Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe Peng segera jalan lebih dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan penuturannya: “Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang puteri raja yang bernama Hoa Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena raja sangat mengagumi sifat ke Tionghoa-an dan juga oleh karena sang puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari bangsa Han.
Sesudah besar, Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe songtjoan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-guru yang sengaja diundang dari Tiongkok, sehingga ia bukan saja apal macam-macam kitab, tapi juga pandai menggubah syair-syair Tionghoa. Buat menjadi guru silatnya, Raja Nepal undang ahli silat dari negara Arab. Di sebelahnya itu, ia tentu saja mahir dalam ilmu menunggang kuda dan ilmu memanah yang menjadi kesukaannya. “Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri sudah berusia delapan belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat ingin dapatkan Hoa Giok sebagai isterinya, akan tetapi, tak ada barang satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun lepas tahun dan Hoa Giok sudah berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma mempunyai seorang puteri jadi merasa bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan usia muda, ia niat pilih satu Hoema (menantu raja) dan kemudian paksa supaya puterinya mau menikah dengan pemuda pilihannya itu. Akan tetapi, Hoa Giok menolak dengan keras dan ajukan satu usul balasan. “Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia ingin memilih sendiri suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan kepada ayahnya, supaya dibcrdirikan dua loeitay, yaitu loeitay buat adu ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat. Setiap calon harus lebih dahulu dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu suratnya. Dalam ilmu silat, sesudah lulus beberapa ujian sulit, seorang calon harus adu pedang dengan ia sendiri, dan kalau menang, barulah diuji ilmu suratnya. Dalam ilmu surat, satu calon bukan saja harus mahir dalam kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti mengenal kitab-kitab dan syair Tionghoa. Di antara orang Nepal memang banyak yang mengenal bahasa Tionghoa, tapi pengetahuan mereka kebanyakan sangat cetek dan manalah bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen. Selama dua tahun, jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat orang, tapi yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh orang, sedang yang bisa menangkan Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya ketiga orang itu jatuh semuanya dalam ujian kesusasteraan Tionghoa. “Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan masuknya calon-calon bangsa Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-siang sudah pada roboh dalam ujian ilmu silat. “Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat tahun. Pada suatu hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata kepada puterinya: ‘Sekarang kau sudah gagal dalam usaha memilih Hoema, maka sepantasnya kau serahkan urusan itu ke dalam tanganku. Aku tak dapat permisikan kau membuka loeitay terus-menerus dalam tempo yang tidak terbatas.’ Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari lagi, dan kalau sudah lewat seratus hari lagi ia belum juga berhasil, barulah ayah dan anak berunding lagi. Akan tetapi, diam-diam Kongtjoe yang beradat tinggi dan agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak menikah dengan lelaki sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga berhasil, ia rela menjadi pendeta dan tidak menikah seumur hidupnya. “Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon yang berhasil, sehingga Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada hari yang ke seratus mendadak datang satu calon bangsa Han yang mukanya penuh debu dan mengatakan, bahwa ia baru saja tiba dari tempat jauh dan ingin ajukan diri sebagai seorang calon. Dalam ujian ilmu silat, pemuda itu ternyata pandai menunggang kuda dan memanah, sedang kedua tangannya sanggup angkat batu yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus berbagai ujian berat, ia akhirnya berhadapan dengan puteri Hoa Giok sendiri. Ia layani sang puteri dari tengah hari sampai magrib dan akhirnya secara indah sekali, ia sontek tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya. “Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai merasa sangat kagum. Ia ternyata mengenal baik kesusasteraan Nepal dan tentu saja sangat mahir dalam kesusasteraan Tionghoa dan malahan banyak penjelasan-penjelasan yang belum dikenal oleh sang puteri sendiri. “Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan otakmu” kata Puteri Hoa Giok. “Jika kau lulus, kau…” Kongtjoe tidak dapat teruskan perkataannya dan mukanya jadi bersemu merah. Pemuda itu lantas saja minta ia keluarkan dua ujian terakhir itu…” “Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng Tayhiap,” Thian Oe potong penuturan orang. “Koei Tayhiap sedari kecil mendapat didikan langsung dari ibunya sendiri, maka tidaklah heran kalau ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam ilmu surat dan ilmu silat. Apakah adanya itu dua ujian terakhir?” “Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah sepasang toeilian,” Yoe Peng lanjutkan penuturannya. “Toeilian tersebut harus digubah dengan menggunakan namanya, yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau sampai hio terbakar habis, toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu. Sesudah mendengar penjelasan Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: “Toeilian itu sudah ada, cuma mungkin kata-katanya sedikit menyinggung, sehingga aku mohon Paduka Puteri sudi maafkan.” Sehabis berkata begitu, Koei Tayhiap segera menulis toeilian yang bunyinya seperti berikut: 华岩妙境偕准游? Gunung indah, pemandangan permai, siapakah yang mau diajak pesiar? 看龙叶拈花 Melihat pohon Buhdi berkembang, 释迦微笑 Sa Kya bermesem simpul. 玉笛仙音邀客和 Suling giok (batu kemala), suaranya merdu, mengundang tetamu turut bersuka ria. 听相如鼓瑟,子晋吹萧 Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling.” “Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil petikan dari kitab Budha, sedang pada baris kedua, ia menggunakan hikayatnya Soema Siang Djie yang meminang Tjo Boen Koen dengan mementil khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan meniup suling, telah mengundang burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin Bok Kong, yang bernama Long Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap telah kutib cara melamar isteri dari dua orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis habis, hio baru saja terbakar sepertiga. Begitu membaca toeilian tersebut, Hoa Giok Kongtjoe tertawa dengan paras muka girang dan lalu maju dengan ujian yang kedua, yaitu ujian yang paling akhir.” (Perkataan “indah” –- hoa — dari baris pertama, jika dirangkap dengan perkataan “giok” dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu namanya sang puteri). Thian Oe tertawa seraya berkata: “Kalau begitu tidak heran Pengtjoan Thianlie begitu suka menggubah toeilian dari namanya orang. Tak tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari ayah ibunya.” “Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti kedatangan Koei Tayhiap ke Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe,” kata Yoe Peng. “Tapi bagaimana dengan ujian kedua?” tanya Thian Oe dengan suara tidak sabaran. “Hayolahjangan omongi segala hal yang tidak ada perlunya.” “Cerita ini adalah cerita didalam cerita,” demikian Yoe Peng lanjutkan penuturannya. “Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita itu belum berakhir dan dapat di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain perkataan, cerita itu bisa berakhir girang dan juga bisa berakhir sedih. Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap menulis akhirnya cerita itu.” “Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam jatuh cinta kepada seorang boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu bercintaan dengan satu dayang. Apa mau rahasia ini terbuka. Dalam kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya. Kedosaan itu adalah kedosaan besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat. “Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar biasa. Mereka percaya, bahwa di langit terdapat dewa yang memegang nasibnya manusia. Apakah terdakwa berdosa atau tidak juga diputuskan oleh sang dewa itu. Caranya adalah begini: Si terdakwa dilepaskan di atas satu lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri dan kanannya lapangan tersebut terdapat satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan, sehingga kalau si terdakwa masuk kesitu, ia tentu akan dibeset dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu yang satunya lagi terdapat satu jalanan yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk di pintu itu, ia sgera dapat pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan dibikin habis. Menurut kepercayaan, orang itu mendapat berkahnya dewa dan siapa yang mendapat berkahnya dewa, bukannya seorang jahat.” Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe dan juga oleh karena sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja menaruh belas kasihan yang istimewa. Seperti biasa, dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan. Akan tetapi, dalam pintu yang satunya lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe itu. Jika boesoe itu masuk ke dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia mesti binasa dan dewa anggap ia berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk ke dalam pintu yang berisi dayang, maka bukan saja ia akan memperoleh kemerdekaannya, tapi juga diperbolehkan menikah dengan kecintaannya itu.” “Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga turut menonton. Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara kedua pintu nasib. Waktu lewat di depan panggung, boesoe tersebut mengawasi sang puteri dengan sorot mata mohon dikasihani. Kongtjoe itu tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang berisi dayang.” “Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe. Dengan sekali tunjuk, ia dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau hidup. Pintu manakah yang akan ditunjuk oleh sang puteri? Di satu pihak, hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya boesoe itu, ditambah pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah merebut kecintaannya. Akan tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat besar, dimana ia tega kalau boesoe itu sampai dibeset singa?” “Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya Kongtjoe. Di ini detik, ia lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang dengan penuh kecintaan dan kemanisan. Di lain detik, ia lihat tubuh yang berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat dibeset singa. Ketika ia dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan dari kecintaannya itu. Pintu manakah yang sang puteri harus tunjuk?” Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga ia mendengari dengan mata mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa merasa, hatinya berdebar-debar dan turut memikiri, pintu mana yang harus ditunjuk oleh Kongtjoe. Yoe Peng tertawa dan berkata pula: “Waktu itu, pertanyaannya Hoa Giok Kongtjoe juga adalah sedemikian. ‘Andaikata kau jadi puteri itu,’ kata Puteri Hoa Giok kepada Koei Tayhiap, ‘pintu manakah yang kau akan tunjuk?’ Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok dengan pendapatnya sang puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa jawaban Koei Tayhiap benar atau salah. “Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga yang ditunjuk oleh Koei Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak mengerti soal cinta. Soal cinta dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai contoh, jika sang puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat ditafsirkan, bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta menimbulkan cemburu dan cinta yang sangat dapat menimbulkan kebencian yang sangat. Jika sang puteri tunjuk pintu yang berisi dayang, itu juga bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab orang yang betulbetul mencinta selamanya bersedia buat mengampuni orang yang dicinta, dan di sebelahnya itu, cinta berarti juga pengorbanan guna keberuntungannya orang yang dicinta. Tapi bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu? Itulah ada soal sulit yang mesti ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!” “Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok Kongtjoe: ‘Puteri dalam cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau puteri dari negara Barat?’ Cerita itu sebenarnya adalah cerita dari Eropa yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan dari berbagai penulis. Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia sengaja menanya begitu.” “Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas menanya: ‘Kalau puteri Timur bagaimana? Kalau puteri Barat bagaimana?’ Koei Tayhiap tertawa dan menyahut: ‘Kalau sang puteri adalah puteri dari negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu yang berisi dayang. Tapi jika ia adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang ada singanya. Orang Timur biasanya lebih bersedia saling mengampuni, sedang kaum wanitanya kebanyakan berhati welas asih, sehingga sepuluh sembilan ia tidak akan tega melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain pihak, cintanya wanita negara Barat bersifat monopoli, yaitu tidak sudi membagi kepada lain orang. Orang Barat suka mengatakan bahwa cinta adalah seperti biji mata dan disitu tidak boleh menyelip barang sebutir pasir. Maka itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh sembilan ia akan tunjuk pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka kecintaannya binasa daripada direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi, jika boesoe itu adalah seorang Tionghoa, siang-siang ia tentu dapat mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu sebenarnya tidak usah terjadi!” “Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya boleh tidak usah susah-susah. Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap menjawab bagaimana juga, Hoa Giok Kongtjoe tentu akan merasa puas.” “Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai Hoema. Bukan main girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan, tiga hari libur diberikan di seluruh negeri dan semua orang pada bersuka ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok Kongtjoe melahirkan seorang puteri yang diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia itulah yang belakangan dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak lelaki. Hoa Giok Kongtjoe adalah anaknya yang tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu Peng Go juga diberi gelaran Kongtjoe.” “Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun sudah lewat. Usianya raja sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri soal ahli waris yang harus gantikan ia menjadi raja.” “Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan tetapi, menurut kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh menjadi kaizar. Sudah lama Nepal kena pengaruhnya kebudayaan Tionghoa, sehingga soal itu menjadi pertentangan antara dua partai. Satu partai menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya, sedang lain pihak ingin Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris. Keponakan itu sudah lama sekali incar-incar tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai banyak sekali konco-konco dan tukang pukul. Tak usah dibilang lagi, dia sangat membenci Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara kedua partai semakin lama jadi semakin hebat, sehingga dalam kerajaan Nepal yang tenteram jadi timbul hujan angin.” “Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam bahaya, segera berdamai dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya melepaskan haknya dan sama-sama menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami isteri itu, yang mempunyai ilmu silat sangat tinggi, telah melebur ilmu pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi satu dan menggubah satu ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia pun merasa, bahwa hidup tenteram bersama-sama suaminya yang tercinta, ada lebih beruntung daripada menjadi ratu. Maka itulah, ia tinggalkan sepucuk surat buat ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton bersama suami, puterinya dan sejumlah dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri sangat dicintai orang. Waktu mau berangkat, beberapa puluh dayangnya berkeras mau mengikut juga, sehingga ia terpaksa mesti mengajak.” “Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua telah pulang ke Nepal buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak perempuan dari kalangan keluarga mereka buat diajak datang ke keraton supaya dapat mengawani Puteri Peng Go. Anak-anak perempuan itu menjadi besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi.” “Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya, Raja Nepal wafat dan keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai gantinya.” “Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba menyelidiki dimana adanya Koei Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia bisa mencarinya. Sesudah berdiam di atas Thian-ouw (Telaga Namtso), hatinya Kongtjoe menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia lebih-lebih tidak sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara misanannya adalah satu raja yang kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe meninggal dunia terlebih dahulu dari Koei Hoema. Waktu mau menutup mata, ia tinggalkan pesanan, bahwa, kecuali kalau Puncak Es roboh, semua penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung. Sesudah isterinya meninggal dunia, Koei Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk kuil Nepal dalam taman keraton. Selainnya membuat sebuah patung isterinya guna pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya pada dinding kuil tersebut. Kecuali Pengtjoan Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk kedalam kuil tersebut yang jadi semacam tempat terlarang. “Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul isterinya ke alam baka dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal dari keraton es. Seperti kedua orang tuanya, ia juga sangat suka dengan kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-dayangnya diberikan nama Han.” Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang diberikan oleh Yoe Peng. “Apa cerita itu cukup menarik?” tanya Yoe Peng dengan tertawa sedih, setelah selesai dengan ceritanya. Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: “Cerita ini juga belum berakhir. Seperti juga cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie juga bisa berakhir sedih atau berakhir girang.” “Bagaimana?” tanya Yoe Peng. “Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan kemudian hidup seperti di dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya,” menerangkan Thian Oe. “Sepasang merpati itu kemudian dapat satu puteri – yaitu Pengtjoan Thianlie – yang benar-benar seperti satu bidadari dari kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih bisa terangkap jodoh dan dapat hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok Kongtjoe, maka cerita ini berakhir girang. Akan tetapi, jika Pengtjoan Thianlie tak dapat loloskan diri dari bencana gempa bumi dan binasa secara kecewa sekali, maka cerita ini berakhir sedih.” “Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!” Yoe Peng berkata dengan suara tetap. “Harap saja begitu,” berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya. Dengan hati sedih ia mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin. Mendadakan saja ia ingat cerita tentang ia sendiri dan Chena. Ia juga tak tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan berakhir girang. Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat keluarkan sepatah kata. “Anak tolol!” kata Yoe Peng sembari towel pipinya. “Apa yang kau lagi pikirkan.” Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga sedang mendengari apa-apa. Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah dengar suara itu. “Ih! Ada orang!” ia berbisik di kupingnya Thian Oe. Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan dirinya di belakang satu batu besar. Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat mendatangi. Di sebelah timur terdengar dua tepukan tangan, sedang di sebelah barat juga terdengar dua tepukan tangan. “Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat oleh mereka,” kata Thian Oe. Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang sangat tinggi, seperti monyet mereka naik ke lereng gunung dan mengumpat di belakangnya satu batu besar, dari mana, dengan bantuan sinar rembulan, mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan nyata sekali. Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat dimana barusan Thian Oe dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas tanah dalam bentuk satu lingkaran bundar. “Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding,” berbisik Thian Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng tentang kebiasaan orang-orang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay sian. Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: “Pedagang-pedagang dari Eropa yang sangat tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka tiga belas. Mereka anggap, hari Jumat dan angka tiga belas membawa kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga belas orang dan kalau tidak salah, hari ini adalah hari Jumat.” “Mana boleh!” kata Thian Oe. “Kalau toh benar-benar sial, aku anggap cuma kebetulan saja.” Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-tiba Thian Oe ingat apa-apa. “Eh,” katanya. “Tanggal berapa ini? Tanggal penanggalan Tionghoa (Imlek).” “Tak ingat,” jawab Yoe Peng. “Penanggalan Tionghoa rewel sekali, ada bulan besar, bulan kecil. Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota aku lihat banyak orang Han membeli kue, katanya mau digunakan buat sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim Rontok).” “Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak bukunya orang Han, apa kau tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah salah satu perayaan bangsa Han yang sangat penting?” kata Thian Oe. “Apa kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee Tjapgo (bulan delapan tanggal lima belas)?” “Aku tahu,” jawab Yoe Peng. “Tapi ada urusan apa dengan Pegwee Tjapgo? Perlu apa kau begitu perhatikan penanggalan?” “Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie,” jawab Thian Oe. “Ah, aku kuatir benar-benar ada alamat jelek!” Yoe Peng jadi merasa heran sekali. “Apa?”, tanya ia. “Pengtjoan Thianlie pernah bilang apa?” “Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?” tanya Thian Oe. “Hari itu guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah bertemu musuhnya, yang belakangan diusir oleh Pengtjoan Thianlie.” “Aku tidak turut menyaksikan,” kata Yoe Peng. “Baru belakangan aku dengar penuturannya Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama Loei Tjin Tjoe. Nama itu kedengarannya luar biasa sekali.” “Benar”, kata Thian Oe. “Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga orang. Satu bernama Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan satunya lagi bernama Ong Lioe Tjoe, yang sudah kena dibinasakan oleh guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw (Telaga Namtso) adalah Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe seorang. Dengan gunakan pedang es,Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin Tjoe yang mungkin lantaran malu, mau coba bunuh diri. Pengtjoan Thianlie menolong dan mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena dipermainkan oleh Ong Lioe Tjoe dan kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia boleh datang di Chaklun pada tanggal Pegwee Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah Chaklun dan justru Pegwee Tjapgo!” Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: “Puteri Kecil selamanya belum pernah turun gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi pada malam ini?” Tapi lantaran percaya Thian Oe tidak berdusta, ia menanya pula: “Coba kau lihat, apa di antara tiga belas orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?” Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. “Tak ada,” katanya. “Heran betul! Apa ia tidak datang? Sst! Diam! Mereka sudah mulai bicara.” Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam upacara. “Kenapa Ong Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?” demikian terdengar suaranya satu orang. Thian Oe terkejut. Rupanya mereka belum mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe sudah binasa. “Mana boleh tidak datang?” kata seorang lain. “Ia sendiri yang janjikan supaya malam ini kita berkumpul disini.” “Tak usah tunggu padanya,” kata orang yang pertama. “Mari kita mulai. Bermula Hok Tayswee (Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah kita melindungi itu guci emas, tapi sekarang tidak perlu lagi. Ia perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya pada sebelum buntut tahun, semua kawan pada pergi ke Sinkiang.” “Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?” tanya seorang. “Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak,” jawab orang yang pertama. “Dalam pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid Boetong pay. Buat menghadapi mereka itu, Hok Tayswee memerlukan sekali tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee bukannya pandang kita rendah. Saudara tak usah banyak pikiran.” Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat penuturannya Siauw Tjeng Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya berbagai partai Rimba Persilatan. Partai Boetong dahulu sebenarnya mempunyai peraturan keras yang melarang murid-muridnya mencampuri urusan negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng dan permulaan dinasti Tjeng, muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It Hang. Oleh karena mencintai Liehiap Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal sebagai Pekhoat Molie (Siluman Perempuan Rambut Putih), ia tinggalkan Boetongsan dan pergi ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai baru yang membantu Yo In Tjong (muridnya Hoei Beng Siansu) melawan tentara Boantjeng. Demikianlah peraturan Boetong pay yang lama telah jadi berobah. Hal itu terjadi pada kira-kira seratus tahun berselang. Belakangan Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay dan mempunyai banyak sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-murid itu adalah pencinta-pencinta negeri yang tentangkan pemerintahan Boantjeng. Itulah sebabnya kenapa cabang Boetong di Sinkiang lebih dihargai rakyat daripada Partai Boetong di Tionggoan (wilayah Tiongkok asli). “Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid-murid Boetong,” kata Thian Oe dalam hatinya. “Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe? Ong Lioe Tjoe adalah saudara angkatnya Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay, sehingga sebenar-benarnya ia pun ada musuhnya orang-orang yang sedang berunding itu.” Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya satu orang: “Kita tak dapat menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe. Kenapa sih ia belum juga datang? Apa ia sudah kena ditarik ke pihak Boetong?” Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari tertawa: “Saudara janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh dari partai Khongtong pay kita. Dengan banyak susah, sudah hampir dua puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong pay, dengan tujuan mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani pukulan-pukulan aneh dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai pegangan dalam usaha menindas pemberontakan di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe sudah janjikan supaya kita berkumpul disini, aku rasa ia tidak akan hilang kepercayaan.” “Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama dua saudara angkatnya,” berkata lagi seorang lain. “Tapi dalam beberapa bulan, lantas tidak ada wartanya lagi. Apakah sudah terjadi kejadian di luar dugaan?” “Kejadian apa?” tanya seorang. “Mungkin ia kena ditahan oleh Loei Tjin Tjoe dan tak dapat loloskan diri,” kata orang itu. “Dalam soal ini ada satu hal yang hiantee (adik) tidak mengetahui,” menerangkan sang toako. “Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit hati dan ia tak nanti mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama Ong Lioe Tjoe adalah buat membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong. Mereka sudah datang disini beberapa bulan lamanya, sehingga aku duga ia sudah balas sakit hatinya dan sudah pulang ke kampungnya. Pada musim semi yang baru lalu, Ong Lioe Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan mengatakan juga, bahwa ia akan berdiam terus disini dan tidak akan ikut Loei Tjin Tjoe pulang ke Soetjoan.” Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada berdiri. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw terdapat orang-orang yang begitu macam. Ia bayangkan bagaimana gusarnya Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar perundingan tersebut. Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar Boantjeng, akan tetapi oleh karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng Hong, diam-diam hatinya membenci pemerintahan yang menjajah bangsa Han itu. Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang itu jadi semakin gelisah dan masing-masing lalu utarakan pikirannya tentang tidak munculnya Ong Lioe Tjoe. Yang satu kata begini, yang lain kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata dengan suara keras: “Aku tak percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe Tjoe tidak datang, apakah kita tidak berani pergi ke Sinkiang?” Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara tertawa dingin dan dari belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang! Pada mukanya orang yang jalan duluan terdapat tanda tapak golok, sehingga mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong pay dan saudara angkatnya Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan mencekal gendewa, adalah Tjoei In Tjoe, ahli silat Gobie pay. Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun dengan perasaan kaget sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen (pemimpin) Khongtong pay yang bernama Tio Leng Koen, segera berseru sembari rangkap tangannya: “Ah, kalau begitu orang sendiri! Loei Toako, Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?” “Kami sudah datang lama sekali,” jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar. “Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?” tanya Tio Leng Koen. “Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu,” jawab Loei Tjin Tjoe dengan menyindir. Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan tadi tentu sudah dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran hebat tidak akan dapat disingkirkan lagi. Ia segera kasih tanda dengan lirikan mata kepada kawan-kawannya dan berkata dengan suara nyaring: “Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar, maka dapatkah aku menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?” “Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe Tjoe tidak bisa datang pada malam ini,” jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar. “Nanti juga dia tidak akan bisa datang!” “Apa?” Tio Leng Koen menegasi. “Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong (Raja Akhirat) di neraka!” jawabnya. “Binatang!” membentak Tio Leng Koen. “Besar benar nyalimu! Sesudah membunuh, kau masih berani datang kemari.” Dengan sekali kebas tangannya, saudara-saudaranya lantas bergerak mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Sungguh sayang bukannya tanganku sendiri yang membinasakan padanya!” katanya dengan suara menyesal. Perasaan kecewanya sukar dilukiskan bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia tak pernah mengimpi, bahwa orang yang sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh tahun, sebenar-benarnya adalah mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara tertawanya kedengaran menyayatkan hati. “Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?” tanya Tio Leng Koen dengan terkejut. Pertanyaan itu disusul dengan bentakannya lain-lain jago Khongtong pay yang memaki dan menanya siapa yang sudah membunuh Ong Lioe Tjoe. Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam kegusarannya, ia sungkan banyak bicara lagi. “Biarpun dimampuskan, Ong Lioe Tjoe belum habis bayar dosanya,” kata ia dengan suara tawar. “Siapa juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang mau balas sakit hati, terjang saja diriku!” Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang. Loei Tjin Tjoe lantas tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar pedangnya. Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga dapat dimengerti kalau ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di puncak yang tinggi. Melihat serangan musuh yang hebat, tangan kirinya menyambar sembari tekuk dua jerijinya dan coba cangkol lengannya Loei Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat (Ilmu Menangkap dengan tangan). Berbareng dengan itu, pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dengan gerakan Wankiong siapeng (Pentang gendewa memanah garuda). Maksudnya gerakan itu ialah, begitu lekas Loei Tjin Tjoe bergerak menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi tidak dinyana, Tatmo Kiamhoat yang digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut jalannya ilmu pedang biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin Tjoe berbalik dan papas pundak satu soeteenya Tio Leng Koen yang sedang menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara “brt”, baju dengan dagingnya sudah sempoak! Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: “Serang dari empat penjuru!” Dua belas murid Khongtong pay segera terbagi jadi tiga rombongan dengan empat orang setiap rombongan dan mereka lalu menyerang bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri berdiri di sama tengah buat amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar biasa. Sambil tempel pundak, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas tanah dan melawan secara nekat. Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian Oe: “Walaupun kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya belum mendapat sumsumnya Tatmo Kiamhoat yang tulen.” Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya dan berkata: “Aku rasa Loei Tjin Tjoe masih bisa bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe sudah sangat kepayahan.” Tali gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw dan benang emas hitam, sehingga sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang dapat membetot serta memutuskan senjata musuh. Dalam pertempuran di Sakya, tali gendewa itu telah diputuskan dengan hudtim-nya Siauw Tjeng Hong. Belakangan ia perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi, kekuatannya sudah banyak berkurang. Kalau bertemu sama lawanan setanding, dengan menggunakan gendewa tersebut, memang Tjoei In Tjoe bisa menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu banyak orang, gendewa tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi semakin kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga belas orang itu semuanya adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu lawan satu, memang mereka semua bukannya tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan tetapi, dengan mengerubuti dan menyerang saling ganti seperti gelombang, mereka segera berada di atas angin. Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng Koen mendadak “terbang” ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah, pedangnya menyambar ke arah tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang toanlioe (Membendung sungai memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang repot melayani serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa masing-masing mengegos ke depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan demikian, mereka jadi terpisah satu sama lainnya. Hampir berbareng, kedua belas musuhnya meluruk, sehingga mereka tidak dapat temple pundak kembali. Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya mengepung secara rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari Tatmo Kiamhoat, buat sementara Loei Tjin Tjoe masih dapat pertahankan diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe tidak sedemikian, la kelihatannya sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya berbunyi “ting-tang, ting-tang.” Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan, pundak kirinya kena dipapas pedang, sedang gendewanya pecah tersabet golok. “Tjoei Loojie!” membentak Tio Leng Koen. “Kau bukannya penjahat utama. Lepaskan gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!” “Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?” jawabnya sembari tertawa getir. “Hm! Tjoei In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan oleh manusia sebangsa kau!” “Bagus! Itulah baru saudaraku!” berseru Loei Tjin Tjoe sembari menerjang secara nekat buat menggabungkan dirinya sama saudaranya itu. Akan tetapi, ia tidak berhasil lantaran sudah keburu dicegat oleh Tio Leng Koen. Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai rasa simpati. Akan tetapi, sesudah menyaksikan pertempuran tersebut, ia kagumkan juga keangkuhannya kedua orang itu, yang ternyata masih mempunyai tulang punggung. Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih Tjoei In Tjoe, jadi semakin berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In Tjoe sudah kedengaran dengkek dan sumbang. “Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu,” kata Yoe Peng. “Eh, kau tak mau membantu?” “Apa?” Thian Oe menegasi. “Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong,” kata Yoe Peng. “Kau sudah belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei Tjin Tjoe kau masih terhitung saudara seperguruan.” “Baik, kita menyerbu bersama-sama!” kata Thian Oe yang lantas munculkan dirinya di atas batu. “Loei Tjin Tjoe!” ia berseru. “Jangan takut! Aku menolong!” Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe terkejut semuanya. Mereka dongak dan lihat sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan, sedang berlari-lari ke arah mereka. Di bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata sekali. Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. “Aku kira siapa, tak tahunya murid Siauw Tjeng Hong,” kata ia dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei Tjin Tjoe adalah seorang beradat tinggi yang anggap ilmu silatnya sudah sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah mata, cara bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong? Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru berusia belasan tahun, Tio Leng Koen jadi tertawa besar. “Apa kamu tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi?” katanya sembari tertawa bergelak-gelak. “Bau susumu belum hilang, sudah berani datang kesini buat cari mampus!” “Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!” Loei Tjin Tjoe juga berseru. “Tolong beritahukan gurumu, aku sudah tidak membenci ia!” “Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong,” jawab Thian Oe yang bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan pedangnya. Sembari kebas tangannya, Tio Leng Koen menyampok dengan pedangnya buat bikin terpental senjatanya Thian Oe. Tapi siapa nyana gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh daripada pedangnya Loei Tjin Tjoe. Tibatiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan sambar dadanya Tio Leng Koen, yang jadi terbang semangatnya sebab sama sekali tak menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai orang yang berpengalaman dan tinggi ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan gerakan Tiatpankio (Jembatan papan besi), badannya melenggak ke belakang sampai hampir nempel ke tanah. Jantungnya tergetar, sebab meskipun bagaimana cepat juga gerakannya, toh rambutnya masih kena terpapas juga! Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera berdiri pula sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru disabetkan lagi, jadi mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini sudah terjadi lantaran tenaga dalamnya Thian Oe belum cukup kuat, meskipun ilmu pedangnya sangat luar biasa. Melihat pemimpinnya hampir-hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua murid Khongtong pay jadi kaget bukan main. “Hati-hati terhadap bocah ini!” Tio Leng Koen kasih peringatan sembari loncat tinggi. Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa: “Masih ada aku! Aku mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga harus berlaku hati-hati!” Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh. Dimana ada orang mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan kepada musuhnya? Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. “Bocah!” katanya. “Kau punya senjata apa? Coba kasih ‘ku lihat.” Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas terdengar suara “srr, srr”. Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar pedangnya buat melindungi badan. Dengan suara “peletak!”, senjata rahasia itu yang berbentuk bundar seperti mutiara, hancur kena terpukul pedang. Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa dinginnya menyambar-nyambar, sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain dari Pengpok Sintan yang tiada keduanya dalam dunia! Tio Leng Koen terkesiap. “Ilmu iblis!” ia berteriak. “Kepung! Jangan kasih dia menimpuk lagi!” Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan. Tiga antaranya mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul jatuh dengan Kimtjhie piauw-nya Tio Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga dalamnya belum seberapa, lantas saja gemetar sekujur badannya, tapi dari janggutnya mengeluarkan keringat yang turun berketel-ketel. “Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat tahan lagi,” katanya Yoe Peng dalam hatinya. “Cuma sayang, persediaanku tak mencukupi.” Pengpok Sintan dibuat dari “rohnya es” yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dalam gua es yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia, bahan tersebut cuma bisa didapatkan di daerah Nyenchen Tanghla. Dalam sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru. Berbeda dengan senjata rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan Pengpok Sintan lantas meledak dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu peluru. Maka itu, mau tidak mau Yoe Peng harus irit, dan selagi ia bersangsi, gelombang musuh yang kedua sudah meluruk dan kepung padanya. Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas saja mengeluarkan sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat musuhnya kembali bergidik. Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat), yaitu keluaran istimewa dari Puncak Es. Sesudah direndam di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah tiga tahun lamanya, barulah pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan semacam hawa dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok Sintan, dapat mencelakakan orang-orang yang tenaga dalamnya belum kuat betul. Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang yang kuat, sehingga, biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan hawa dingin, mereka masih dapat mempertahankan diri. Di bawah pimpinan Tio Leng Koen, mereka dipecah jadi empat rombongan dan kepung empat musuhnya itu. Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu pedang tunggal) dari Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang aneh-aneh. Sesudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, murid-murid Khongtong pay masih belum dapat mengetahui, ilmu pedang apa adanya itu! Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. “Ilmu siluman! Ilmu siluman!” ia berkata sembari geleng-gelengkan kepala. “Ilmu siluman apa!” membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan dua jerijinya. Dua butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen lepaskan dua Kimtjhie piauw. Sebutir peluru kena terpukul jatuh, tapi sebutir lagi keburu meledak sendiri dan mengenakan tepat mukanya Tio Leng Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang sangat hebat masuk ke dalam dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka matanya lagi. Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe Peng putar pedangnya dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas, tengah dan bawah. Pukulan ini adalah salah satu pukulan paling luar biasa dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Diserang dari tiga jurusan hampir berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan dalam usaha sambutannya, ia bisa membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya sendiri. Yoe Peng keluarkan pukulan itu dengan maksud buat lebih dahulu merobohkan Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin dari ketiga belas musuh itu. Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya Tio Leng Koen berkelebat dan tangannya sudah menyambar dari sebelah kanan. Thian Oe coba menolong, tapi sudah tidak keburu. Dengan suara “plak!”, pundaknya Yoe Peng kena terpukul, sehingga terhuyung dan Pengpok Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari tangannya. Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur penglihatan musuh. Dalam serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa lantaran kedua matanya musuh tertutup rapat akibat serangan Pengpok Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin bingung. Sementara itu, dalam kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan pukulan Bittjiong tjiang dari Khongtong pay. Masih untung, lantaran matanya rapat, arah tangannya jadi kurang tepat dan Cuma mengenakan pundak. Kalau lebih ke bawah beberapa dim saja, tangannya bisa menghantam dada dan Yoe Peng bisa dapat luka berat. Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan kucek-kucek matanya yang penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga melihat uap putih, la kaget berbareng gusar dan membentak dengan suara keras: “Perempuan kejam! Kalau tak korek biji matamu, aku tak puas!” la segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe Peng secara lebih keras, sedang ia sendiri, dengan andalkan ilmu “Membedakan datangnya senjata dengan mendengari sambaran angin,” sudah turut menerjang. Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam keraton es, akan tetapi ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya. Maka itu, begitu dikepung sungguh-sungguh, ia lantas berada di bawah angin. Buat sementara waktu, ia masih bisa pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia sudah tidak mempunyai tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan. Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan segala rupa pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara dayang-dayang, meskipun mendapat didikan langsung dari Pengtjoan Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang yang belajarkan seluruh Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari gambar-gambar di dinding gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan para dayang, ia dapat lebih banyak sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam terjangannya yang mati-matian, ia sudah berhasil membuka satu jalanan dan dapat mempersatukan dirinya sama Yoe Peng. Oleh karena mesti meladeni Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti kerbau edan, barisannya Khongtong pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga dapat menerjang keluar dan gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng. Dengan demikian, ke empat orang itu menjadi dua pasangan, yang, dengan saling tempel pundak, melawan serangan-serangannya ketiga belas jago Khongtong pay. Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo beberapa bulan saja, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan kelihatannya sudah berada di sebelah atasan gurunya sendiri. Semangatnya jadi terbangun dan ia dapat menyerang dan membela diri secara rapi. Tjoei In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali gendewanya kembali bersuara nyaring. Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka sudah bertempur lebih dari satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di gelanggang kembali berobah. Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe jadi lelah. Oleh karena tenaga dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan Yoe Peng juga sekarang cuma dapat membela diri. Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang semakin hebat. “Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan kami! Lekas keluarkan obat pemunah!” berseru Tio Leng Koen. Dengan andalkan Iweekang-nya yang sangat tinggi, buat sementara ia masih dapat menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi belakangan, ia rasakan kedua biji matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia kuatir menjadi buta, jika terlambat pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau paksa Yoe Peng keluarkan obatnya. Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. “Obat apa?” tanya ia sembari tertawa. “Kau tak mau keluarkan?” kata Tio Leng Koen. “Kalau kau tidak keluarkan, biarpun buta, aku masih dapat membunuh engkau!” Sembari tekap matanya dengan tangan kiri, pedangnya kembali menyerang hebat dengan pukulan-pukulan yang membinasakan. Ketika itu, matanya sudah jadi bengkak seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main. Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa tertawa. “Ha! Tadi aku sudah suruh kau hati-hati!” katanya. “Kau sendiri yang tak hati-hati, sekarang berbalik salahkan orang!” sembari tempel pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan beberapa serangan. “Hai, aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada keluarkan air mata. Tapi kau lebih suka menangis! Apa tak malu?” Yoe Peng mengejek pula. Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya, ia menyerang seperti macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi benar-benar kedesak. “Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat pemunah!” kata Yoe Peng. “Mari!” Leng Koen membentak. “Galak benar, kau!” kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik, mungkin aku mau juga kasihkan.” “Yah, hayo kasihkan!” kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak. “Mana bisa begitu gampang!” kata Yoe Peng sembari nyengir. “Kau lebih dahulu harus minta maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi ke Sinkiang buat satrukan orang-orang Boetong. Kau pun harus minta maaf kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau kasihkan obatku.” Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan yang mana. Ia paksakan membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara bersilatnya Loei Tjin Tjoe sudah menjadi kalut. “Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!” mendadak ia berseru sesudah mengambil putusan. “Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi layani itu dua manusia. Cukup kalau kau bikin mereka tak bisa membantu kedua bocah ini!” Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh jagoan Khongtong pay segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng. Maksudnya Tio Leng Koen adalah coba membinasakan Yoe Peng selekas mungkin supaya bisa ambil obat pemunah dari badannya. Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa dan tak gampang-gampang dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio Leng Koen jadi bingung sekali dan dengan sepenuh tenaga, ia cecer kedua orang muda itu dengan pukulan-pukulan yang paling hebat. Belasan jurus kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal dan mereka tahu, tak akan dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji matanya Tio Leng Koen juga dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah pihak jadi sama-sama bingungnya. Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara nyanyian: “Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa pedang melonjak ke tengah awan?” Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan kecepatan luar biasa. Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih dengan mulut tersungging senyuman, sudah berada disitu. Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi terkejut. Tio Leng Koen loncat mundur tiga tindak dan berkata sembari lintangkan pedangnya: “Sahabat dari mana adanya tuan? Pengajaran apakah yang tuan hendak berikan kepada kami?” Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring: “Kedatanganku adalah buat memberi sedikit pengajaran kepada kau orang. Khongtong pay adalah salah satu partai besar dalam Rimba Persilatan dan dengan banyak susah payah partai itu telah diberdirikan. Pada jaman yang lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang, adalah seorang pendeta beribadat yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi, begitu pimpinan jatuh ke dalam tanganmu, orang-orang Khongtong pay lantas saja lakukan segala perbuatan yang tidak pantas. Apa kamu orang tidak merasa malu kepada leluhurmu yang sudah berada di alam baka?” Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh tahun, akan tetapi ia bawa sikap seperti caranya seorang tingkatan tua bicara terhadap orang dari tingkatan muda. Maka tidaklah heran jika Tio Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak sembari tertawa besar. “Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah tangga Khongtong pay!” katanya dengan suara dingin. “Benar,” jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. “Lantaran tidak tega melihat seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka tanpa perdulikan kecapaian, aku sengaja datang kesini buat mengurus kamu orang!” Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan, pekerjaan “membersihkan rumah tangga” hanya dapat dilakukan oleh tetua dari partai itu sendiri. Manakala seorang luar hendak “membersihkan rumah tangga” partai lain, maka orang itu haruslah seorang yang tingkatannya sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang dapat menindih semua anggauta dari partai yang mau dibersihkan. Maka itu, dapat dimengerti jika perkataannya si pemuda bukan saja sudah membikin gusarnya Tio Leng Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong pay yang berada disitu, jadi mata merah. Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak dan menuding dengan pedangnya. “Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti membikin Lootjianpwee jadi berabe buat membersihkan rumah tangga kita!” ia berseru sekeras suara. “Cuma saja aku orang she Tio sangat kepala batu dan sukar menerima pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang rendah terpaksa menolak segala kemauanmu!” Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid Khongtong pay jadi tertawa keras. Mereka ejek si pemuda yang dianggap sangat tidak tahu diri. Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan berkata pula: “Apa kau orang benar-benar mau aku turun tangan?” “Binatang!” membentak Tio Leng Koen. “Kau betul-betul sudah bosan hidup! Cabut pedangmu! Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!” Si pemuda tertawa besar. “Buat menghadapi orang-orang seperti kau, perlu apa aku mencabut pedang?” katanya. “Thian Oe! Kau semua menyingkir, supaya tak menghalangkan gerakanku. Tio Leng Koen! Panggil semua kawanmu, supaya aku tak usah turun tangan dua kali!” Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng, ia segera loncat keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin Tjoe. “Apa pemuda itu berotak miring?” tanya ia dalam hatinya. Selagi terheran-heran, mendadakan kupingnya dengar teriakan Thian Oe: “Loei Toako! Lekas mundur!” Mau tidak mau, ia lantas turut loncat keluar dari kalangan. Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke arah si pemuda itu. Dengan mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya dan di tengah udara lantas terdengar suara “srr, srr, srr!” Buat keheranannya semua penonton, hampir pada detik yang bersamaan, tiga belas orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan kesakitan dan roboh menggoser di atas tanah! Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya. “Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?” tanya si pemuda sembari tertawa. Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada saudara-saudaranya, dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun duduk. “Terima kasih buat pengajaranmu,” kata ia. “Jika kami tidak binasa, kejadian ini tentulah tak dapat dilupakan. Dapatkah aku mendapat tahu nama tuan yang mulia?” Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih tidak lupa buat keluarkan kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu, ia rnemberitahu, bahwa sebegitu lama masih hidup, ia tentu akan membalas sakit hati. “Kamu orang mau balas sakit hati? Jangan ngimpi!” kata si pemuda dengan suara tawar. “Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah, mati sih tidak, tapi buat bisa bersilat lagi, jangan kau harap! Pulanglah dan hidup tenteram!” Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut. Bahwa dengan sekali gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga belas ahli silat Khongtong pay, sudah sangat luar biasa. Tapi, bahwa semua senjata rahasianya dengan tepat mengenakan tulang pundak orang, adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana tingginya! Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja, tulang itu sudah hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air mata. Ia mengetahui, sekarang ia sudah jadi orang bercacat seumur hidup, ilmu silatnya musnah dan ia cuma bisa hidup seperti orang biasa. Si pemuda baju putih mesem dan berkata: “Aku sudah ampuni jiwamu, apa kau masih tidak merasa puas? Pulanglah dan hidup secara tenteram.” Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. “Apakah tuan dapat menaruh belas kasihan buat perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka mata kita?”, katanya dengan suara perlahan. Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas pancarkan sinar terang ke empat penjuru. “Barusan aku tak gunakan ia. Sekarang perlu digunakan,” katanya. Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau berbuat apa, ujung pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti juga serupa benda panjang loncat keluar dari daging pundak. Pemuda itu pegang benda tersebut dengan kedua jerijinya dan goyanggoyang di depan matanya Tio Leng Koen. “Sudah lihat?” tanya ia. Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya hitam dan bentuknya kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan senjata itu, si pemuda ketok pedangnya yang lantas saja keluarkan suara mengaung yang sangat jernih dan bersih. Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. “Ah”, ia berseru dengan suara di tenggorokan. “Thiansan Sinbong dan Yoeliong kiam!” “Benar,” kata si pemuda. “Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?” Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci dalam kalangan partai Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia tak bisa lain daripada ahli waris tulen dari Thiansan pay. Tjiangboen Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan yang tingkatannya dua kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah muridnya Tong Siauw Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng Koen. Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya dari pundaknya lain-lain jago Khongtong pay. “Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit penyakit. Tak usah bikin matanya menjadi buta,” kata si pemuda sembari berpaling pada Yoe Peng.“Baik,” sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang lantas diberikan kepada Tio Leng Koen. “Telan ini dan mengasoh tiga hari,” katanya. Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam jantan yang baru dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda baju putih, dengan dipepayang oleh kawan-kawannya, ia segera berlalu dari situ. Si pemuda tertawa bergelak-gelak dan berkata kepada Thian Oe: “Pertempuran yang barusan sungguh menyenangkan! Eh, bocah, nasibmu benar-benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga bulan, ilmu silatmu sudah maju begitu jauh.” “Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?” tanya Thian Oe. “Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku,” sahut si pemuda sembari tertawa. “Aku justru mau tanya keterangan mengenai dirinya dari kalian.” Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: “Bukankah pada hari itu kau sedang adu pedang dengan Kongtjoe kami?” “Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari,” sahut si pemuda. “Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti bertemu muka dengan ianya!” kata Yoe Peng lagi. “Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal adanya gempa bumi,” menerangkan si pemuda. “Apa kau kira aku masih berani maju terus buat cari mati?” “Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?” Thian Oe menegasi. “Ah, buat apa kau begitu berkuatir?” katanya dengan suara jengkel. “Sedang aku dapat loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan jiwanya? Hari itu, selagi aku kabur ke arah utara, aku lihat bayangannya kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah gunung berapi meledak, biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku mendapat tahu, ia belum balik ke keraton es.”Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah terlolos dari bencana alam, hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega. “Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?” tanya si pemuda. Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa saat seperti orang lagi berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam dari sakunya dan berkata: “Ayahmu berada di tempatnya Hok Kong An. Sekarang aku mau minta pertolonganmu buat serahkan kotak ini kepada Hok Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-mandir.” Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah mendahului sembari tertawa: “Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang ini mempunyai banyak kebaikan bagi ayahmu. Di belakang hari kita bakal bertemu pula. Kau tak usah banyak menanya.” Ia berpaling kepada Loei Tjin Tjoe dan lanjutkan perkataannya: “Kau juga harus segera pulang ke Soetjoan. Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan salamku kepadanya.” Sehabis berkata begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah lenyap dari pemandangan. Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala kesombongannya Loei Tjin Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum tak habisnya, ia awasi bayangannya si pemuda baju putih yang melesat seperti anak panah. Sesudah mengasoh beberapa lama, keempat orang lantas berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju ke Soetjoan, sedang Thian Oe dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa. Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan Yoe Peng tiba di ibukota Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi Thian Oe mau tanya orang dimana letaknya markas besar Hok Kong An, Yoe Peng mendadak berkata: “Kenapa begitu terburu-buru? Marilah kita pesiar barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa di waktu malam. Biarlah besok saja cari ayahmu.” Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di kota Lhasa dan ia juga merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas besarnya Hok Kong An, mereka tidak dapat keluar masuk lagi sesuka hati. Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun tangannya Yoe Peng dan keliling di seputar kota. Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang tingginya dari empat sampai lima ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan tenda-tenda di sana-sini memperlihatkan pemandangan yang lain daripada apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di waktu malam, sinar lilin yang muncul dari beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan yang sangat luar biasa. Keraton Potala yang berdiri di atas bukit dan atapnya mengeluarkan sinar emas berkredepan, kelihatannya angker dan indah sekali. “Mari kita pergi kesana,” mengajak Yoe Peng. “Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan masuk,” menerangkan Thian Oe. “Mari kita pergi ke lapangan yang terletak di sebelah bawahnya.” Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya keramaian dari kota Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang berjejer-jejer, sedang di tengah-tengah terdapat macam-macam pedagang yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di sebelahnya itu, terdapat juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe Peng yang biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah saksikan keramaian yang sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu lilin dan lampu yang gilang-gemilang adalah lebih mengagumkan dari apa yang dapat dilihat di keraton es. Sesudah nonton orang India bermain ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang diberikan oleh rombongan orang-orang Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat kepandaian menelan pedang, sedang yang lain semburkan api menyala dari mulutnya. Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang panjangnya tiga kaki ke dalam mulutnya. Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar mulut Cuma gagangnya saja yang pendek. “Ah!” kata Yoe Peng dengan suara kagum. “Ilmu silatnya orang itu kelihatannya melebihi si pemuda baju putih!” “Bukan ilmu sejati, semacam sulap,” menerangkan Thian Oe sembari tertawa. Baru saja Thian Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya yang lantas ditekuk-tekuk. Ternyata pedang itu terbuat dari timah tipis yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa terbahak-bahak dan hatinya girang sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol orang dan ketika ia meraba dengan tangannya, Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |