi dan lalu menanya pula: “Bagaimana kau tahu, bahwa mereka adalah penjahat?” “Mereka sudah sering mengacau disini,” jawabnya. “Mereka merampok dan melakukan banyak kejahatan lain. Sebagai Nyepa, aku bertugas untuk membekuk orang-orang jahat, tapi karena tidak mempunyai pembantu pandai, sebegitu lama mereka belum dapat ditangkap!” Bukan main gusarnya Kili Singh. Tapi ia tidak dapat membela diri, sebab jalanan darahnya sudah ditotok. Hoat-ong tertawa terbahak-bahak. “Apa benar begitu?” tanyanya. Sekonyong-konyong Omateng melompat dan menghantam kepala Kili Singh. “Bikin apa kau?” membentak Hoat-ong sambil mengebas dengan tangannya, sehingga si gemuk terjungkir balik. Tapi pertolongan itu agak terlambat, karena kepala Kili Singh sudah terpukul hancur dan tewas jiwanya. Sambil merangkak bangun, Omateng berkata dengan kegusaran yang dibuat-buat: “Berulangulang manusia itu menghina aku dan mengacau dalam kota Sakya. Sekarang ia malahan berani masuk kesini dan melawan Budha Hidup. Sewaktu hilap, aku tak bisa menahan sabar dan sudah menurunkan tangan sebelum mendapat permisi. Untuk kesalahan itu, aku memohon Budha Hidup sudi mengampuninya.” Hoat-ong sangat menyangsikan keterangan si gemuk, tapi ia mempunyai lain pertimbangan. Biar bagaimanapun juga Omateng adalah orang sebawahannya Touwsoe sehingga, jika ia sendiri menjatuhkan hukuman, seperti juga ia tidak memandang mukanya Touwsoe. Di samping itu, dia adalah saudara misan Chena. Karena adanya pertimbangan itu, ia lantas saja berkata: “Baiklah. Kejadian malam ini aku akan segera memerintahkan orang untuk melaporkan kepada Touwsoe. Apa kau benar atau salah, apa kau harus dihukum atau tidak, biarlah Touwsoe yang memutuskannya.” Omateng girang bukan main. Buru-buru ia berlutut sambil manggutkan kepala berulang-ulang. “Terima kasih, terima kasih untuk belas kasihan Budha Hidup,” katanya. “Tapi apakah aku bisa bicara dengan Chena?” “Boleh, kau boleh bicara disini,” sahutnya. “Apa aku boleh mendengari pembicaraan itu?” “Tentu saja boleh,” jawabnya terburu-buru. “Hanya urusan kecil saja. Bahwa Budha Hidup memberi ijin, sudah merupakan suatu budi yang sangat besar. Hm! Chena, sebagaimana kau tahu, aku telah mempelajari Gwakang (ilmu luar) dari Agama Topi Merah. Dengan memiliki ilmu itu, tulang-tulangku keras bagaikan besi. Tapi entah kenapa, belakangan ini kepalaku sering sakit. Bagian yang sakit ialah tiga dim di bawah belakang kepala. Aku ingat, bahwa dalam keluargamu terdapat kayu Simhio bok (semacam kayu garu) yang berusia ribuan tahun. Menurut katanya orang, jika kita menggodok kayu itu dan diminum airnya, sakit kepala akibat latihan gwakang bisa menjadi sembuh. Apa kau menyimpan kayu itu? Bolehkah aku meminjamnya untuk sementara waktu?” Chena bingung, ia tak mengerti apa maksudnya si gemuk. Apa itu Simhio bok? Ia sama sekali tidak memilikinya. Sementara itu Omateng mengacungkan jempol tangan dan meraba bagian belakang lehernya, di tempat yang cekung. “Disini, disini yang sakit,” katanya. Tiba-tiba Hoat-ong mengangsurkan tangan dan menekan di bagian itu dengan jerijinya. “Disini?” tanyanya. “Aduh!” berteriak Omateng. “Benar disitu!” “Baiklah, aku akan menolong,” kata Hoat-ong sambil mengurut beberapa kali. Omateng berteriakteriak kesakitan dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah itu, dengan terbirit-birit dia lari keluar dari taman itu. Hoat-ong tersenyum dan membiarkan dia kabur. Sesudah si gemuk berlalu, Hoat-ong berkata dengan suara dingin: “Aku tak mengerti, kenapa Touwsoe menggunakan orang gila itu sebagai Nyepa. Semua perkataannya dusta belaka.” Chena kaget. “Apa dia berdusta?” tanya Ibu Suci. “Bahwa dia pernah mempelajari Gwakang dari Agama Topi Merah, adalah hal yang sebenarnya,” menerangkan Hoat-ong. “Dan juga benar, bahwa jika seseorang berlatih salah, ia bisa merasakan sakit di bagian kepala. Tapi barusan, waktu aku mencobanya, ternyata dia berdusta. Jika benar ia mendapat luka di dalam badan karena latihan salah, ia tentu akan memuntahkan darah hitam waktu diurut olehku.” “Tapi kenapa dia mengaco belo?” tanya pula Ibu Suci. “Entah,” sahutnya. “Aku juga tak tahu. Chena, apa benar keluargamu memiliki Simhio bok yang berusia ribuan tahun? Memang benar, air godokan Simhio bok bisa menyembuhkan penyakit begitu.” “Semenjak kecil, Piauwko-ku memang mempunyai penyakit otak miring yang kadang-kadang kambuh,” kata si nona. “Malam ini, penyakit itu rupanya kumat lagi. Dulu, keluargaku memang mempunyai kayu mustika itu. Belakangan waktu ayah meninggal dunia, kayu itu dimasukkan ke dalam peti matinya. Hal ini rupanya tidak diketahui Piauwko.” Di Tibet memang terdapat kepercayaan, bahwa Simhio bok bisa mencegah rusaknya jenazah dalam tempo lama dan banyak hartawan menyimpan kayu begitu. Maka itu, Hoat-ong percaya akan keterangan Chena dan tidak mendesak lagi. Ia tak tahu, bahwa Chena pun telah berdusta kepadanya. Malam itu, si nona tak tidur. Ia rebah di pembaringan sambil mengasah otak untuk coba memecahkan apa maksud Omateng. Chena adalah seorang yang berotak cerdas dan sesudah memikir beberapa lama, ia dapat meraba-raba maksud si gemuk. “Ya! Dengan mengacungkan jempol mungkin ia ingin mengatakan bahwa Touwsoe tak boleh dibuat gegabah, bahwa Touwsoe juga pernah mempelajari ilmu Gwakang Agama Topi Merah,” katanya di dalam hati. “Mungkin ia ingin memberitahukan, bahwa Touwsoe memakai baju lapis besi yang tidak dapat ditembuskan senjata tajam dan bahwa bagian kelemahannya adalah di belakang kepala, tiga dim di bawah otak.” Semakin ia memikir, semakin ia merasa, bahwa tafsirannya adalah tafsiran yang tepat dan diam-diam ia merasa berterima kasih untuk petunjuk itu. Tanpa merasa fajar sudah menyingsing. “Chena,” memanggil Ibu Suci. “Lekas berdandan. Tengah hari tepat kita harus pergi ke kuil untuk menjalankan upacara pembukaan.” Dengan perasaan duka, ia bangun dan lalu membersihkan badan. Ia berdandan dengan hati seperti diiris-iris, karena mengingat Thian Oe. “Apakah Thian Oe akan datang?” tanyanya di dalam hati. “Aku ingin sekali bertemu pula dengannya untuk penghabisan kali. Tapi… ah! Lebih baik dia jangan datang.” Di lain pihak, Thian Oe pun berada dalam kedudukan yang sama. Ia berkeras ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil, tapi Keng Thian sebisa-bisa coba mencegahnya. “Bagaimana kau sendiri? Kau pergi tidak?” tanya Thian Oe. “Aku pergi,” jawabnya. “Aku pergi sendirian, kau tunggu saja di rumah.” “Kenapa kau boleh, aku tak boleh?” kata Thian Oe, uring-uringan. “Pergiku ini adalah untuk menemui seorang yang sedang dicari olehku,” menerangkan Keng Thian. “Tapi kau? Guna apa kau cari-cari urusan? Kau sendiri sudah tahu, dia menjadi Wanita Suci dengan suka rela.” “Justru itu,” kata pula Thian Oe. “Justru karena ia sudah menjadi Wanita Suci, aku ingin melihat wajahnya sekali lagi.” “Hai! Benar-benar kau kepala batu,” kata Keng Thian. “Semalam, jika tak keburu lari, kita tentu sudah celaka. Upacara hari ini bukan upacara kecil. Di samping rombongan Hoat-ong, hadir juga utusan Dalai dan Panchen Lama, Touwsoe dan lain-lain pembesar negeri. Jika sampai terjadi onar, bagaimana kita menghadapinya?” “Mana bisa onar?” Thian Oe terus mendesak. “Aku berdiri di antara orang banyak dan tujuanku hanyalah untuk melihat wajahnya, satu kali saja.” “Hm!” Keng Thian mengeluarkan suara di hidung. “Siapa berani tanggung? Semalam jika kau tidak berteriak, Hoat-ong tentu tidak sampai keluar dari istananya.” “Aku bersumpah tak akan mengeluarkan sepatah kata!” kata Thian Oe dengan suara keras. “Begini saja. Kau totok saja jalanan darah gagu, supaya aku tak bisa bicara.” Keng Thian jadi kewalahan. Ia tersenyum seraya berkata: “Baiklah! Aku merasa tak tega. Biarlah, satu kali lagi aku menjalankan tugas sebagai pengantar.”
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |