Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah lagu “Tjioelam” dari Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut berbunyi kira-kira seperti berikut:
有棵高树南方生, 高高树下少凉阴。 Di Selatan ada pohon tinggi, tapi tak ada tempat meneduh. 汉江女郎水上游, 更想追求枉费心。 Di Hankiang si cantik berenang, tak mungkin dapat diubar. 好比汉水宽双宽, 游过难似上青天。 Ibarat luasnya Sungai Hansoei, jangan harap dapat menyeberang. 好比江水长又长, 要想绕过是枉然。 Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,jangan harap dapat diputari. Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat dicuri oleh lelaki mana juga. Kata-kata yang digunakan dalam syair itu semuanya petunjuk yang samar-samar. “Kenapa Pengtjoan Thianlie mainkan lagu itu?” tanya Thian Oe dalam hatinya. “Apakah ia ibaratkan dirinya seperti itu gadis Hankiang? Memang juga, jika dibandingkan, Pengtjoan (Sungai es) adalah lebihsukar diseberangi daripada Hankiang.” Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara khim mendadak berhenti. Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang berdebar hatinya, sebab saat pertemuan antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih sudah tiba. Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali. Lagu itupun adalah petikan dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-kira sebagai berikut: 芦花一片白苍苍, Kembang putih putih, 清早露水变成霜,embun menjadi es. 心上的人儿哪,Jiwa hatiku, 正在水的那一方 berada di seberang. 我逆着水流去找她,Melawan arus air, 绕来绕去道儿长aku mencari ia, terputar-putar jauh sekali. 我顺着水流去找她,Mengikuti arus air aku mencari ia, 象在四边不着陆的水中央 terombang-ambing di tengah air yang tiada tepiannya. Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki sedang cari kecintaannya, yang boleh dipandang, tapi tidak boleh dipegang, penuh dengan perasaan cinta dan sedih dengan berbareng. Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang lagi, yaitu si pemuda baju putih, yang satu tangannya memegang suling batu kemala, sedang di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang, sehingga ia kelihatannya jadi lebih cakap dan angker. “Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa soal adu pedang,” kata ia sembari pegang gagang pedangnya. “Kau juga pandai meniup suling,” sahut Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. “Ilmu pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu, lebih-lebih aku harus minta pengajaranmu.” Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim, yang lain tiup suling, manalah seperti dua musuh yang mau bertempur? “Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?” kata si pemuda. “Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?” kata Pengtjoan Thianlie. “Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak memaksa. Pergilah, disini bukan tempatmu.” Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari tertawa: “Kecuali adu pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau turun gunung? Baiklah, kita janji saja begini: Jika aku kalah, aku tidak akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah, kau harus bantu aku melindungi guci emas itu.” Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: “Memang juga dalam dunia ini tak hentinya manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa mendeluh sekali. Baiklah, cabut pedangmu.” Didengar dari lagu omongannya, Pengtjoan Thianlie seolah-olah merasa, bahwa dalam pertempuran sebentar, ia pasti menjadi pihak yang menang. Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas mengeluarkan sinar berkilaukilauan dan hawa dingin yang sangat hebat. Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga adalah Pengpok Hankong kiam, tapi tidak sama dengan pedang yang digunakan oleh para dayangnya. Pedang itu terbuat dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam gua es dan umbul dingin. Thian Oe dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan yang dapat menahan segala rupa hawa dingin, tapi toh mereka masih bergidik begitu lekas pedang itu dicabut dari sarungnya. Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik keluar pedangnya sendiri. Ia berdiri di sebelah bawah, ia berkata: “Silahkan!” Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat, lantas saja menyambar. Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si pemuda sudah ngapung ke atas beberapa kaki tingginya, sedang Pengpok Hankong kiam lewat di bawah kakinya. Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah menyerang dengan serangan Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu menuju ke arah tiga jalanan darah musuh yang membinasakan, tapi tidak dinyana, serangan sehebat itu dapat disingkirkan secara begitu gampang oleh si pemuda baju putih. Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas menyerang. Ia kirim dua tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah kanan dan satu tikaman di tengah-tengah, setiap serangan di kirim dengan gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu teriakan “Bagus!”, Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan gerakan yang berobah-robah luar biasa cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali kelihatan menyambar lehernya si pemuda. “Sungguh indah Tatmo Kiamhoat!” berseru si pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia sudah loloskan diri dari serangan Pengtjoan Thianlie. Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui kiamhoat-nya, akan tetapi, ia sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang sedang digunakan oleh pemuda tersebut. Dengan demikian, kesombongannya lantas hilang beberapa bagian. Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang secara hebat. Pedangnya menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga matanya orang yang melihat menjadi kabur. Pengtjoan Thianlie jadi sengit. Cara bersilatnya mendadak berobah dan di lain saat, bayangannya dan sinar pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-olah dalam taman itu muncul bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie. “Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama kosong,” kata si pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. “Ia ternyata sudah tambahkan banyak pukulan-pukulan luar biasa ke dalam Tatmo Kiamhoat.” Memang juga, kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie sudah tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam Tatmo Kiamhoat. Dengan gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu sudah menambah dengan sarinya ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan ilmu pedang dari Tiongkok asli. Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa sengitnya. Masing-masing keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa mendapat hasil. Menit lepas menit, jam lepas jam, dari tengah hari mereka sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-duanya masih tetap segar dan belum ada yang keteter. Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang, terdengar. Dengan berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan masing-masing periksa pedangnya yang ternyata sama kuatnya dan masih tetap utuh seperti biasa. “Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?” tanya si pemuda baju putih sembari tertawa. “Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok kau datang lagi,” sahut Pengtjoan Thianlie. “Hatiku merasa tidak tega,” kata lagi si pemuda. “Dengan bertempur disini kita bikin rusak pemandangan indah dari keratonmu.” Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-gunungan dan batubatu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak lantaran tertabas pedang. “Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban. Sungguh sayang!” kata si pemuda. “Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi,” kata Pengtjoan Thianlie. “Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis bagaimanakah baiknya?” kata si pemuda sembari mesem-mesem. Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. “Apa kau tidak bisa turun gunung sendiri?” kata ia dengan suara tidak sabaran. “Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau,” kata si pemuda. “Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui kau lagi? Di sebelahnya itu, ketemu tandingan setimpal adalah salah satu kejadian paling menggembirakan dalam penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa cari lagi satu tandingan seperti kau?” “Habis bagaimana pendapatmu?” Pengtjoan Thianlie menanya tanpa merasa. “Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai tetamu,” sahut si pemuda. “Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada kurang sopan, akan tetapi aku merasa berwajib undang kau satu kali. Maka pada besok tengah hari, aku undang kau datang ke lembah es buat mendapat suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas rata Puncak Es, masih tidak ada halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di tempat ini dan merusak keindahan keratonmu.” Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu, lantaran kuatir bikin rusak – keindahan keraton, ia belum keluarkan semua kepandaiannya. Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si pemuda. “Baiklah, aku iringi Keinginanmu!” jawab ia dengan suara bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia lantas ingat, bahwa ia sekarang toh sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya! Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran. Mendadak ia tertawa dan berkata: “Hiasan sebuah taman adalah ibarat pakaiannya seorang gadis, yang saban-saban harus ditukar coraknya. Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru.” Tanpa perdulikan didengar atau tidak oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja bicara panjang lebar mengenai cara-cara menghias taman. Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan Thianlie yang kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya. Mendengar perundingannya si pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu lantas pada mendekati dan berkumpul di seputar ia. Pengtjoan Thianlie berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang enak buat semprot dayang-dayangnya di hadapan orang luar. Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan berkata: “Sayang sekali kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah aku tidur lagi di bawahnya Puncak Es!” “Yah, pergilah!” kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar. “Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi,” kata si pemuda sembari mesem. “Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin tidur. Sedang tuan rumah sungkan menerima tetamu, aku pun paling baik jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!” Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan, sedang mulutnya tak hentinya bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam taman itu. Sebentar ia ceritakan cara menggunting daun-daun kembang ini, sebentar ia bentangkan cara merawat pohon itu. Bicaranya bukan saja sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan yang mendalam mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang mendengari jadi bengong, dan tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang mewakili sang majikan buat mengantar tetamu. Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat panggil pulang dayang-dayangnya. Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di belakangnya gerbang itu terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang menyiarkan bau harum sekali. “Pemandangan disini luar biasa bagusnya. Kenapa tidak dibuat toeilian?” kata si pemuda sembari tertawa. Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa. “Dalam dua hari memang juga mau ditulis dan kemudian dicukil,” sahut satu dayang. “Paduka Puteri bilang…” “Jangan banyak bacot!” membentak sang majikan. “Ah, kalau begitu belum ditulis beres,” kata si pemuda. “Nama dayang mana yang kau ingin gunakan buat toeilian itu?” Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. “Aku lihat kau sudah kepengen sekali,” ia mendadak berkata. “Nah, coba kau tolong karangkan.” Si pemuda tertawa nyaring. “Baiklah,” kata ia. “Lagi-lagi kau mau uji aku. Aku ini memang tak tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan kebodohanku.” Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: “Toeilian yang mau dibuat menggunakan namanya. Ia bernama Hoei Kheng.” Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf “kosong”, yang lain huruf “berisi”, benarbenar sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng adalah dayang yang biasanya membantu Pengtjoan Thianlie mengambil kertas dan menggosok bak dalam kamar tulis, sehingga sedikit banyak ia mengerti juga syair. “Tak bisa dapat?” ia tanya sembari tertawa. “Kalau dipaksa-paksa bisa juga,” jawab si pemuda. “Gerbang ini sangat tinggi, maka perlu dibikin toeilian yang agak panjang. Begini sajalah: 慧质胜幽兰, Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. 摇曳空山 Yang bergoyang tertiup angin di pegunungan kosong. 明月有情徒惆怅 Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan. 卿云灿银海 Awan yang indah menyinari lautan perak. 飘浮天际 Melayang-layang di selebar langit. 瑶池无路漫低洄 Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya, mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya. Demikianlah huruf pertama “Kepintaran” (Hoei) dari syair yang kesatu ditimpali dengan huruf pertama “Indah” (Kheng) dari syair yang kedua, sehingga dapatlah “Hoei Kheng” atau namanya dayang itu. Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si pemuda umpamakan ia seperti lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan cuma sang rembulan yang menjadi kawannya, sehingga menambahkan kesedihan. Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong seperti orang yang sedang ngelamun. Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:” Eh, coba karang lagi buat tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku, Yoe Pcng.” Tempat itu adalah satu pendopo delapan pasegi yang berdiri di atas satu empang teratai, yang penuh dengan pohon-pohon teratai dan rumput air yang dinamakan “peng”. “Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-lebih sukar dipasangkan,” kata si pemuda sembari tertawa. “Baik juga pemandangan disitu dapat dipinjam buat menggubahnya. Kau dengarlah: 幽谷荒山 Lembah sunyi, gunung belukar. 月色洗清颜色 Sinar rembulan menindih lain-lain warna. 萍梗莲叶 Batang peng (rumput), daun teratai. 雨声滴碎荷声 Suara hujan menutup suara teratai.” Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng (namanya semacam rumput). Lembah sunyi, gunung belukar, batang rumput (peng), daun teratai, masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di sebelah bawah, si pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu yang berbunyi: Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah rontok, sambil mendengari jatuhnya sang hujan. Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya, tapi juga mengenakan dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah mau menyatakan simpatinya kepada ia, yang dengan penuh kesunyian, bertempat tinggal dalam keraton es. Hatinya si nona jadi tergoncang. Ia tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian sedemikian tinggi, baik dalam ilmu surat, maupun dalam ilmu silat. “Sudahlah, jangan mengantar terus,” kata si pemuda sembari angkat kedua tangannya. “Terima kasih, terima kasih.” Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah ikut menyeberangi jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi bersemu dadu dan berkata dengan suara tawar: “Piara semangatmu, besok kita adu pedang lagi.” “Baiklah,” kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia sudah menghilang di antara pepohonan. Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas jembatan. Ia dongak ke atas dan memandang itu lembaran-lembaran awan yang mengambang, dengan paras muka sedih. Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran ingat, bahwa besok ia sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas balik ke kamarnya buat mengasoh. Selagi rebahrebahan, mendadak seorang dayang datang dan memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie undang ia bersantap malam. Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh seorang dayang dan ia selalu makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu, ia merasa agak heran mendengar undangannya Pengtjoan Thianlie. Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang dayang pergi ke keratonnya Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak-belok, mereka tiba pada satu telaga es. Di kakinya puncak gunung Nyenchen Tanghla terdapat satu gunung api, sehingga pemandangan dalam keraton adalah lain dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat, disitu terdapat bunga-bunga yang mekar sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap hijau sepanjang masa. Di tengah telaga terdapat teratai putih, teratai merah, bunga Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain bunga yang aneh-aneh. Di sebelahnya itu, kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah telaga, dan jika sang angin meniup dengan perlahan, bebauan yang harum menyambar-nyambar ke dalam hidung. Sungguh orang tak tahu, musim apa adanya itu? Apa musim semi, apa musim rontok, apa musim dingin atau musim panas! Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok putih mulus. Disorot dengan sinar matahari magrib, pendopo itu mengeluarkan warna-warni yang luar biasa indahnya. Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di sebelahnya Pengtjoan Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe lantas memberi hormat dan mengambil tempat duduk di samping gurunya. Selain masih sedikit layu, paras mukanya Thiekoay sian sudah pulih seperti biasa. “Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi,” kata Pengtjoan Thianlie. “Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang usianya laksaan tahun,” kata Thiekoay sian. “Kalau tidak ada mustika itu, aku masih harus mengasoh beberapa hari lagi.” Suaranya tawar sekali yang mana menandakan perasaan berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo berdiamnya dalam keraton es. Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: “Masih ada sedikit hawa dingin yang belum habis. Kau masih harus minum air godokan rumput Sinlongtjo. Rumput itu bisa didapat di sebelah selatan Puncak Es dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie pergi memetiknya.” “Terima kasih,” sahut In Tjin dengan pendek. “Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak Es dan mungkin pulangnya laat sekali,” kata Pengtjoan Thianlie. “Lusa pagi kalian harus berangkat, maka itu, aku siapkan meja perjamuan ini buat memberi selamat jalan.” Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan membungkuk sebagai pernyataan terima kasih. Sikap mereka kaku sekali, tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya tidak memperdulikan. Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: “Thiekoay sian, kau sudah berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu pedang dari macam-macam partai. Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang, yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu pedang apa adanya itu?” Sehabis berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang luar biasa. “Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku buat mengadu pedang,” ia sambung keterangannya. “Selain itu, ia mempunyai senjata rahasia yang juga luar biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas hitam!” “Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu,” sahut Thiekoay sian. “Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu,” kata Pengtjoan Thianlie. “Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu? Apa di dalamnya tidak terdapat cacat yang bisa diserang?” “Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?” kata Thiekoay sian dalam hatinya. “Biarlah aku gertak padanya!” Memikir begitu, ia lantas saja berkata: “Ilmu pedang itu adalah ilmu pedang Thiansan yang kesohor di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah gubahan tjianpwee Hoei Beng Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu pedang dan tambah sama gubahannya sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia yang dapat pecahkan ilmu pedang itu!” Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: “Oh, kalau begitu Thiansan Kiamhoat!” Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan Thianlie dahulu pernah dikalahkan oleh Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur ke Tibet dengan niatan memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo Kiamhoat, akan kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi sama Thiansan Kiamhoat. Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya Thiansan pay dan tak diduga, pemuda itu adalah orang dari partai tersebut. “Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi,” Thiekoay sian sambung keterangannya. “Namanya Thiansan Sinbong dan bahannya cuma bisa didapat di Thiansan. Bukan emas dan juga bukan besi, tapi sifatnya lebih keras dan emas dan besi. Bentuknya juga macammacam, ada yang panjang seperti anak panah, ada yang bundar seperti mutiara. Dahulu Leng Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya lantaran Thiansan Sinbong dan dari sini bisa dilihat liehaynya senjata rahasia itu.” Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan berkata dengan suara tawar: “Ah, belum tentu tak ada tandingannya di kolong langit!” “Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin sekali masih setanding,” kata Thiekoay sian. “Cuma saja dalam dunia persilatan, jika kita menemui lawanan tangguh, pada sebelum ingat kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga akan kekalahan, maka itu, terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati.” Dengan berkata begitu, Thiekoay sian seperti juga mau bilang, ia bukan tandingannya pemuda tersebut. Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara di hidung. Sebenarnya ia mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul ilmu pedangnya pemuda itu, dan kedua, cacatnya ilmu pedang tersebut. Sekarang, soal pertama ia sudah mengetahui, tapi dalam soal kedua, menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan dan sama sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia jadi merasa sangat berdongkol dan berkata dengan suara kaku: “Dalam dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat dipecahkan. Setiap ilmu silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus menyatakan terima kasih buat segala pengunjukanmu. Sekarang marilah aku undang kalian suami isteri minum kering tiga cangkir arak. Pertama buat membilang terima kasih, dan kedua, buat memberi selamat jalan.” Seorang dayang lantas menuang arak dan mereka lalu minum kering tiga gelas. Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti juga tidak kuat tahan pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke pinggir telaga, tapi sebelum sampai disitu, ia sudah muntahkan arak dan makanan dari dalam perutnya. “Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan bunga,” kata Pengtjoan Thianlie. “Sifatnya halus sekali dan bukannya arak yang keras. Kenapa In Tjin tjietjie jadi tak tahan?” Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati, Tjia In Tjin balik ke meja perjamuan dengan muka pucat. “Kenapa?” tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah, tapi tidak menyahut. Dilihat macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak. Pengtjoan Thianlie lantas perintah satu dayang ambil es dan selampe, tapi In Tjin goyang tangannya dan berkata: “Tak usah! Tak usah!” “Bukankah kau mabok arak? Dikompres sama es, maboknya bisa lantas hilang,” kata Pengtjoan Thianlie. Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Melihat begitu, sang suami agak mendusin dan lantas berkata: “Ah, aku tahu. Coba aku tebak penyakitmu.” Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik: “Jangan ribut! Aku… Aku ada…” “Ada apa?” tanya Pengtjoan Thianlie. In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang ngidam dan baru saja hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya Thiekoay sian sudah mendekati setengah abad, tanpa mempunyai anak. Maka itu, tentu saja ia jadi girang sekali, dan dalam kegembiraannya, ia keja jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah. Melihat begitu, Thian Oe dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran. “Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?” tanya si nona sembari melirik. “Kesehatanmu belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau terlalu gusar. Baiklah, sekarang sudah laat, aku harus lantas balik ke keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas turun gunung dan tak usah menemui aku lagi.” Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya sedih lantaran ingat, lusa pagi ia sudah mesti berlalu dari tempat itu. Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju putih itu akan bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi ia tak tahu, apa Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena, itu gadis Tsang yang luar biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia meramkan kedua matanya, tapi sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar. Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan keluar jalan-jalan di dalam taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah gedung yang aneh itu. Rembulan yang sangat terang menyelimuti bumi dengan sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia dengar suara tindakan dan buru-buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan. Di lain saat, pintunya gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang memakai baju putih kelihatan keluar. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri. Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it, Pengtjoan Thianlie masuk ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang lebih satu jam lamanya. Apa yang dilakukan olehnya, tidak diketahui oleh siapa juga. “Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku mau curi rahasianya,” kata Thian Oe dalam hatinya. “Adatnya sangat luar biasa. Ia tentu akan memberi hukuman berat!”Thian Oe jadi ketakutan. Ia tak berani bergerak dan tahan napasnya. Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat mengumpatnya Thian Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras. Mendadak, dalam jarak kurang lebih setombak dari Thian Oe, ia berhenti dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe terbang semangatnya dan keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga, Pengtjoan Thianlie sudah mengetahui tempat mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela batu. Matanya mendadak lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang menuju ke arah utara barat, yaitu ke jurusan gedung tempat mengasohnya. Thian Oe terkejut. “Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?” demikian kedengaran Pengtjoan Thianlie menanya. Thian Oe lega. “Chena tentulah mau cari aku,” kata ia dalam hatinya. “Tak tahu, ia mau omong apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia.” “Thianlie tjietjie,” demikian kedengaran Chena menyahut. “Aku cari kau terputar-putar, tak tahunya kau berada disini.” Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta. “Ada apa kau cari aku?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?” Chena balas menanya. “Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?” kata Pengtjoan Thianlie. “Legakan hatimu. Walaupun andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun tidak akan sampai kena dijatuhkan oleh pemuda itu.” “Maka itulah…” Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan omongannya. “Maka apa?” “Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya,” kata Chena. “Aku ingin sekali… Aku kepengen…” “Ingin nonton?” “Benar, tjietjie,” kata Chena. “Aku anggap, kalau tidak saksikan pertempuran itu, mungkin selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan pertempuran yang sedemikian hebatnya.” Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi melihat Chena begitu pandang tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda dan begitu kagumi ilmu pedangnya, tanpa terasa ia jadi tertawa. “Aku sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat, tapi sekarang aku bikin kecualian,” kata ia. “Baiklah, besok kau dan seorang dayangku boleh nonton dari puncak gunung di sebelah barat.” “Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu pedang?” tanya Chena dengan suara agak tidak puas. “Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya pertempuran,” kata Pengtjoan Thianlie. “Terhadap kau, aku sudah bikin kecualian itu. Apa kau masih belum merasa puas? Mari, ikut aku pulang. Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang. Aku sudah janji akan ajar kau tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji itu.” Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap. Sesudah mengumpat beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar. Wewangian yang keluar dari rumah aneh itu jadi semakin keras dan seakan-akan mempunyai serupa tenaga membetot. Tanpa merasa Thian Oe menghampiri pintunya dan tangannya meraba-raba gelang-gelangan pintu. Gelang-gelangan pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-putar dan sesudah memutar dua kali, sang pintu mendadak bergerak dan terbuka sendirinya! Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya seperti juga dibetot. Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung itu, tanpa merasa ia sudah bertindak masuk. Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-tengah terdapat patungnya seorang wanita yang mukanya bundar seperti rembulan, sedang rambutnya yang berwarna emas terurai di kedua pundaknya. Dari mukanya ternyata wanita itu adalah seorang wanita asing. Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia dengar suara orang batuk di belakangnya. Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka sangat gusar! Semangatnya Thian Oe terbang. “Nyalimu benar besar,” Pengtjoan Thianlie berkata dengan suara tawar. “Mau apa kau masuk kesini?” Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: “Aku… aku… tidak tahu tidak boleh masuk kesini.” Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. “Tak tahu?” ia menegasi. “Chena belum pernah beritahukan kau? Aku tak percaya! Kalau dia tidak memberitahukan, dialah yang bersalah. Aku nanti tanyakan dia. Aku tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara saja terus terang, jangan salahkan orang yang tidak berdosa.” Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga kuatir Pengtjoan Thianlie nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia berkata: “Benar, barusan aku berdusta. Pada hari pertama, Chena sudah memberitahukan.” Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. “Tapi kenapa kau toh sudah mencuri masuk?” ia membentak. “Hm! Kau orang, guru dan murid, memang bukannya orang baik. Apa gurumu yang ajar kau masuk kesini?” “Bukan,” jawab Thian Oe. “Aku sendiri yang mau masuk disini. Disurung dengan hati yang kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk kesini.” Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang ia dapat memandang keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat pojokan gedung itu dipasang lampulampu,sedang pada temboknya terdapat mutiara-mutiara yang mengeluarkan sinar terang. Sesudah berdiam beberapa hari di keraton es, baru ini kali Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin seperti es seperti juga menembus sampai pada uluhatinya. Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi kesemutan dan lemas. Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan Thianlie. Di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, ia sudah belajar silat tujuh atau delapan tahun lamanya. Dalam kalangan Kangouw yang biasa, ilmu silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi sekarang, menghadapi Pengtjoan Thianlie, ia sama sekali tidak berdaya dan badannya diangkat begitu rupa, seperti juga anak ayam disambar ulung-ulung. “Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!” kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia putar badannya Thian Oe dua kali di tengah udara. Thian Oe rasakan kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu apa, ia rasakan badannya ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas lantai. Thian Oe keluarkan teriakan ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan segera melayang. Tapi, begitu lekas badannya mengenakan lantai, disitu mendadak terbuka satu lubang dan badannya lantas masuk ke dalam lubang itu. Waktu jatuh di dasar lubang, ia rasakan sakit, tapi belakangan ternyata tidak mendapat luka yang berarti. Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat tangannya sendiri. Lubang di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup ia dengar suara tindakan. Rupanya Pengtjoan Thianlie sudah berlalu dari situ. Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat sekali. Buru-buru ia bersila dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia sudah mempunyai dasar ilmu dalam (lweekang), sehingga beberapa saat kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak begitu menderita lagi dari hawa dingin dan basah itu. Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe. Mengingat perkataan “kau jangan keluar lagi,” ia jadi bergidik. Apa benar ia bakal dipenjarakan disitu seumur hidup? Ia lantas saja ingat ayahnya, gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena. Dengan mereka itu, ia tak akan dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih bersifat satu bocah. Mengingat begitu, ia lantas saja kucurkan air mata dan menangis segak-seguk. Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tindakan orang di atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya: “Ah, kalau Pengtjoan Thianlie lihat aku menangis, ia tentu akan tertawakan aku.” Ia tidak merasa sakit hati, tapi ia pun sungkan perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu, ia segera bersila dan meramkan kedua matanya. Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin jauh dan akhirnya tidak kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak mengetahui, bahwa suara kaki itu adalah tindakannya Chena dan satu dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka belum seberapa tinggi dan tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat mendengarnya. Mereka berdua bangun sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak gunung yang terletak di sampingnya Puncak Es, buat saksikan adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan dilangsungkan pada waktu tengah hari. Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama kemudian, kupingnya dapat dengar suara nyanyiannya burung-burung yang baru sadar dari tidurnya. Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia berkata dalam hatinya: “Satu penyair ahala Tong ada bilang: ‘Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala tempat terdengar suara nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan angin, tahukah kau berapa banyak bungajatuh berhamburan?’ Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku sekarang justru sebaliknya dari keindahan itu. Dengan mendengar suaranya burung-burung itu, langit tentunya sudah menjadi terang. Semalam Chena mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang terkurung disini dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali tidak ada hujan maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat topan yang sangat hebat!” Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan badannya lelah, tapi ia tidak rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang diri dalam gua yang gelap itu dan rasakan sang tempo jalan luar biasa perlahan. Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. “Ah, sekarang tentunya mereka sudah bertempur di kakinya Puncak Es,” kata ia dalam hatinya. “Sayang sungguh kedua mataku tidak mempunyai rejeki buat menyaksikan.” Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar biasa, yang semakin lama jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua bergoyang-goyang. Thian Oe terkesiap dan hatinya penuh tanda tanya. Tiba-tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang panas. Ia jadi semakin heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja dinding, tapi lantainya gua punturut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan satu suara gedubrakan, beberapa batu dinding mental keluar dan sinar matahari masuk dari lubang itu! Badannya Thian Oe pun terpelanting di atas lantai lantaran goncangan yang sangat keras. “Ah, inilah gempa bumi!” Thian Oe berteriak dengan suara di tenggorokan. Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-gunung api yang masih bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering terjadi gempa bumi besar dan kecil. Thian Oe jugamengetahui kenyataan itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami kejadian tersebut. Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang. Badannya jadi gemetar. Rasa takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru dipergoki oleh Pengtjoan Thianlie dalamrumah terlarang itu. Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya terdengar. Suara itu ada terlebih hebat dari apa yang satu manusia pernah bayangkan. Bumi bergoyang-goyang dan seakan-akan segera terbalik. Seperti orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya. Kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan! Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap keluar dari dinding yang melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam debu warna kuning, sehingga sinarnya matahariturut berwarna kuning. Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah magrib. Thian Oe lantas kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri dan jalan beberapa tindak sambil memandang keadaan di seputarnya. Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi tidak sampai roboh. Thian Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk ke dalamnya, tapi lantas pergi ke taman sambil berlari-lari. Disitu banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang pada terguling dan rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan puing, tapi ada juga yang masih utuh. Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi tidak mendapat jawaban. Seluruh keraton es jadi sunyi senyap. Bukan main takutnya Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya memanggil-manggil Chena dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat ketemukan, malahan burung-burung dan binatangbinatang lainnya juga rupanya sudah pada kabur. Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan yang lebih mengejutkan lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke awan, yang tadinya berhadapan dengan keratin es, sekarang sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi! Puncak Es itu, yang siang malam pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu pemandangan luar biasa dari pegunungan Nyenchen Tanghla. Thian Oe ketakutan, tapi sekarang ketakutannya itu dicampur dengan perasaan sayang. Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang lebih jauh. Secara menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es raksasa masih terus menggelinding ke bawah. Ia juga lihat bahwa di seputar keraton bertambah banyak sekali batu besar. Ia mengetahui, bahwa batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es sedang roboh. Masih untung ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-keraton itulah yang masih tinggal utuh. Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong sekian lama. Ia ingat, waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih tentunya juga sedang bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara begitu, bukankah badan mereka dengan segera jadi perkedel? Walaupun ia baru saja kena disemprot dan dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat kecantikannya, usianya yang masih begitu muda dan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe dongak ke atas dan berkata dengan suara gemetar “Oh, Thian, kenapa begitu tega?” la juga ingat Chena yang menonton pertempuran dari puncak gunung yang terletak di sebelahnya Puncak Es. Apakah ia bisa terlolos dari mala petaka itu? Depan matanya lantas saja terbayang senyuman aneh dari gadis Tsang itu, yang ia pertama bertemu di atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena, berbayang pula Pengtjoan Thianlie yang cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe bergidik dan tak berani ngelamun terlebih jauh. Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang sesudahnya dimakan, memberikan ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-putar seraya memanggilmanggil, dengan harapan kalau-kalau bisa bertemu manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata manusia, binatang pun ia tidakketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap seperti kemarin, masih terus siarkan keharumannya yang luar biasa. Yang paling mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah berputaran di seluruh keraton, ia tidak ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang dari seluruh keraton dapat menghilang dengan begitu saja? Taruh kata mereka semua binasa ketimpa reruntuk rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat diketemukan juga. Walaupun tidak banyak, satu dua toh mestinya dapat diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak ketemukan barang satu mayat! Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya sudah ada yang pulang buat lihat -lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan belum ada barang satu manusia yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin Thian Oe jadi pusing sekali. Ia tidak mengerti apa artinya semua kejadian itu. “Apa kau sedang mengimpi?” ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan segera berteriak kesakitan. Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi! Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat keluar dari peledakan gunung dengan perlahan disapu bersih oleh sang angin malam. Di bawah sinar rembulan yang laksana perak, keraton es masih tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah kenangan yang menyedihkan. Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi sembari memanggil-manggil. Ia agaknya tidak mengenal capai. Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara perlahan kedengaran: “Oe-djie, apakah kau?” Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang paling berharga dalam dunia ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu datang, yaitu dari bawah reruntuknya satu kamar yang roboh. Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan Thiekoay sian yang rebah dengan pakaian ternoda darah. “Soehoe! Kau?” tanya Thian Oe dengan suara terharu. “Benar. Aku,” jawab sang guru. “Coba minta sedikit makanan. Oh, ambil air lebih dahulu.” Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil air telaga yang lantas diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh beberapa saat, Thiekoay sian berkata: “Kita berdua guru dan murid, sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih ada lain orang yang hidup?” Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian menghela napas dan berkata pula: “Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa ia tidak akan turun gunung, kecuali jika Puncak Es roboh. Sekarang puncak itu sudah ambruk, cuma barangkali ia sudah terpendam buat selamanya dan tidak dapat lagi turun gunung.” Sehabis berkata begitu, ia ingat isterinya yang sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat begitu, hatinya jadi sangat kuatirkan keselamatannya sang isteri. “Soehoe, apa kau terluka?” tanya Thian Oe. “Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu,” sahut sang guru. Tapi sebenarnya, lukanya Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang kesehatannya belum pulih, ia kembali mesti terima goncangan hebat di dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun berkat lweekang-nya yang sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi tenaga latihan sepuluh tahun jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian masih dapat berjalan, itu hanya terjadi berkatpertolongan sang tongkat. Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan mulut terus memanggil-manggil,tapi hasilnya nihil. “Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri di dalam kamar buat mengobati lukaku,” demikian Thiekoay sian tuturkan pengalamannya. “Sesudah itu, aku dengar suara berlari-larinya dan teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku dengar suara orang memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai puncak yang sangat penting,dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali. Maka itu aku teruskan latihan itu. Selagi aku mau akhiri latihan menurut peraturan dan kemudian mau pergi keluar.buat menanyakan, kejadian hebat sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri turut ambruk.” Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik kesimpulan, bahwa pada waktu terjadinya gempa bumi, di dalam keraton masih terdapat banyak dayang. Tapi kemana perginya mereka? Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat membikin pemeriksaan terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang roboh, kerugian harta benda agaknya tidak terlalu besar. Kawanan burung juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan bahan makanan didalam keraton adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak usah kuatir. “Soehoe, apa yang kita harus perbuat?” tanya Thian Oe sesudah selesai dengan pemeriksaannya. Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: “Menurut perintahnya Pengtjoan Thianlie, hari ini aku mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan kepandaianku seperti sekarang ini, aku tak akan bisa turun gunung pada sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya.” Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat dilewati oleh orang yang tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau oleh orang yang tidak mengetahui sifatnya sang air. “Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita tidak dapat berbuat lain daripada langgar perintahnya Pengtjoan Thianlie,” kata lagi Thiekoay sian sembari tertawa getir. “Kita tidak dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma berharap Pengtjoan Thianlie masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari tempat ini.” Tapi harapan itu hanya tinggal harapan belaka. Sesudah lewat tujuh hari, jangan sentara Pengtjoan Thianlie, dayangnya saja tak seorang yang muncul. Selama hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih dan akhirnya ia dapat usir keluar sisa hawa dingin yang masih mengeram dalam tubuhnya. Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari itu, ia kembali berada di depannya itu gedung yang penuh rahasia. Sebagaimana diketahui gedung itu belum roboh, cuma dindingnya saja yang sudah miring. Mengingat pengalamannya, sebenarnya Thian Oe tidak mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi ia merasa tidak tahan buat tidak tolak pintunya dan masuk ke dalam. Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya wanita itu masih berdiri seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu apa, ia dapat meneliti keadaan disitu. Ia lihat pada dinding yang miring penuh dengan macam-macam ukiran manusia yang sedang bersilat dengan gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-gerakan ilmu pedang tersebut sangat berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di Tiongkok. “Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie,” kata Thian Oe seorang diri. “Tidak heran kalau ia larang orang masuk kesini. Ia sering datang buat bersembahyang. Patung itu tentulah patung ibunya.” Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi lebih sulit lagi buat diketahui. Sebab tidak niat belajarkan ilmu pedangnya lain orang, sesudah mengawasi beberapa lama, Thian Oe segera keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya. Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa hawa dingin dalam tubuhnya. Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak, tapi sekarang ia dapat bergerak pula dengan leluasa dan tidak usah lagi dapat pertolongannya tongkat. Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang dilihat dalam gedung aneh itu. Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia berkata: “Aku rasa kau harus angkat satu guru lagi.” “Apa? Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?” tanya Thian Oe dengan suara kaget. “Bukan,” kata Thiekoay sian. “Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu silat tidak ada batasnya. Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku dan sudah mempunyai kepandaian yang bersamaan dengan aku, toh kepandaianmu itu masih belum cukup buat bertanding dengan ahli silat kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih yang ilmu silatnya luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama jubah merah saja masih berada di sebelah atasanku.” Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan sejujurnya. “Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali,” sang guru berkata pula. “Aku harus berlatih lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada harapan bisa turun dari gunung ini. Dalam tempo sepuluh tahun, kalau ada musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita dapat melawannya. Itulah sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu silat yang tinggi dan angkat lagi seorang guru lain.” “Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya guru baru itu?” tanya Thian Oe dengan perasaan heran. “Pengtjoan Thianlie!” jawabnya. Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay sian. “Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana kita boleh pelajari ilmu pedangnya?” kata Thian Oe sembari gelengkan kepalanya. “Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya,” jawab Thiekoay sian. “Cobalah kau pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah mati dan semua dayangnya pun ikut binasa, bukankah ilmu pedang itu akan jadi hilang dari muka bumi? Buat menggubah ilmu pedang yang luar biasa itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak tenaga, pikiran dan tempo. Kalau ilmu pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam baka rohnya kedua orang tua itu tentu tidak akan merasa senang. Selain itu, kehilangan tersebut juga merupakan satu kerugian yang sangat besar bagi dunia persilatan.” Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk terhadap gurunya yang berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu pergi ke gedung itu buat meneliti gambargambar di dinding. Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat sulit dan tak mungkin dapat dipelajari oleh orang yang belum mempunyai dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay sian adalah murid utama yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Apa yang dipelajari oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia persilatan, walaupun berbagaicabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa, akan tetapi dasar-dasarnya tidak berbeda banyak. Demikianlah, sesudah mempelajari tiga hari lamanya, Thiekoay sian sudah dapat menyelami artinya gambar-gambar itu. Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh (ilmu silat dalam). Sesudah belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, Thian Oe sudah mempunyai dasar-dasar lweekang. Ditambah dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay sian, ia dapat kemajuan sangat pesat dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat mulai belajarkan ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat. Di waktu pagi, ia belajar ilmu silatnya Thiekoay sian, sedang pada sorenya, ia belajar ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Dengan kerepotan sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu. Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe jalan-jalan di dalam taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga siarkan bebauan yang sangat harum. Sesudah selang beberapa bulan, keadaan dalam taman sudah mulai pulih seperti dahulu, sedang burung-burung juga sudah pada balik kesitu. Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada tiga bulan berselang, adalah Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman tersebut, tapi sekarang, ia berada seorang diri, sedang nasibnya gadis itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu dayang-dayang yang seperti lenyap dari muka bumi. Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini. Mendadak hidungnya dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu pojok taman. Sesudah berdiam tiga bulan lamanya, ia sudah kenal baik segala tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ. Ia sudah dapat membedakan wanginya macam-macam bunga. Tapi wewangian yang baru ia endus adalah wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan heran, ia segera menuju ke pojok taman, dari mana harum-haruman itu datang. Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa yang luar biasa adalah pada pohon itu terdapat satu buah tunggal, besarnya seperti mangkok dan warnanya merah terang. Buah itulah yang menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat pohon itu dan petik buah tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke uluhatinya. Ia masukkan ke dalam mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan saja harum dan manis luar biasa, tapi juga mempunyai semacam hawa menyegarkan yang seakan-akan menembus sampai di pusarnya. Sesudah makan habis Thian Oe lalu turun dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh taman cuma terdapat satu pohon begitu yang berbuah tunggal. Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. “Apa aku kena makan buah beracun?” tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi cari gurunya. Tapi baru saja lari puluhan tindak, perutnya jadi semakin mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia tak tahan lagi dan lalu buang-buang air besar. Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia rasakan satu perobahan yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan enteng luar biasa! Ia coba-coba enjot badannya dan tubuhnya lantas melesat ke atas dan hinggap di atasnya satu pohon besar. Tingginya pohon itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi ia cuma dapat melompat kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah itu, dengan gampang ia dapat melompat dua tombak lebih. Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada siapa ia segera tuturkan pengalamannya yang luar biasa. Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan ternyata omongannya tidak dusta. Sang guru juga turut bergirang dan berkata: “Keunggulan ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie berdasarkan kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri kau punya ilmu entengi badan yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau sudah mendapat berkah yang begitu luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu entengi badan, walaupun kau belum bisa dapat menandingi Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah berada di sebelah atasanku!” Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie, benar saja ia rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin berkat kegesitannya yang berlipat ganda. Hari itu, sesudah makan malam, seorang diri ia pergi lagi ke taman buat berlatih pula dengan pedangnya. Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan semua pukulan-pukulan yang sukar dapat ia jalankan secara otomatis. “Sungguh indah ilmu pedang itu!” mendadak terdengar suaranya satu orang. Thian Oe menoleh dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian. “Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali,” kata Thiekoay sian. “Kalau dilihat begini, tidak usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun dari gunung ini. Cuma saja, biarpun ilmu entengi badanmu sudah maju jauh, kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan, sesudah aku berada dekat sekali denganmu, barulah kau mengetahui.” Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu buat melatih kuping kepada muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang dapat membedakan macam-macam senjata seperti senjata rahasia, dengan cuma dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah memberi semua petunjuk secara terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu. “Sekarang aku mau coba padamu,” kata Thiekoay sian. “Coba kau balik badan dan aku akan datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya angin, kau mesti lantas menimpuk dengan batu. Aku mau lihat, apa kau dapat menimpuk jitu atau tidak.” Thiekoay sian lantas pergi ke tempat yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu. Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang sangat enteng mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya: “Kenapa terdengar tindakannya dua orang? Apa soehoe sengaja keluarkan ilmu luar biasa, atau kupingku belum terlatih baik?” Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak sempat memikir panjangpanjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk. Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan batu itu terpukul balik. Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke arah Thian Oe luar biasa cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya menghantam begitu hebat. Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay sian: “Pendeta jahat! Jangan lukakan muridku!” Berbareng dengan itu satu senjata rahasia menyambar dan kebentrok dengan batu itu. Kedua-duanya kemudian jatuh kedalam telaga es. Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya. Orang yang muncui dari samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah merah yang pernah datang ke keraton es dan belakangan kena diusir oleh Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu mengikuti satu boesoe yang berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari menyeringai, sedang gurunya memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget dan heran. Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada Thiekoay sian yang tidak mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Thian Oe yang mengerti juga sedikit bahasa Nepal lantas berkata: “Soehoe, ia datang buat cari tahu dimana adanya Pengtjoan Thianlie.” Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan tongkatnya dan gerak-gerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es itu ambruk dan mungkin Pengtjoan Thianlie sudah mati tertindih gunung yang ambruk itu. Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe ucapkan beberapa perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta itu kelihatan jadi lebih gusar lagi. Mendadak dalam bahasa Tibet, ia ucapkan perkataan “guci emas” dan tangannya membuat satu gerakan merampas. Perkataan “guci emas” dan gerakan itu membikin Thiekoay sian mengerti apa yang dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau menanya: “Apa kau niat merampas guci emas?” Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam bahaya, tapi ia pantang berdusta. Maka itu, dengan suara angkuh ia segera berkata: “Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!” Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan sianthung-nya. Dalam hal ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan tangannya Thiekoay sian, si pendeta anggap Pengtjoan Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan sang boesoe muda, bahwa Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata benar. Demikianlah, dengan adanya dua macam kegusaran yang menjadi satu, tanpa menyelidiki lebih lanjut, si pendeta lalu membuka serangan. Di lain pihak, Thiekoay sian yang mempunyai ganjelan, juga jadi sangat gusar melihat caranya si pendeta yang datang-datang sudah menyerang membabi buta. Ia kerahkan tenaganya dan menyampok sama tongkat besinya. Dengan satu suara keras, kedua senjata kebentrok dan Thiekoay sian terhuyung beberapa tindak. Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih dan bukan tandingannya si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia dengar sang guru berseru: “Oe-djie! Lari! Kalau tidak dengar perkataanku, aku tidak akui lagi kau sebagai murid!” Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin selamatkan jiwanya. Sebagai seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah ia tega tinggalkan gurunya dalam’ keadaan yang berbahaya itu. Sebaliknya dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut ternganga. Sementara itu, kedua orang sudah bertempur belasan jurus. Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah Thian Oe. Dengan menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh Thian Oe, kena dibikin terpental oleh si pendeta, ia mengetahui ilmunya Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak memandang mata dan perhatiannya lalu dipusatkan kepada gelanggang pertempuran.” . Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta’ sudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi gerakan-gerakannya Thiekoay sian sama sekali tidak jadi kalut dan masih dapat menyambut serta membalas sesuatu serangan. Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang membikin Thian Oe jadi terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan sekali, kedua kakinya bertindak menurut kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang tongkatnya diputar keras sehingga menerbitkan angin yang menderu-deru. Ia tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu Hokmo Tianghoat yang paling banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah gurunya pertama kali bertempur melawan si pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah mengatakan, bahwa masih untung Thiekoay sian baru keluarkan sembilan puluh enam jurus Hokmo Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai seratus delapan jurus, Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat. Dan sekarang, dengan kesehatan yang belum pulih, sang guru kembali menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui hebatnya bahaya yang mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia bergerak, gurunya sudah deliki padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan satu tegoran lantaran ia tidak buru-buru angkat kaki. Saat itu, satu bentrokan senjata yang sangat keras terdengar dan kedua lawan sama-sama mundur beberapa tindak dengan badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka maju kembali dan bertempur semakin sengit. Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan Hokmo Tianghoat adalah buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan diri. Tapi tidak dinyana, lantaran perasaan cinta terhadap sang guru, si murid jadi tidak dengar kata dan rela binasa bersama-sama. Thiekoay,sian mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu sangat melihat pribudinya sang murid, di lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya Thian Oe. Dan sungguh kasihan, biarpun hatinya mau, Thiekoay sian tidak dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus dipusatkan kepada sang lawan. Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama yang terdiri dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah dijalankan habis, dan bagian kedua yang juga terdiri dari tiga puluh enam jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi Thiekoay sian kerahkan tenaga lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari Hokmo Tianghoat. Oleh karena hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai mati, tak tahu dari mana datangnya, tenaganya jadi bertambah berlipat ganda, sehingga buat sementara dapat juga ia mempertahankan dirinya. Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan sianthung-nya menyambar ke atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian. Ketika itu bajunya Thiekoay sian sudah basah dengan keringat yang terus turun berketel-ketel dari badannya. Melihat sambaran senjata lawan, sambil membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya. Sianthung-nya si pendeta dapat dibikin terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok sudah jadi sedikit bengkok! Melihat begitu, jantungnya Thian Oe memukul semakin keras. Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis dijalankan. Sekarang pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay sian bergerak perlahan-lahan seperti juga beratnya ribuan kati. Saban kali badannya bergerak, tulangnya kedengaran berkrotokan, sedang urat-urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua menandakan, bahwa ia sedang menggunakan seluruh tenaga yang masih ketinggalan dalam badannya. Si pendeta jubah merah juga hilang segala sikapnya yang memandang enteng dan tumplek semua perhatiannya kepada gerakan sang lawan. Seperti dalam pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga dengan duduk bersila dan goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama Thiekoay sian semakin mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah kerahkan semua tenaga dalamnya, tapi lantaran memangnya kalah tenaga, sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu. Sedapat mungkin, ia berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel senjata musuh dan tak dapat lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot cukup dekat, si pendeta akan segera turunkan pukulan yang membinasakan. Ketika itu dari 108 jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah jalankan jurus yang ke-106. Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si pendeta mendadak membetot keras sembari membentak: “Robohlah!” Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya tunduk ke depan seperti juga akan segera terguling di hadapannya si pendeta. Semangatnya Thian Oe terbang. Segala rupa perhitungan lenyap dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya, badannya melesat seperti anak panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat yang terletak di bawah dadanya si pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat menolong gurunya. Ia tidak perhitungkan lagi jiwanya. Ia malahan tidak perhitungkan apakah serangan itu bisa berhasil atau tidak. Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar, begitu juga terdengar teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga tombak jauhnya. Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan juga sebab mengetahui ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si pendeta jubah merah sama sekali tidak memandang mata padanya. Selainnya itu, kawannya, yaitu si boesoe muda, juga berada disitu, sehingga lebih-lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya tidak seberapa, ilmu entengi badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama ahli silat kelas utama. Dengan sekali loncat saja, ia sudah lalui jarak tiga tombak itu dan kirim tikamannya dengan sepenuh tenaga. Si boesoe muda sudah tidak keburu menolong, sedang si pendeta, yang lagi pusatkan Seantero perhatiannya kepada Thiekoay sian guna robohkan lawanan itu, sudah tidak dapat menangkis lagi dan jalanan, darahnya kena ditikam secara telak sekali! Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta, tikaman Thian Oe belum cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada ketika badannya bergoyang akibat tikaman itu, Thiekoay sian tidak mau kasih lewat kesempatan yang baik itu dan lantas kirim satu sabetan ke arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo Tianghoat. Dengan dua serangan hebat yang datang hampir berbareng, andaikata si pendeta mempunyai badan tembaga, ia toh tidak akan dapat pertahankan dirinya lagi. Masih untung, berkat ilmu silatnya yang sangat tinggi, ia tidak lantas jadi binasa. Tapi biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan tenaga dalamnya menjadi buyar, sehingga ilmu silatnya tidak akan dapat pulang kembali, jika ia tidak berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun. Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri gurunya, mendadakan Thiekoay sian berteriak: “Minggir!” Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah ia. Pada saat itu, Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya melesat bagaikan kilat. Itulah jurus Sinmo kwiwie (Siluman balik ke kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo Tianghoat. Sebegitu jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus penghabisan. Kalau toh jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti yang menggunakannya bersedia buat binasa bersama-sama sang lawan. Thiekoay sian menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga yang ia dapat kumpulkan dalam dirinya. Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat loloskan diri dari serangan yang sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay sian mengenakan dadanya dan dari depan terus tembus sampai ke belakang. Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh binasa. Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang begitu mengerikan. Kaki tangannya lemas dan ia tidak berani menengok lagi. Di lain saat, ia dengar suara berkereseknya daun-daun. Rupanya si pendeta jubah merah sudah melarikan diri. Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan memanggil: “Oe-djie, mari!” Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka yang pias seperti kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita sakit keras dan keadaannya banyak lebih hebat daripada waktu bertempur dengan si pendeta jubah merah pertama kali. Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: “Soehoe, bagaimana keadaanmu?” “Muridku,” jawab sang guru. “Malam ini adalah malam perpisahan kita!” Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras. Thiekoay sian terharu, tapi ia lantas tertawa dan berkata dengan suara lemah: “Dalam dunia ini, tidak ada perjamuan yang tidak ada akhirnya. Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi.” “Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat banyak sekali obat-obatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan supaya soehoe bisa lihat yang mana dapat digunakan,” kata Thian Oe dengan suara sedih. Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: “Dalam keadaan badan yang belum pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis seratus delapan jurus Hokmo Tianghoat. Biarpun aku makan semua obat mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat ditolong lagi. Aku tidak mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang aku mau pesan kepadamu.” Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya. “Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah mengetahui bahwa kau mempunyai pribudi yang sangat tinggi,” kata sang guru. “Aku berani pastikan, bahwa di belakang hari kau akan berhasil dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau minta satu pertolonganmu.” “Soehoe bilang saja,” kata Thian Oe. “Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai turut binasa, dan kalau di kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu, bilang padanya, bahwa aku pesan supaya dia rawat anak kita baik-baik. Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu angkat kau sebagai guru,” demikian Thiekoay sian memberi pesanannya. Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang mempunyai anak. Akan tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak mau menanya melit-melit. Ia cuma manggutmanggutkan kepalanya, sebagai tanda bersedia buat turut pesanan itu. “Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau,” kata lagi sang guru. “Ilmu tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah kau turunkan ilmu silat itu kepada anakku. Tongkat ini kau simpan baik-baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah kepadanya dan bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si pendeta itu, meskipun malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti akan jadi orang yang bercacat. Maka itu, siapa juga tidak usah membikin pembalasan apa-apa. Apa kau bersedia buat jadi gurunya anakku itu?” “Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa, pesanan soehoe murid akan jalankan satu persatu,” jawab Thian Oe dengan suara sedih sekali. Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia kumpulkan tenaganya dan kemudian berkata pula: “Dahulu aku pernah terima pesanannya soetjouw-mu dan Moh Tjoan Seng lootjianpwee buat coba cari turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee. Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei tjianpwee. Maka itu andaikata Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya dan sampaikan penuturanku ini. Sekarang Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat cari pamannya.” Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing lantaran perasaannya yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya dan napasnya jadi semakin perlahan. Dengan hati-hati, Thian Oe dukung gurunya itu. Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay sian berkata: “Itu… itu guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus membantu pihak yang mana. Tapi, biar bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu… itu pemuda baju putih… omongannya ada juga benarnya. Kau… kau pergilah cari padanya…” Semakin lama suaranya semakin perlahan dan belum habis ia bicara, kedua kakinya berkelejet dan Thiekoay sian tinggalkan dunia ini buat selama-lamanya. Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah gurunya dalam taman itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu boesoe muda. Sesudah beres mengubur, ia bersihkan semua bekas-bekas darah dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak dan lihat sang rembulan sudah doyong ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang dan sang malam sudah mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini. Dalam keraton es yang sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang diri. Hatinya sedih berbareng takut. Keraton dan tamannya yang begitu indah sekarang hilang keindahannya dan ia segera mengambil keputusan buat segera menyingkir dari tempat itu. Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas bebenah. Ia bekal makanan kering, bereskan barang-barangnya dan keluar dari keraton es. Tapi baru saja jalan puluhan tindak, ia sudah mandek lagi. “Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana aku bisa seberangi sungai es?” tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam keraton itu dengan peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia tidak mau. Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang aneh. Suara itu, yang Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul dan sebentar hilang. “Apa mau gempa bumi lagi? Tapi kenapa suaranya tidak jadi lebih keras?” tanya ia dalam hatinya. Dengan hati berdebar- debar,ia lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain saat, sudah menghilang pula.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |