Dengan terpincang-pincang si pengemis menghampiri. Biarpun tahu orang genggam niatan kurang baik, tapi dengan andalkan kepandaiannya yang tinggi, Loei Tjin Tjoe tidak jadi keder. “Siauw Tjeng Hong, boleh juga kau!” kata ia sembari tertawa dingin. “Tak kukira, kau sudah sediakan sahabatmu.” Ia lirik Tjoei In Tjoe, supaya kawannya bersiap untuk bertempur. “Ha, ha!” tertawa si pengemis. “Hari ini aku bukan mau bantu orang berkelahi, tapi mau menerima gebukan. Eh, bukankah kau niat kirim dua bacokan pada mukanya?” “Apa?” kata Loei Tjin Tjoe. “Apa kau tidak tega dan mau gulung tangan baju?” Si pengemis lagi-lagi tertawa. “Aku pengemis miskin mana punya begitu banyak sahabat?” kata ia. “Cuma saja, aku lihat ini Siauw sinshe mempunyai paras muka yang begitu halus, dan seperti juga kau, dahulu tentunya cakap sekali. Kalau mukanya dibacok, bukankah sayang sekali? Ha! Aku adalah seorang yang sangat tahu diri. Aku tahu romanku jelek dan tak pernah ngimpi akan dicintai oleh wanita cantik. Maka itu, andaikata di atas mukaku tambah dua tapak golok, muka yang sudah jelek tidak akan bertambah banyak lebih jelek. Ha! Biarlah aku talangi dua bacokan itu, hayolah gunakan pedangmu! Eh, Siauw sinshe! Mau apa kau awasi aku? Apa kau tak suka hati pernah digebuk olehku? Kalau tak suka hati, kau boleh lantas turun tangan!” Siauw Tjeng Hong turunkan hudtim-nya. “Tak berani,” kata ia sembari mundur. Mendengar sepatah-sepatah perkataannya si pengemis mengandung ejekan, Loei Tjin Tjoe lantas saja menjadi gusar. “Baiklah! Kalau kau sendiri yang minta, lihatlah pedangku!” ia membentak, sembari menyabet dengan pedangnya yang menyambar bagaikan kilat. Si pengemis angkat tongkatnya dan dengan suara “trang”, lelatu api muncrat berhamburan, sedang badannya Loei Tjin Tjoe melesat ke udara. Selagi badannya masih berada di tengah udara, dengan satu gerakan Pengpok kioesiauw (Garuda terbang ke sembilan lapis langit), pedangnya menikam ke bawah. “Bagus!” berteriak si pengemis yang lantas papaki dengan tongkatnya yang menotok ke pusarnya musuh. Buat tolong dirinya, Loei Tjin Tjoe poksay (jungkir balik) turun dan pedangnya menyambar ke pundaknya si pengemis. Sembari merengketkan sedikit pundaknya, si pengemis menyampok dengan tongkat, sehingga pedang dan tongkat kebentrok sedikit. Semua pukulan itu adalah pukulan yang membinasakan dan sudah terjadi dalam tempo yang sangat cepat, sehingga Siauw Tjeng Hong merasa sangat kagum dalam hatinya. Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, Loei Tjin Tjoe mendadak berseru dengan suara kaget: “Apakah kau Thiekoay sian?” “Apa?” kata si pengemis. “Kalau kau tidak berani bacok mukaku, akulah yang akan gebuk bebokongmu tiga kali buat ajar adat!” Loei Tjin Tjoe gusar sangat. “Biarpun kau Thiekoay sian, aku tak takut!” ia membentak sembari menikam. Si pengemis loncat sembari menyapu dengan tongkatnya dan mereka kembali bertempur dengan sengit sekali, sehingga Siauw Tjeng Hong yang menyaksikan merasa matanya berkunang-kunang. Pedang dan tongkat berkelebat-kelebat dan siapa yang meleng sedikit saja, jiwanya tentu akan segera melayang. Siauw Tjeng Hong cekal keras hudtim-nya, sedang Tjoei In Tjoe pegang gendewanya. Mata mereka mengawasi jalannya pertempuran sambil siap sedia. Sesudah lewat kurang lebih setengah jam, di atas kepalanya Loei Tjin Tjoe keluar uap putih, sedang gerakan tongkatnya si pengemis jadi semakin perlahan. Siauw Tjeng Hong keluarkan napas lega dan berkata dalam hatinya: “Untung juga Thiekoay sian masih lebih unggul setingkat.” Walaupun gerakannya terlebih lambat, pukulannya si pengemis malahan jadi semakin berat. Pedangnya Loei Tjin Tjoe sekarang sudah kena didesak dengan sang tongkat. Berbeda dengan gurunya, Tan Thian Oe tidak pusatkan perhatian kepada gelanggang pertempuran. Badannya berada disitu, tapi hatinya terus memikiri gadis Tsang itu, yang sekarang sudah tidak kelihatan lagi bayang-bayangannya. Permukaan Tengri Nor, atau Thian-ouw (Telaga Namtso), luar biasa luasnya. Thian Oe lihat, di pojokan utara barat dari telaga tersebut, terdapat satu sungai es yang kelihatannya seperti satu Thianho (Milky way), yang terbentang nyungsang. Sungai es itu dari puncak gunung mengalir ke bawah, laksana satu air tumpah. Bisa jadi lantaran adanya hawa yang lebih hangat, berbeda dari yang lain, sebagian es di sungai tersebut pada lumer. Di lapisan sebelah bawah, esnya keras seperti bukit-bukit, tapi di lapisan atas, es itu lumer menjadi kepingan-kepingan besar dan kecil, yang dengan suara ribut mengalir ke sebelah bawah dan terus masuk kedalam telaga. Itulah sebabnya, kenapa di tengah telaga terdapat banyak kepingan-kepinganes yang pada ngambang. Thian Oe dongak mengawasi ke atas. Di bagian atas dari sungai es, yaitu yang berdekatan dengan puncak gunung, lapat-lapat seperti juga berdiri sebuah keraton, atau sedikitnya satu gedung yang sangat besar. Cuma saja lantaran jaraknya terlalu jauh, Thian Oe tak dapat melihat tegas dan tak dapat menentukan, apakah yang kelihatan itu ada gedung-gedung atau cuma batu-batu belaka. Mendadak kupingnya dengar suara tindakan dan suara orang bicara. Di tempat, dari mana gadis Tsang itu keluar, muncul sererotan orang yang sedang mendaki gunung. Yang paling depan adalah tiga orang yang jalan berbaris. Dua orang yang di kiri dan kanan adalah mereka yang tadi ditimpuk jatuh oleh gurunya, sedang orang yang berjalan di tengah adalah satu Lhama yang memakai jubah panjang warna merah. Setiba di pinggir telaga, mereka awasi pertempuran antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe, dan kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas jalan menuju ke arah sungai es. Di belakangnya tiga orang itu, terdapat dua boesoe Nepal yang Thian Oe pernah ketemu dalam rumah penginapan di Shigatse. Tangannya kedua boesoe memegang hio Tibet, sikapnya menghormat sekali dan tanpa menengok, mereka terus menuju ke arah sungai es, dengan mulut kemak-kemik, seperti juga orang yang sedang berdoa. Di belakangnya kedua boesoe terdapat lima atau enam orang. Antara mereka, ada pemuda cakap, ada orang kasar, ada pendeta dan sebagainya. Waktu tiba disitu, mereka kelihatannya ketarik dengan pertempuran antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe. Mereka berhenti sebentar. Ada yang rundingkan jalannya pertempuran, sembari menunjuk-nunjuk, ada juga yang cuma omong-omong antara kawannya. “Dua manusia ini benar tak tahu diri,” demikian Thian Oe dengar seorang berkata. “Kodok buduk mau makan daging angsa langit! Mereka kelihatannya sudah mendahului kita.” Belum sempat orang itu tutup mulutnya, dengan tongkatnya Thiekoay sian sontek sepotong batu yang lantas menyambar ke arah orang yang barusan bicara. “Bagus!” berseru orang itu sembari menyampok dengan dua tangannya dan batu itu terpental jatuh ke jurang. Disontek oleh Thiekoay sian yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi, batu itu mempunyai tenaga ratusan kati dan menyambar luar biasa cepatnya. Bahwa orang itu dapat menyampok dengan gampang saja, merupakan bukti bahwa ilmu silatnya tidaklah lemah. Siauw Tjeng Hong sungguh tak mengerti, kenapa di tempat itu muncul begitu banyak orang pandai dengan berbareng. Sesudah lihat tindakannya Thiekoay sian, orang-orang itu tidak banyak bicara dan lalu menuju ke arah sungai es. Thian Oe dengar, sembari jalan mereka itu beromong-omong. “Bagaimana sih macamnya Pengtjoan Thianlie?” kata seorang. “Namanya begitu bagus, orangnya tentu juga cantik,” sahut seorang lain. “Ah, kalau jelek, aku serahkan saja pada kau,” kata seorang lagi. “Jangan terburu napsu. Pengtjoan Thianlie kita belum pernah lihat. Tapi nona Chena sudah cantik luar biasa,” kata yang lain. Demikianlah mereka bicara sembari tertawa-tawa, sampai suaranya tidak kedengaran lagi. Thian Oe kaget sekali, “Ah kalau begitu mereka maui Pengtjoan Thianlie dan niat rampas juga nona Tsang itu,” kata ia dalam hatinya. Terhadap Pengtjoan Thianlie, Thian Oe cuma sangat kepengen tahu. Akan tetapi terhadap Chena, ia mempunyai serupa perasaan yang sukar dilukiskan. Ia lirik gurunya yang ternyata sedang pusatkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran. Siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, sekarang sudah kelihatan nyata. Thiekoay sian jadi semakin gagah, tongkatnya menyambar-nyambar seperti ular dan naga, sesuatu sabetan mengeluarkan kesiuran angin yang menderu-deru, sehingga di empat penjuru seperti juga penuh dengan bayangan Thiekoay sian dan tongkat itu berubah menjadi puluhan batang. Loei Tjin Tjoe sudah terkurung dalam sinar tongkat dan lingkaran sabetan pedangnya semakin lama jadi semakin ciut. Cuma saja, lantaran ilmu pedangnya memang sudah sampai pada puncak yang tinggi, maka biarpun keteter, tongkatnya Thiekoay sian masih belum dapat tembuskan sinar pedangnya. Thian Oe tak mempunyai kegembiraan buat menyaksikan jalannya pertempuran. Matanya ditujukan ke arah tempat sungai es masuk ke dalam telaga. Mendadak, kupingnya mendengar suara luar biasa, sedang matanya dapat lihat bahwa di aliran atas sungai es itu, terdapat satu titik hitam yang turut mengalir *ke bawah. Dengan perlahan titik hitam itu menjadi besar dan ternyata adalah sebuah perahu kecil yang di dalamnya berduduk tiga orang. Mukanya ketiga orang itu belum kelihatan nyata, akan tetapi, kecuali dua boesoe Nepal yang masih berlutut, lain-lain orang keluarkan teriakan girang, sedang semua mata ditujukan kepada sungai es. “Apa yang datang Pengtjoan Thianlie?” tanya Thian Oe dalam hatinya. Sebagaimana diketahui, aliran air sungai es, yang dari puncak gunung turun ke bawah, deras luar biasa. Di lapisan atas terdapat banyak kepingan-kepingan es, sedang di lapisan bawah sembunyi bukit-bukit es. Jika kebentur dengan kepingan es, apalagi bukit es, jangan kata perahu kecil, perahu besar pun akan segera menjadi hancur. Tapi heran sungguh, perahu kecil itu seperti juga sedang laju di atas sungai biasa yang tenang airnya. Begitu lekas sang perahu mendekati, kepingan-kepingan es itu lantas minggir sendirinya, seperti juga didorong dengan satu tenaga yang tidak kelihatan! Biarpun tidak tahu cara bagaimana, Thian Oe mengerti, bahwa hal itu sudah terjadi lantaran di dalam perahu terdapat orang yang kepandaiannya tidak dapat diukur bagaimana tingginya. Tak lama kemudian, perahu itu sudah datang dekat. Dalam perahu kecil terdapat tiga wanita. Di sebelah kiri adalah Chena yang mukanya sekarang tersungging dengan senyuman girang. Di sebelah kanan berdiri seorang wanita, yang dalam usia pertengahan, romannya masih cantik sekali. Yang paling luar biasa adalah wanita yang di sama tengah. Rambutnya awut-awutan dan berdiri seperti jarum, mukanya putih meletak seperti juga bukan muka manusia, kedua tangannya dirangkap di dada dan sepuluh jerijinya seperti juga cakar ayam, dan dengan mata yang mengawasi ke depan, rupanya wanita itu sungguh seperti satu mayat yang baru keluar dari kuburan. Orang-orang yang melihat semua keluarkan teriakan tertahan, bahna kagetnya. Tiga orang yang hatinya lebih kecil lantas saja balik badannya dan turun gunung. “Apa Pengtjoan Thianlie berada di perahu itu?” tanya Thian Oe dalam hatinya. “Kalau ia ada disitu, jika bukan si wanita usia pertengahan, tentulah juga wanita yang seperti mayat.” Mendadak, gurunya keluarkan satu seruan kaget. Thian Oe menengok dan lihat muka gurunya pucat bagaikan mayat, kaki tangannya gemetar, seperti orang yang sakit keras. “Ah, sungguh tak dinyana, aku bisa bertemu ia di tempat ini!” demikian gurunya berkata seorang diri. “Soehoe, siapa yang kau maksudkan?” tanya Thian Oe. “Gobie Lihiap Tjia In Tjin!” sahut sang guru. “Apa wanita yang di tengah?” tanya lagi sang murid. “Bukan, yang sebelah kanan,” sahut Siauw Tjeng Hong. “Mukanya masih sama saja seperti pada belasan tahun berselang.” Thian Oe terkejut. “Apakah wanita yang di tengah Pengtjoan Thianlie adanya?” tanya ia dalam hatinya. Perahu itu sekarang sudah terpisah cuma belasan tombak saja dan sudah hampir masuk ke dalam telaga. Lhama yang memakai jubah merah mendadak membentak: “Yang mana Pengtjoan Thianlie?” Sehabis membentak begitu, badannya melesat ke arah sungai es, kedua kakinya menotol kepingan es yang ngambang dan dengan kecepatan kilat memburu ke arah perahu. Begitu berhadapan, ia angkat tangannya yang seperti kipas, yang menyambar ke arah Tjia In Tjin. Rupanya si Lhama menduga, bahwa Tjia In Tjin adalah Pengtjoan Thianlie. Dengan pukulan Lengshan tjiang (Pukulan gunung Lengshan), tangannya si Lhama menyambar, sehingga Siauw Tjeng Hong keluarkan satu teriakan kaget. Tjia In Tjin tertawa tawar, tapi sebelum ia dapat bergerak, wanita yang di tengah sudah pentil sekeping es ke arah uluhatinya Lhama itu. Dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia terguling dan badannya tersapu air yang mengalir ke bawah deras luar biasa. Mungkin sekali badannya kebentur bukit es, sebab warna air lantas berobah merah! Bukan main terkejutnya Siauw Tjeng Hong. Harus diketahui, bahwa orang yang belajarkan ilmu pukulan Lengshan tjiang, tentu mesti mempunyai juga ilmu Kimtjiongto dan Tiatposan (dua macam ilmu weduk), dan badannya dapat melawan tekanan ribuan kati. Ditimpuk dengan senjata rahasia, paling banyak kulitnya merasa sedikit gatal-gatal. Tapi, siapa nyana, dengan kepingan es yang begitu kecil, ia roboh dan melayang jiwanya! Orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga, dapat dibagi menjadi tiga rombongan. Satu rombongan adalah itu kedua boesoe Nepal yang masih terus berlutut sembari tundukkan kepalanya. Lain rombongan adalah si Lhama yang sudah binasa dan dua orang Tibet yang ubarubar Chena. Mereka itu adalah orang-orangnya Touwsoe di Sakya yang diperintah buat bekuk gadis tersebut. Rombongan ketiga yaitu orang-orang, yang lantaran dengar nama wanginya Pengtjoan Thianlie sudah datang buat coba-coba meminang dengan niatan merampas juga Chena yang cantik. Melihat liehaynya wanita dalam perahu itu, orang-orang rombongan kedua dan ketiga jadi ketakutan bukan main. Ada yang ketakutan sampai kaki tangannya lemas, ada yang lantas balik badannya buat kabur dan ada juga, yang lebih besar nyalinya, ingin menjajal-jajal dengan jalan mengerubuti. Sementara itu, jerijinya Chena kelihatan menuding dua kali. “Yang mau menangkap aku adalah dua orang itu,” kata ia. Wanita yang mukanya seperti mayat, lantas pungut kepingan es yang dipentil dengan jerijinya. Dua orang Tibet itu, yang baru tiga kali melangkah dalam percobaan kabur, kena kesambar jitu dan lantas terguling sembari muntahkan darah hidup! “Orang-orang itu semuanya bukan orang baik-baik,” berkata Tjia In Tjin. Wanita itu kembali ayun tangan kanan dan tangan kirinya dan kepingan-kepingan es menyambar bagaikan kilat. Dalam tempo sekejapan, kecuali kedua boesoe Nepal, semua orang sudah kena dihantam kepingan es. Dua antaranya yang mempunyai kepandaian lebih tinggi, masih dapat kabur dengan menderita luka berat. Yang lainnya semua roboh binasa! Kejadian itu ada begitu mengejutkan, sehingga bukan saja Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, tapi Thiekoay sian dan Loei Tjin Tjoe pun jadi lebih lambat serang menyerangnya. Ketiga wanita itu lantas mendarat dan naik dari gili-gili dengan tindakan perlahan. Saat itu, kedua matanya Siauw Tjeng Hong kebentrok dengan matanya Tjia In Tjin, yang mengawasi dengan paras muka seperti tertawa, tapi bukannya tertawa. Pada saat itu, perasaan mencinta dan membenci mengaduk jadi satu. Hatinya Tjeng Hong niat memanggil, tapi mulutnya seperti terkancing. Tjia In Tjin cuma manggut-manggutkan sedikit kepalanya dan bersama dua kawannya terus menghampiri gelanggang pertempuran. Semakin dekat, mukanya wanita itu jadi semakin hebat. In Tjin berkata sembari tertawa: “Hei kawan hidup! Pengtjoan Thianlie sudah datang. Apa kau enak hati masih terus hinakan anak cucunya? Lekas simpan tongkat pemukul anjing itu!” Mendengar perkataan itu, hatinya Tjeng Hong mencelos. Ia sama sekali tidak mengimpi, bahwa wanita yang begitu cantik seperti Tjia In Tjin sudah mau menjadi isterinya Thiekoay sian yang begitu jelek rupanya. Thian Oe juga tidak kurang kagetnya. Sekarang dapat dipastikan, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang mukanya seperti mayat. Mendadak gadis Tsang itu berkata sembari tertawa: “Thianlie tjietjie, anak muda itu adalah orang baik. Tjietjie, jangan bikin takut padanya.” Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie usap kepalanya dan rambutnya yang seperti rumput jatuh ke bawah. Rambut itu adalah rambut palsu. Ia buka jubah luarnya dan usap kedua tangannya. Sekarang kelihatan, bahwa jeriji-jeriji yang seperti cakar ayam adalah jeriji palsu dari sarung tangan. Paling belakang ia usap mukanya dan locoti satu kedok. Pada saat itu, Tan Thian Oe jadi kesima! Peng Tjoan Thian Lie/ 冰川天女 Disitu ia berdiri, cantik dan agung laksana satu dewi atau bidadari. Badannya yang langsing ditutup dengan baju warna biru telaga, mukanya bundar laksana rembulan tanggal lima belas, kedua alisnya panjang dan lentik, biji matanya yang bersinar terang berwarna agak kebiru-biruan, mulutnya kecil seperti buah engtoh yang masak, yang agaknya selalu tersungging senyuman, rambutnya yang hitam jengat dikepang jadi dua cacing yang pada ujungnya diikat dengan sutera merah, kulitnya halus ibarat batu kemala yang bersinar terang lantaran kena sorotnya salju dan sebagai pelengkap dari itu semua, gerakannya ayu dan halus! Tan Thian Oe sering bayangkan kecantikannya Pengtjoan Thianlie, tapi apa yang sekarang ia saksikan adalah melebihi dari segala lamunannya. Pengtjoan Thianlie menyapu dengan matanya dan berkata: “Tolong berhenti bertempur!” suaranya halus, tapi sangat berpengaruh. Thiekoay sian tarik pulang tongkatnya dan loncat berdiri di dampingnya Tjia In Tjin. Loei Tjin Tjoe juga lintangkan pedangnya di depan dada dengan paras muka yang heran sekali. Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: “Loei Tjin Tjoe, lepaskan pedangmu. Berlutut tiga kali di hadapan Siauw sinshe dan lantas turun gunung!” Ia ucapkan perkataannya dengan lagu suara seperti seorang tingkatan lebih tua kepada orang dari tingkatan lebih muda. Loei Tjin Tjoe terkesiap. Lantaran terlalu gusar, ia jadi tertawa besar. “Siapa kau?” ia tanya. “Dengan andalkan apakah, kau berani perintah aku berlutut di hadapannya?” Loei Tjin Tjoe adalah jago terutama dari tingkatan kedua partai Boetong pay. Di sebelahnya itu, usianya sudah empat puluh tahun lebih, sedang Pengtjoan Thianlie baru kira-kira berusia dua puluh tahun. Juga harus diingat, bahwa sudah banyak tahun ia mendapat nama besar di kalangan Kangouw, sehingga adatnya jadi sombong sekali. Maka itulah dapat dimengerti, perutnya seperti mau meledak waktu dengar perkataannya nona yang cantik itu. . “Apa bunyinya larangan kedua belas dari Boetong pay?” tanya Pengtjoan Thianlie. Bunyinya larangan ke 12 adalah: “Harus dapat membedakan yang mana benar, yang mana salah. Dalam segala urusan, harus tanya diri sendiri, apakah ada berbuat kesalahan atau tidak. Dilarang, dengan andalkan kekuatan, menghina orang.” Loei Tjin Tjoe terkejut. Ia merasa heran, kenapa wanita itu yang tinggal di atas Puncak Es, bisa mengetahui larangan-larangan dari partainya. “Urusanmu aku sudah tahu semuanya,” berkata lagi Pengtjoan Thianlie. “Asal mulanya adalah salahmu sendiri. Tapi lantaran ingat walaupun hatimu kurang baik, tapi kau bukannya melakukan kedosaan besar, dan juga sebab dalam urusan itu terselip tangannya orang jahat, maka aku ampuni kau dari hukuman mati. Hayo lekas haturkan maaf kepada Siauw sinshe!” Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu, mendelik. “Biarpun andaikata kau ini adalah tjianpwee dari Boetong pay, kau masih tidak dapat campur urusanku,” kata ia dengan suara keras. “Perlu apa aku ladeni omongan segala perempuan yang masih ada pupuknya!” Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berubah. “Murid siapa kau? Berani buka suara begitu besar!” kata ia. Loei Tjin Tjoe lintangkan pedangnya sembari mengawasi dengan sorot mata gusar dan tidak sahuti pertanyaannya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, Thiekoay sian lantas talangi: “Dia adalah muridnya tjiangboen (pemimpin) Boetong pay, Hian In Toodjin.” Hian In adalah soetit-nya (keponakan murid) Moh Tjoan Seng. Biarpun memegang tampuk pimpinan, tapi lantaran suka sekali berkelana, ia jadi tidak banyak mengurus urusan partai, dan dari sebab begitu, semakin lama Loei Tjin Tjoe jadi semakin besar kepala. “Apa yah?” kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. “Aku dengar peraturan Boetong pay dijaga dengan keras sekali, sedang perbedaan antara tingkatan tua dan muda sangat diindahkan. Apakah sekarang keadaan sudah berobah? Kalau begitu, orang-orang tua dari partaimu sudah tak dapat mengurus kau, akulah yang mau talangi mereka mengurus kau!” Loei Tjin Tjoe tidak dapat menahan sabar lagi. Ia kebas pedangnya dan loncat maju. “Baiklah! Cobalah! Aku Loei Tjin Tjoe bersedia buat terima pengajaranmu!” ia berteriak. “Oh, kalau begitu kau mau adu pedang denganku?” tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. Ketika itu kedua tangannya kosong, sedang ia pun tidak membawa senjata. Selagi Tjia In Tjin mau serahkan pedangnya, Pengtjoan Thianlie berkata: “Tak usah!” Ia lantas jalan menuju ke pinggir telaga dan jumput sepotong es, yang berbentuk toya. Dengan menabas beberapa kali sama tangannya, potongan es jadi merupakan sebatang pedang. Sembari mesem Thianlie sabetkan pedang es itu. “Loei Tjin Tjoe,” kata ia. “Jika kau dapat melayani aku dalam sepuluh jurus, aku akan biarkan kau berbuat sesuka hati terhadap Siauw sinshe.” Waktu itu adalah kira-kira tengah hari dan sang matahari pancarkan sinarnya yang hangat dan gilang gemilang. Sedang kepingan-kepingan es yang ngambang di atas sungai es sudah mulai lumer, apalagi es yang tercekal dalam tangan, yang menerima hawa hangat dari badan manusia. Mendengar perkataannya Thianlie, Siauw Tjeng Hong jadi terkejut. “Taruh kata Loei Tjin Tjoe tak dapat putuskan pedang es itu, dalam tempo cepat es itu toh akan menjadi lumer. Bukankah dengan demikian Pengtjoan Thianlie bikin jiwaku jadi seperti lelucon?” Loei Tjin Tjoe lantas saja tertawa besar. “Baiklah,” kata ia. “Inilah ada perjanjian yang dikatakan olehmu sendiri. Dan di pihakku, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat putuskan pedang es itu, aku akan berlutut di hadapanmu!” “Kemauanku adalah kau mesti berlutut di hadapan Siauw sinshe,” kata Thianlie. “Sudah, jangan banyak bacot. Aku turut segala perkataanmu. Sambutlah!” Pedangnya lantas berkelebat dan coba tabas pedang es itu. “Jurus pertama!” Thiekoay sian menghitung dengan suara keras. Sabetan pertama cepat bukan main, ditambah dengan tenaga dalam yang sudah dilatih oleh Loei Tjin Tjoe puluhan tahun lamanya. Jangan kata es, biarpun senjata logam akan putus kena sabetannya itu. “Bagus!” kata Thianlie sembari mesem dan pedang es berkelebat meluncur ke arah jalanan darah Hiankie hiat di bagian dada. Serangan itu dilakukan dari suatu kedudukan (posisi) yang tak dapat diduga, sedang Hiankie hiat adalah jalanan darah yang kalau ketotol dapat membinasakan orang. Loei Tjin Tjoe terkesiap. Dengan Seantero kemampuannya ia membungkuk buat tarik pulang tenaganya yang sudah dikeluarkan, dan dengan lintangkan pedangnya serta menggunakan banyak tenaga, barulah ia dapat punahkan serangan yang sangat berbahaya itu. Sembari mesem, Pengtjoan Thianlie tarik pulang pedang esnya dan gebrakan pertama sudah selesai. Sesudah bikin rapi lagi kedudukannya, Loei Tjin Tjoe mendadak lakukan tiga serangan beruntun. Itulah serangan dari ilmu pedang Lianhoan Tokbeng Kiamhoat (Ilmu pedang berantai membetot jiwa), yang sangat hebat dan sukar dijaga. “Ilmu pedangmu masih jauh dari sempurna,” kata Thianlie sembari tertawa. Badannya bergerak dan dalam sekejap sudah membalas dengan tiga serangan pula. Setiap serangan berbeda satu dengan lainnya dan perubahan itu dibikin selagi sang pedang es tengah menyambar. Sedang serangan Loei Tjin Tjoe dengan mudah dapat dipunahkan, serangannya Thianlie sudah membikin matanya Tjin Tjoe menjadi kabur, sehingga ia terpaksa main mundur dan main kelit. Sementara itu, Thiekoay sian sudah menghitung empat kali. Loei Tjin Tjoe terkesiap sebab ternyata ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie adalah ilmu pedang Tatmo Kiamhoat dari Boetong pay! Tatmo Kiamhoat yang tulen telah menjadi hilang pada jaman Kerajaan Goan, dan baru pada permulaan Kaisar Konghie (Tjeng), barulah Sin Liong Tjoe dapat cari lagi itu ilmu pedang yang sejati, yang belakangan diwariskan kepada Koei Tiong Beng. Lantaran begitu, Koei Tiong Beng menjadi leluhur dari Boetong pay cabang Utara. Tapi oleh karena Tatmo Kiamhoat luar biasa sukarnya dan di sebelahnya itu, pulangnya lagi ilmu pedang tersebut belum berapa lama, maka selama beberapa puluh tahun, jumlahnya orang yang benar-benar sudah dapat mewarisi tidaklah lebih dari beberapa orang saja. Loei Tjin Tjoe adalah murid dari Boetong pay cabang Selatan. Walaupun ilmu pedang Boetong Selatan dan Boetong Utara belakangan berendeng bersama-sama, akan tetapi, pengetahuan orang-orang cabang Selatan terhadap Tatmo Kiamhoat ada lebih rendah daripada orang-orang cabang Utara. Loei Tjin Tjoe sendiri tentu saja pernah belajarkan Tatmo Kiamhoat, tapi belum sampai pada puncak yang tinggi. Ketika lihat ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie malahan lebih tinggi dari gurunya sendiri, dapat dimengerti kalau Loei Tjin Tjoe jadi kaget bukan main. “Apakah tidak bisa jadi, perempuan ini benar-benar orang tingkatan atas dari Boetong pay?” tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat satu hal dan hatinya jadi lebih bingung lagi. Tapi, selagi ia mau buka mulut buat menanya, ia lihat Thiekoay sian mengawasi padanya dengan meseman mengejek, sehingga hatinya jadi panas sekali. “Baiklah! Biar aku buang-buangan jiwaku sekali ini,” demikian ia kata dalam hatinya. Ketika itu Thianlie berdiri dengan sikap tenang, ujung pedangnya menuding dirinya, tapi tidak mau bergerak lebih dahulu. Inilah ada sikapnya orang dari tingkatan lebih tua jika menghadapi orang tingkatan muda. Dengan adanya kelambatan begitu, pedang es yang dicekal oleh Thianlie sudah lumer sebagian dan air es tak hentinya mengetel-ngetel. Pedang es itu sudah jadi lebih tipis dan lebih kecil. Tiba-tiba saja Loei Tjin Tjoe ingat suatu cara yang sangat beracun. “Baiklah!” kata ia dalam hatinya. “Bagus sekali jika kau tidak mau menyerang. Aku pun tidak mau buka serangan. Asal pedang esmu lumer, tanpa bertempur aku sudah dapat kemenangan!” Sebelum bertempur, mereka sudah janji bahwa pertempuran dilakukan dengan menggunakan pedang. Maka itu, jika pedang esnya Thianlie lumer sampai habis dan belum bisa dapat kemenangan, Loei Tjin Tjoe tidak bisa disalahkan menarik keuntungan dengan akal bulus. “Hei! Loei Tjin Tjoe. Kau kenapa?” tanya Thiekoay sian dengan paras muka gusar. Yang ditanya tidak meladeni. Ia cekal pedangnya dan mengawasi Thianlie dengan mata tajam. Tapi Pengtjoan Thianlie tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia kembali mesem. “Dengan adanya niatanmu yang kurang baik, baiklah aku wakilkan Hian In Tootiang memberi pelajaran kepadamu,” kata ia. Sehabis berkata begitu, kedua jerijinya mementil dan air es menyambar ke arah Tjin Tjoe. Mendadakan saja ia rasakan kedua matanya kabur, beberapa ketel air es mengenakan tepat pada mukanya dan sakitnya menembus ke tulang-tulang. Dalam keadaan yang kabur itu, Pengtjoan Thianliee mendadak kirim satu serangan aneh. Sebagaimana biasanya orang yang pandai silat, reaksi badan dan tangannya semua terjadi tanpa merasa. Begitu ada gerakan musuh, gerakan membela diri muncul secara otomatis. Demikianlah, begitu lihat Thianlie bergerak, tangannya Loei Tjin Tjoe yang mencekal pedang juga lantas bergerak buat mendahului menyerang. Tapi baru saja pedangnya menyambar sampai di tengah jalan, ia ingat bahwa dengan berbuat begitu, ia jadi masuk dalam perangkap. Ia niat tarik pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu. Hampir pada detik yang bersamaan, ia rasakan tenggorokannya dingin. Pedang esnya Pengtjoan Thianlie ternyata sudah menempel pada tenggorokannya! Tenggorokan adalah bagian tubuh manusia yang lemah dan jika Thianlie sedikit saja menggunakan tenaganya, jiwanya Loei Tjin Tjoe akan segera melayang! Thianlie tertawa sembari berkata: “Sebenarnya aku mau lihat kepandaianmu dalam sepuluh jurus, buat mendapat tahu sampai bagaimana jauh majunya pelajaranmu. Tapi lantaran hatimu kurang bersih, aku kurangkan separuh dan cuma jajal kau dalam lima jurus? Apa di hari kemudian kau masih berani kurang ajar terhadap orang yang lebih tinggi tingkatannya? Apa kau masih berani hinakan orang dengan andalkan kegagahanmu?” “Kau, apakah kau puterinya Koei Soesioktjouw?” tanya Loei Tjin Tjoe dengan suara gemetar. “Kau menebak jitu,” sahut Thianlie. “Koei Soesioktjouw” yang disebutkan oleh Loei Tjin Tjoe adalah Koei Hoa Seng. Di antara tiga saudara dalam keluarga Koei, Koei Hoa Seng yang paling muda usianya, tapi yang paling tinggi kepandaiannya dalam ilmu pedang. Loei Tjin Tjoe pernah dengar penuturannya orang tua-tua, bahwa Koei Hoa Seng telah meninggalkan daerah Tionggoan dengan hati penuh kegusaran. Dan sungguh tidak terduga, puterinya Koei Hoa Seng bisa berada di Thian-ouw (Telaga Namtso). Loei Tjin Tjoe keluarkan helahan napas dan lemparkan pedangnya. Sesudah itu, ia hampiri Pengtjoan Thianlie dan berlutut tiga kali. Pedang es sudah lumer dan cuma ketinggalan satu kepingan kecil saja. Sembari tertawa Thianlie gosok kedua telapakan tangannya dan es yang ketinggalan lantas lumer menjadi air. Mendadak mukanya berubah dan membentak: “Kau belum mau jalankan kehormatan kepada Siauw sinshe?"
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |