《《-- Tong Keng Thian / 唐经天 Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang transparan dan terang benderang. Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang bertempur hebat. Satu antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang diputar seperti titiran cepatnya, adalah Thiekoay sian. Yang satunya lagi berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya orang Han, dan memakai jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar rembulan yang seperti perak, warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan segumpal awan merah yang memain di antara awan-awan putih. “Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini, kepandaiannya orang itu mestinya tinggi sekali,” kata Thian Oe dalam hatinya dengan perasaan kaget. “Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum juga keluar dan biarkan orang itu bikin ribut dalam keratonnya?” kata Chena dengan suara heran. Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok bersama-sama Thian Oe mereka tiba dalam taman di depannya keraton dengan ukiran kuda emas. Orang yang sedang berkelahi sama Thiekoay sian adalah satu Hoantjeng (pendeta asing), yang hidungnya berpatok, mulutnya lebar dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung (tongkat pertapaan) yang banyak lebih kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang dengan mudah dapat punahkan sesuatu serangan. Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua orang lain yang mulutnya menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya. Mereka itu adalah kedua boesoe Nepal yang kita sudah kenal. Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang kelihatannya sangat memuja Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta masuk ke dalam keraton tanpa permisi. “Dua boesoe itu memanggil Koksoe (Guru negara) kepada si pendeta,” berbisik Chena. “Mereka kata apa?” tanya Thian Oe. “Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk supaya si Koksoe jangan berkelahi terus.” jawab Chena. Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat. Tongkatnya terputar bagaikan titiran yang kurung badannya si pendeta, dan pada saat-saat beradunya kedua tongkat, sang kuping menjadi pengeng lantaran kerasnya suara. Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus. Makin lama Thian Oe jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup keras buat bikin sadar orang yang tidur bagaimana nyenyak pun. Tapi, bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan sang dayang pun tidak kelihatan mata hidungnya. “Chena,” kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi. “Perlukah panggil kau punya Thianlie tjietjie?” “Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa,” jawab Chena. “Sekarang ia belum keluar, tentulah juga ada sebab lain.” Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga membikin pengeng kupingnya Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta sudah bersila di atas tanah, sedang sianthung-nya digoyang-goyang dengan perlahan. Dengan kumis yang berdiri, Thiekoay sian menubruk dan menghantam dengan sepenuh tenaga. Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya: “Sekarang tak perlu lagi bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah bukan tandingannya guruku lagi.” Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam keadaan kejepit. Sebagai murid kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya Thiekoay sian tidak ada tandingannya, baik di sebelah selatan, “maupun di sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana, berhadapan dengan pendeta asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang sehebat-hebatnya dengan menggunakan tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua serangannya dengan gampang dapat dipunahkan oleh si pendeta Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia Kangouw, dan inilah buat pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh, sehingga dengan terpaksa, ia mesti gunakan juga Hokmo Tianghoat (Ilmu silat tongkat takluki iblis). Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita Lengan Satu, gurunya Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari dan ditambah lagi oleh Liauw In Hweeshio. Ilmu tongkat tersebut mempunyai 108 jalan dan setiap pukulan mempunyai tenaga yang seribu kati beratnya. Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga dapat digunakan buat menotok jalanan darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa liehaynya, tapi juga sangat memakan tenaga dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan, orang mesti mengasoh sedikitnya tiga hari buat dapat pulang lagi tenaganya. Itulah sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali menggunakan Hokmo Tianghoat itu. Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang tongkat menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin dan benar saja si pendeta menjadi ripuh. Thiekoay sian segerakerahkan tenaga dalam yang lebih besar buat hantam jatuh padanya. Tiba-tiba si pendeta terputar dan lantas bersila di atas tanah sambil meremkan mata dan tundukkan kepalanya, seperti juga orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya digoyang-goyang dengan perlahan. Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat begitu, hatinya jadi terkejut. “Apa maunya dia?” ia tanya dalam hatinya. Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu tenaga yang sangat besar terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia menghantam, semakin besar lagi tenaga yang menolak itu. Tongkatnya si pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan merupakan satu tembok tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun juga. Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap ia sudah gunakan habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat dipecah jadi tiga bagian. Bagian pertama, yang terdiri dari 36 jalan, adalah serangan-serangan hebat yang menggunakan tenaga Kimkong. Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga terdiri dari 36 jalan. Pukulanpukulan dari bagian kedua ini semuanya dikeluarkan dengan menggunakan tenaga lweekeh (tenaga dalam) yang sejati, dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu batu besar bisa hancur lebur kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama semuanya mengeluarkan suara angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua sama sekali tidak menerbitkan suara, sehingga jadi lebih sukar dijaganya. Tapi sungguh heran, biarpun ia meremkan mata dan tundukkan kepala, bebokongnya si pendeta seperti juga ada matanya, sehingga tidak perduli pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia selalu dapat mengebas dengan tongkatnya. Selainnya begitu, tenaga yang menolak juga jadi bertambah besar dan beberapa kali hampir-hampir tongkatnya Thiekoay sian terlepas dari tangannya! Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India, yang dicampur dengan ilmu silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang silat Bittjong di Tibet. Djioekang ini juga adalah satu ilmu silat lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari Tiongkok asli. Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih isi perutnya Kalau ilmunya sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti yang kemudian direndam dalam laut, dan sesudah tiga hari diangkat lagi, ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar dipelajari adalah menghentikan jalannya pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu, badannya seperti juga badan dewa yang tidak bisa rusak. Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi, dibanding dengan tenaga Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang dikeluarkan oleh si pendeta memerlukan kedudukan sila buat mengerahkan napas, yang semakin lama mengeluarkan tenaga semakin besar. Itulah sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi makin hebat, tapi masih terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta. Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir habis. Di atas kepalanya Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih, tapi Pengtjoan Thianlie belum juga muncul. Melihat begitu, hatinya Thiekoay sian jadi berdongkol. “Kalau begitu, buat apa aku campur urusannya?” kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat tidak keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan tongkatnya, ia niat loncat keluar dari gelanggang. Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta jubah merah seperti juga mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat loloskan diri! Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi tidak bisa copot sebab tenaga yang menghisap jadi semakin kuat. Maka itu, Thiekoay sian tak dapat berbuat lain daripada tambah tenaganya buat layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat. Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe lihat pukulan-pukulan kedua lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta masih terus meremkan mata dan tundukkan kepala, tapi sekarang uap putih juga sudah muncul di atas kepalanya, sedang napasnya mulai sengalsengal. Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan. Pakaiannya Thiekoay sian sudah cipruk dengan keringat yang terus mengetel-ngetel sebesar kacang. Saban kali gerakkan tongkatnya, buku-buku tulangnya kedengaran peratak-perotok. Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu keadaan gurunya sudah kepayahan. Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya dan membentak: “Roboh kau!” Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek giginya, tongkatnya membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke jurusan bawah. “Belum tentu aku roboh!” kata ia. Waktu itu Thiekoay sian menyerang dengan pukulan yang ke 96, yaitu Hangliong Hokhouw (Pukulan takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga dalamnya dipusatkan kepada kepala tongkat. Si pendeta mesem tawar dan berkata: “Apa kau mau cari mampus?” Ia lantas angkat sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian. Sungguh aneh, tongkatnya Thiekoay sian yang sebesar mangkok lantas melengkung dengan perlahan! Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara “trang!”, tongkatnya Thiekoay sian terpisah dari tempelan tongkat lawannya, sedang si pendeta loncat mundur beberapa tindak, tongkatnya diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat. Thian Oe heran sungguh melihat perubahan yang begitu mendadak. Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera putih, Pengtjoan Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon kembang dengan tindakan perlahan, sedang di dampingnya kelihatan isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In Tjin. Sembari keluarkan teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan suaminya. Dengan berpegangan tangan, mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil jalankan napasnya. Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia menghampiri. Kedua boesoe Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap kedua tangannya, mereka berlutut dan meratap seperti juga sedang memohon ampun. Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan keluarkan sehelai firman warna kuning dari kantongnya dan ucapkan beberapa perkataan. Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe: “Ini Hoantjeng menggunakan panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie dan minta ia menerima firman. Sungguh mengherankan.” Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan lantas dipulangkan lagi. Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk tongkatnya di atas tanah. “Kita orang tidak bisa biarkan guci emasnya Kaizar Tjeng tiba di Lhasa,” kata ia dalam bahasa Nepal. “Raja telah memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi bantuan. Apakah kau tidak sudi meluluskan?” Dengan adanya Chena sebagai juru bahasa, Thian Oe juga mengerti apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada bibirnya masih terus tersungging senyuman. Si pendeta jubah merah kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi Pengtjoan Thianlie sudah menuding dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar: “Semua orang menggelinding turun dari gunung ini!” Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang barusan merah sekarang berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya menakuti sekali! “Lihatlah, lantaran malu ia jadi gusar,” berbisik Chena di kupingnya Thian Oe. Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta dapat menelan hinaan itu? Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi gemetar. Mendadak ia dongak dan tertawa terbahak-bahak akan kemudian menuding sambil membentak: “Kau, kau suruh aku menggelinding turun? Raja sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar terhadapku!” “Tak salah,” kata Pengtjoan Thianlie. “Aku perintah kau menggelinding turun dari sini. Habis kau mau apa? Aku sebenarnya sudah beri muka yang sangat besar kepadamu dengan membiarkan kau masuk ke dalam keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak kenal puas? Aku sudah bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung, ia itu mesti berlalu dari sini. Kau pun tak terkecuali.” Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia ketruk lagi tongkatnya, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Sesudah itu ia manggutkan .kepala dan berkata dengan suara nyaring: “Dari tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini buat menemui Paduka Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar ilmu silatnya Paduka Puteri terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan wilayah Barat. Maka itu, aku sekarang ingin sekali dapat menambah pengalaman.” “Apa?” menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk kedua tangannya sambil berseru: “Kemari!” Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan Thianlie dongakkan kepalanya dan kebaskan tangannya dengan sikap agung. “Usir ini pendeta liar!” ia memerintah. “Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?” kata si pendeta. “Dengan demikian, undanganku yang barusan agaknya terlalu melanggar pri kesopanan. Maka itu, dengan tidak mengimbangi kebodohan sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka Puteri.” Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk supaya Koksoe nya menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni. Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan tangannya, sembilan dayang itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya yang angker dan tajam laksana pedang, kemudian mengawasi si pendeta yang tanpa merasa lantas mundur beberapa tindak. Sembilan dayang itu lalu gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam, sehingga si pendeta menjadi kalap lantaran gusarnya. “Baiklah!” ia membentak. “Biarlah lebih dahulu aku minta pengajaran dari dayang-dayangmu dan kemudian barulah minta pengajarannya Paduka Puteri sendiri.” Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie hampiri Chena yang lantas dipegang tangannya. “Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan olehku,” kata ia dengan suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya Pengtjoan Thianlie terhadap Chena benarbenar seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya sendiri dan berbeda seperti langit dan bumi dengan keangkerannya yang barusan. “Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak dapat ditebak,” demikian Thian Oe pikir dalam hatinya. Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak lantas menyerang, mungkin sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai seorang yang lebih tua. Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang semuanya seperti kristal, dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin menyambar-nyambar sehingga Thian Oe jadi bergidik. Di lain saat, ia rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang es dan giginya bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur badannya lantaran kedinginan. Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; “Aku lupa kalian belum dapat lawan hawa ini. Biarlah kalian menahan buat sementara waktu.” Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian Oe. Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga kena listrik dan sekujur badan jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam hawa panas naik dari tantian (bagian pusar) dan mengalir di seluruh badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan darahnya mengalir lebih deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin, tapi badan berasa panas. Chena juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah tidak gemetaran dan kedua pipinya bersemu merah. Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang mempunyai lweekang (ilmu dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat membinasakan manusia dengan totokannya, tapi juga bias mengobati penyakit dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap penuturan tersebut seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia percaya, bahwa dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian tinggi. “Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?” tanya Chena. Ia menanya begitu sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie robohkan Loei Tjin Tjoe dengan sebatang pedang es. Thian Oe juga sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka itu, ia sangat perhatikan jawabannya Pengtjoan Thianlie. “Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?” jawab Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. “Pedang mereka adalah buatanku sendiri yang diberi nama Pengpok Hankong kiam (Pedang Roh Es Sinar Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat) yang sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari gunung ini. Batu kemala tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah tiga tahun lamanya barulah menjadi pedang yang demikian. Ituiah sebabnya kenapa kalau digerakkan, pedang tersebut lantas keluarkan hawa dingin yang sangat hebat. Orang yang belum mempelajari Iweekang yang tinggi tidak bisa tahan hawa itu.” Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si pendeta jubah merah juga kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu. Sembilan batang pedang yang bagian kepalanya bersambung dengan bagian buntut, segera merupakan satu jala yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi semakin ciut. Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan Lekhoa hongkouw (Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya mendorong keluar. Dengan beberapa suara kerontangan, empat batang pedang beradu dengan tongkat itu. Melihat tongkatnya yang mempunyai tenaga ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu, hatinya si pendeta merasa heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan belakang, menikam bagaikan kilat cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok pedang yang datang dari belakang dan pentil miring pedang yang datang dari sebelah depan. Tapi dua pedang dari kiri dan kanan sudah menyambar ke badannya! “Bagus!” berseru Thian Oe. “Anak-anak, awas!” Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng. Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng, sedang si pendeta, sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin dengan tangan dan sianthung-nya. Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat berobah-robah menurut sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya si pendeta, kedua dayang yang menyerang dari kiri dan kanan mendadak rasakan ujung pedang mereka terpeleset, sebab otot pundaknya si pendeta mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa dim. Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan tangannya sembari kerahkan tenaga dalamnya. Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu entengi badan begitu tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah menghilang ke empat penjuru seperti cecapung menotol air atau kupu-kupu berterbangan di antara bunga-bunga, sebentar ke kiri sebentar ke kanan, sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa kali ia kirim pukulanpukulan hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa merasa, ia sendirilah yang berbalik kena dikepung di sama tengah. Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah dengan niatan menggunakan ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay sian. Akan tetapi, melayani sembilan orang sangat berbeda dengan melawan satu orang. Sembilan dayang itu bergerak tak hentinya dan tikaman-tikaman pedang mereka selalu ditujukan ke arah jalanan darah yang berbahaya. Oleh karena ilmu Yoga si pendeta belum sampai pada puncaknya, maka adalah sangat sukar buat ia menutup semua jalanan darahnya dan berbareng meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah, menghadapi serangan yang bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat bangun lagi sembari putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia bersila lagi, akan kemudian loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang sampai beberapa kali, sehingga kelihatannya lucu sekali sampai Thian Oe yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan. Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. “Biar aku lukakan dua orang lebih dahulu,” kata ia dalam hatinya sembari loncat bangun dan putar tongkatnya. Ia mengamuk seperti kerbau gila, seakan-akan sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya sendiri dan turunkantangannya tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa amarah, bukan main hebat pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu tidak berani menyambut lagi dan cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe jadi terkejut. “Kalau terus begini, satu dua orang tentu akan kena terpukul,” kata ia dalam hatinya. Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus tersungging meseman yang manis. Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan dayang itu. Sekarang mereka berlari-lari di empat penjuru, sebentar berkumpul sebentar berpencaran, dan gunakan batu-batu hiasan taman sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah bentuknya tak henti-hentinya, sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi kekunangan. Dengan gerak-gerakannya yang seperti kilat, itu sembilan dayang berobah seperti ratusan orang, dengan selendang suteranya yang berkibar-kibar dan pakaiannya berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu seperti juga sedang dipertunjukan tarian “Bidadari Menyebar Bunga.” Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan jalankan pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua matanya dan hatinya merasa sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya sembilan dayang itu ada mirip-mirip dengan barisan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat Liang atau Khong Beng, koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak seluruhnya bersamaan dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai dengan kedudukan delapan pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng, Kheng dan Kay. Delapan pintu ini saling bantu satu sama lainnya. Perbedaan dengan Pattintouw adalah kelebihan satu orang dalam barisan itu. Dayang yang ke sembilan tidak ikut bergerak. Ia menjaga di sama tengah dan seperti juga otaknya barisan itu. Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu, maka ia terus cecar dayang yang berdiri di tengah buat coba menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar biasa cepatnya. Begitu ia bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk. Begitu ia ke barat, pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar. Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat tinggi. Tanpa mengenal barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu segala apa yang menghadang di tengah jalan, sehingga banyak gunung-gunungan dan batu-batu hiasan taman jadi hancur lebur. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di lain saat, dayang yang menjadi kepala kedengaran membentak: “Kau benar keterlaluan! Keindahan taman ini sampai menjadi rusak.” Sehabis membentak, ia mementil dengan dua jerijinya dan beberapa sinar terang menyambar ke arah pendeta itu. “Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?” kata si pendeta sembari tertawa dan lalu putar tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu, yang masing-masing sebesar mutiara, terus menyambar-nyambar dan jadi hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam kehancurannya itu, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si pendeta sendiri sampai bergidik. Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw (Telaga Namtso) terdapat semacam es yang ribuan tahun tak pernah lumer. “Jantung”-nya es itulah yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dan diolah menjadi serupa senjata rahasia yang tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama Pengpok Sintan (Peluru malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia di muka bumi, tak perduli senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul jalanan darah, yang diperhatikan adalah kejituannya dan ketajamannya senjata rahasia tersebut. Cuma Pengpok Sintan yang lain dari yang lain. Yang diandalkan adalah hawa dinginnya yang sangat luar biasa. Begitu lekas senjata rahasia itu tersampok, keluarlah hawa dingin yang menusuk ke tulang-tulang dan hebatnya bukan buatan . Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya masih dapat melawan hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani serangannya sembilan musuh, ia tak dapat pusatkan perhatiannya buat kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu, lantaran Pengpok Hankong kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin, maka hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi gemetaran dan giginya bercakrukan. Bagaikan orang edan, ia terus mengamuk. Dari jidatnya keringat turun berketel-ketel, tapibadannya tetap gemetaran. Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: “Dia anggap dengan gunakan tenaga Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa dingin itu. Tapi dia tak tahu, dengan demikian, dingin dan panas jadi berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini kali, biarpun tidak menjadi mati, rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari.” Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: “Kalau begitu, ampuni sajalah ia.” “Kau mintakan ampun?” kata Chena sembari melirik. Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa dan cuma mesem. Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur lagi beberapa lama, dayang yang menjadi pemimpin membentak: “Robohlah!” Ia ayun tangannya dan sebutir peluru kembali menyambar. Jantungnya si pendeta gemetar, kedua kakinya lemas, kepalanya terputar dan badannya bergoyang-goyang seperti mau jatuh. “Berhenti!” Pengtjoan Thianlie membentak. Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan berdiri berbaris di kedua pinggirnya Pengtjoan Thianlie. Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia tarik napas panjang beberapa kali, memberi hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas lari keluar dari keraton es. Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan paras muka ketakutan lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan kembali menjadi sunyi. “Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang itu tidaklah rendah,” berkata Chena sembari tertawa. “Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu,” kata Pengtjoan Thianlie. “Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk. Kalau bukannya begitu, walaupun dia bisa menyebrangi sungai es, tak nanti dia dapat tembus barisan Kioethian Hianlie (Dewi Sembilan lapisan langit).” Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam hatinya. “Kalau begitu, ia merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan ganti namanya,” kata Thiekoay sian dalam hatinya. “Liehay memang cukup liehay, tapi kalau mau dibilang barisan itu dapat menahan semua orang pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur.” Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya luas sekali. Ia yakin, bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di luar langit masih terdapat langit. Maka itu, ia tidak sependapat dengan temberangnya Pengtjoan Thianlie. Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian dan bibirnya bergerak seperti orang mau bicara. Tapi lantaran lihat mukanya Thiekoay sian yang sangat pucat, ia urungkan niatannya dan lantas jalan menghampiri. “Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu,” berkata Tjia In Tjin. “Tapi sekarang dia belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim dua dayang buat antar dia turun gunung.” Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian berkata: “Masih untung kau cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau kau jalankan habis 108 jurus, biarpun diberi obat dewa, tidak nanti kau dapat pulang tenagamu yang sediakala. Sekarang benar-benar kau tidak boleh berangkat.” “Apa?” Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget. “Tak apa-apa,” sahut yang ditanya dengan suara tawar. “Cuma lantaran gunakan tenaga melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang kabut dan isi perutnya bergerak. Kalau ia turun gunung juga, begitu kena goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai menjadi mati, rasanya ia akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi, meskipun memakai tongkat. Berkat tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan mengasoh lima hari dan ditambah sama obat, aku rasa ia akan jadi sembuh kembali. Baiklah aku beri tempo lima hari lagi.” Ia lantas gapekan satu dayang dan memberi perintah: “Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur pernapasannya — siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok padanya.” Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata sembari tertawa: “Kali ini “menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan kalian berdiam lima hari lagi. Sesudah lewat lima hari, kalian boleh turun gunung dengan tak usah pamitan!” Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa sangat terkejut, sebab ia tidak duga, suaminya mendapat luka di dalam yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya Pengtjoan Thianlie seperti juga kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di lain pihak, ia rela meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu pertolongan yang penuh peri kemanusiaan. Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin Thiekoay sian suami isteri tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan berdongkol dan berterima kasih tercampur menjadi satu. “Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari padaku,” kata lagi Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan dayang-dayangnya. Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah mendapat banyak pengalaman pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi toh ia masih tak dapat menelan kesombongan orang yang ditujukan kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui perjalanan laksaan li, ia sudah mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk supaya Pengtjoan Thianlie suka turun gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin mendeluh dan hampir-hampir saja ia keluarkan perkataan perkataan keras buat menimpali. Cuma saja, walaupun Pengtjoan Thianlie sepuluh kali lipat lebih angkuh dari ianya, keangkuhan itu keluar dengan sewajarnya. Sikapnya yang agung tanpa dibuat-buat membikin orang jadi tidak berani banyak rewel terhadapnya. Tjia In Tjin coba tahan perasaan mendeluhnya yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat kemudian dengan satu suara “wah!”, ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong nasinya. “Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?” tanya Thian Oe dengan perasaan kaget. Mukanya Tjia In Tjin pucat, disusul dengan semu merah. “Anak kecil jangan campur urusan lain orang,” kata ia sembari kebaskan tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun Thiekoay sian pergi ke kamar buat mengasoh. Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong. “Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh,” kata Chena. “Besok aku akan ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-pemandangan luar biasa dalam keraton.” Sehabis berkata begitu, ia lantas berlalu. Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin jauh dan akhirnya menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat, lima hari lagi ia toh bakal turun gunung juga, dan berhubung dengan kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai waktu itu ia tidak akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul. Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela dan kedua matanya kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah sorotnya matahari, keraton es yang terang benderang mengeluarkan cahaya aneka warna, sehingga Thian Oe merasa seakan-akan berada dalam dunia dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang antarkan makanan pagi yang terdiri dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu bukan saja rasanya manis, tapi baunya pun harum sekali. Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar jalan-jalan. Sesudah berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya masih terdapat sorot kesedihan, Chena sudah banyak lebih gembira. Ia jalan perlahan-lahan sembari omong-omong dan tertawa-tawa, seperti juga pohon yang sudah dapat hawanya musim semi yang menyegarkan. Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai di sekitar keraton itu. Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan bulat-belit yang terawat baik, jendela-jendela dengan macam-macam ukiran, gunung-gunungan dan batu-batu perhiasan yang hampir semuanya terbuat dari kristal, beberapa air mancur yang tersebar di seluruh taman, solokansolokan dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca. “Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw (Telaga Namtso), makanya jernih luar biasa,” kata Chena. “Aku paling suka minum air itu.” Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan pohon-pohon bebuahan dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan sangat harum. “Tempat ini seperti juga tempat dewa-dewa, maka tidaklah heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan turun gunung,” kata Thian Oe sembari tertawa. Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar mereka petik buah-buah matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya, sesudah jalan setengah harian mereka belum juga dapat putari habis seluruh wilayah keraton itu. Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan yang sangat luar biasa, harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi bagaimana harumnya, tak mungkin dapat dilukiskan. Thian Oe segera cepatkan tindakannya dan menuju ke arah keluarnya wewangian itu. Beberapa saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah bangunan yang sangat berbedaan dengan semua gedung yang berada disitu. Bangunan tersebut berbentuk gereja yang atapnya lancip, dan kalau lain-lain bangunan semuanya terbuat dari kristal, marmer atau es yang keras, adalah bangunan itu berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang luar biasa itu ternyata keluar dari rumah tersebut. Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya Chena berobah dengan mendadak dan buru-buru mencegah. “Waktu aku berdiam disini pertama kali, Thianlie tjietjie pernah memesan, bahwa aku boleh pergi kemana juga, cuma ke dalam rumah itu aku tidak boleh masuk,” kata Chena dengan suara berbisik. “Kenapa?” tanya Thian Oe. “Siapa tahu?” kata Chena. “Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1 penanggalan Imlek, bulan gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu, dimana ia berdiam kira-kira satu jam lamanya. Apa yang ia lakukan, tak ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku mendapat tahu,bahwa rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar, baunya yang harum bias diendus dari tempat belasan li jauhnya.” Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran lagi. Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat melupakan rumah yang penuh tekateki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke dalam dunia impian, la mengimpi lihat Pengtjoan Thianlie pasang hio dan bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi oleh Chena. Setahu bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak Pengtjoan Thianlie cabut sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan tikam uluhatinya. Rambutnya Pengtjoan Thianlie mendadak berobah jadi ular terbang yang tak dapat dihitung berapa banyaknya dan terbang menyambar ke arah dirinya. Chena keluarkan teriakan kaget dan rumah itu mendadak roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam mengimpinya Thian Oe berteriak-teriak dan berontak-rontak. “Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!” mendadak ia dengar suaranya satu wanita di kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan ternyata Chena berdiri di hadapannya. “Hayo, bangun!” kata si nona sembari goyang-goyang badannya. “Seorang aneh kembali masuk ke dalam keraton es tanpa permisi!” Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! “Apa dia sudah bisa seberangi sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie yang dipasang di sebelah luar?” tanya Thian Oe. “Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa sampai di keraton es?” jawab Chena. “Sekarang lonceng pertandaan bahaya sudah dipukul dan Thianlie tjiitjie segera juga akan keluar!” Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari keluar. Sembilan dayang yang kemarin sudah mengambil masing-masing kedudukannya dan seorang pemuda yang memakai baju putih berada di tengah-tengah mereka. Waktu itu mereka belum bergebrak. Begitu lihat, Thian Oe keluarkan teriakan tertahan. “Kenapa?” tanya Chena. “Aku kenal orang itu!” jawabnya. Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia lantas menengok sembari mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak sekolah yang pernah tolong jiwanya Siauw Tjeng Hong dengan jarum emas dan yang pernah bikin repot Bek Tayhiap dan yang lain-lain di kota Shigatse. “Siapa ia?” tanya lagi Chena. “Aku tak tahu namanya,” jawab Thian Oe. “Tapi ia pernah tolong jiwanya guruku. Aku rasa ia adalah seorang baik.” “Wah, celaka!” kata Chena. “Menurut dayang-dayang, Thianlie tjietjie merasa sangat gusar dan mengatakan, bahwa orang itu harus diajar adat sekeras-kerasnya. Tanpa memberi hajaran keras, keraton es bisa-bisa tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton es, semakin ke belakang, semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu silatnya. Aku kuatir, kalau toh tidak sampai mati, orang itu akan luka berat!” Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan gerakannya. Keadaan jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum jatuh di atas tanah, suaranya akan bisa terdengar nyata. Thian Oe menoleh dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan keluar dengan paras muka yang penuh kegusaran. Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya lantas berobah, seperti orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan Thianlie tadinya kira, bahwa orang yang datang adalah sebangsa pendeta jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia ketemukan adalah seorang pemuda Han yang parasnya cakap sekali. “Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati sungai es dan terobos barisan depan,” pikir ia dalam hatinya. “Apakah pemuda ini yang usianya sepantaran denganku mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari si pendeta jubah merah?” Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan menanya: “Apa kau ini majikan dari keraton es? Kenapa kau begitu lambat menyambut tetamu?” “Siapa kau?” Pengtjoan Thianlie balas tanya. “Ada urusan apa kau datang disini?” “Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak sungkan-sungkan lagi terhadapku,” kata pemuda itu. “Biar bagaimana juga, lambat laun aku harus memberitahukan, asal saja kau suka luluskan satu permintaanku.” “Permintaan apa?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Apa kau tahu halnya guci emas?” si pemuda balas tanya. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. “Ah, lagi-lagi guci emas!” katanya. “Benar menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung buat rampas guci emas itu? Kalian bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku tak ada sangkut pautnya.” “Kau menebak salah,” kata si pemuda sembari mesem. “Aku mau minta kau turun gunung, justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau rampas guci itu. Beberapa hiapkek tolol, seperti sebangsa Thiekoay sian, juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku repot. Maka itu, kau mestilah turun gunung buat membantu!” Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu sahabat karib, yang seolaholah tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan Thianlie merasa gusar sekali, sehingga kedua alisnya berdiri. “Dengan memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh dibilang kepandaianmu sudah lumayan. Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal,” kata Pengtjoan Thianlie sembari kebaskan tangannya. Bahwa ia tidak lantas memberi perintah kepada sembilan dayangnya buat mengusir dengan kekerasan, Pengtjoan Thianlie sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali. Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman. “Apa? Apakah kau tak sudi memberi muka padaku?” tanya ia. Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin lantas saja membentak: “Kau benar tak mengenal kesopanan? Apa benar-benar kau mau kami mengusir dengan kekerasan?” Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: “Naik gampang, turun sukar. Hari ini aku sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!” Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai bergerak. Delapan batang pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar bagaikan kilat. “Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!” berseru si pemuda yang badannya lantas saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya pedang-pedang itu. Sebagaimana diketahui, seranganserangannya barisan itu hebat sekali dan delapan pedang menyambar-nyambar saling susul bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si pemuda lebih cepat lagi. Ujung pedang kelihatannya sudah menempel pada badannya, en toh pada detik yang terakhir, ia selalu dapat mengegos dengan tepat sekali. Melihat begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie jadi merasa kagum. Semakin lama serangan delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si pemuda seperti juga sudah dikurung sinar pedang yang seperti jala. Thian Oe amat berkuatir. “Chena tjietjie,” berbisik ia. “Dapatkah kau menolong padaku buat minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?” Chena tidak menyahut. Ia cuma gelenggelengkan kepalanya. Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. “Ilmu pedang bagus! Sungguh bagus sekali!” ia berseru. “Sekarang maafkan padaku.” Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong kiam, tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan mengaung kapan dikebaskan. “Pedang bagus!” Pengtjoan Thianlie berkata tanpa merasa. Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar dengan pedangnya dan di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya dua dayang sudah terbabat putus! Semua dayang terkesiap dan lantas pada loncat mundur. Dengan kecepatan yang tak dapat dilukiskan dan pengetahuan akan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw, ia menindak di pintu Hioe, biluk di pintu Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng dan lantas balas menyerang. Di lain saat, pedangnya dayang yang menjaga pintu Keng dan pintu Siang sudah terbabat putus. Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok Sintan dengan gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah udara lantas saja penuh dengan peluru yang seperti mutiara dan bersinar terang. Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata rahasianya. Pengpok Sintan sudah luar biasa, tapi senjata rahasianya si pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata rahasia itu ada sedemikian halus, sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan yang terlihat cuma sinar emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan sudah tidak kelihatan lagi. Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda yang luar biasa besarnya. Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput bong (rumput buat bikin kasut). Begitu nempel, Pengpok Sintan lantas mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah! Hatinya si nona jadi tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya mengenai Thiansan Sinbong (Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata rahasia ahli-ahli pedang Thiansan, yang kalau dilepaskan mengeluarkan sinar merah yang mengkredep. Mengingat begitu, pandangannya terhadap pemuda itu lantas jadi lain. Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti kilat. Para dayang cuma merasa bayangannya berkelebat dan empat batang Pengpok Hankong kiam sudah pindah ke dalam tangannya si pemuda! Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. “Berhenti!” ia berseru. Dengan satu kelebatan, si pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan sembari tertawa ia mengawasi Pengtjoan Thianlie. “Kenapa?” ia tanya. “Tak apa-apa,” jawabnya dengan tawar. “Perkataanku tak dapat dirobah lagi.” “Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?” tanya si pemuda. “Benar,” jawabnya. “Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah juga harus mengusir dengan kekerasan.” “Tak ada yang lebih baik daripada itu,” kata si pemuda sembari tertawa. “Aku jadi dapat kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang dari wilayah Tiongkok.” Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan Thianlie yang dingin. Pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan balas mengawasi dengan mata tajam. Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun tangan. Tapi tak dinyana, sembari menyapu dengan matanya yang bagus, Pengtjoan Thianlie berkata: “Sesudah menyebrangi sungai es dan bertempur lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu biarlah besok tengah hari kau datang lagi!” Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: “Baiklah. Kalau kau perintah aku datang lagi, aku tentu datang.” Sesudah kasih masuk pedangnya ke dalam sarung, ia putar badannya, tapi sebelum berjalan pergi, ia berkata pula sembari mesem: “Masih boleh jugalah perlakuan itu terhadap seorang sahabat.” “Apa kau bilang?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Tak apa-apa,” sahutnya. “Dalam dunia ini, memang ada manusia yang tidak tergerak perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling mengenal isi sang hati. Kau hidup tanpa sahabat dalam keraton yang begini indah. Itulah yang dinamakan kekurangan dalam serba kecukupan.” Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul pada uluhatinya. Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak ada seorangpun terhadap siapa ia dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban bertemu dengan malam terang bulan, mau tak mau ia merasakan juga satu kesepian. “Kau terlalu rewel,” kata Pengtjoan Thianlie. “Siapa suruh kau campur urusan lain orang?” Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia melangkah beberapa tindak, mengikuti si pemuda yang sedang naik ke atas jembatan yang terbentang di atas satu pengempang teratai. Di sebelahnya pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu terdapat beberapa macam pohon air yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau harum sekali. Di atas jembatan itu terdapat satu pendopo yang di kedua sampingnya tergantung sepasang lian (toeilian) yang bunyinya seperti berikut: 月色花香齐入梦 Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian 仙宫飞阁共招凉 Keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan. “Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya,” kata si pemuda sembari tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah kalamnya Pengtjoan Thianlie sendiri. Moh Hoan Lian, neneknya Pengtjoan Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar) yang tersohor namanya. Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari kecil Koei Peng Go (Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim dan main tiokie. Semua toeilian yang terdapat dalam keraton itu adalah buah kalamnya sendiri. Lantaran begitu, tidaklah heran kalau ia jadi merasa berdongkol waktu dengar celaannya si pemuda. Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: “Kenapa tak cocok sama keadaannya? Coba kau bilang?” “Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga,” menerangkan pemuda itu. “Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-kata yang melukiskan keindahannya suatu gedung dan dapat digunakan di segala tempat. Maka itulah, perkataan-perkataan tersebut tidak cukup melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian tersebut cuma melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang aku namakan satu cacat dalam keindahan.” Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah seorang gadis yang suci bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang beralasan, ia jadi mesem dan berkata: “Kalau begitu, cobalah kau tolong bikinkan gantinya.” Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk: “Apakah kau tahu, bahwa toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang? Tak gampang mengubah itu.” “Jangan banyak bacot,” membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik dayangnya. Sesudah itu, ia berpaling kepada si pemuda dan berkata: “Cobalah kau sebutkan syairmu buat gantikan sepasang lian itu, supaya aku dapat menimbang apa cocok dengan pemandangan disini.” “Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku,” kata si pemuda sembari mesem dan lalu bersyair: 冰川映月嫦娥下 “Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan turun, 天女飞花骚客来 Bidadari menyebar bunga. Sang penyair datang.” Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: “Walaupun kata-katanya tidak begitu bagus, tapi sang manusia yang disebutkan dalam lian itu betul-betul cantik luar biasa, sehingga aku rasa, toeilian ini bolehlah juga.” Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu dadu. Syair yang disebutkan barusan bukan saja terdapat kata-kata “Pengtjoan Thianlie,” tapi juga menggenggam namanya sendiri, yaitu Peng Go冰娥. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari = Thianlie, Es = Peng, yang kalau digabung dengan Go-Dewi rembulan — menjadi Peng Go). Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di dalamnya menggenggam arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan di atas sungai es adalah seperti sang dewi rembulan sudah turun ke muka bumi. Belakangan disebutkan, bidadari sebarkan bunga, sehingga menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata begitu, si pemuda mau bilang, bahwa ia datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi, orang tidak dapat katakan iamemberi umpakan murah, sebab syair itu memang sesuai dengan keadaannya. Maka itulah, diamdiam Koei Peng Go kagumi kepintarannya pemuda itu. “Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku,” kata si pemuda sembari berpaling kepada sang dayang. “Barusan kau bilang, lian ini dibuat berdasarkan nama orang. Nama siapa? Apa boleh kau memberitahukan?” Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya sambil tertawa. “Biarlah aku saja yang memberitahukan,” Pengtjoan Thianlie menyelak. “Kata-kata dalam toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya. Dalam taman ini ada dua belas pemandangan istimewa. Di saban tempat ada toeilian dan setiap toeilian digubah berdasarkan namanya dayangdayangku.” 月色花香齐入梦, “Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian, 仙宫飞阁共招凉 keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan,” demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian berkata sambil menunjuk si dayang: “Kalau begitu, namamu Goat Sian.” (Rembulan = 月 Goat, Dewi =仙 Sian, kalau digabung jadi satu ialah Goat Sian). “Benar,” sahut sang dayang sembari manggutkan kepala. “Bagus,” kata si pemuda, “Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi kebodohanku dan mengubah sepasang lian untukmu.” Ia mesem-mesem dan sambung omongannya: “Aku ingat syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku pinjam syair itu untuk mengubahnya. Dengarlah: 月色无痕, “Sinar bulan tiada cacatnya, 绿窗朱户年年绕 jendela jodoh, pintu merah, setiap tahun dikitari 仙妹有恨,Sang dewi patah hatinya, 碧海青天夜夜心 lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri. Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan “bulan” (goat) digabung sama perkataan “dewi” (sian), jadilah Goat Sian, namanya dayang itu. “Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri” adalah sebagian dari syairnya Lie Gie San李义山 yangberbunyi seperti berikut: “嫦娥应悔偷灵药,Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab, 碧海青天夜夜心 lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.” Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie seperti satu bidadari, yang dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton es seorang diri. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. Tanpa merasa, ia sudah mengikuti si pemuda menyeberangi jembatan itu! Dengan main bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat permusuhan antara mereka berdua? Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: “Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak usah kalian mengusir. Aku sekarang mau pergi, besok tengah hari aku akan balik buat penuhi janji.” Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju putih lalu pentang kedua kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari pemandangan. Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai bicarakan ia, antaranya juga Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju putih dan Pengtjoan Thianlie tak dapat diukur bagaimana tingginya, maka besok tentulah juga bakal terjadi pertempuran yang sangat hebat. Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian Oe buat diajak saksikan keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping mereka sudah dengar suara tetabuhan khim yangmerdu sekali. “Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie? Main khim pagi-pagi adalah diluar kebiasaannya,” kata Chena.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |