Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu bukannya gempa bumi. la jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan banyak sekali mustika. Apakah datang orang jahat yang niat mencuri barang-barang berharga itu? Walaupun ia sudah mengambil putusan buat tidak berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga bulan lamanya dalam keraton itu, setahu bagaimana, dalam hatinya timbul semacam perasaan menyayang yang luar biasa. Ia tahu, bahwa sesudah ia pergi, keraton yang seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya kawanan tikus, akan tetapi, sebegitu lama ia masih berada disitu, ia tidak mau orang merusak atau menduduki keraton tersebut. Maka itulah, ia lalu berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi. “Apa manusia? Kalau manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah,” pikir Thian Oe. Sesudah ketelanjur balik, ia segera ambil putusan buat memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba di dekat telaga es, kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan dengan indap-indap menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan jalanan-jalanan disitu dan juga sebab ilmu entengi badannya sudah sempurna, maka gerakannya tidak dapat diketahui oleh tetamu-tetamu yang baru datang itu. Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat berdiri tiga orang. Yang di tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada Nyepa Omateng. Dua orang yang berdiri di kedua sampingnya Omateng adalah itu dua boesoe Nepal yang kita sudah kenal. “Suara apa itu?” tanya Omateng. “Apa bukan gempa bumi lagi?” “Rasanya bukannya gempa bumi,” sahut boesoe yang berusia lebih tua. Mereka berbicara dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian Oe. “Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-rupanya disini masih ada manusianya,” kata lagi Omateng. “Tapi heran, tidak ada bayangannya barang satu manusia.” Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: “Pengtjoan Thianlie!” Tapi kecuali kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa lagi. Mereka lantas saja perlihatkan paras muka ketakutan. “Jika Paduka Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar,” kata yang satu. “Apa mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?” sahut yang lain. “Ah, kalau sampai kejadian begitu, bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!” Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat perintah rajanya buat mencari Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak mengerti, kenapa juga Omateng mesti ikut-ikutan. Biarpun Nyepa itu pernah menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat membenci dia. Dalam hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk. “Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin pemeriksaan,” kata Omateng. “Tidak bisa,” kata boesoe yang lebih tua. “Tempat ini adalah tempat suci dari agama negara kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga tidak boleh masuk kesitu.” “Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita masuk buat lihat-lihat?” kata Omateng. Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa bumi. Sembari nyengir kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang langkahnya buat masuk ke dalam. Mengingat akan larangannya Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang terdapat disitu, Thian Oe lantas saja loncat keluar seraya membentak: “Omateng! Besar sungguh nyalimu!” Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat siapa yang datang, ia lantas tertawa. “Tan kongtjoe, kau?” kata ia. “Mana Chena?” “Jangan bicara yang tidak perlu,” kata Thian Oe. “Kau orang keluar dari sini!” “Ah, itulah heran!” kata Omateng. “Apa kau sudah jadi majikan dari keraton ini?” “Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?” kata lagi Thian Oe dengan suara gusar. “Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?” kata Omateng sembari tertawa. Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok. Thian Oe naik darahnya. “Pergi!” ia membentak sembari menikam dengan pedangnya. “Waduh, Tan kongtjoe!” kata Omateng sembari tertawa besar. “Kau mau main-main senjata?” Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe sedikitpun tidak pandang mata pemuda itu. Ia merasa pasti akan dapat robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi Thian Oe sekarang bukannya Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari Tatmo Kiamhoat. Ujung pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik membabat ke kanan dan tanpa tercegah lagi, pundaknya Omateng kena digores. Bagus juga ilmunya Thian Oe belum cukup tinggi, sedang Omateng pun bukannya lawanan lemah. Kalau bukannya begitu, tabasan yang barusan tentu sudah kutungkan pundaknya. Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan Seantero perhatian buat lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah dan dengan beruntun kirim tiga bacokan. Tapi biar bagaimanapun juga, kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia terus kena didesak mundur. Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran tidak habisnya. “Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng,” berseru Omateng. “Dia sudah mencuri masuk disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa salah lagi dialah yang membunuh Pengtjoan Thianlie yang sedang terluka akibat gempa bumi. Dia rupanya ingin merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!” Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-benar sudah membikin panas hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut goloknya yang berbentuk bulan sisir dan menyerang dengan berbareng. “Dengar dahulu keteranganku!” berseru Thian Oe. “Mau bicara apa lagi?” membentak Omateng yang terus mencecer sehebat bisa supaya pemuda itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya seorang yang pandai omong dan juga memang sebenarnya ia sudah curi belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, ia tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya terus menyerang dengan sengit dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-panjang. Demikianlah dengan pedang di tangan kiri dan tongkat gurunya di tangan kanan, Thian Oe melawan dengan keluarkan dua macam ilmu silat dengan berbareng, yaitu ilmu pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya Thiekoay sian. Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus sudah lewat. Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu silat yang sangat tinggi itu, Thian Oe belum matang betul dan tenaga dalamnya juga belum cukup kuat. Maka itulah, semakin lama ia berkelahi, semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh ketiga lawan itu. Kedua boesoe Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma tangkis-tangkis saja serangan-serangannya Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng yang sungguh-sungguh maui jiwanya pemuda itu. Setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan, yang ditujukan kepada bagian-bagian badan yang lemah. Melihat Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging senyuman yang licik sekali. Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini lebih keras dan nyata. Keempat orang yang sedang bertempur kaget dan pada loncat keluar dari gelanggang, sehingga Thian Oe bisa buang napasnya. Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna memberi keterangan, mendadak suara itu berhenti dan Omateng segera membentak: “Lebih baik bekuk dahulu manusia ini, baru bikin penyelidikan.” Sehabis membentak, ia lantas menyerang, diturut oleh kedua boesoe Nepal. Napasnya Thian Oe sengal-sengal dan keadaannya jadi semakin berbahaya. “Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!” berseru Omateng. Bukan main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat laksana kilat, Omateng coba kelit tapi pundaknya kembali tergores ujung pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia membentak: “Binatang! Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku putuskan kedua lenganmu!” Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak kedudukan Tiongkiong dan lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua kali Thian Oe melukakan Omateng, kedua boesoe Nepal juga jadi berdongkol dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan lagi. Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan duga bakal binasa di tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari menyeringai, ia sabetkan goloknya ke arah pundaknya Thian Oe. Lantaran kena didesak dengan dua goloknya si boesoe Nepal, sekali ini Thian Oe tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat berbahaya, mendadakan saja Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget dan hentikan serangannya. “Mau apa kamu orang datang kesini? Apa mau cari mampus?” demikian Thian Oe dengar bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat dayang-dayang keraton es pada meluber keluar dari antara pohon-pohon kembang, sedang orang yang barusan membentak adalah Goat Sian, yaitu dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie! Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin ia merasa seperti juga berada dalam impian. Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup, mereka sudah bersiap-siap buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah keraton terdapat satu gua es yang ribuan tahun tidak pernah mengenal sinarnya matahari. Ayah ibunya Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak di dekatnya Puncak Es dan terpisah kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai gunung berapi itu meledak dan terjadi gempa bumi, keraton es bakal turut tergetar, akan tetapi kerusakannya tidak bakal seberapa besar. Sebagai penjagaan terhadap batu-batu yang terlempar akibat robohnya Puncak Es, siang-siang mereka sudah siapkan tempat mengumpat di gua itu. Mereka membuka satu jalanan di bawah tanah yang di tembok dengan batu gunung yang sangat keras. Dalam gua itu selalu sedia bahan makanan buat beberapa bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat menggunakan es yang dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat menghadapi gempa bumi sudah dibikin dengan seksama. Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay sian yang sedang berlatih seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe yang berada di dalam guanya gedung terlarang, semua dayang menyelamatkan dirinya dengan masuk ke dalam gua es itu. Tapi biar bagaimanapun juga, perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya takdir. Sebagai akibat gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah dan tutup jalanan di bawah tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak dan dengan bekerja sama-sama, tiga bulan lamanya mereka gali tanah yang menutupi jalanan. Suara luar biasa yang didengar Thian Oe dan yang lain-lain adalah suara menggali tanah. Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget lantaran lihat kedatangannya itu beberapa tetamu yang tidak diundang. Dengan dikepalai oleh Goat Sian, sembilan dayang segera cabut Pengpok Hankong kiam dan mengambil tempatnya masing-masing dalam barisan Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas saja menyambar-nyambar sehingga Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget. Thian Oe yang sudah belajarkan ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa pel mustajab, dapat melawan hawa yang dingin itu. Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong kiam buat segera turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Kedua boesoe Nepal itu buru-buru meratap meminta ampun dan memberitahu maksud kedatangannya. Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan Pengtjoan Thianlie mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu memberitahukan kepada dayang kepala. Dayang kepala itu segera teriaki satu tanda perintah dan barisan Kioethian Hianlie lantas terpencar. “Kalau bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud jahat, sudah pasti kau tidak bisa pulang kembali,” membentak ia. “Baiklah! Sekarang kau orang boleh pergi. Tapi kalau berani datang lagi, kami tentu tidak akan berlaku sungkan lagi.” Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi, tapi sudah didahului oleh salah seorang dayang. “Kongtjoe (Puteri) kami tak perlu diurus oleh kau orang,” kata ia, sembari kebaskan Pengpok Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi dinginnya hawa. Sembari berteriak keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela napas panjang. Mereka rangkap kedua tangannya buat memberi hormat ke arah gedung terlarang dan lalu berjalan pergi. Sekarang Cuma ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang berdiri bengong di hadapannya para dayang itu. Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: “Kau masih berada disini?”“Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara terpaksa berdiam disini lantaran tidak bisa keluar,” sahut Thian Oe. “Buat kelancangan itu, aku mohon dimaafkan.” “Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?” tanya lagi Goat Sian. “Aku duga kalian tidak akan kembali lagi,” sahut Thian Oe. “Dan lantaran kuatir ilmu pedang itu menjadi lenyap dari muka bumi…” Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan perkataannya, lantaran sejumlah dayang sudah naik amarahnya dan pada mencaci dirinya. “Hm!” kata yang satu. “Kau masih begitu kecil, tapi hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya kami mati semuanya!” “Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai niatan buat menduduki keraton es ini!” kata yang lain. Beberapa dayang yang pemandangannya sempit lantas saja mau cabut pedangnya buat mengusir Thian Oe. Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga dayang kepala masih mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya, ia berkata dengan suara angker: “Sesudah kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, Puteri kami sebenarnya niat kurung kau seumur hidup. Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya, kami tak dapat berlaku sungkan lagi. Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu Puteri kami, maka tanpa diminta kami suka ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam lebih lama di tempat ini!” Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa dipegang keras sekali, sehingga meskipun ia sendiri tidak berada dalam keraton itu, para dayangnya tidak berani langgar segala peraturannya. Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu menggebah Thian Oe dengan sikap keren sekali. Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. “Akupun mau berlalu,” ia berkata dengan suara angkuh. “Cuma saja lantaran kalian belum balik, aku kuatir sembarang orang masuk disini, sehingga aku jadi berdiam sampai di ini hari.” “Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala.” kata satu dayang dengan suara menyindir. “Pujian itu tak dapat aku menerima,” jawabnya dengan suara kaku. “Cuma saja lantaran ingin melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan jiwanya di tempat ini. Sesudah aku berlalu, harap kalian tolong lihat-lihat kuburannya.” Sesudah berkata begitu, air matanya menetes turun dari kedua pipinya. “Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?” tanya Goat Sian dengan suara kaget. “Ia binasa cara bagaimana?” Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi. Mendengar begitu hatinya Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda itu secara sedemikian kasar, akan tetapi, dayang itu yang coba tiru-tiru majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya. Di sebelahnya itu, mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian Oe adalah lelaki satu-satunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda itu. “Baiklah,” kata ia. “Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya Thiekoay sian. Kau berangkatlah! apa perlu aku perintah orang antar padamu?” “Tak usah,” sahut Thian Oe yang masih berdongkol. “Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?” tanya lagi Goat Sian.“Tidak,” jawabnya dengan pendek. Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: “Paduka Puteri pernah mengeluarkan perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami tidak dapat turun dari gunung ini. Perintahnya itu kami tidak berani langgar. Sesudah kau turun gunung, manakala Puteri kami masih berada dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki.” Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya Pengtjoan Thianlie. Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat mengesankan. Ia angkuh dan tinggi hati, tapi keangkuhannya keluar secara wajar dan bukannya •kesombongan dibuat-buat dari beberapa orang dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia menjawab dengan suara terharu: “Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu.” Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng tongkat gurunya, tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari keraton es. Selagi berjalan, ia dengar helahan napas dari beberapa dayang. “Ah, di antara dayang-dayang itu terdapat juga orang-orang yang baik hatinya,” ia menggerendeng dan hatinya jadi terhibur. Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya sungai es, ia jadi berkuatir. Dengan kepandaiannya yang begitu cetek, dapatkah ia lewati sungai tersebut? Cuma saja lantaran tadi sudah menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak enak buat balik lagi guna minta pengantar. Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang, sesudah lewat tiga bulan, sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju putih bertumpuk-tumpuk, di lereng gunung daun-daun berwarna kemerah-merahan. Dengan perasaan masgul, Thian Oe berjalan terus. Mendadak matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara. Ternyata sesudah robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api dan asap, yang sehingga sekarang masih belum padam. Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang di bawahnya Puncak Es tersebut. “Mereka lebih banyak mati daripada hidup,” kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat sang soenio (Tjia In Tjin) dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak. “Harap saja Tuhan melindungi mereka,” kata ia dalam hatinya. “Kalau mereka masih hidup, walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan mencarinya.” Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu. Dengan pikiran kusut dan bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung. Sesudah jalan beberapa lama, ia merasa kedudukan bumi sudah berobah dan tidak bersamaan lagi dengan keadaan pada waktu ia naik kekeraton es. Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh dari keraton. Ia ingat, dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon yanglioe, sedang di pinggir sungai berdiri satu pohon lioe yang sangat besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi sekarang, dimanakah adanya sungai es tersebut? Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan lagi kira-kira setengah jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang satu telaga yang luar biasa luasnya, sehingga air telaga seperti juga menempel dengan tepian langit dan tepian langit menempel dengan telaga. Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran disorot sinarnya matahari, kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu bukan lain daripada Thian-ouw (Telaga Namtso), Telaga Langit atau Tengri Nor! Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe mengetahui apa sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi banyak sekali. Sungai es itu, yang turun dari atas gunung terus sampai di Thian-ouw (Telaga Namtso), ternyata sudah diuruk dengan Puncak Es yang roboh itu! Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu jalanan telah terbuka antara keraton es dan telaga Thian-ouw (Telaga Namtso)! Bukan main girangnya Thian Oe: “Tak heran kalau itu dua boesoe dan Omateng bisa datang ke keraton es,” kata ia dalam hatinya. Keadaan Thian-ouw (Telaga Namtso) masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang bening dan pohon-pohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk mengasoh di pinggir telaga dan isikan kantong kulitnya dengan air yang bening. Lama sekali ia duduk termenung disitu dan sampai lewat lohor barulah berjalan lagi. Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau bukan bertemu secara kebetulan, maka ia lalu ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet dimana berdiam jenderal Hok Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban dirusak oleh Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera meninggalkan Sakya buat pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong An. Sebagaimana diketahui, hal itu telah diberitahukan kepada Thian Oe oleh si kacung Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa sekarang ia ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa dengan maksud menemui ayahnya. Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota Chaklun yang terletak antara Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat yang tidak banyak penduduknya. Sebuah kota yang inamakan kota besar kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus rumah penduduk. Chaklun juga terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat satu rumah penginapan. Thian Oe minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan sesudah makan malam, ia lalu rebahkandirinya di atas pembaringan lantaran merasa capai sesudah lakukan perjalanan seharian suntuk. Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar sebelah. Dengan heran, ia panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu menanyakan siapa yang sakit. “Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari,” sahut Tiam Siauw Djie. “Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang menyedihkan,” kata Thian Oe. “Apa disini tidak ada tabib?” “Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa,” sahut si pelayan. “Sesudah bongmeh (periksa nadi), ia tidak berani tulis surat obat.” “Penyakit apa?” kata Thian Oe. “Kalau diceritakan sangat luar biasa,” Tiam Siauw Djie berkata dengan suara perlahan. “Hari itu, kedua perwira tersebut yang menginap disini minum arak di ruangan luar. Kau tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat melayani orang-orang yang kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita muda yang rupanya mampir buat makan dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing, hidungnya mancung dan matanya rada-rada berwarna blau. Sembari nyengir, kedua perwira itu keluarkan beberapa perkataan mengejek. Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma tertawa dingin dan berkata: “Kalian suka main-main disini. Biarlah kalian mengasoh beberapa hari.” Sehabis berkata begitu, tak tahu ia gunakan ilmu apa, mendadakan saja di depannya kedua perwira itu berkelebat sinar yang sangat dingin. Aku yang menonton dari sebelah kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu lalu lemparkan sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-teriak kedinginan kedua perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung dirinya dengan selimut, tapi itu semua ternyata tidak menolong. Selama tiga hari, mereka berada dalam keadaan ngelindur, badannya sebentar panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya luar biasa?” Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu tentulah juga Pengpok Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie? “Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa penyakitnya,” kata ia kepada sang pelayan. Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: “Tuan, ada satu tuan mau periksa penyakitmu.” Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan suara teriakan tertahan. “Siapa kau?” tanya satu antaranya. Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira yang mengantar guci emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di Shigatse. “Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya,” sahut Thian Oe. “Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse.” Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe tidak munculkan muka, sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga apa-apa. Sesudah Thian Oe perkenalkan dirinya, salah seorang lantas berkata: “Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?” Ia lalu minta Tiam Siauwdjie berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: “Ada urusan apa Tan-heng datang kesini?” Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga giginya pada bercakrukan. Thian Oe tidak tega dan segera berkata: “Penyakit begini siauwtee mengerti juga sedikit.” la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan kepada mereka. Beberapa saat sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka muncul semacam hawa panas yang menembus sampai di pusar. Kedua perwira itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi. Buru-buru mereka kerahkan pernapasannya buat bikin hawa panas itu mengalir terus sampai ke tangan dan kaki. Semakin lama mereka rasakan semakin segar. “Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin (kedua tuan pembesar) akan pulih kembali,” kata Thian Oe. Kedua perwira itu – yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi bernama Lunpo — adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong An. Jika hari itu mereka waspada dan kerahkan tenaga dalamnya buat melindungi badannya, meskipun kena serangan Pengpok Sintan, mereka tidak akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira minum arak dan juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka jadi tidak berjaga-jaga. Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam sumsum, barulah mereka kerahkan tenaganya buat melawan, tapi sudah kasep. Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak entengan dan mereka tentu saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas ingat, bahwa si orang tua yang turut bertempur di Shigatse adalah kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan salah seorang menanya lagi: “Sebenarnya kau siapa?” “Bukankah aku sudah beritahukan?” kata Thian Oe. “Apa benar kau Tan Kongtjoe?” Mauwyan menegasi.“Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh sama-sama pergi ke kantornya Hok Tayswee buat cari ayahku,” kata Thian Oe. “Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat punahkan ilmunya wanita siluman itu?” tanya Lunpo. Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian Oe telah ketemukan banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup dan simpan dalam bungkusannya. Ia kenali, bahwa di antara yowan itu terdapat Yanghowan, yaitu pel buat lawan hawa dingin. Pel itulah yang ia berikan kepada Mauwyan dan Lunpo. Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti menyahut bagaimana. Kedua perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan membentak: “Apa kau di kirim oleh wanita siluman itu?” Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela mendadakan terdengar suara tertawanya seorang wanita yang lantas membentak: “Inilah yang dinamakan sang anjing gigit Lu Tong Pin. Kau tidak mengenal kebaikannya orang. Aku kirim obat, kau berbalik mencaci aku. Apa kau mau sakit lagi beberapa hari?” Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget sekali dan tidak berani buka suara lagi. “Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku,” demikian terdengar lagi suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-mirip dengan suaranya Pengtjoan Thianlie. Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi wanita itu sudah loncat naik ke atas genteng. Buru-buru ia balik ke kamarnya buat ambil buntalannya, dan sesudah lemparkan uang penginapan, ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras, tapi untung ilmu entengi badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari pintu kota, ia dapat menyandak. Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: “Ilmu silatmu sudah banyak maju. Apa Puteri kami yang memberi pelajaran? Apa ia sudah balik ke keraton?” Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah Yoe Peng, dayangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil ia ikuti majikannya dan di antara para dayang, ilmu surat dan ilmu silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu. Pada harian gempa bumi, ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin pergi petik daun obat. Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan ianya. Tapi mendengar pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: “Aku curi belajar. Apakah kau mau jalankan perintah majikanmu buat menghukum aku?” Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: “Puteri kami sebenarnya sangat sayang kau. Sebetulbetulnya, ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa macam ilmu silat, sebelumnya kau meninggalkan keraton. Cuma menyesal malam itu kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, sehingga Kongtjoe jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma mau gertak kau, dan sehabis mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari kurungan. Sesudah mengalami bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih bisa hidup terus. Cobalah tuturkan pengalaman dalam keraton selama tiga bulan yang lalu.” Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. “Aku sudah duga semua saudarasaudara tidak akan sampai binasa,” kata Yoe Peng setelah dengar penuturan Thian Oe. “Sebetulbetulnya, waktu itu aku cuma kuatirkan keselamatanmu yang sedang dikurung dalam gua. Jika kau sampai kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak enak hati.” “Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?” tanya Thian Oe. Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: “Selagi menemani soenio-mu memetik daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa bumi. Maka itu, buru-buru kita naik perahu dan turun ke telaga Thian-ouw (Telaga Namtso). Aku sama sekali tidak mengetahui keadaannya Kongtjoe.” Thian Oe merasa putus harapan. “Soenio-ku?” ia tanya lagi. “Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang dikandung,” sahut Yoe Peng. Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui, bahwa soenio-nya sedang hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah tinggalkan pesanan begitu kepadanya. “Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau tidak girang?” kata Yoe Peng sembari tertawa. Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian Oe kembali merasa sedih. “Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke keraton?” tanya ia dengan suara menegor. “Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang hebat telah terjadi,” menerangkan Yoe Peng. “Sesudah gempa bumi itu, di selebar gunung penuh dengan batu-batu dan lahar yang sangat panas. Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup semuanya. Melihat begitu, kita tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya lahar itu menjadi dingin. Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di daerah pegunungan yang tidak mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton sudah siap sedia tempat berlindung, sehingga, kecuali pikirkan keselamatanmu, aku anggap keselamatan para saudara dan Thiekoay sian sudah terjamin. Aku segera bujuk soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke Soetjoan buat melahirkan dan begitu ada kemungkinan, aku percaya Thiekoay sian juga akan segera menyusul.” “Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi,” kata Thian Oe dengan suara serak. Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat terharu. Ia berdiri bengong beberapa saat dan kemudian menanya: “Kemana kau mau pergi?” “Ke Lhasa. Dan kau?” Thian Oe balas tanya. “Aku tak tahu mau pergi kemana,” jawab Yoe Peng sembari tertawa. “Sebetulnya, aku cuma niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan lantas pulang begitu lekas lahar menjadi dingin dan keras.” “Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap, di atas gunung sudah tidak terdapat lahar panas lagi,” menerangkan Thian Oe. “Itulah aku tidak tahu,” kata Yoe Peng. “Aku sebetulnya niat menunggu sampai musim semi baru pulang buat lihat-lihat keadaan.” Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata lagi sembari mesem: “Apa kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si pemuda baju putih dengan mengambil namaku? Ia persamakan diriku seperti seorang wanita suci yang berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-benarnya, sebagai manusia biasa, aku pun ingin sekali melihat-lihat keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu banyak tahun dalam keraton, sering-sering aku merasa sangat kesepian.” Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe Peng seakan-akan satu bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih bebocahan. Ia tertawa dan berkata: “Hm! Kau rupanya ingin menggunakan kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh Tibet, Lhasa-lah yang paling ramai. Disitu terdapat gereja Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke Lhasa.” “Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe,” sahut Yoe Peng dengan suara girang. Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata sambil menghela napas: “Tu hari mereka sedang adu pedang di kakinya Puncak Es. Apa mereka bisa selamatkan diri?” “Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es),” kata Yoe Peng. “Meskipun ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa dewi, akan tetapi kepandaiannya sesungguhnya tak dapat diukur bagaimana dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia sampai hilang jiwa lantaran bencana alam itu.” Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng kelihatan pandang majikannya betulbetul seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe jadi terpengaruh dan tidak percaya lagi Pengtjoan Thianlie binasa dalam gempa bumi. Dengan demikian, hatinya jadi legaan. “Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih, tapi janganlah kau anggap mereka berkelahi seperti musuh,” kata Yoe Peng sembari tertawa. “Aku sudah dapat lihat, Kongtjoe sebenarnya suka pemuda itu!” Thian Oe tertawa besar seraya berkata: “Kau ini benar-benar setan yang cerdik!” “Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh,” membalas Yoe Peng. “Kau mencintai siapa, aku juga sudah tahu.” Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. “Ilmu kepandaiannya Chena masih sangat cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri,” katanya dengan suara perlahan. “Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya mati, ia tentu tidak akan mati,” kata Yoe Peng dengan suara menghibur. Kata-kata itu sebenarnya cuma merupakan hiburan belaka, akan tetapi, sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi terhibur juga. Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: “Kau selalu memanggil Pengtjoan Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat tahu, ia sebenarnya puteri dari negara mana? Kenapa ia mempunyai kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya hanya seorang pendekar dalam Rimba Persilatan?” “Baiklah,” sahut Yoe Peng. “Buat hilangkan kesepian, aku akan ceritakan asal-usulnya Kongtjoe.”
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |