Pada waktu biasa, girang dan gusarnya sang guru jarang terlukis di atas mukanya, tapi sekarang ia kelihatannya sangat dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga Thian Oe jadi merasa heran.
“Tjia In Tjin adalah seorang wanita cantik dan ilmu silatnya pun sangat tinggi,” Siauw Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. “Di sebelahnya itu, adatnya juga sangat ramah-tamah. Dalam perguruan, aku dan ia memang masih terhitung ada sangkut pautnya. Dalam kalangan Rimba Persilatan memang tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang dapat bergaul secara bebas sekali. Maka itulah, ketika Moh Tayhiap mengadakan Kiatyan, aku dan ia sudah bergaul rapat.” Biarpun Thian Oe masih belum mengenal urusan cinta, akan tetapi, dengan melihat cara bicara gurunya, ia sudah dapat menebak, bahwa gurunya sangat menyukai wanita yang bernama Tjia In Tjin itu. “Pada suatu hari,” kata sang guru selanjutnya. “Aku dan ia rundingkan ilmu pedang dari berbagai partai. Menurut ia, dalam jaman ini,- biarpun ilmu pedang Boetong tersohor dan menjagoi di Tionggoan, akan tetapi dalam soal pukulan aneh dan kemujijatan, ilmu pedang Gobie paling terutama. “Lain-lain partai semuanya berada di sebelah bawah dan tidak berharga buat dirundingkan, demikian katanya. Aku tidak nyana ia begitu temberang. Ketika itu aku masih berusia muda dan berdarah panas dan lantas saja berkata: “Aku rasa perkataanmu tidak begitu tepat. Kau harus mengetahui, bahwa saban cabang persilatan masing-masing mempunyai kebagusannya sendiri. Dalam hal ilmu silat tidak ada yang boleh dibilang nomor satu dalam dunia.” Mendengar omonganku, ia cuma tertawa dingin dan tidak berkata apa-apa lagi. “Di antara orang-orang yang hadir dalam perhimpunan, Loei Tjin Tjoe adalah ahli dari Boetong, Tjoei In Tjoe jagoan dari Khongtong, sedang Ong Lioe Tjoe adalah muridnya The Peng, seorang ahli silat kenamaan di Djielam. Tjoei In Tjoe mempunyai satu adik lelaki, Tjoei Ie Tjoe namanya, yang juga masuk Gobie pay. Tak tahu lantaran apa, Ie Tjoe telah diusir keluar dari perguruan, dan pada tahun itu, ia pun hadiri ceramahnya Moh Tayhiap. Empat orang itu sering berada sama-sama dan mereka bergaul rapat dengan aku. “Satu hari, kita kembali bicarakan ilmu silatnya berbagai partai, Loei Tjin Tjoe mengatakan, bahwa Moh Tayhiap yang menjadi tjiangboen (pemimpin) dari Boetong pay, mempunyai ilmu silat yang sedemikian tinggi, sehingga sudah tentu ilmu silat Boetong adalah yang paling bagus di kolong langit. Aku tidak setuju dan lantas berkata: “Bakatnya orang berbeda satu sama lain, latihannya juga tidak bersamaan. Maka itu, kalau sang guru nomor satu dalam dunia, murid-muridnya belum tentu semua nomor satu. Mendengar perkataanku, Loei Tjin Tjoe lantas saja menantang buat adu pedang dengan syarat lantas berhenti, jika ada yang kena ketowel. Dalam pertandingan, aku yang kalah. Akan tetapi, aku telah kirim pukulan Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi), yaitu pukulan istimewa dari Tjengshia pay, yang telah dapat tembuskan tangan bajunya Loei Tjin Tjoe. Biarpun kalah, aku jadi bukannya kalah seluruhnya. Sesudah bertanding, Loei Tjin Tjoe tertawa terbahak-bahak dan puji tinggi ilmu silatku. Melihat ia tidak sombong dalam kemenangannya, hatiku menjadi lega. “Cuma saja, sesudah mendapat pengalaman begitu, aku mengambil putusan buat tidak mau sembarangan adu pedang lagi. Tapi dalam dunia sering terjadi apa-apa yang tidak diduga-duga. Belum lewat tiga hari sesudah mengambil keputusan begitu, aku kembali terpaksa mengadu pedang.” “Ahli silat panai mana lagi yang berlaku sombong dan soehoe tidak merasa senang?” tanya Thian Oe.“Bukan,” jawab sang guru. “Kejadiannya terjadi satu malam sebelum Moh Tayhiap bubarkan perhimpunan. Ong Lioe Tjoe mendadak datang sendirian dan tarik tanganku buat diajak omong di tempat sepi. Ia bilang Gobie Liehiap Tjia In Tjin mau jajal ilmu silatku dan minta ia sampaikan keinginannya kepadaku. Selainnya itu dijanjikan kedua belah pihak memakai kedok dan pertandingan dilakukan di belakang gunung pada jam tiga pagi. Sesudah bertanding, kedua belah pihak lantas bubaran dan anggap seperti tidak kejadian suatu apa. Dengan cara begini, siapa yang menang dan siapa yang kalah, tidak akan merasa kurang enak hati. Aku menolak, tapi Ong Lioe Tjoe lantas berkata sembari tertawa: ‘Hm! Kau benar tolol! Tjia In Tjin sebenarnya ada hati terhadapmu, apa kau tak tahu? Ia sangat kagumi budi pekertimu, cuma belum mendapat tahu tinggi rendahnya ilmu silatmu. Sesudah aku omong begitu terang, apa kau belum mengerti maksudnya?’ Mendengar begitu, hatiku jadi goncang dan menyetujui. Tapi siapa nyana, disitu terselip satu akal busuk.” “Bagaimana?” tanya Thian Oe. Kedua matanya Siauw Tjeng Hong mengawasi ke tempat gelap dengan mendelong dan kemudian berkata lagi: “Kau harus mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw, jika seorang pria dan seorang wanita saling penuju, mereka paling suka menjajal ilmu silat, seperti caranya kalangan sastrawan adu bikin syair. Maka itu, mendengar perkataannya Ong Lioe Tjoe, aku jadi girang bukan main. Akan tetapi, setelah mengingat bahwa Tjia In Tjin adalah orang terpandai dalam tingkat kedua Gobie pay, hatiku kembali merasa sangsi. “Ong Lioe Tjoe seperti dapat baca jalannya pikiranku dan ia lantas berkata sembari tertawa: Mengenai ilmu silat dan ilmu pedang, mungkin sekali kau masih kalah sedikit, akan tetapi, kalau di dalam beberapa puluh jurus saja, Jcau tentu tidak sampai menjadi kalah. Ia suka sekali menggunakan pukulan Lengkim liantjie (Burung malaikat tarik sayapnya), dan dalam puluhan jurus itu, pukulan tersebut rasanya mesti dikeluarkan sedikitnya satu kali. Pukulanmu Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi) justru adalah pukulan yang dapat pecahkan Lengkim liantjie.’ Memang juga, sesudah Tjengshia pay lepaskan diri dari Gobie pay, telah digubah banyak sekali pukulan yang menjadi lawannya pukulan Gobie. Maka itu, perkataannya Ong Lioe Tjoe bukannya dusta. “Pada besok malamnya, sesuai dengan perjanjian, aku pergi ke gunung belakang. Malam itu gelap-gulita, sedang sang angin meniup keras sekali, sehingga orang tidak dapat melihat suatu apa dalam jarak yang lebih dari sepuluh tindak. Setibanya di gunung itu, benar saja aku lihat bayangan orang yang memakai baju hitam dan mukanya ditutup kedok. Potongan badannya orang itu bersamaan dengan badannya In Tjin. Aku dihinggapi perasaan tegang dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Sesudah cabut pedang, aku segera menyerang. Orang itu balas menyerang seperti hujan angin dengan serangan-serangan yang membinasakan, seakan-akan ia sedang adu jiwa. Aku kaget bukan main. Apakah Tjia In Tjin maukan jiwaku? Akan tetapi aku berbalik pikir, mungkin sekali ia sengaja berbuat begitu, supaya aku keluarkan segala kepandaianku. Aku tak dapat memikir panjang-panjang lagi sebab serangannya semakin hebat. Mau tidak mau aku mesti keluarkan segala rupa kebisaanku buat layani padanya. Dengan cepat tiga puluh jurus sudah lewat, tapi sebegitu jauh bukan saja pukulan Lengkim liantjie tidak muncul, malahan cara bersilatnya tidak mirip-mirip ilmu pedang Gobie dan lebih mirip dengan ilmu pedang Boetong. Bukan main heranku. Selagi mau menanya, dari tempat gelap mendadak loncat keluar tiga orang yang lantas saja kerubuti aku. Sedang melawan satu orang saja, aku sudah kewalahan, bagaimana ditambah lagi dengan tiga musuh tangguh? Dalam sekejap, aku menghadapi bahaya. “Dengan lantas aku berteriak: “Hei! Aku ini adalah Siauw Tjeng Hong dari Tjengshia pay. Siapakah adanya kau orang?” Teriakanku cuma disambut dengan tertawa dingin oleh tiga musuh. Mendadakan terdengar satu suara tertawa nyaring. Berbareng dengan itu, satu wanita baju hijau loncat turun dari atas pohon. Ia tidak memakai kedok.” “Apa ia Tjia In Tjin?” menanya Thian Oe. “Benar,” jawab sang guru. “Ia benar Tjia In Tjin. Aku jadi bengong lantaran kaget. Tiba-tiba aku dengar sambaran golok dari samping dan satu bayangan hitam melesat ke arahku. Hampir pada detik yang bersamaan, sebatang pedang yang mengkilap sudah sampai di depan mukaku dan pukulan yang digunakan adalah Lengkim liantjie. Pikiranku sedang kalut, dan buat tolong jiwa, tanpa merasa aku menyambut dengan pukulan Senglo kogoan. Orang itu keluarkan jeritan keras sebab satu lengannya kena terbabat kutung. Pada saat itu juga, pedangnya In Tjin menyambar dan binasakan padanya! “Aku berteriak, tapi pedangnya In Tjin sudah menyambar lagi dua kali dan persen dua bacokan pada mukanya lawanku yang pertama. Dengan dua kali suara “srt”, kedoknya robek, dan biarpun dalam kegelapan, aku masih dapat lihat darah yang berketel-ketel. Lantaran kesakitan, orang itu cakar mukanya dan kedoknya jatuh. Melihat mukanya, aku jadi terkesiap!” “Apakah soehoe jadi kaget sebab lihat mukanya tidak keruan macam?” tanya Thian Oe. “Benar,” jawab Tjeng Hong. “Mukanya ditapak jalak, sedang biji matanya yang sebelah kiri kena ditusuk pedang, sehingga meletos keluar dan kelihatannya menakuti sekali! Tapi itu belum seberapa. Begitu mengenali siapa adanya ia, aku jadi lebih-lebih kaget. Apakah kau bisa tebak dia siapa?” Mendengar penuturannya sang guru, hatinya Thian Oe berdebar-debar dan waktu gurunya menanya, seperti orang kesima, ia balas menanya: “Siapa ia?” Siauw Tjeng Hong tarik napas beberapa kali. “Loei Tjin Tjoe!” kata ia dengan suara sember. “Ah! Kenapa Loei Tjin Tjoe?” kata Thian Oe. “Tangannya Tjia In Tjin cepat sekali,” Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. “Sesudah lukakan Loei Tjin Tjoe, sembari tertawa nyaring, tangan kanannya yang mencekal pedang menyabet satu kali, sedang tangan kirinya terayun dan beberapa senjata rahasia menyambar. Dua orang lantas saja terguling. Antara empat orang yang sedang bertempur denganku, satu binasa, tiga mendapat luka. Sebelum dapat tetapkan semangatku, Tjia In Tjin sudah berkata sembari tertawa: “Kau juga sebenarnya harus terima satu bacokan. Tapi mengingat kau sudah membantu aku, maka aku suka mengampuni!” Sesudah berkata begitu, ia enjot badannya dan lantas menghilang di tempat gelap. “Aku nyalakan umpan api dan buka kedoknya ketiga orang itu. Begitu lihat, aku jadi lebih-lebih terperanjat, sebab yang binasa adalah Tjoei Ie Tjoe, yang kena senjata rahasia adalah Ong Lioe Tjoe, yang kebacok adalah Tjoei In Tjoe, sedang Loei Tjin Tjoe menggoser di atas tanah. Aku menghampiri dengan niat tolong bebet lukanya, tapi ia membentak dengan suara keras: “Pergi!” Ong Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga mengawasi dengan mata gusar. Dalam malam yang gelap itu, tiga pasang mata yang bersinar mengincar diriku, seakan-akan matanya binatang liar yang mengawasi sang pemburu. Aku mengkirik, balik badan dan lantas kabur sekeras mungkin, tanpa pamitan dengan Moh Tayhiap.” “Dilihat begitu, Loei Tjin Tjoe agaknya sengaja mau celakakan soehoe,” kata Thian Oe. “Tapi kenapa, ia juga pancing Gobie Liehiap Tjia In Tjin datang kesitu?” “Kau cuma dapat menebak separoh,” jawab sang guru. “Belakangan aku baru tahu, bahwa Loei Tjin Tjoe-dan Tjoei Ie Tjoe kedua-duanya pernah melamar In Tjin. Lamarannya Loei Tjin Tjoe ditolak sehingga ia mendapat malu besar, sedang Tjoei Ie Tjoe, sebab mau coba nodai soetjie-nya (kakak perempuan seperguruan), sudah diusir dari rumah perguruan. Malam itu, Loei Tjin Tjoe sudah janjikan In Tjin buat mengadu pedang, dengan masing-masing memakai kedok. Diam-diam ia atur tiga kawannya buat membantu padanya. Lantaran masih kuatir tak dapat menangkan In Tjin, ia perintah Ong Lioe Tjoe pancing diriku. “Loei Tjin Tjoe sebenarnya niat menarik keuntungan selagi aku dan In Tjin bertempur. Tapi, dengan menggunakan siasat yang sampai sekarang tidak diketahui olehku, sebelum tiba jam yang dijanjikan, Tjia In Tjin berhasil pancing keluar Loei Tjin Tjoe, yang, dengan serupa tangan jahat, sudah dibikin kalang-kabut jalan darahnya, sehingga otaknya menjadi kalut. “Malam itu, lantaran tidak sabaran, aku sudah tiba di gunung sebelum jam tiga. Lantaran gelap dan sebab badannya Loei Tjin Tjoe hampir bersamaan dengan tubuhnya Tjia In Tjin, aku jadi bergebrak dengan ia. Belakangan datanglah Tjoei In Tjoe bertiga. Mereka duga aku sudah mengetahui akal busuknya dan berbalik membantu Tjia In Tjin. Maka itu, mereka lalu menyerang. Tjoei Ie Tjoe adalah murid Gobie pay dan tanpa disengaja, ia sudah menyerang dengan pukulan Lengkim liantjie, sehingga menemui ajalnya. Jika malam itu tidak terjadi salah mengerti, biarpun ilmu silatnya In Tjin lebih tinggi lagi, aku rasa ia sukar dapat melawan empat musuhnya itu. “Loei Tjin Tjoe sebenarnya mempunyai paras yang cakap dan bergelar Giokbin Holie (Rase muka batu kemala). Sekarang mukanya rusak dan satu matanya menjadi buta. Dengan begitu, ia jadi sangat sakit hati terhadap aku dan In Tjin. Tjoei In Tjoe sendiri menaruh dendam lantaran kebinasaan adiknya. Ong Lioe Tjoe kena terpanggang jarum beracunnya In Tjin, dan sesudah lukanya sembuh, pada tempat bekas luka tumbuh daging lebih. Di sebelahnya itu, ilmu silatnya pun tidak dapat pulih kembali seperti sediakala. Sesudah peristiwa malam itu, Tjia In Tjin tidak kelihatan mata hidungnya lagi. Tiga orang itu lantas saja tumpleki kegusarannya atas diriku dan selama sepuluh tahun, ubak-ubakan mencari aku buat dibinasakan.” Thian Oe dengarkan penuturan gurunya dengan perasaan seram sekali. “Kalau begitu soehoe menjadi sinshe dan kemudian ikut kita ke Tibet, lantaran mau menyingkirkan diri dari mereka,” kata Thian Oe. “Ya!” kata Siauw Tjeng Hong sembari menghela napas panjang. “Sesudah peristiwa malam itu, lantaran jengkel dan kuatir, rambutku menjadi putih sebelum waktunya. Cuma ada satu hal yang aku masih belum dapat tahu terang. Sebab apa Ong Lioe Tjoe mau membantu Loei Tjin Tjoe memasang jebakan itu? ” “Apakah itu orang yang kena ditendang jatuh kedalam jurang oleh soehoe?” tanya Thian Oe. “Benar,” jawabnya. “Lantaran terdesak, aku terpaksa binasakan padanya. Dendaman ini jadi semakin dalam saja. Sepanjang warta, sesudah mendapat luka, Loei Tjin Tjoe terus menerus berlatih dan sekarang ilmu silatnya sudah maju jauh sekali. Belasan tahun berselang, aku sudah bukan tandingannya, dan kalau sekarang bertemu lagi, jiwaku tentu akan melayang!” “Sesudah mendengar penuturan soehoe, aku merasa, bahwa biarpun perbuatannya Loei TjinTjoe dan kawan-kawannya tidak pantas, akan tetapi tangannya Tjia In Tjin juga terlalu kejam,” kata Thian Oe. Mendadak Siauw Tjeng Hong kelihatan seperti orang terkesiap. Di antara menderunya angin, terdengar suara tertawa. Di lain saat, dari luar menyambar serupa benda. … Tjeng Hong kelit sembari loncat keluar tenda. Akan tetapi, kecuali semburan air panas dan sinarnya rembulan, diluar tidak kelihatan barang satu manusia. Tjeng Hong terkejut. Ilmu entengi badan orang itu ternyata luar biasa tingginya, sebab dalam tempo yang begitu pendek, ia sudah dapat menyingkirkan diri. Dengan hati bimbang Tjeng Hong masuk lagi ke dalam tenda. “Lihatlah soehoe!” kata Thian Oe dengan suara sedikit gemetar, sambil menuding dengan telunjuknya. Tjeng Hong mengawasi ke tempat yang ditunjuk oleh muridnya. Ia lihat sepotong kulit kerbau, bagian atasnya menembus dan nyangkol di tenda, sedang bagian bawahnya tergulung. Lagi-lagi Tjeng Hong terkejut. Walaupun kulit itu lebih tebal dari kertas, akan tetapi sebagaimana diketahui, kulit bukannya benda yang dapat digunakan buat menimpuk. Bahwa orang itu dapat menggunakan kulit seperti senjata rahasia yang menancap pada kain tenda, dapatlah dibayangkan berapa tinggi tenaga dalamnya. Thian Oe ambil kulit kerbau itu yang di atasnya terdapat dua baris huruf, ditulis dengan menggunakan kuku dan berbunyi seperti berikut: “Di atas telaga dan lautan terumbang-ambing belasan tahun, Hanya di Kanglam dan Gobie Utara menetap buat sementara. Tuan-tuan lekas pergi ke telaga Thian-ouw (Telaga Namtso), Cari seorang yang dijuluki Thiekoay sian.” Kedua matanya Siauw Tjeng Hong keluarkan sinar terang dan berkata seorang diri: “Tadinya aku kira Loei Tjin Tjoe. Siapa tahu yang datang adalah Thiekoay sian (Dewa tongkat besi). Ih, inilah sungguh mengherankan!” “Siapa Thiekoay sian?” tanya muridnya. “Pada dua puluh tahun berselang, Thiekoay sian adalah seorang pendekar aneh yang malang melintang di daerah Kanglam. Katanya, ia adalah muridnya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Sesudah binasanya Liauw In, Kam Hong Tie cabut tongkat besinya soeheng itu yang menancap pada batu di gunung Binsan dan turunkan ilmu silat tongkat kepadanya…” “Cara bagaimana tongkatnya Liauw In bisa menancap di batu gunung?” tanya Thian Oe. “Bermula, Liauw In adalah kepala dari Kanglam Pathiap (Delapan Pendekar Kanglam),” menerangkan sang guru. “Hubungan antara Liauw In dan Hong Tie adalah hubungan setengah guru (Liauw In pernah ajarkan ilmu silat kepada Hong Tie). Belakangan oleh karena Liauw In langgar sumpahnya, Tujuh Pendekar Kanglam telah binasakan dia di hadapan makam gurunya. Yang bunuh padanya adalah Liehiap Lu Soe Nio. Sesudah kalah dan sebelum tarik napasnya yang penghabisan, Liauw In timpukkan tongkat besinya ke batu gunung dari gunung Binsan, sehingga tongkatnya nancap dalam sekali di batu itu. Belakangan Kam Hong Tie cabut tongkat itu dan turunkan ilmu silat tongkat kepada muridnya, sebagai satu peringatan untuk soeheng-nya yang pernah mewakili sang guru untuk mengajar ia. Nama muridnya Hong Tie adalah Lu Tjeng. Sesudah mendapat tongkatnya sang supeh, ia robah namanya menjadi Thiekoay (Tongkat besi). Hong Tie ajarkan ia 108 jalan ilmu silat tongkat yang dinamakan Hokmo Tianghoat (Ilmu silat Tongkat takluki iblis), dan oleh karena begitu, ia jadi dikenal sebagai Thiekoay sian.” “Apakah Thiekoay sian mempunyai hubungan dengan soehoe?” tanya Thian Oe. “Waktu aku baru keluar dari rumah perguruan, namanya sudah tersohor di kalangan Kangouw. Aku sangat kagumi ia, tapi belum mempunyai kesempatan buat bertemu muka,” jawab Siauw Tjeng Hong. “Kalau begitu soehoe belum kenal Thiekoay sian. Tapi kenapa ia djanjikan kau buat bertemu di Thian-ouw (Telaga Namtso)?” kata lagi sang murid. “Yah, aku juga sedang pikirkan sebabnya,” jawab Siauw Tjeng Hong. “Kedatanganku di Thianouw adalah buat cari satu orang luar biasa. Jika disitu aku juga bisa bertemu dengan Thiekoay sian, kejadian itu sungguh menggirangkan.” Omong-omong sampai disitu, Thian Oe ingat perkataannya itu wanita Tsang. “Orang yang soehoe cari, apa masih mempunyai hubungan dengan Pengtjoan Thianlie?” tanya ia. “Apa? Pengtjoan Thianlie?” menegasi sang guru. “Nama itu kedengarannya luar biasa, tapi aku belum pernah dengar. Siapakah Pengtjoan Thianlie?” “Aku pun tidak mengetahui,” jawab Thian Oe. “Tapi menurut gadis Tsang itu, ia juga berdiam di Thian-ouw (Telaga Namtso).” Sehabis berkata begitu, Thian Oe lantas tuturkan segala kejadian dalam pertemuannya sama Chena di bukit es. “Tapi, apakah aku boleh mengetahui, siapa yang sedang dicari oleh soehoe?” kata ia akhirnya. “Aku dapat dengar, adiknya Tayhiap Moh Tjoan Seng yang bernama Koei Hoa Seng telah kabur ke Tibet dan menetap di Thian-ouw (Telaga Namtso) sesudah kalah sejurus dalam pertandingan pedang melawan suami isteri Tong Siauw Lan. Cerita ini tersiar luas, akan tetapi aku sendiri tidak dapat pastikan benar tidaknya. Akan tetapi oleh karena keadaan terlalu mendesak dan kepandaiannya Loei Tjin Tjoe lebih unggul banyak daripada aku, maka sesudah pikir pergi datang, harapanku satu-satunya adalah Koei Tayhiap, yang mungkin masih dapat singkirkan bencana yang sedang mengancam.” “Kenapa adiknya Moh Tayhiap she Koei?” tanya Thian Oe. “Pernikahan antara Koei Tiong Beng tjianpwee dan pendekar wanita Moh Hoan Lian telah dikurniai tiga putera. Yang satu ambil she ayahnya, yang lain teruskan she ibunya, sedang yang satunya lagi pakai she ayah angkatnya. Yang paling tua bernama Moh Tjoan Seng, yang kedua Tjio Kong Seng, sedang yang ketiga adalah Koei Hoa Seng. Antara ketiga saudara, Moh Tjoan Seng mempunyai lweekang yang paling tinggi, sedang Koei Hoa Seng unggul dalam ilmu pedang. Tingkatannya Koei Hoa Seng sangat tinggi dan jika ia sudi menolong, Loei Tjin Tjoe tentu tak dapat berbuat apa-apa. Hai! Cuma tak tahu, apakah ia masih hidup dalam dunia ini!” “Bagaimana kalau kepandaiannya Thiekoay sian dibandingkan dengan Loei Tjin Tjoe?” tanya Thian Oe. “Sesudah berpisahan belasan tahun, aku tidak tahu, sampai dimana kemajuan Loei Tjin Tjoe,” sahut sang guru. “Akan tetapi, sesudah lihat kepandaiannya Thiekoay sian yang barusan, aku kira Loei Tjin Tjoe masih belum mampu menangkan ia.” Sesudah berdiam beberapa saat, Siauw Tjeng Hong berkata lagi dengan paras muka guram: “Aku dan Thiekoay sian tidak mengenal satu sama lain dan ia djanjikan aku buat bertemu di Thian-ouw (Telaga Namtso). Apakah maksudnya itu? Loei Tjin Tjoe adalah orang Boetong pay, yang mempunyai hubungan luas sekali dalam kalangan Rimba Persilatan. Kalau Thiekoay sian datang buat membantu Loei Tjin Tjoe, kedudukanku akan lebih celaka lagi!” Thian Oe sebenarnya ingin usulkan supaya gurunya minta bantuan Thiekoay sian, akan tetapi, sesudah dengar begitu, hatinya jadi semakin tidak enak. Separoh malam guru dan murid berdiam dalam tenda yang robek itu. Angin dingin meniup keras dan rasanya meresap ke tulang-tulang. Tak lama kemudian fajar menyingsing, dan mereka lalu bereskan bekalannya. Tendanya musuh masih berada disitu. Waktu lari, mereka tidak keburu ambil tenda tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, Thian Oe lantas benahkan tenda orang. Tjeng Hong mengawasi dan berkata sembari menghela napas: “Lweekang-mu belum sempurna, sehingga kau tidak dapat menahan hawa dingin. Baiklah. Kau boleh ambil tenda itu.” Siauw Tjeng Hong dinginkan air panas yang kemudian diisikan ke dalam tiga kantong. Sesudah beres bebenah, mereka segera teruskan perjalanan dengan menunggang kuda. Hari pertama hawa udara masih lumayan, tapi di hari kedua turun hujan salju, sehingga Thian Oe menggigil lantaran kedinginan. Pada hari ketiga, biarpun udara terang, tapi hawa jadi lebih dingin sebab lumernya salju. Lewat lohor mereka keluar dari mulut gunung dan keadaan bumi jadi lebih merata, sedang kota Shigatse lapat-lapat sudah dapat dilihat. “Malam ini kita bisa sampai di Shigatse,” kata Tjeng Hong dengan suara girang. Mendadak dengan satu suara “Ih!”, paras mukanya jadi berubah. Thian Oe yang bermata jeli lantas dapat lihat, bahwa di atas satu tanjakan sedang rebah satu pengemis yang rambutnya kusut seperti rumput, sebelah mukanya terpendam dalam salju, kepalanya ditandelkan atas sebatang tongkat besi, pakaiannya rombeng, sehingga kulitnya kelihatan merah lantaran kedinginan. Thian Oe yang mempunyai hati kasihan, lantas menghampiri dan dorong badannya pengemis itu sembari berkata: “Hei! Hei! Jangan tidur disini!” Pengemis itu miringkan badannya, yang hampir-hampir jadi tergelincir. Thian Oe buru-buru angkat padanya. Pengemis itu mengulet dan mendadak membentak: “Jangan raba!” Sekarang ia baru dapat lihat, pengemis itu pincang, dengan kaki kiri lebih panjang dari kaki kanan. Ia lantas menghaturkan maaf dan menanya: “Apa kau mau makan apa-apa?” Pengemis itu perlahan-lahan angkat kepalanya dan kedua matanya kebentrok dengan matanya Thian Oe, yang jadi sangat kaget, lantaran mukanya hitam seperti pantat kuali, rambutnya awut-awutan, sedang kedua matanya bersinar tajam dingin bagaikan es. “Taruh!” kata pengemis itu. Thian Oe lantas taruh sekantong ransum kering di atas tanah. Orang itu tidak menghaturkan terima kasih, ia miringkan badannya dan sesapkan lagi mukanya ke dalam tumpukan salju. Waktu ia dongak, Thian Oe lihat kedua mata gurunya bersorot kuatir, seperti juga mau suruh ia buru-buru tinggalkan tempat itu. Thian Oe segera loloskan baju luarnya yang terbuat dari bulu onta dan kerubungi badannya pengemis itu. Sesudah itu, bersama gurunya, ia tunggang kembali kudanya. Tidak lama kemudian mereka tiba di tanah datar dan Siauw Tjeng Hong barulah bernapas lega. “Soehoe, apa ada apa-apa yang kurang baik?” tanya Thian Oe. “Apa kau perhatikan tongkat besinya?” Siauw Tjeng Hong balas menanya. Thian Oe terkejut. “Apa ia Thiekoay sian?” ia tanya. “Aku belum pernah bertemu dengan Thiekoay sian dan juga belum pernah dengar bahwa ia itu adalah seorang pincang,” kata Tjeng Hong. “Cuma saja, tongkat itu yang besarnya seperti mangkok nasi, paling sedikit beratnya tujuh puluh kati. Pengemis biasa mana bisa angkat tongkat yang begitu berat! Apalagi ia berani rebahkan diri di atas salju yang sangat dingin. Maka itulah, aku berani pastikan, ia itu bukannya orang biasa.” “Kalau ia benar Thiekoay sian, kenapa soehoe tidak mau coba-coba berkenalan?” tanya lagi Thian Oe. “Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kangouw, mana kau tahu peraturan orang Kangouw,” kata sang guru sembari geleng-gelengkan kepalanya. “Kalau ia benar Thiekoay sian, lebih-lebih lagi aku tak dapat menegur di tempat itu.” “Kenapa?” tanya sang murid. “Ia djanjikan aku bikin pertemuan di Thian-ouw (Telaga Namtso), kawan atau lawan, masih belum terang,”menerangkan Siauw Tjeng Hong. “Menurut peraturan Kangouw, sesudah tiba di Thian-ouw (Telaga Namtso), barulah aku boleh bertemu dengan ianya. Di waktu itulah, baru aku boleh dengar apa maksudnya. Andaikata kedatangannya adalah untuk sahabatnya buat jajal kepandaianku, satu pertemuan yang dibikin lebih siang dari tempo yang dijanjikan, berarti suatu kesombongan dan mau bertempur dengan ia, sebelum waktunya. Sekarang ini, kita masih belum tahu, apakah ia Thiekoay sian atau bukan. Kalau benar ia Thiekoay sian, dengan buka rahasia penyamarannya, kita juga melanggar kebiasaan Kangouw.” “Kalau ia bukannya Thiekoay sian?” tanya lagi Thian Oe. “Orang-orang aneh dari kalangan Kangouw yang kita tidak tahu benar asal-usulnya, tak dapat diganggu secara sembrono,” kata sang guru. “Apa kau lupa kejadian pada tiga hari berselang, kapan kau coba dekati manusia-manusia itu?” Thian Oe tidak berkata apa-apa, tapi hatinya kurang menyetujui perkataan gurunya. Biarpun benar waktu itu ia seperti juga menuntun anjing hutan masuk ke dalam rumah, akan tetapi, dengan menolong si anak sekolah, mereka telah mendapat bantuan yang tidak diduga-duga. Biarpun hatinya berpikir begitu, Thian Oe sungkan berbantahan dengan gurunya. Mereka lantas pecut tunggangannya yang lantas lari terlebih cepat. Kira-kira magrib, benar saja mereka tiba di kota Shigatse. Kota itu adalah kota yang kesohor di Tibet, cuma saja karena berkedudukan di tempat jauh dan sepi, jumlahnya pelancong yang mundar-mandir tidaklah banyak dan dalam kota cuma terdapat sebuah rumah penginapan yang lumayan. Guru dan murid lantas masuk ke rumah penginapan itu. Sang pelayan yang lihat mereka berpakaian seperti orang asing, buru-buru antar mereka masuk dengan sikap hormat sekali. Tapi baru saja mereka menginjak lorak, di dalam mendadak terdengar suara ribut-ribut. Siauw Tjeng Hong mengawasi dan hatinya terkejut. Ia lihat satu pengemis dengan pakaian rombeng dan tongkat besi ditandelkan di tanah, sedang memaki kalang kabut: “Kau orang buka rumah penginapan kenapa tidak kasih aku menginap disini. Hm, hm! Mata anjingmu betul berminyak. Orang yang berpakaian bagus dihormat-hormati, sedang tuan besarmu yang pakaiannya rombeng, ditegur pun tidak!” Sehabis berseru begitu, ia ketruk tongkatnya dan satu ubin persegi lantas hancur. “Mohon tayya (tuan besar) jangan gusar,” kata pengurus rumah penginapan. “Lantaran rumah penginapan ini sangat kecil dan modal tidak seberapa, maka telah diadakan aturan, ongkos sewa kamar dan harga makanan harus dibayar terlebih dahulu.” Pengemis itu tertawa besar. “Ah, kenapa kau tidak bicara siang-siang. Apa kau takut tuan besarmu nganglap?” kata ia. Ia rogoh sakunya dan keluarkan sepotong perak. Sedang bajunya begitu rombeng, tak tahu perak itu ia taruh dimana. Sembari lempar perak itu di atas meja, ia berkata: “Bereskan kamar, sediakan dua kati arak dan seekor ayam yang gemuk. Baik-baik layani tuan besarmu, mengerti! Apa? Kenapa matamu melotot? Apa uang tidak cukup?” Si pengurus hotel yang tak duga pengemis itu mempunyai sepotong perak yang begitu besar, jadi girang hatinya. “Dua tail sudah cukup,” kata ia. “Siauwdjie, coba timbang perak ini. Kalau ada lebihnya, pulangkan kepada tayya.” Pengemis itu kembali tertawa berkakakan. Sembari kebaskan tangannya, ia berkata: “Tak usah, lebihnya ambil! Besok pagi, tuan besarmu mau lantas berangkat. Lain kali cuci bersih-bersih matamu. Jangan lihat orang miskin lantas mau diusir.”“Maaf Maaf!” kata si pengurus hotel sembari tertawa. “Kalau rawatan kurang memuaskan, harap tayya sudi maafkan.” Siauw Tjeng Hong terkejut lantaran ia itu adalah pengemis yang tadi siang mereka ketemu di tengah jalan. Mereka tunggang kuda, ia jalan kaki, tapi ia sampai lebih dahulu. Andaikata ia potong jalan, toh kepandaiannya sudah cukup luar biasa. Tjeng Hong sebenarnya mau mundur kembali, tapi kakinya sudah menginjak lorak, dan kalau mundur, orang bisa jadi curiga. Maka itu, ia ikuti terus pelayan rumah penginapan. Tjeng Hong minta satu kamar besar buat dua orang. Sesudah mengunci pintu, guru dan murid duduk saling berhadapan dengan perasaan masgul. Sesudah bersantap, mereka dengar suara berbengernya kuda dan di luar datang lagi dua tetamu. Begitu masuk, mereka berteriak-teriak minta disediakan kamar dan makanan. Tjeng Hong melongok dari jendela dan lihat kedua tetamu itu adalah pembesar tentara. Orang yang jalan duluan mengempit satu peti kayu merah yang kelihatannya sangat berharga. Kamar mereka justru berhadapan dengan kamar Siauw Tjeng Hong. Tjeng Hong melirik. Mendadak ia lihat di kamar sebelah depan juga muncul dua kepala orang yang begitu nongol, lantas ditarik masuk kembali. Kepalanya kedua orang itu diikat sama ikatan kain putih, matanya blau, kumisnya merah dan ternyata adalah orang asing. Waktu kepala mereka nongol, di bibirnya tersungging dengan senyuman luar biasa. Tjeng Hong jadi heran. Waktu pelayan hotel masuk buat bereskan kamar, ia memberi persen satu tail perak dan tanya siapa adanya itu dua tetamu asing. “Bahasa mereka aku tidak mengerti,” jawab sang pelayan. “Menurut katanya pengurus, yang mengerti banyak bahasa, mereka itu adalah boesoe (pahlawan) dari Nepal.” Sesudah si pelayan pergi, Thian Oe lantas berkata: “Tahun yang lalu, orang Gurkha dari Nepal telah menyerang Tibet Barat. Mereka membunuh banyak penduduk pribumi dan merampas kerbau dan kambing yang tidak sedikit jumlahnya. Belakangan mereka kena dipukul mundur oleh tentara kerajaan. Sudah hampir setahun mereka tidak berani masuk lagi di Tibet Barat. Belakangan aku dengar keterangan ayah, bahwa sesudah keadaan menjadi reda, mereka mulai bergerak lagi. Maka itu, kedua boesoe ini mungkin mempunyai tujuan yang kurang baik.” “Sesudah dua negara mengadakan perdamaian, memang juga tidak bisa diambil sikap bermusuhan lagi dan perhubungan harus pulih seperti sediakala. Inilah ada kelumrahan dalam perhubungan antara negara dan negara,” demikian Tjeng Hong memberi keterangan. “Di antara boesoe bangsa Nepal terdapat banyak sekali ksatria. Maka itu, kita tidak boleh sama ratakan semua orang.” Mendengar nasehatnya sang guru, Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. “Andaikata benar ada apa-apa yang luar biasa, malam ini kau tidak boleh bergerak,” memesan Siauw Tjeng Hong. Selagi mereka omong-omong, di luar jendela mendadak berkelebat bayangan orang. Thian Oe melongok dari jendela dan lihat seorang tua yang bermuka merah dan jenggotnya kasar, sedang mundar-mandir di luar kamar. Orang itu mendadak dongak dan menyanyi dengan suara nyaring sekali: “Di bawah gunung Holan san barisan laksana awan. Gerakan tentara siang malam dapat kedengaran, Sapu debu di pakaian perang dengan kebutan, Angkat pedang buat tantang pihak lawan. Sungguh ‘ku ingin dapatkan gendewa malaikat buat memanah panglima musuh, Supaya tak usah mendapat malu dan tangisi raja lantaran kalah dalam peperangan.” Belum habis nyanyian itu, dua perwira di kamar seberang sudah memaki: “Siapa yang bikin ribut di luar, sampai aku tak bisa tidur? Kalau berani lagi, aku akan gebuk supaya kau bisa berkaok-kaok sepuas hati.” Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak gusar dan juga tidak berkata suatu apa. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, yang terletak di sebelah kanannya kamar Siauw Tjeng Hong. Waktu Thian Oe menengok, ia lihat kedua mata gurunya bersinar terang, sedang paras mukanya mengunjuk kegirangan. “Siapa orang tua itu?” tanya Thian Oe. “Bintang penolong datang,” kata gurunya. “Apa?” muridnya menegasi. “Orang tua itu bernama Bek Eng Beng,” sahut sang guru. “Ia adalah seorang pendekar yang paling ternama di propinsi Siamsay dan Kamsiok. Bagaimana dalam ilmu silatnya, sukar orang dapat mengukur. Ia adalah seorang mulia yang sangat suka menolong sesama manusia, dan di sebelahnya itu, ia masih mempunyai hubungan rapat dengan golongan kita. Cuma aku tidak tahu, sebab apa ia berada disini.” Sesudah berpikir beberapa saat, Tjeng Hong niat keluar dari kamarnya buat mengunjungi orang tua itu.Tapi mendadak si pengemis aneh yang berdiam di kamar sebelah kiri, berjalan keluar dan setibanya di depan kamar Tjeng Hong, ia keluarkan suara tertawa. Tjeng Hong kerutkan alis. Sekonyong-konyong ia tiup lampu dan tidur tanpa membuka baju. “Kenapa soehoe tidak jadi pergi?” tanya Thian Oe. “Malam ini, dalam rumah penginapan ini sudah datang begitu banyak orang pandai,” kata gurunya. “Kalau dilihat gelagatnya, ini malam mesti terjadi apa-apa. Buat sementara aku tidak mau unjuk muka. Biarlah kita tunggu saja,” Perasaannya Thian Oe menjadi tegang Ia ambil kantong senjata rahasia dari atas meja dan taruh di bawah bantalnya. “Oe-djie,” kata Tjeng Hong. “Tidak perduli di luar ada kejadian apapun juga, aku larang kau bergerak.” Mendengar perkataan gurunya, hatinya Thian Oe jadi semakin bergoncang. Ia gulak-gulik di atas bantal dan tentu saja tidak dapat tidur pulas. Akan tetapi, sesudah lewat sekian lama, di luar tetap sepi-sepi saja. Tidak lama kemudian, kentongan berbunyi empat kali, tapi masih juga belum terjadi suatu apa. Thian Oe jadi merasa sangat ngantuk dan ia meramkan kedua matanya. Dalam layap-layap, mendadak ia seperti lihat bayangan orang dan waktu membuka mata, orang itu ternyata adalah gurunya sendiri yang sudah bangun berdiri. Ia loncat bangun dengan perasaan kaget. “Jangan bergerak,” berbisik gurunya. “Aku mau keluar buat lihat-lihat.” Thian Oe tidak mengetahui, bahwa di atas genteng lewat satu tetamu malam. Cuma saja sebab ilmu entengi badannya sangat tinggi dan gerakannya cuma mengeluarkan sedikit suara, maka Thian Oe tidak dapat mendengar. Tapi Siauw Tjeng Hong bukan saja sudah mendengar, tapi juga mengetahui, bahwa gerakan itu adalah gerakan dari seorang ahli Heng-ie pay. Bek Eng Beng adalah tokoh dari partai tersebut, maka orang itu tentulah mesti ianya. Tjeng Hong lantas salin pakaian hitam peranti jalan malam dan lalu loncat keluar dari jendela. Begitu berada di luar, ia lihat satu bayangan hitam mendekam di payon kamar seberang dan sedang mengintip ke dalam kamar. Tjeng Hong loncat ke atas genteng dan waktu orang itu menengok, ternyata ia memang Bek Eng Beng adanya. Tjeng Hong segera memberi tanda dengan gerakan tangan, buat mengasih tahu, bahwa ia adalah seorang kawan. Biarpun sudah belasan tahun tidak pernah bertemu, Bek Eng Beng kelihatannya masih belum lupa. Ia angkat tangan kanannya yang digoyang beberapa kali, seperti juga mau bilang, Tjeng Hong tak usah campur urusannya. Siauw Tjeng Hong segera mendekam di satu tempat ceglok di atas genteng. Ia lihat dalam kamar perwira itu dipasang lilin sebesar lengan, jendelanya ditutup separoh, sedang suara menggeros kedengaran keras sekali. “Persiapan semacam itu tidak akan dibikin, kalau bukannya orang itu mempunyai kepandaian tinggi. Orang Kangouw yang tanggung-tanggung, begitu lihat persiapan begitu, tentu akan lantas angkat kakinya. Tak dinyana, kedua perwira itu adalah orang-orang Kangouw – yang berkepandaian tinggi,” demikian Tjeng Hong berkata dalam hatinya. Bek Eng Beng juga rupanya memikir begitu, sebab, sesudah mendekam lama, ia kelihatan masih bersangsi. Sementara itu, suara menggeros kedengaran semakin santer. Di lain saat, Bek Eng Beng rupanya sudah mengambil putusan. Ia cabut pedangnya dan bagaikan walet menembus tirai, ia loncat ke dalam kamar. Siauw Tjeng Hong lantas bergerak dan loncat ke tempat dimana barusan Bek Eng Beng mendekam. Semua itu terjadi dalam tempo sekejapan mata saja. Begitu masuk, tangannya Bek Eng Beng lantas menjambret ke peti kayu merah yang ditaruh di pinggir pembaringan. Hampir berbareng, kedua perwira sudah loncat dari pembaringan dan dua batang pedang menyambar ke arah jalanan darah di kedua pundaknya Bek Eng Beng. Tak malu Bek Eng Beng bergelar Siamkam Tayhiap (Pendekar dari propinsi Siamsay dan Kamsiok). Diserang selagi membungkuk, badannya mendadak lempeng dan melesat ke atas, sedang pedangnya sampok kedua senjata musuh. Sebelum hinggap di muka bumi, badannya diputar, kaki kirinya menendang lebih dahulu, disusul dengan kaki kanannya. Itulah Lioeseng Kangoat Toeihong kiam (Ilmu pedang Bintang sapu mengejar bulan dan angin) dan Lianhoan Tokbeng Wanyangkak (Tendangan berantai membetot jiwa) dari Heng-ie pay yang digunakan secara saling susul. Dihantam secara begitu, kedua perwira itu lantas terdesak ke pojok kamar. Bek Eng Beng berbalik buat jumput peti merah itu “Bangsat yang bernyali besar!” membentak satu perwira. “Malam ini kita pasang umpan buat tangkap ikan emas. Apa kau masih berani turun tangan?” Baru saja Bek Eng Beng mau lonjorkan tangannya, di bebokongnya sudah menyambar senjata musuh. Ia tendang peti itu sampai di pinggir pintu, sedang pedangnya tangkis senjata musuh. Bek Eng Beng menyerang dengan serangan-serangan yang membinasakan, tapi kedua perwira itu pun bukannya lawanan empuk. Mereka putar pedangnya secara rapat sekali dan berbareng mengirim serangan-serangan yang tidak kurang hebatnya. “Barang apa terdapat dalam peti itu?” tanya Tjeng Hong dalam hatinya. “Tapi biarlah aku bantu Bek Tayhiap.” Selagi ia mau loncat turun, mendadak terdengar suara gedubrakan dan pintu kamar terpentang akibat tendangan. Berbareng dengan itu, dua boesoe Nepal menerobos masuk dengan sikap garang, sedang satu antaranya lantas jumput peti merah itu. Selagi kedua boesoe mau lari keluar, badannya Tjeng Hong melayang turun sembari mengebut dengan hudtim-nya. Satu boesoe lantas memapaki dengan goloknya. Golok itu’ berbentuk bulan sisir dengan tajamnya bengkok ke dalam. Itulah senjata yang bukan saja dapat melukakan orang, tapi juga dapat menggaet senjata musuh. Tapi hudtim-nya Siauw Tjeng Hong juga adalah senjata mustika yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan. Kebutan itu bisa keras dan bisa lemas. Begitu lekas ia membacok, boesoe itu rasakan goloknya seperti membacok kapas, tanpa ada tenaga yang melawan. Hatinya terkesiap dan tarik pulang goloknya, tapi golok itu sudah tergubat hudtim. Boesoe itu membetot, tapi goloknya tak dapat putuskan benang-benang hudtim. Tjeng Hong kerahkan tenaganya dan membentak: “Lepaskan golokmu!” Lantaran sayang goloknya, boesoe itu kerahkan seluruh tenaganya pada lengan kanannya buat lawan tenaga musuh. Itulah justru yang diingini Siauw Tjeng Hong. Mendadakan saja tangan kirinya menyambar dan betot peti merah itu yang dipeluk dengan tangan kirinya boesoe tersebut. Itu adalah tipu yang dinamakan suara di timur, menyerang di barat. Oleh karena perhatiannya sedang dipusatkan kepada sang golok, bagian kirinya jadi terbuka dan di lain saat, peti merah itu sudah pindah ke tangannya Tjeng Hong. Boesoe itu seperti terbang semangatnya. Ia baru sadar, bahwa isinya peti itu ada laksaan kali lipat lebih berharga dari goloknya. Sedang pikiran musuh kalut, dengan sekali gentak saja, Siauw Tjeng Hong bikin terpental golok musuh dari tangannya. Ketika peti merah kena dirampas oleh sang boesoe, keadaan pertempuran dalam kamar lantas jadi berobah. Kedua perwira dan Bek Eng Beng berhenti berkelahi dan ketiga batang pedang lantas meluruk kepada dua musuh yang baru datang. Tapi baru saja pedang mereka menyambar, peti merah itu sudah pindah ke tangannya Siauw Tjeng Hong. Semua itu sudah terjadi dalam tempo sekejap mata Tapi boesoe itu juga bukan orang sembarangan. Begitu goloknya terpental, ia loncat, tangannya menyambar dan sanggap pulang goloknya itu. Berbareng dengan itu kaki kanannya sapu kedua kakinya Siauw Tjeng Hong. Kawannya juga lantas menubruk dan kirim tiga bacokan beruntun ke arah Tjeng Hong. Dengan satu tangan memeluk peti merah, Tjeng Hong kelit serangan boesoe yang pertama. Golok boesoe yang satunya lagi, ia sampok dengan hudtim-nya. Tiba-tiba ia rasakan sambaran angin tajam di bebokongnya dan pedangnya kedua perwira menikam dengan berbareng. Ia menangkis dengan hudtim-nya, dan selagi perhatiannya ditujukan kepada serangannya kedua perwira itu, boesoe Nepal yang kedua berhasil merampas lagi peti merah itu. Bek Eng Beng kebaskan pedangnya dan sampok pedangnya dua perwira. Pada saat itu, kedua boesoe Nepal sudah menerobos keluar pintu dan terus kabur. “Ubar!” berseru Bek Eng Beng sembari enjot badannya. Siauw Tjeng Hong dan dua perwira berhenti berkelahi dan turut mengubar. Bagaikan kilat, keenam orang itu berlari-lari melewati genteng-genteng rumah. Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di luar kota. Antara mereka, Bek Eng Beng-lah yang mempunyai ilmu entengi badan paling tinggi dan ia paling dahulu dapat menyandak. Begitu kecandak, kedua boesoe Nepal lantas berbalik dan kerubuti Bek Eng Beng. Beberapa saat kemudian, Siauw Tjeng Hong sudah menyusul. Dengan dua lawan satu, keadaan kedua boesoe masih boleh juga, tapi begitu lekas Tjeng Hong turut ambil bagian, mereka segera jadi keteter. Dengan hebat Eng Beng desak dua lawannya, yang napasnya jadi sengal-sengal. Menggunakan kesempatan itu, Tjeng Hong putar hudtim-nya buat melindungi badan, sedang satu tangannya menyambar buat rampas balik peti merah itu. “Serahkan peti itu kepadaku!” mendadak kedengaran orang membentak. Dua perwira yang ketinggalan ternyata sudah sampai disitu. Dua pedangnya menyabet dari kiri dan kanan, ke arahboesoe Nepal yang peluk peti merah itu. Diserang oleh empat orang yang mempunyai kepandaian tinggi, kelihatannya boesoe itu tak akan dapat loloskan diri lagi. Tak dinyana, sembari membentak, ia timpuk mukanya Bek Eng Beng dengan peti itu, yang lantas menanggapi. Sekarang pertempuran kembali berobah. Dua perwira dan dua boesoe jadi berkawan dan kerubuti Bek Eng Beng, yang cuma dibantu oleh Siauw Tjeng Hong seorang. demianlah pertempuran berjalan dengan hebat. Dua perwira dan dua boesoe itu, kalau satu lawan satu, tak ada yang bisa jadi tandingannya Bek Eng Beng atau Siauw Tjeng Hong. Tapi dengan empat lawan dua, mereka jadi berada di atas angin.Selainnya itu, dengan tangan memeluk peti merah, perhatiannya Eng Beng jadi terpecah. Sesudah lewat kurang lebih lima puluh jurus, mereka jadi kedesak dan cuma dapat membela diri, tanpa mampu balas menyerang. ua perwira dan dua boesoe makin lama menyerang makin hebat. Mendadak, sembari membentak keras, Bek Eng Beng lemparkan peti itu kepada sang boesoe Nepal. Melihat begitu, dua perwira terkejut. Bek Eng Beng putar pedangnya dan menyerang kalang kabutan sembari membentak: “Biar aku bikin mampus dahulu dua manusia ini!” Sekarang dua perwira itu berbalik menghantam sang boesoe yang pegang peti merah. Sembari tertawa nyaring, ia menangkis dengan goloknya dan berbareng lempar peti itu. Siauw Tjeng Hong yang berdiri paling dekat sambutí peti tersebut dan ia lantas saja dikepung oleh dua perwira dan dua boesoe! Peti merah itu yang tadi menjadi rebutan, sekarang jadi bibit penyakit! Sesudah melawan beberapa jurus, Tjeng Hong lempar peti itu ke arah satu perwira. Tidak dinyana, sembari tertawa dingin, perwira itu angkat tangannya buat hantam peti itu. Bek Eng Beng terkesiap dan lantas loncat menyambut. Di lain saat, ia sudah dikepung oleh kedua perwira dan kedua boesoe! Selagi bertempur hebat, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat nyaring dan satu bayangan hitam berkelebat bagaikan kilat. Orang yang baru datang bukan lain dari si pengemis aneh. Begitu tiba, ia putar tongkat besinya dan mengamuk secara aneh pula. Keanehannya ialah ia hantam siapa juga yang menghalang di depannya. Si perwira, si boesoe dan Bek Eng Beng semua dirabu olehnya. “Kalau begitu ia mau bikin semua orang jadi lelah, akan kemudian menarik keuntungan dan kantongi peti merah itu.” pikir Tjeng Hong dalam hatinya. Selagi ia mau buka kedoknya si pengemis, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat panjang dan dalam gelanggang pertempuran, tambah lagi satu orang baru! Orang itu datang secara luar biasa. Barusan, ketika si pengemis datang, suaranya terdengar lebih dahulu, belakangan barulah anusianya muncul. Tapi kali ini, suara dan manusia datang berbareng. Dengan bantuannya sinar rembulan, Siauw Tjeng Hong lantas kenali, bahwa orang itu adalah si anak sekolah yang beberapa hari berselang telah tolong jiwanya dengan jarum emas. Sembari tolak pinggang dengan satu tangannya, ia membuat setengah lingkaran dengan tangannya yang lain. “Barang langka apakah yang membikin kalian jadi berebut?” ia tanya dengan suara malas-malasan. Munculnya si anak sekolah membikin semua orang jadi kaget dan mereka segera hentikan pertempuran. Si-pengemis aneh tertawa dingin dan bawa sikap acuh tak acuh, tapi sebenarnya ia pusatkan seluruh perhatiannya kepada anak sekolah itu dan siap sedia dengan tongkatnya. Bek Eng Beng yang mempunyai banyak pengalaman lantas mengetahui, bahwa anak sekolah itu bukannya sembarang orang. Sembari usap gagang pedangnya, ia memberi hormat dan berkata: “Aku, Pokee Bek Eng Beng, ingin mengambil serupa barang dari tangannya ini kedua kuku garuda. Jika tuan adalah seorang kawan dalam Rimba Persilatan, aku tak berani minta bantuan, tapi memohon supaya tempatkan diri di luar gelanggang. Di lain hari, aku tentu akan membalas budi ini.” Harus diketahui bahwa Bek Eng Beng adalah pendekar besar di propinsi Siamsay dan Kamsiok. Di beberapa propinsi Tiongkok Utara barat, namanya besar sekali dan dikenal oleh semua orang kalangan Rimba Persilatan. Sekarang ia sendiri memperkenalkan diri dan menggunakan kata-kata yang menghormat. Menurut taksiran, usianya si anak sekolah tidak lebih dari dua puluh tahun, sehingga tingkatannya tidak bisa berada di atas Bek Eng Beng. Dalam omongannya itu, Bek Eng Beng tidak menonjolkan kedudukan sebagai tjianpwee (orang dari tingkatan lebih tua), tapi cuma singgung soal pribudi dalam kalangan Kangouw. Ia menaksir, sesudah dengar omongannya, biarpun tidak sampai membantu, si anak sekolah tentu akan minggir. Tapi siapa nyana, ia cuma berkata dengan suara dingin: “Hm! Aku tahu!” Dari lagu suaranya, seperti juga ia belum pernah dengar namanya Bek Eng Beng, sehingga Siauw Tjeng Hong sendiri sampai merasa, si anak sekolah bersikap sedikit keterlaluan. Mendengar perkataan yang dingin itu, kedua perwira jadi merasa sangat girang. Sembari rangkap kedua tangannya, salah seorang berkata: “Kami adalah anggauta dari Gielimkoen (Pasukan pengawal kaizar) dan menerima perintah Bansweeya (Kaizar) buat antar serupa barang ke Lhasa. Tapi di tengah jalan, barang itu kena dirampas oleh bangsat tua ini. Maka itu, kami memohon bantuan tuan.” Si anak sekolah kembali keluarkan satu gerendengan dan berkata dengan tawar: “Yah, aku tahu!” Si pengemis tertawa dingin dan niat lantas lampiaskan amarahnya. Tapi mendadak si anak sekolah maju dua tindak, dan setahu bagaimana, dengan sekali berkelebat, tangannya sudah dapat rampas peti merah itu dari cekatannya Bek Eng Beng! Bagaimana tinggi kepandaiannya Bek Eng Beng sudah sukar diukur, tapi toh, barang yang dicekal olehnya, sudah dapat dirampas secara begitu gampang! Hal itu bukan saja sudah membikin Siauw Tjeng Hong jadi terkejut, tapi kedua perwira dan kedua boesoe pun sampai keluarkan teriakan tertahan dan loncat mundur beberapa tindak. Si anak sekolah cepat bagaikan kilat, si pengemis pun tidak kurang cepatnya. Hampir pada saat yang berbareng, tongkatnya si pengemis berkelebat dan menimpa gegernya si anak sekolah. Melihat bahaya itu Siauw Tjeng Hong yang pernah ditolong jiwanya, tanpa merasa keluarkan teriakan “Ayo!” Tanpa menengok, si anak sekolah menyampok dengan tangannya, sedang badannya sudah melesat setombak lebih. Betul indah gerakannya itu! Pada sebelum si pengemis tarik pulang tongkatnya, ia sudah berkata dengan suara nyaring: “Sungguh Thiekoay sian bukannya cuma nama kosong!” Tjeng Hong terkejut. Si pengemis aneh ternyata memang benar Thiekoay sian adanya! Sementara itu, si anak sekolah sudah berkata lagi sembari tertawa: “Sekarang aku mau lihat, barang luar biasa apakah yang membikin kalian jadi berebut sampai begitu.” Ia menepok dan peti merah itu lantas terbuka. Ia ambil isinya, banting di atas tanah dan dengan satu suara krontangan benda itu pecah jadi delapan potong Bek Eng Beng keluarkan teriakan kaget. “Ah, bukannya guci emas!” ia berseru. Si pengemis aneh juga kelihatan tidak kurang kagetnya. Ia goyang-goyang tongkatnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tjeng Hong mengawasi dan ternyata yang hancur itu adalah vas porselen biasa. Ia sungguh heran, kenapa mereka berebuti barang begitu. Sesudah banting vas porselen itu, si anak sekolah dongakkan kepalanya dan tertawa nyaring. “Bibit bencana hilang, pertempuran berhenti,” kata ia. “Kejadian ini bisa kerjaan Louw Tiong Lian jaman sekarang jadi mati tertawa. Ha, ha! Sungguh menggembirakan! Sekarang aku permisi pergi!” Ia kebaskan tangan bajunya, badannya melesat seperti seekor burung dan berlalu seperti terbang. Mendadak Bek Eng Beng menggereng. “Kau sudah nyebur ke dalam air, mana bisa begitu gampang lepaskan senjata?” ia membentak sembari mengudak. Dua perwira dan dua boesoe Nepal juga turut memburu sembari berteriak-teriak, sehingga suaranya berkumandang jauh di padang rumput yang luas itu. Si pengemis aneh ketruk tongkatnya di atas tanah, tapi badannya tidak bergerak. Melihat begitu, Siauw Tjeng Hong yang tadinya mau ikut mengubar, jadi urungkan niatannya. Selagi ia niat menegur, kedua matanya si pengemis mendadak mendelik. “Hm, apa kau rasa bisa menyandak?” katanya dengan suara tawar. “Simpan tenagamu buat pertemuan di Thian-ouw (Telaga Namtso)!” Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia angkat tongkatnya dan sabet pinggangnya Siauw Tjeng Hong. Pukulan ini bukan saja datangnya tidak diduga-duga, tapi juga cepat bagaikan kilat, sehingga biarpun mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, Siauw Tjeng Hong tidak akan dapat loloskan diri. Dengan satu suara “buk”, tongkatnya si pengemis sudah mampir di pundaknya.Ketika tongkat itu menyambar, dengan perasaan mencelos, Siauw Tjeng Hong berkata dalam hatinya: “Tak dinyana aku mesti mati secara mengecewakan di tempat ini!” Tapi aneh, sungguh aneh, ketika tongkat itu mampir di pundaknya, ia bukan rasakan pukulan biasa, tapi semacam dorongan hebat yang membikin badannya ngapung beberapa tombak tingginya! Sebagai ahli silat, selagi berada di tengah udara, Tjeng Hong putar badannya yang lantas turun ke bumi tanpa mendapat luka apa-apa! Dan waktu ia mengawasi sekelilingnya, si pengemis sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Sungguh heran hatinya Tjeng Hong. Jika si pengemis mempunyai dendaman, kenapa ia tidak turunkan tangan jahat? Kalau tidak mempunyai ganjelan, kenapa juga ia permainkan dirinya? Biarpun sudah lama tenggelam timbul dalam kalangan Kangouw, kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Sekarang marilah kita tengok rumah penginapan itu yang menjadi kacau balau lantaran terjadinya pertempuran yang berlangsung dari dalam sampai diluar. Tak usah dibilang lagi, pemilik rumah penginapan dan para tetamu jadi ketakutan setengah mati dan pada mengumpat sambil sesepkan kepala. Sesudah orang-orang yang berkelahi pergi jauh, barulah pemilik hotel berani muncul sembari bawa lampu buat periksa keadaan rumah penginapannya. Ia lihat kamarnya Bek Eng Beng, kamar kedua perwira, dua boesoe dan kamarnya si pengemis semuanya terpentang dengan tidak ada manusianya. “Sudahlah! Sudahlah! Aku sudah duga, si pengemis bukannya orang baik!” ia kata sembari banting kaki. Ia tidak berani maki itu pembesar militer, itu kedua boesoe dan Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, maka si pengemis yang menjadi korban. Tapi si pelayan kelihatannya masih mempunyai liangsim (perasaan hati). “Berat peraknya ada dua belas tail, aku sudah timbang,” kata ia. Mendengar perkataan itu, paras mukanya si pemilik hotel jadi berobah. Buru-buru ia lari masuk ke kamarnya, akan kemudian keluar lagi sembari berteriak-teriak: “Bangsat! Bangsat besar! Dia berani colong perakku!” Ternyata pemilik hotel adalah seorang sekaker yang suka sekali tukarkan perak hancur dengan goanpo (potongan perak besar) buat disimpan. Beberapa hari berselang, ia baru saja tukarkan sepotong goanpo yang beratnya dua belas tail. Barusan waktu dicari, potongan perak itu lenyap! Tak usah. disangsikan lagi, potongan perak itu tentu sudah dicuri oleh si pengemis! Sembari memaki, si pemilik hotel menangis pikirkan peraknya yang hilang. Tan Thian Oe yang dengar itu semua, berkata dalam hatinya: “Pengemis aneh itu liehay sekali, akan tetapi, dengan mau tidur dan makan gratis, ia agaknya keterlaluan.” Sebagai seorang pemuda yang berhati kasihan, tanpa pikirkan segala akibatnya, ia lantas berjalan keluar dari kamarnya dan berkata: “Tiam tjoedjin (pemilik hotel) tak usah bersedih hati dan mencaci maki. Goanpo itu biarlah aku yang ganti. Mpe pengems adalah seorang tjianpwee-ku (orang tingkatan lebih tua). Adatnya aneh sekali dan aku rasa ia sengaja main-main dengan kau.” Si pemilik hotel merasa heran, kenapa Thian Oe yang pakaiannya indah seperti seorang kongtjoe hartawan bisa kenal pengemis itu. Tapi mendengar kerugiannya bakal ditutup, ia jadi kegirangan setengah mati dan haturkan ribu-ribu terima kasih, tanpa berani menanya melit-melit. Waktu Thian Oe balik ke kamarnya, fajar sudah menyingsing, tapi gurunya belum juga balik, sehingga hatinya merasa sangat kuatir. Mendadak ia dengar suara orang tertawa di luar jendela. “Bocah ini hatinya baik sekali!” kata orang itu. “Tjianpwee siapakah yang bicara?” ia menanya dengan perasaan terkejut. Ia tolak jendela dan melongok keluar, tapi tidak kelihatan bayangan manusia. Begitu balik lagi badannya, ia lihat satu bungkusan di atas meja kecil, di pinggir pembaringan. Bungkusan itu ternyata berisi baju bulu onta yang ia hadiahkan kepada si pengemis dan sepotong goanpo! Thian Oe terkesiap dan berkata: “Ah, tjianpwee itu benar-benar luar biasa.” Sesudah siang, barulah Siauw Tjeng Hong kembali di rumah penginapan. Guru dan murid saling tuturkan pengalamannya yang semalam dan kedua-duanya merasa sangat heran. Mereka tak tahu, apa pengemis itu kawan atau lawan. Mereka tak dapat tebak, kenapa Bek Eng Beng, dua perwira dan dua boesoe Nepal sampai perebutkan satu vas porselen biasa. Sesudah bersantap pagi, dengan perasaan masgul mereka lalu teruskan perjalanan. Sesudah berjalan lagi setengah bulan, tibalah mereka di sebelah utara barat Lhasa. Jauh-jauh mereka lihat satu gunung tinggi menghadang jalanan. Itulah gunung Nyenchen Tanghla yang tingginya cuma kalah dari gunung Himalaya. Waktu itu sudah masuk musim panas. Di kaki gunung ratusan macam kembang berbunga indah sekali, sedang di lamping gunung, air yang bening laksana kaca mengalir legat-legot di antara batu-batu dan hawa udara kira-kira bersamaan dengan hawa musim semi di daerah Kanglam. Tapi di sebelah atas, salju putih masih menutupi puncak gunung yang tinggi, sehingga member pemandangan yang istimewa sekali. “Aku dengar, Lootjianpwee Koei Hoa Seng berdiam di gunung ini.” kata Siauw Tjeng Hong. “Aku hanya berharap beliau masih hidup, supaya dapat menolong kesukaranku ini.” Guru dan murid yang sudah siap sedia dengan alat-alat, lantas mulai mendaki gunung. Sesudah berjalan tiga hari, barulah mereka tiba di pinggang gunung. Dari situ, mereka dapat lihat sungai es yang melingkar-lingkar seperti naga perak dan mengasih lihat lain pemandangan yang mengherankan. Lapisan atas sungai es itu sudah menjadi lumer lantaran kena sorotnya matahari yang hangat. Tapi kembang salju dari puncak gunung selembar-selembar melayang turun ke bawah, seakan-akan lembaran-lembaran kertas kristal yang jatuh di atas muka sungai es itu. Lembaran-lembaran salju itu segera menjadi keras, yang tidak lama kemudian menjadi lumer pula lantaran hangatnya sang matahari. Maka itulah, sedari dahulu sampai sekarang sungai es di pegunungan Nyenchen Tanghla selalu tidak berobah. Disorot sinar matahari, lapisan es itu merupakan benda transparan yang berwarna hijau muda dan keindahannya sungguh sukar dilukiskan dengan sang kalam. Salju dari permulaan musim panas sifatnya lebih keras dan basah, dan di dalamnya mengandung lebih banyak air, sehingga pada sebelumnya menjadi es, salju itu seperti juga bunga-bunga bwee yang ngambang di atas sungai es. Maka itulah, ada satu syair yang berbunyi kira-kira seperti berikut: Salju musim semi di tengah udara berterbangan, Sekuntum-kuntum bagaikan bunga yang sedang mekar. Sehingga orang yang kurang pengetahuan. Akan kira mereka itu bunga sungguhan. Itulah syair yang sering diucapkan oleh mereka yang menyaksikan pemandangan yang menakjubkan itu. Selagi guru dan murid puaskan matanya, di sebelah bawah pinggang gunung mendadak terdengar suara apa-apa. Dua orang berpakaian warna- abu-abu kelihatan loncat ke atas puncak di seberang. Pegunungan Nyenchen Tanghla penuh dengan puncak-puncak yang antaranya cuma berjarak kira-kira satu li satu antara lainnya. Di lain saat, dua bayangan orang itu sudah masuk ke mulut gunung dan tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Tjeng Hong dan Thian Oe merasa heran. Sementara itu, tiba-tiba kuping mereka menangkap suaranya tetabuhan khim yang datang dari tempat jauh. Mereka lantas saja tujukan tindakan ke arah tetabuhan itu. Semakin lama berjalan, semakin hangat hawa udara. “Beberapa hari yang lalu, makin tinggi, kita merasa makin dingin. Tapi kenapa sekarang, sesudah tiba di pinggang gunung, hawa jadi berbalik hangat?” tanya Thian Oe. “Mungkin di bawah tanah ini terdapat sebuah gunung berapi,” menerangkan Tjeng Hong. Dengan perlahan, suara khim jadi semakin tedas kedengarannya. Sebagai satu ahli, Thian Oe lantas mengetahui bahwa tetabuhan itu adalah o-khim yang bertali lima. Suaranya tetabuhan itu sangat menyedihkan hati, dan sesudah mendengari berapa lama, hatinya Thian Oe jadi bergoncang, sebab ia merasa pernah mendengar suara seperti itu. Mendadak, suara khim diiring dengan nyanyian yang seperti berikut: Di bawah sungai es seekor anak kambing. Kehilangan ayah, kehilangan bunda. Sang elang memburu dia. Mau dicengkeram, dijadikan santapan. Pengtjoan Thianlie — oh, ciciku yang mulia! Dengarkah kau teriakannya yang menyayatkan hati. Tahukah kau penderitaannya? Tolonglah usir sang elang yang jahat, Selama hidup dia tak akan melupakannya. Thian Oe kenali. Suara itu keluar dari mulutnya Chena, itu gadis Tsang yang aneh. “Soehoe”,kata ia dengan kaget tercampur girang. “Dengarlah! Nyanyian itu adalah permintaan tolong kepada Pengtjoan Thianlie. Tak salah lagi, Pengtjoan Thianlie berdiam di ini tempat! Hai! Gadis itu sungguh hebat penderitaannya. Nyanyian itu mengunjuk, bahwa ia kembali diubar orang.” Tanpa tunggu jawaban gurunya, Thian Oe cabut dua hoeito dan berlari-lari ke arah suara nyanyian itu. Sesudah lewati satu lembah gunung, matanya dapat lihat satu telaga yang sangat luas, yang seputarnya dikitari gunung. Telaga itu adalah telaga yang paling tinggi dalam dunia, yang dalam bahasa Tibet dinamakan Namtso. Telaga tersebut terletak di tempat yang tingginya lebih dari 4.672 kaki, sehingga lebih tinggi 800 kaki lebih dari telaga Titicaca, di antara Peru dan Bolivia di Amerika Selatan. Telaga inilah yang orang Han namakan Thian-ouw, atau Telaga Langit. Air telaga bening jernih seperti kaca, sedang ombak halus menyapu ke sana-sini tak henti-hentinya. Di tengah telaga terdapat lempengan-lempengan es yang mengambang, yang berkilat-kilat, lantaran tertojo sinarnya sang matahari. Air telaga seakan-akan menempel dengan tepian langit, sang langit menempel dengan air telaga. Thian Oe jadi seperti orang kesima. “Tempat ini benar-benar bagaikan surga. Apakah benar Pengtjoan Thianlie tinggal disini?” kata ia dalam hatinya. Di pinggir telaga penuh dengan rumput hijau dan pohon-pohon bunga yang menyiarkan bau harum sekali. Dan di antara pohon-pohon kembang itu, kelihatan berkibar-kibar selendang sutera putih dari seorang wanita. “Nona Chena! Aku disini!” berseru Thian Oe. Baru saja gadis itu menengok, kembali terdengar lain suara: “Nona Chena! Kami pun berada disini!” Berbareng dengan itu, dari gombolan pohon loncat keluar dua orang tinggi besar yang berpakaian warna abu-abu. Sembari nyengir, mereka tubruk Chena. Thian Oe membentak sembari menimpuk dengan kedua hoeito-nya. Kedua orang itu mengebut dengan tali pinggangnya dan kedua golok terbang tersampok jatuh ke dalam telag. Dalam kagetnya, Thian Oe dengar satu orang berteriak kesakitan, sedang yang satunya jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Orang yang membantu Thian Oe adalah Siauw Tjeng Hong yang telah timpuk jitu jalanan darah kedua orang itu dengan cabang pohon. Kedua orang itu sebenarnya bukan makanan empuk, tapi lantaran mereka sedang perhatikan hoeito-nya Thian Oe dan juga sebab tenaga dalamnya Tjeng Hong ada cukup tinggi, maka biarpun jaraknya jauh, jalanan darahnya kena ketotok juga dan dirasakan sakit bukan main, walaupun tidak sampai roboh klengar. Mereka tahu sedang berhadapan dengan orang pandai dan buru-buru kabur buat minta bala bantuan. Gadis Tsang itu berlari-lari dengan paras muka ketakutan. “Sudah tak ada apa-apa lagi. Musuh sudah kena diusir oleh guru,” kata Thian Oe. Melihat sikap muridnya, Tjeng Hong jadi ingat pengalamannya sendiri, ketika diam-diam ia mencintai Tjia ln Tjin. Ia segera jalan perlahan sekali, supaya tidak mengganggu kedua orang muda. Sekonyong-konyong dari gombolan pohon berkelebat bayangan orang. “Timpukan bagus! Timpukan Bagus! Sahabat-sahabat lama sekarang bertemu kembali!” demikian kedengaran satu orang berkata. Hatinya Tjeng Hong mencelos. Dua orang kelihatan muncul. Pada mukanya orang yang jalan di depan terdapat tapak golok tapak jalak, satu matanya buta, mukanya menyeringai, sehingga kelihatannya menakuti sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe, pentolan nomor satu dari tingkatan kedua Boetong pay dan yang ditakuti oleh Siauw Tjeng Hong. Orang yang jalan belakangan adalah Tjoei In Tjoe yang sudah sembuh lantaran kasiatnya soatlian dan tangannya mencekal satu gendewa dengan tali baru. Diudak oleh Tan Thian Oe, gadis Tsang itu berlari-lari lewat di pinggirnya Tjoei In Tjoe, yang berkata sembari tertawa: “Sanma! Terima kasih buat soatlian-mu.” Sesudah Chena lewat, ia kebaskan gendewanya dan papaki Thian Oe. “Oe-djie, balik!” berseru Siauw Tjeng Hong. Thian Oe hampiri gurunya, sedang si nona lari terus. Loei Tjin Tjoe cabut pedangnya dan setindak demi setindak ia mendekati Siauw Tjeng Hong. “Kejadian pada tahun itu, sebenarnya sudah terjadi lantaran tidak sengaja. Loei Toako buat apalah mendendam sampai begitu,” kata Tjeng Hong. Loei Tjin Tjoe keluarkan satu suara “hm” dan spier mukanya berkerut, sehingga macamnya menakuti sekali. “Kalau kau tidak ingin aku menaruh dendam, tidak sukar,” kata ia dengan suara tawar. “Kau kemari dan kasih aku bacok mukamu dua kali dan kemudian korek biji matamu.” “Itu toh bukan dilakukan olehku,” sahut Tjeng Hong. “Aku cuma secara tidak disengaja sudah membantu Tjia In Tjin.” Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu mendelik. Ia jadi semakin gusar ketika Tjeng Hong sebutkan namanya Tjia In Tjin. Ia dahulu adalah seorang lelaki yang berparas cakap sekali dan sekarang jadi tidak keruan macam. Sedang Tjia In Tjin tidak dapat dicari, semua amarahnya jadi tumplek ke atas kepalanya Tjeng Hong.Sesudah datang dekat, ia menuding sembari berkata: “Sahabat, kepandaianmu tidak mundur, sedang akupun sudah berlatih beberapa macam ilmu. Belasan tahun berselang kita pernah bertanding dan sekarang aku kembali mau persembahkan kebodohanku.” Pedang lantas berkelebat dan ia kirim satu serangan membinasakan. “Loei Toako kau mendesak siauwtee (adik) sampai di satu pojokan,” kata Tjeng Hong sembari meringis. Loei Tjin Tjoe kirim tiga serangan beruntun yang semuanya dapat dikelit oleh Tjeng Hong. Bacokan Loei Tjin Tjoe yang satu lebih cepat dari yang lain dan serangan ke empat, dalam gerakan Pekhong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), menikam jalanan darah Tongboen hiat pada dadanya Siauw Tjeng Hong. Serangan itu hebat luar biasa dan kelihatannya Tjeng Hong tidak akan dapat singkirkan dirinya lagi. Mendadak ia putar badan sembari mengebut dan ribuan benang halus lantas gulung pedangnya Loei Tjin Tjoe.Oleh karena kuatirkan pembalasan, belasan tahun lamanya Tjeng Hong pikirkan cara buat jatuhkan musuh. Ilmu silatnya Loei Tjin Tjoe banyak lebih tinggi, sehingga kemungkinan satu-satunya adalah melawan dengan tipu. Dengan terus kelit tiga serangan, ia sengaja perlihatkan rasa ketakutan, dan ketika musuh menikam habis dengan pedangnya, barulah ia menggulung dengan kebutannya. Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong adalah mustika dalam Rimba Persilatan. Hudtim itu rupanya mirip dengan buntut kuda, tapi sebenarnya terbuat dari benang-benang emas hitam yang luar biasa uletnya dan tak dapat diputuskan dengan senjata tajam. Melihat ilmu pukulannya yang sudah dilatih belasan tahun, mendapat hasil, hatinya Tjeng Hong jadi girang sekali. Loei Tjin Tjoe tertawa dingin dan lantas kerahkan tenaganya sembari betot pedangnya.Di lain saat, ribuan benang halus pada berterbangan di tengah udara! Tjeng Hong mencelos hatinya. Ia tak duga, tenaga dalamnya begitu tinggi. Sementara itu musuh kembali sudah menyerang tiga kali beruntun dan ia tidak dapat berbuat lain daripada putar hudtim-nya buat menjaga diri, tanpa mampu balas menyerang lagi. Semakin lama Loei Tjin Tjoe menyerang semakin cepat. Tjeng Hong terus mundur dan dari kepalanya keluar uap putih, yang menandakan ia sudah kerahkan setaker tenaga yang berada dalam dirinya. Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Loei Tjin Tjoe mendadak meniup dengan mulutnya, sedang pedangnya berbareng membabat. Saat itu juga, sebagian hudtim-nya Tjeng Hong terbabat putus dan benang-benangnya berterbangan bagaikan rumput. Jika benang-benang hudtim-nya Tjeng Hong berkumpul jadi satu, senjata yang paling tajam tak akan dapat memutuskannya. Akan tetapi, sesudah kena ditiup buyar oleh Loei Tjin Tjoe yang berbareng kerahkan tenaga dalamnya ke badan pedang, hudtim itu jadi seperti sesapu yang terbuka ikatannya dan tak sukar buat dibabat putus. Bukan main sakit hatinya Tjeng Hong yang tidak berani berkelahi lagi. “Baiklah, aku terima nasib!” kata ia dengan suara sedih. Loei Tjin Tjoe keluarkan tertawa nyaring. Ia maju dua tindak dan matanya mengawasi musuhnya. “Baiklah,” kata ia sembari kebas pedangnya. “Aku akan kirim dua sabetan tapak jalak ke mukamu seperti contoh mukaku sendiri. Tjoei Hiantee, mari sini! Saksikanlah bagaimana aku turunkan tangan!” Satu perasaan dingin bagaikan es dirasakan oleh Tjeng Hong. Ia meramkan kedua matanya, tak berani ia lihat pedangnya musuh yang mengkilap. Tiba-tiba saja ia dengar suara “tring” dan Loei Tjin Tjoe kedengaran membentak: “Bocah dari mana berani membokong aku!” Tjeng Hong buka kedua matanya dan lihat ujung pedangnya musuh miring dan tergetar tak hentinya, dengan keluarkan sedikit suara mengaung. Teranglah bagi Siauw Tjeng Hong, bahwa pedangnya Loei Tjin Tjoe kena terpukul miring dengan semacam senjata rahasia. Heran benar hatinya. Siapakah yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi sehingga dapat pukul miring senjatanya Loei Tjin Tjoe? Baru saja Loei Tjin Tjoe habis membentak, satu suara menyahut: “Apa matamu buta? Tuanmu berada disini.” Loei Tjin Tjoe menengok dan lihat satu orang berdiri di sebelah kanannya. Orang itu adalah satu pengemis yang mukanya seperti pantat kuali, rambutnya awut-awutan, hidungnya dongak ke atas, sedang bajunya penuh tambalan. Tjeng Hong kaget berbareng girang. “Thiekoay sian datang, tak tahu apa ia kawan atau lawan,” kata ia dalam hatinya. Tapi ia, yang sudah tinggal tunggu kebinasaannya, tidak jadi lebih keder hatinya. Taruh kata si pengemis datang sebagai musuh, buntutnya toh sama saja. Adalah Loei Tjin Tjoe yang merasa kaget dan bersangsi.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |