Mukanya Loei Tjin Tjoe pucat seperti kertas. Tanpa berkata suatu apa, ia lari menghampiri Siauw Tjeng Hong dan berlutut tiga kali. Mendadak ia membungkuk, jumput pedang yang menggeletak di atas tanah dan gorok lehernya sendiri. Harus diingat, bahwa nasibnya Loei Tjin Tjoe ada buruk sekali. Ia bukan saja gagal dalam percintaan, tapi malahan juga kena dirusak mukanya oleh wanita yang ia pernah cintakan. Maka itu, perasaan cinta berobah jadi satu dendaman hebat. Di sebelahnya membenci Gobie Liehiap Tjia In Tjin, kegusarannya ditujukan terhadap Siauw Tjeng Hong. Sesudah menaruh dendam belasan tahun, ia sekarang dapat ketemukan musuhnya, tapi siapa nyana, selagi mau bikin pembalasan, ia bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan mengalami lagi penghinaan yang begitu besar. Maka tidaklah heran, dalam putus harapan dan kegusaran, ia jadi nekat dan mengambil putusan pendek.Siauw Tjeng Hong keluarkan teriakan tertahan. Ia tak keburu menolong, sebab gerakannya Loei Tjin Tjoe terlalu cepat. Mendadak dengan satu suara “trang” dan muncratnya kepingan es, pedangnya Loei Tjin Tjoe jatuh di atas tanah. Orang yang menolong bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie yang telah menimpuk dengan sekeping es. “Manusia tak punya nyali!” berkata si nona. “Kalau kepandaian kurang, apa tak bisa dipelajari lagi?” Mendengar perkataan itu, matanya Loei Tjin Tjoe berkunang-kunang dan dadanya dirasakan seperti mau meledak. “Benar,” kata ia dalam hatinya. “Kalau aku bunuh diri, ia akan kira aku benar-benar tidak mempunyai nyali.” Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berkata pula: “Kalau kau harus mendapat hukuman mati lantaran dosamu, siang-siang aku sudah jatuhkan hukuman mati. Tidak perlu kau sendiri yang turun tangan, Segala kejadian pada tahun itu sudah dituturkan oleh Thiekoay sian suami isteri kepadaku. Dalam urusan itu, hatimu memang mengandung niatan yang kurang baik, tapi kau sendiri tidak mengetahui, bahwa dalam urusan itu, kau sudah dipermainkan oleh seorang jahat. Sungguh kau harus dikasihani dan ditertawai dengan berbareng. Apa kau tahu bagaimana maksud hatinya Ong Lioe Tjoe? Kalau kau ingin tahu, pada Tiongtjhioe (pertengahan musim rontok, atau Bulan Delapan tanggal 15) tahun ini, kau boleh pergi ke Chaklun buat mencari tahu.” Loei Tjin Tjoe terperanjat mendengar omongan itu. “Ong Lioe Tjoe sudah binasa, cara bagaimana orang masih bisa dapat mengetahui isi hatinya,” pikir ia. “Cara bagaimana, dengan pergi ke Chaklun, aku bisa mendapat tahu isi hatinya Ong Lioe Tjoe yang sekarang sudah tidak ada lagi dalam dunia?” Dengan timbulnya perasaan heran, ia tidak ingat lagi soal membunuh diri. Sesudah pungut pedangnya, bersama Tjoei In Tjoe, ia segera turun gunung sembari tundukkan kepala. Ketika itu Siauw Tjeng Hong seperti juga berada dalam mengimpi. Ia lihat Tjia In Tjin dan Thiekoay sian bicara dengan suara perlahan sembari tertawa-tawa, dengan tingkah laku yang hangat sekali. Menyaksikan itu, hatinya seperti diremas-remas. “Suatu orang mempunyai nasib sendiri-sendiri dan segala apa tidak dapat dipaksa,” pikir Tjeng Hong. “Walaupun Thiekoay sian beroman buruk, akan tetapi ia adalah murid yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie sehingga dengan jadi pasangannya Tjia In Tjin, ia tidaklah membikin turun derajatnya Gobie Liehiap.” Mengingat bahwa bekas kecintaannya sekarang sudah mendapat pasangan yang setimpal, hatinya Siauw Tjeng Hong jadi tenang. Mendadak ia lihat Thiekoay sian menghampiri dengan terpincang-pincang dan memberi hormat sesudah berhadapan. Siauw Tjeng Hong buru-buru balas hormatnya, sambil ucapkan perkataan-perkataan merendah. “Siauw loote,” katanya sembari tertawa. “Apakah kau tahu kenapa aku sudah gebuk kau dan sekarang memberi hormat padamu?” Siauw Tjeng Hong gaga-gugu dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Thiekoay sian tertawa lagi dan berkata: “Aku tahu, bahwa aku adalah seorang yang berparas buruk sekali. Maka itu, maka itu…” Sebelum ia dapat teruskan omongannya, Tjia In Tjin sudah membentak: “Setan tak kenal malu! Apa kau mau ditertawakan orang? Tutup mulutmu!” Sang isteri membentak begitu, sebab mengetahui, kalau si suami bicara terus, ia bakal jadi jengah sekali. Thiekoay sian tahu parasnya jelek sekali. Apa mau, ia dapat isteri yang sangat cantik. Sebagai seorang yang mempunyai adat aneh, dalam hatinya timbul rasa cemburu yang aneh pula. Hatinya belum merasa puas kalau belum hantam siapa juga yang pernah jatuh hati pada isterinya itu. Siauw Tjeng Hong mana tahu adatnya Thiekoay sian yang luar biasa itu. Dengan omongannya diputuskan oleh sang isteri, Thiekoay sian tertawa meringis. “Baiklah,” kata ia. “Aku tak omong lagi sebabnya kenapa aku memukul kau. Sekarang aku mau bicara tentang kenapa aku jalankan kehormatan padamu. Hei, Siauw Tjeng Hong, berapa usiamu sekarang?” Siauw Tjeng Hong kembali terkejut. “Buat apa dia tanya begitu?” pikirnya. “Siauwtee sekarang baru berusia empat puluh lebih sedikit,” ia jawab. “Kalau begitu, kau banyak lebih muda dari aku,” kata Thiekoay sian. “Sungguh kasihan, rupamu sudah kelihatan begitu tua, dan rambutmu sudah putih semua. Aku dengar, pada belasan tahun berselang, kau masih jadi pemuda yang cakap sekali.” Mukanya Siauw Tjeng Hong yang putih mendadakan saja bersemu merah. “Itu semua lantaran gara-gara isterimu,” kata ia dalam hatinya. “Siauw loote,” kata lagi Thiekoay sian. “Aku tahu adanya perasaan kecewa dalam hatimu. Maka itu, isteriku minta aku wakilkan ia menjalankan kehormatan di hadapanmu buat meminta maaf. Ia kata, hatinya merasa sangat tidak enak lantaran sudah menyeret kau kedalam gelombang. Dari sebab begitu, di sebelahnya meminta maaf, isteriku ingin persembahkan serupa barang kepada kau.” Sehabis berkata begitu, ia rogoh sakunya, keluarkan satu kotak batu kemala yang lantas diserahkan kepada Siauw Tjeng Hong. “Bukalah!” kata ia. Siauw Tjeng Hong buka dan kotak itu berisi sekuntum bunga warna merah darah yang sebesar mangkok. Heran sekali hatinya Siauw Tjeng Hong yang tak tahu harganya hadiah itu. “Itu adalah kembang dewa Yoetam Sianhoa,” menerangkan Thiekoay sian. “Orang yang makan kembang itu, rambut putih bisa berobah jadi hitam, sedang parasnya yang tua dapat berobah menjadi muda lagi. Aku si jelek tak gunanya makan bunga itu, maka aku rela mempersembahkan kepada kau.” Waktu masih muda, Tjia In Tjin digelarkan Tokbeng Siantjoe (Dewi tukang betot jiwa orang). Hatinya kejam dan tangannya telengas. Pada belasan tahun berselang, tanpa pikir-pikir lagi ia turunkan tangannya secara ganas, dan sebagai akibatnya, Siauw Tjeng Hong yang kena getahnya. Tapi sesudah menikah, adatnya jadi berubah. Saban-saban ingat Siauw Tjeng Hong, hatinya merasa menyesal sekali. Satu ketika, bersama suaminya, ia berkelana di daerah Utara barat. Waktu pesiar di pegunungan Thiansan, ia telah dapatkan kembang itu dan lantas saja ia mengambil putusan buat menghadiahkan kepada Tjeng Hong buat menebus dosa. “Ah, kalau begitu kembang ini Yoetam Sianhoa?” kata Tjeng Hong dengan perasaan terkejut tercampur girang. Ia jadi ingat penuturannya orang-orang tua, bahwa buat satu kali mekar, kembang itu harus melalui tempo 60 tahun. Pada seratus tahun lebih yang lalu, leluhur Boetong pay Toh It Hang ingin petik kembang itu buat dipersembahkan kepada Pekhoat Molie, tapi sesudah menunggu seluruh penghidupannya, kembang itu belum mekar juga. Belakangan Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe telah dapatkan dan makan kembang tersebut, sehingga sampai mati rambutnya masih tetap tidak berobah putih. Sekarang bukan saja ia dapat lihat benda yang langka itu, tapi juga bisa punyakan sebagai hadiah dari Thiekoay sian. Siauw Tjeng Hong mengawasi kembang itu dengan mata mendelong. Ia tak berani menerima. Tjia In Tjin menghampiri dengan perlahan dan berkata sesudah berhadapan: “Tjeng Hong! Kau makanlah. Pada lima tahun berselang, di Soetjoan barat aku telah bertemu piauwmoay-mu (saudara misan perempuan) Gouw Tjiang Sian, yang tanyakan keselamatanmu. Ibumu juga sekarang masih kuat dan sehat. Apakah kau tidak niat pulang buat tengok mereka?” Hatinya Tjeng Hong lantas saja tergerak. Secara mendadakan saja, ia jadi ingat kepada orang tua, famili, sahabat dan kampung kelahirannya. “Sekarang sedang permusuhan sudah menjadi beres, memang seharusnya aku pulang,” kata ia dalam hatinya. “Lantaran gara-gara dia, aku telah menderita begitu hebat, maka adalah sepantasnya saja, jika aku menerima hadiahnya itu.” Memikir begitu, ia lantas ambil kembang.-tersebut dan berkata sambil dongakkan kepala dan menghela napas: “Terombang-ambing di dunia Kangouw puluhan tahun lamanya. Bermula ketemu, rambut belum putih, usia masih muda.” “Maka sekarang lebih baik pulang, buat cari kawan memain waktu masih kecil,” In Tjin sambungi. “Benar, benar!” kata Tjeng Hong sembari tertawa berkakakan. “Perkataanmu benar sekali! Oedjie, gurumu sekarang mau berpisahan denganmu!” Selama setengah harian itu, Thian Oe telah saksikan banyak sekali kejadian mengherankan, sehingga ia seperti juga sedang mengimpi. Sekarang mendadak ia dengar gurunya mau pulang ke kampung kelahirannya, maka ia jadi sangat kaget dan buat beberapa saat, tidak dapat mengucapkan sepatah kata. Siauw Tjeng Hong juga merasa berat buat berpisahkan dengan murid yang baik itu. “Muridmu itu sangat baik hatinya dan aku sangat penuju padanya,” kata Thiekoay sian sembari tertawa. “Aku si pengemis, kalau lihat barang baik, memang lantas mau meminta, Siauw Loote, serahkan saja muridmu kepadaku.” “Sungguh mujur jika kau sudi menerima Oe-djie sebagai murid,” kata Tjeng Hong dengan girang sekali. “Oe-djie, lekas berlutut!” “Soehoe,” kata Thian Oe dengan suara sedih. “Apakah benar kau mau pulang?” “Kalau tidak pulang, aku mau bikin apa disini?” jawab sang guru. “Aku pun merasa sangat berat harus berpisahan dengan kau, tapi oleh karena orang tuamu berada di daerah ini, aku tentu tak dapat ajak kau pergi bersama-sama.” “Ha, bocah,” kata Thiekoay sian. “Apa kau tidak.suka angkat pengemis busuk sebagai gurumu?” Thian Oe buru-buru membantah pernyataan itu dan segera berlutut di hadapan Thiekoay sian. “Aku tidak begitu sabar sebagai gurumu,” kata si pengemis sembari tertawa terbahak-bahak. “Sebagai muridku, kau mesti mengemis nasi dan uang, dan kalau tidak dengar kata, aku akan hantam pantatmu dengan tongkat ini.” “Jangan bikin takut anak baik ini,” kata Tjia In Tjin. “Aku bicara terus terang, kalau kau sengaja cari, biar kau jalan sampai pecah sepatu besi, tak nanti kau dapat ketemukan murid yang begini baik.” Sembari tahan air matanya, Siauw Tjeng Hong awasi sang murid dan kemudian bekas kecintaannya. “Nah, sekarang aku berangkat saja,” kata ia dengan suara sedih. “Oe-djie, kau harus dengar segala perintah gurumu. Kalau ada jodoh, di belakang hari .kita akan bertemu pula.” Tidak lama sesudah pulang ke kampung kelahirannya, Siauw Tjeng Hong telah dapat pasangan yang setimpal sekali dan berkat latihannya yang terus menerus, di kemudian hari, ia jadi seorang yang ilmu silatnya paling tinggi dalam Tjengshia pay. Sesudah Siauw Tjeng Hong berangkat, sembari tertawa Thiekoay sian berkata: “Mau pergi, pergi saja, buat apa begitu rewel-rewel.” “Kau lihat, ada orang yang lebih rewel lagi,” berbisik isterinya. Thiekoay sian menoleh dan lihat kedua boesoe Nepal, yang tadi berlutut di pinggir telaga, sekarang sedang bicara sama Pengtjoan Thianlie dengan suara perlahan. Pengtjoan Thianlie sendiri sedang dongakkan kepalanya, sikapnya tawar dan seperti acuh tak acuh. Tapi kedua boesoe terus bicara sembari pentang-pentang tangan, seperti orang yang sedang memohon-mohon, dengan paras muka yang bingung sekali. Thiekoay sian tidak mengerti bahasa Nepal, sehingga biarpun pasang kuping, ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Thian Oe sudah berdiam tujuh delapan tahun di Tibet, yang sering dikunjungi oleh pedagang Nepal, sehingga sedikit-sedikit ia mengenal juga bahasa itu. Ia pun turut pasang kuping dan dapat tangkap beberapa perkataan, seperti “guci emas”, “ayahanda raja” dan sebagainya, tapi tidak dapat hubungkan perkataan-perkataan itu sampai dapat dimengerti apa maksudnya. Mendadak ia ingat perebutan guci porselen di Shigatse antara Bek Tayhiap, Thiekoay sian dan yang lain-lain. “Apakah urusan yang sedang dibicarakan oleh kedua boesoe mempunyai hubungan dengan guci porselen itu?” ia tanya dalam hatinya. “Tapi guci itu adalah porselen, dan bukannya emas. Apa artinya itu perkataan ayahanda raja?” Sedang Thian Oe diliputi perasaan heran, Pengtjoan Thianlie, yang rupanya sudah tidak sabaran, membentak dalam bahasa Nepal: “Kecuali Puncak Es roboh, aku tak nanti turun dari gunung ini.” Bentakan itu dikeluarkan dengan keras, sehingga Thian Oe dapat dengar nyata sekali “Pergi! Pergi! Kalian pergi pulang,” kata lagi Pengtjoan Thianlie. Suaranya tidak keras, tapi berpengaruh sekali dan diucapkan dengan sikap angker, seperti juga seorang jenderal yang sedang pimpin ratusan laksa tentara. Kedua boesoe itu saling mengawasi. Mereka mundur tanpa berani buka suara lagi, sedang pada paras mukanya terbayang perasaan putus harapan. Sesudah itu, dengan muka yang bersorot sedih, seperti juga hatinya sedang dipengaruhi oleh serupa perasaan, Pengtjoan Thianlie petik sekuntum bunga yang ia lemparkan ke telaga dan jatuh pada tempat, dimana sungai es masuk ke dalam telaga. Bunga itu digulung pusar air akan kemudian selembar-lembar terombang-ambing, menurut alirannya gelombang-gelombang halus. Thian Oe jadi bergidik sebab ia ingat: “Jika benda tak berjiwa (sang kembang) bisa bernasib sedemikian, apa lagi manusia?” la lihat itu gunung salju dengan puncaknya yang menjulang menembus awan dan hawanya dingin bukan main, akan tetapi di tempat dimana ia berdiri, sang telaga dengan kembang-kembangnya memberi suatu pemandangan dari musim semi. Dan di pinggir telaga berdiri seorang wanita cantik yang hidup sendirian di atas Puncak Es. Keadaan sedemikian seakan-akan merupakan suatu musim semi dalam musim dingin, cuma sayang, pemandangan yang begitu indah, tidak banyak diketahui oleh manusia dalam dunia. Bahwa dalam gunung salju terdapat telaga Thian-ouw (Telaga Namtso), sudah merupakan kejadian yang mengherankan. Akan tetapi, bahwa di atas sungai es hidup seorang bidadari, ada lebih mengherankan lagi! Apakah Bidadari dari Sungai es ini akan mendapat nasib seperti sang kembang, yang terbuka dan rontok sendirinya, akan kemudian terombang-ambing menurut alirannya air? Selagi Thian Oe ngelamun begitu, kupingnya mendadak dengar Pengtjoan Thianlie berkata lagi: “Aku sebenarnya tidak pernah menerima tetamu, akan tetapi, lantaran Kam Tayhiap dan ayahku adalah sahabat-sahabat baik, maka, Thiekoay sian, sebab atas perintahnya Kam Tayhiap dengan susah payah kau sudah mencari aku, dengan melanggar kebiasaan, aku sekarang undang kalian berdua suami isteri buat menginap di rumahku beberapa hari.” Sesudah Koei Hoa Seng menghilang, kedua kandanya telah mencari ubak-ubakan dan memesan kawan-kawannya buat bantu mencari. Salah seorang yang pernah diminta bantuannya, adalah Kam Hong Tie. Selama tiga puluh tahun Hong Tie sudah berdaya tanpa mendapat hasil. Ia adalah seorang ksatria yang pegang teguh janjinya, maka itu, pada sebelum menutup mata, ia telah pesan muridnya supaya sang murid talangi ia melakukan satu pekerjaan yang belum dapat dipenuhi. Thiekoay sian tidak sia-siakan pesanan gurunya. Belakangan ia mendapat warta, bahwa di atas sungai es ada hidup seorang wanita yang mendapat julukan Pengtjoan Thianlie. Ia menduga, bahwa wanita itu sepuluh sembilan adalah puterinya Koei Hoa Seng. Pada waktu ia sedang bertempur melawan Loei Tjin Tjoe, isterinya justru sedang menemui Bidadari dari Sungai es itu. “Sudah lama aku pangeni tempat ini yang seperti surga, akan tetapi aku tidak berani membuka mulut,” kata Thiekoay sian sembari tertawa. “Maka itu, tentu saja aku merasa sangat girang, jika kau sudi menerima kami berdiam beberapa hari.” “Kalau begitu, marilah kita turun ke perahu,” kata Pengtjoan Thianlie. “Kau adalah muridnya Thiekoay sian dan juga sahabatnya Chena moaymoay. Maka itu, kaupun boleh ikut.” Thian Oe bermula merasa sedikit bersangsi, akan tetapi, ia lantas turut turun ke dalam perahu, tanpa berkata suatu apa. Waktu itu sudah lewat tengah hari. Kepingan-kepingan es yang mengambang di atas sungai jadi semakin lumer dan air mengalir semakin deras, dari puncak gunung menyapu ke bawah. “Naik ke atas dengan melawan aliran air ada banyak lebih sukar dari turun ke bawah,” pikir Thian Oe. “Biarpun ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sedemikian tinggi, tapi apakah ia mampu bikin perahu itu manjat ke atas? Apakah ia bukan terdiri dari darah dan daging seperti manusia biasa?” Selagi hatinya sangat bersangsi, kupingnya sudah dengar Pengtjoan Thianlie berkata: “Semua orang duduk biar benar. Perahu mulai jalan.” Sehabis berkata begitu, dengan sebatang kejen batu kemala, ia totol sekeping es dan perahu itu lantas meluncur beberapa tombak jauhnya. Mendadak perahu terpukul arus dan mundur lagi setombak lebih. Pengtjoan Thianlie sapu kepingan-kepingan es yang ngambang akan kemudian menotol lagi dengan kejennya dan sang perahu kembali meluncur beberapa tombak. Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie pusatkan Seantero perhatiannya dan menggunakan banyak sekali tenaga, sedang orang-orang yang berduduk di dalam perahu semuanya berpeluk tangan. “Sedang dia begitu capai, bagaimana kita bisa enak diam saja?” kata Thian Oe dalam hatinya. Tiba-tiba arus yang sangat keras menerjang hebat sekali, sehingga sang perahu terputar-putar dalam pusar air dan air yang muncrat membasahi mukanya semua orang. Thian Oe terkesiap. Melihat tongkat besi gurunya yang disenderkan di pinggir perahu, tanpa banyak pikir, ia lantas jumput tongkat itu, yang ternyata sangat berat, buat bantu mendorong. Tapi begitu lekas ia mendorong dengan tongkat, sang perahu bergoncang dan berputar keras, dan dengan dibarengi sama sambaran satu gelombang, sebagian badan perahu tenggelam di dalam air, tapi untung timbul lagi dengan goncangan keras. “Kau cari mampus?” membentak Thiekoay sian sembari rampas tongkat itu dari tangan muridnya. “Maksudnya baik sekali, kau tak usah marahi dia,” kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. Thian Oe rasakan mukanya panas lantaran malu. Ketika itu, setahu bagaimana, badannya perahu sudah tetap kembali, sehingga hatinya jadi legaan. Sekonyong-konyong satu arus yang lebih hebat daripada tadi, menyambar dari sebelah kiri. Thian Oe mencelos dan berkata dalam hatinya: “Sekarang matilah!” Mukanya jadi pucat seperti kertas. Tiba-tiba badannya perahu terlempar ke atas, seperti juga terbang di tengah udara, dan di lain saat, sudah hinggap di muka air dengan selamat dan terpisah agak jauh dari tempat tadi! Bukan main herannya Thian Oe. Melihat keheranan pemuda itu, Chena berkata sembari tertawa: “Waktu pertama datang, aku pun sudah dibikin kaget setengah mati oleh arus itu. Belakangan barulah aku mendapat tahu, bahwa tanpa adanya arus tersebut, sang perahu malahan tak dapat naik turun.” Pengtjoan Thianlie yang sedari kecil hidup di tempat tersebut, mengenal baik sifatnya arus sungai, yang mempunyai tenaga menyapu balik. Sifatnya arus sungai tersebut adalah ibarat sifatnya angin puyuh yang terputar, dan dalam putarannya itu, dapat melempar sang perahu ke sebelah atas. Maka itu, dalam menjalankan perahu di sungai es, biarpun benar seorang harus mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tetapi kejadian tersebut bukanlah suatu kejadian yang mujijat. Belum cukup sejam, perahu sudah tiba di puncak gunung. Keraton yang nangkring di puncak terbuat dari kristal, marmer atau balokan-balokan es, sehingga di dalamnya jadi terang benderang, dan jika tertojo sinarnya matahari, keraton itu berkredepan dalam rupa-rupa warna. Sungguh satu pemandangan yang langka! Melihat itu semua, Thian Oe yang tadinya sudah lelah sekali, mendadak jadi segar kembali. “Dengan berdiam seorang diri dalam keraton ini, apakah Pengtjoan Thianlie tidak merasa kesepian?” tanya ia dalam hatinya. “Thianlie tjietjie,” kata Chena sembari tertawa. “Jika kau sudi menerima aku sebagai pelayan, aku rela berdiam di tempat ini seumur hidupku.” “Anak otak!” menyahut Pengtjoan Thianlie sembari mesem. “Mana kau bisa betah tinggal di tempat ini? Dan bukankah kau siang malam terus pikirkan soal membalas sakit hatinya kedua orang tuamu?” Mendengar omongan itu, Chena tidak berkata suatu apa lagi. “Aku dengar kau selalu memanggil aku sebagai Thianlie tjietjie.” Berkata lagi Pengtjoan Thianlie. “Apa dengan memanggil begitu, kau tidak kuatir orang nanti mentertawakan? Aku Cuma bertempat tinggal di Pengtjoan (Sungai es), dan manalah boleh disebut bidadari (Thianlie). Aku sebenarnya she Koei bernama Peng Go. Thiekoay sian berdua suami isteri juga rasanya belum mengetahui namaku.” “Nama itu sungguh bagus,” kata Tjia In Tjin sembari tertawa. “Tapi kau benar-benar cantik laksana bidadari, maka biarlah aku memanggil saja Thianlie tjietjie.” Pengtjoan Thianlie segera anter semua tetamunya masuk ke dalam keraton. Berbareng dengan tepukan kedua tangannya, di depan saban keraton lantas muncul satu wanita muda, yang berpakaian indah sekali. Walaupun di antara bangunan-bangunan terdapat banyak pintu, tapi oleh karena keraton tersebut terbuat dari bahan-bahan yang terang seperti kristal dan es, maka semua wanita itu lapat-lapat bisa dilihat. Semua dayang itu, yang rata-rata berparas cantik, berpakaian secara luar biasa, bukan pakaian Tibet maupun Han, dan sekali lihat lantas dapat diketahui, bahwa mereka itu bukannya orang Tionghoa. Thian Oe rasakan seperti masuk ke dalam surga. “Kalau begitu, Pengtjoan Thianlie bukannya hidup sendirian,” kata ia dalam hatinya. “Cuma dari manakah ia dapatkan begitu banyak nonanona?” “Kalian tentu capai sekali, maka biarlah kalian mengasoh dahulu,” kata Pengtjoan Thianlie. Suami isteri Thiekoay sian, Tan Thian Oe dan Chena lalu diantar oleh dayang-dayang itu ke gedung-gedung yang terpisah. Sesudah melalui jalanan bulak-belok dengan diantar oleh sang dayang, Thian Oe tiba di satu kebun kembang. Bunga-bunga dan rumput-rumput yang tumbuh disitu dengan warna-warni yang gilang gemilang, hampir semua belum pernah dilihat oleh Thian Oe. “Siangkong (tuan) masuklah ke dalam gedung ini buat mengasoh,” kata dayang itu. “Jika siangkong memerlukan aku, tarik saja tali tembaga yang terdapat di pojokan. Jalanan disini banyak belitannya, dan jika siangkong mau jalan-jalan di dalam taman, ingatkan saja tanda itu, supaya tak kesasar.” Sembari berkata begitu, jerijinya menunjuk ke atas gedung, dimana terukir satu singa-singaan batu. Ternyata di atas saban gedung terdapat ukiran-ukiran binatang yang berlainan. Ada ukiran kuda, macan, burung Hong dan sebagainya. Biarpun bukannya orang Tionghoa, akan tetapi dayang itu dapat bicara bahasa Pakkhia dengan lancar sekali. Sesudah memesan begitu, ia lantas undurkan diri. Thian Oe tolak pintu dan masuk ke dalam gedung. Hatinya kaget lantaran beberapa pemuda kelihatan mendatangi ke arah ia. Tapi segera juga ia mengerti, bahwa semua pemuda itu adalah bayangannya sendiri, lantaran di empat penjuru tembok dipasang kaca yang sangat besar. Gedung itu dihias indah sekali dengan perabotan yang mahal harganya. Dalam kamar tidur, kasurnya terbuat dari sutera mahal dengan kelambu sulam, sedang di atas meja tulis terdapat satu vas yang ditancapkan semacam bunga luar biasa, yang menyiarkan bau harum sekali. Di atas tembok tergantung sebuah lonceng dari negara Barat yang mengeluarkan suara “tik-tak, tik-tak” tak henti-hentinya. Pada jaman itu, yaitu jaman Kaizar Kianliong, masih sedikit sekali lonceng Barat yang di impor ke Tiongkok. Pertama kali Thian Oe lihat lonceng itu adalah di rumahnya Touwsoe. Selainnya itu, di atas tembok juga terdapat sepasang gambar lukisan dengan sajak yang tulisannya indah sekali. Gambar yang satu memperlihatkan seorang pemuda yang memakai baju warna kuning, sedang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Romannya pemuda itu bukan saja cakap, tapi juga angker sekali. Gambar yang lain adalah gambarnya seorang wanita yang pakai pakaian kuno. Dengan kedua alis yang bengkok dan potongan muka seperti kuaci, wanita itu cantik luar biasa dan matanya sedikit mirip dengan Pengtjoan Thianlie. Sajak yang tertulis pada kedua gambar itu seperti juga buah kalamnya seorang wanita dan berbunyi seperti berikut: 引离杯,Mengangkat cawan berpisahan. 歌离怨,Nyanyikan lagu berpisahan. 诉离情。Bisiki kata-kata berpisahan, 是谁谱掠水鸿惊,Siapakah yang membuat lagu itu, seperti seekor burung berkelebat di atas air dan menghilang dalam sekejapan mata? 秋娘金缕,Tjioe Nio nyanyikan lagu Kim Louw. 曲终人散数峰青?Nyanyian berakhir, penonton bubar, cuma ketinggalan beberapa puncak gunung yang hijau. 悠悠不向谢桥去,Tapi kumandangnya sang lagu tak putus-putusnya, 梦绕燕京 Sampai mengimpi tiba di kota Pakkhia. 杯空满,Cawan penuh, tapi toh kosong. 歌空好,Nyanyian merdu, toh kosong juga, 琴空妙,Tetabuhan khim indah, pun kosong. 月空明;Rembulan terang, akhirnya kosong juga. 只兰苑人去尘生。Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan debu yang berhamburan. 江南冬暮,Musim dingin meliputi daerah Kanglam, 怅年年雪冷风清 Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang. 故人天际,Orang yang dicinta berada di ujung langit. 问谁来同慰飘零 Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar? Sebagai peringatan dari almarhum ayah dan ibu, Hoan Lian. Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah kakek dan neneknya Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan isterinya Moh Hoan Lian, sedang sajak itu adalah buah kalam ayahnya Moh Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang. Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar. Bahwa Pengtjoan Thianlie adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah merupakan satu hal yang mengherankan. Akan tetapi, keraton di puncak gunung dengan dayang-dayangnya yang terdiri dari wanita-wanita asing, merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun asal-usulnya Pengtjoan Thianlie sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam keseluruhannya, ia masih merupakan satu teka-teki. Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang dayang, Thian Oe gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur pulas. Ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh, ia ingat Pengtjoan Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri Thiekoay sian, ia ingat macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya. Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti dengan sinar perak. Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak gunung, ditambah sama bunga-bunga yang memenuhi seluruh taman, Thian Oe merasa seperti juga berada di tengah-tengah dunia kaca dengan warna-warninya yang indah luar biasa. Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan dengan tindakan perlahan, ia keluar dari gedung itu buat menikmati pemandangan alam yang seindah itu. Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan. Thian Oe lalu mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua bayangan orang sedang mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah Pengtjoan Thianlie, sedang yang belakangan bukan lain daripada Thiekoay sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa, mereka jalan-jalan dalam taman, di tengah malam buta itu? Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka mendadak berhenti. “Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan,” demikian kedengaran Pengtjoan Thianlie berkata. “Dan terima kasih juga kepada paman-paman sekalian yang sudah begitu memperhatikan diriku. Tapi aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku tidak nanti turun dari gunung ini.” “Tapi… Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya,” kata Thiekoay sian. “Dahulu, pada jaman tujuh ahli pedang turun dari gunung Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-sama Leng Bwee Hong Tayhiap, dengan bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng. Kau sendiri adalah cucunya Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi jajahannya bangsa Boan? Begitu lekas guci emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet.” “Aku tidak urus urusan begitu,” kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan Thianlie sudah mendahului: “Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi. Sebenarnya terhadap kalian suami isteri yang jauh-jauh sudah datang disini, aku harus penuhkan kewajiban sebagai tuan-rumah buat melayani beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku pernah bersumpah, bahwa siapa saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia adalah seorang dari tingkatan yang lebih tua, aku tak dapat menahan lagi padanya. Thiekoay sian! Terima kasih buat kebaikan hatimu, tapi besok aku akan perintah dayang antar kalian turun gunung dan di kemudian hari tak usah dating lagi disini.” Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri membelakangi ia. Suaranya halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang sedang keluarkan firman. Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe juga merasa heran, kenapa seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap sedemikian keras dan mengeluarkan kata-kata yang terang-terangan mengusir tetamunya. Ia merasa berat buat tinggalkan tempat itu yang sepera surga, terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya merasa sedih, sebab ingat besok ia harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan bisa datang lagi ke tempat itu. Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian berkata: “Sesudah berbuat kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta maaf. Aku akan turut apa yang diinginkan oleh nona.” Sesudah itu lantas kedengaran suara tindakan kaki yang semakin lama jadi semakin jauh, dan waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat mengumpatnya. Tiba-tiba, dari antara pohon-pohon kembang muncul satu orang. Baru saja ia niat menyingkir, orang itu sudah menanya dengan suara nyaring: “Kau belum tidur?” Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya dibungkus dengan sutera putih, sedang kedua matanya yang jeli bersinar terang dalam malam yang remang-remang itu dan pada mulutnya tersungging meseman yang sukar dijajaki. “Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong jiwaku,” katanya sembari mesem. “Cuma sayang besok kau sudah harus berlalu dari sini.” “Hm,” kata Thian Oe. “Apa kau juga dengar pembicaraan yang barusan?” Chena manggutkan kepalanya dan berkata: ” Menurut Thianlie tjietjie, jiwanya gurumu berada dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya buat merampas guci emas itu. Ia bilang, kau haruslah berlaku hati-hati.” Thian Oe terkejut. “Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini,” kata ia. “Barang apakah adanya guci emas itu yang mau direbut?” “Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?” menegasi Chena. “Belum,” jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya berobah jadi sungguhsungguh sekali. “Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan lain-lain Budha hidup semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi) “?” tanya Chena dengan suara perlahan. Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja mengetahui kepercayaan itu. Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata pula: “Oleh karena dalam soal reinkarnasi ini sering-sering timbul percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan sebuah guci emas buat mengakhiri segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan, maka Naichung yang berhak harus menulis nama-namanya semua calon di atas sepotong kertas yang sesudah digulung, dikasih masuk ke dalam guci emas itu. Kemudian, di hadapan orang banyak diambillah salah satu gulungan kertas dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Budha hidup yang tulen. Aku dapat dengar, guci emas itu sudah dikirim dari Pakkhia dan setibanya di Lhasa akan disambut secara besar-besaran oleh Dalai Lama dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh dalam Gereja Pusat di Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci yang sifatnya abadi. Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang begitu penting tentu saja bakal dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah gurumu seperti mau antarkan jiwa, jika ia coba merampasnya?” Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui persoalan itu. Akan tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja muda Chinpu, Thian Oe jadi urungkan niatannya. Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar Kianliong ke Tibet sebagai Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas terhadap bangsa Boan, akan tetapi ia merasa, tindakannya kaisar Boan di ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan, sebab sedikitnya dapat menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak mengerti sebab apa gurunya niat rampas guci emas tersebut. “Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup,” kata lagi Chena sesudah menghela napas panjang. “Jika orang Han bikin rusak guci emas itu atau merampas benda suci kita, maka permusuhan antara bangsa Tibet dan Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di antara kau orang Han terdapat sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah menerima guci emas itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh di bawah perintahnya kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa Boan. Dari sebab begitu, mereka mati-matian mau merampas guci emas itu. Cuma aku kuatir, maksud yang baik itu akan dianggap sebagai maksud jahat oleh orang Tibet. Maka itu, aku rasa lebih baik kau bujuk supaya gurumu batalkan niatannya.” “Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara bagaimana aku berani membuka mulut?” kata Thian Oe. Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. “Chena,” kata Thian Oe. “Cara bagaimana kau jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?” Baru saja ucapkan perkataan itu, Thian Oe lantas merasa menyesal sebab kuatir ia sudah melewati batas kesopanan. Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. “Kau sudah menolong jiwaku dalam rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya, aku seharusnya memberitahukan padamu,” katanya dengan suara perlahan. “Biarlah sekarang aku tuturkan satu cerita, yang selainnya Thianlie tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini. “Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko Nor) telah menyerang Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah berhasil pukul mundur musuh yang menyerang itu. Tak lama kemudian, raja Tibet mengadakan pesta pernikahan besar dan permaisurinya adalah Puteri Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan kesempatan itu sang raja memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang sudah pukul mundur serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja Tibet menghadiahkan ia sebidang tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya seekor kuda dalam tempo seharian. Panglima tersebut tersohor mahir dalam ilmu menunggang kuda dan sepanjang cerita, dalam tempo seharian kudanya dapat melalui satu lingkaran dari 5000 li lebih. Tanah yang seluas itu segera dihadiahkan kepadanya dan ia diberi pangkat Hoan-ong (raja muda). Panglima tersebut adalah leluhurku. “Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah turunan yang ke 50. Ia berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di Sakya yang mempunyai pengaruh paling besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu adalah puterinya paman misananku. Lantaran adanya hubungan pangkat dan hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan sangat rapat. “Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika sedang mengubar seekor rase bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon dan ia terguling dari kudanya akan terus meninggal dunia. “Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan perundingan, telah disetujui bahwa kedudukan ayahku harus diwarisi kepada pamanku, dan jika sang paman meninggal dunia, kepada saudara-saudara misananku. “Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun. Pertama, sehabis minum semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada matang biru dan bengkak-bengkak dan meninggal dunia tidak lama kemudian. Sesudah itu, beberapa saudara misananku dengan beruntun meninggal secara luar biasa sekali. Badan mereka pada matang biru, sedang darah keluar dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya. Orang-orang tua bilang, kejadian ini adalah akibat gangguan setan memedi, maka sekeluarga kita pada mengumpat dalam sebuah gereja yang terletak di dalam pekarangan gedung. Sebuah kunci besar dipasang diluar gereja dan di seputar tembok disebarkan kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan masuknya kawanan setan. Ah, sungguh menakutkan hari-hari yang seram itu!” Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya segera juga berobah jadi pemandangan yang menyeramkan. “Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara mengerikan itu,” Chena lanjutkan penuturannya. “Aku ingat, itu hari, saudara misananku yang terakhir, yang baru saja berusia tiga tahun, juga tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa takutku. Aku merasa, bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia. “Hari itu adalah hari Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin dalam gedung raja muda, akan tetapi, berhubung dengan terjadinya kejadian-kejadian hebat, kami tidak berani mengisar dari dalam gereja, sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita. “Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah koekoe-ku (paman, saudara lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau pernah dengar namanya?” “Ya,” menyahut Thian Oe. “Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor satu di bawah perintahnya Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah seorang kenamaan dari Thianliong pay.” “Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi,” kata Chena sambil manggutkan kepalanya, “Ia juga tidak takuti segala setan memedi. Hari itu ia kebetulan datang dan turut bersembahyang pada malam itu. “Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama ibu di satu kamar. Tapi malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau menjaga meja sembahyang sampai jam lima pagi bersama dua dayang. “Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau bergoyangnya rumput membuat aku kaget dan menduga kedatangannya roh ayah. Aku ingat, bahwa semasa hidupnya ayah sangat mencintai aku, dan sekarang, sesudah menjadi roh halus, ia haruslah menjaga aku, menjaga juga ibuku, supaya kita jangan diganggu oleh segala setan keliaran. “Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah pada tidur, sehingga keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma kedengaran suara ketak-ketiknya sang lonceng. Dalam kamar terdapat dua pembaringan kayu. Aku tidur di pembaringan sebelah dalam, sedang koekoe di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip dari sela-sela pintu dan lihat api lilin bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan diluar, aku mau teriaki ibu supaya masuk saja ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum dapat buka suara, api lilin mendadak padam semuanya! “Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu badanku jadi berdiri. Tiba-tiba koekoe membentak sembari menjotos, sehingga tiang ranjang sempal. Sekarang aku dapat lihat, satu bayangan hitam sudah bertempur seru dengan koekoe. “Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan mereka terus berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan deruan angin dan mataku tak dapat membedakan, yang mana koekoe, yang mana musuh. Perabot rumah tangga banyak yang hancur lantaran kepukul atau ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan koekoe yang menyeramkan. Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab duga koekoe kena dirobohkan. Tapi, sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku buka kedua mataku dan merasa satu orang usap-usap kepalaku.” “Apa koekoe?” Thian Oe menanya tanpa merasa. Chena tarik napas panjang dan menyahut: “Benar, ia adalah koekoe. Napasnya sengal-sengal dan suaranya gemetar waktu ia berkata: “Chena, aku… Lekas ikut padaku.” Ketika itu, aku sudah jadi begitu ketakutan, sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe pondong aku dan berjalan keluar. “Mana ibu? Ajaklah ibu bersama-sama,” kata aku. Koekoe tidak menjawab. Ia buka pintu gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda, yang lantas dikaburkan secepat bisa. Belakangan aku baru tahu, bahwa ibu dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya pembunuh. Si pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe, sekarang aku tentu sudah tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya dan dalam tempo semalaman sudah melalui lebih dari dua ratus li. Disitu barulah ia memberitahukan aku, bahwa paman dan saudara-saudara misanan semua binasa dalam tangannya pembunuh itu, yang mempunyai semacam ilmu pukulan sangat beracun yang dinamakan Tjit-im tjiang. Siapa yang kena pukulan itu, sekujur badannya lantas matang biru dan dari lubang-lubang tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah dibilang lagi, si korban tidak akan dapat ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe lawan pembunuh itu, yang dapat juga dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu pukulannya. “Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya. Koekoe menerangkan, bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat, maka ia masih bisa tahan tujuh hari lamanya. Koekoe dengar, di pegunungan Nyenchen Tanghla terdapat satu telaga Thian-ouw (Telaga Namtso) dan di pinggir telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang cerita, air suci dari telaga tersebut dan bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat mengobati macam-macam penyakit. Lantaran tidak terdapat lain jalan lagi, dengan tidak perdulikan benar atau tidaknya cerita itu, sambil mendukung diriku, koekoe panjat gunung Nyenchen Tanghla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe keluarkan teriakan dan jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan kecapaian, tercampur dengan perasaan girang sudah bisa sampai di telaga tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin sadar padanya. Lantaran lapar dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun jatuh pingsan. “Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar. Koekoe sudah tidak berada disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang wanita yang parasnya cantik sekali. Aku menduga, ia itu tentu sang dewi yang bertempat tinggal di pinggir telaga. ‘Sianlie tjietjie, mana koekoe-ku?’ aku menanya. Ia mesem dan menyahut: ‘Apa ia koekoe-mu? Aku bukannya dewi. Aku she Koei bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai Pengtjoan Thianlie.’ Mendengar begitu, aku segera berkata kembali: ‘Kalau begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya koekoe?’ ‘Aku belum pernah permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke bawah gunung,’ jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras. ‘Jangan nangis,’ ia membujuk. ‘Aku sudah obati lukanya koekoe-mu dan sekarang jiwanya sudah ketolongan. Kalau bukannya begitu, cara bagaimana ia bisa turun dari gunung ini?’ Aku merasa heran mendengar cara-caranya Thianlie tjietjie, yang sesudah menolong, lalu mengusir koekoe. ‘Thianlie tjietjie apakah kau akan usir juga diriku?’ aku menanya. Waktu itu, aku tidak mengerti barang sedikit ilmu silat, sehingga kalau benar diusir, aku tentu mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh, tentu juga lantaran kelaparan. “Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus: ‘Aku dan kau ada berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk sementara waktu.’ Belakangan aku baru mendapat tahu, bahwa Thianlie tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar dan ia ingin sekali mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa senang terhadapku sebab mataku mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya, maka ia sudi menahan aku.” Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang bundar dan besar, dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau. Kalau biji mata itu sedang memain, orang seperti juga melihat dua gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik hitam, sedang bergulikan ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip dengan matanya Pengtjoan Thianlie. Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi bersemu merah. “Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera berdiam padanya dan ceritakan segala asalusulku,” kata lagi Chena sembari tundukkan kepala. “Belakangan bagaimana?” tanya Thian Oe. “Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah merasa, Pengtjoan Thianlie bukannya sembarang orang,” kata lagi Chena. “Aku segera memohon buat menjadi muridnya, tapi ia mengatakan ia selamanya tidak suka campur urusan dunia dan tidak ingin menjadi guru. Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: ‘Baiklah, lantaran aku merasa kasihan akan nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan kepadamu, buat tiga hari lamanya. Berapa banyak pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari itu, tergantung atas untungmu.’ Demikianlah ia lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan kepadaku. Sebulan lamanya aku berdiam dalam keraton Thianlie tjietjie, dimana diam-diam aku berlatih di bawah petunjuk para dayangnya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku sudah mendapat kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau menahan padaku, tapi lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati secepat mungkin, maka, tanpa mendengar nasihatnya, aku lalu turun gunung. Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku masih terlalu rendah, sehingga bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas sakit hati, tapi juga hampirhampir jiwaku sendiri turut melayang.” Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah terhitung tinggi. Ilmu entengi badannya sudah berada di sebelah atasan Thian Oe. Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oejadi kagum sekali. “Ia cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu tinggi,” kata Thian Oe dalam hatinya. “Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya Pengtjoan Thianlie sungguhsungguh sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari keduanya dalam dunia ini.” “Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala kebencanaan dalam keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya,” demikian Chena teruskan penuturannya. “Sesudah peristiwa hebat pada malam itu, kapan ibuku binasa dan aku sendiri hilang, sedang sang paman dan saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih dahulu, maka di antara keluarga dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi kedudukan Raja muda Chinpu. Pada besokan harinya, dengan membawa satu pasukan tentara, Touwsoe Sakya angkat paman misananku (yang bukan lain dari mertua sang Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-orang sekaumku tidak ada yang berani membantah lantaran takuti pengaruh dan kekuasaannya yang besar. Paman misananku sudah berusia 60 tahun lebih dan adalah ibarat api lilin di tengah-tengahangin. Touwsoe Sakya segera perintah anak lelakinya yang sulung menjadi Chiepa (semacamkuasa). Secara merdu dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi sebenar- benarnya si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali tanahnya Raja muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi. Bagaimana buntutnya sudah diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu menuturkan lagi.” “Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya kepadamu?” tanya Thian Oe. “Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya,” jawab Chena “Sesudah itu, apa aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah urusanku sendiri.” “Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu,” kata Thian Oe dengan suara terharu. Chena mesem dan berkata: “Apa? Terima kasih banyak buat kebaikanmu. Cuma saja, buat balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu terpaksa, aku tidak mau pinjam tangannya orang lain. Selainnya itu, Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang pandai, antaranya itu pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat yang dipunyai oleh kau dan aku, biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima tahun, aku rasa belum tentu dapat menandingi dia.” Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah keluarkan omongan besar, Thian Oe jadi merasa jengah sekali. Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat berterima kasih dalam kedua matanya Chena yang jeli. “Bukankah besok kau akan ikut gurumu berlalu dari sini?” ia Tanya dengan suara perlahan. Hatinya Thian Oe bergoncang. “Benar, besok aku sudah mesti berlalu,” katanya dengan suara serak. Tapi baru ia habis ucapkan perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak terdengar bentakannya Thiekoay sian.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |