Kuil Lhama Topi Putih yang baru itu berdiri di atas sebuah gunung dan dibuat menurut contoh keraton Potala di Lhasa. Biarpun besarnya dan luasnya tidak bisa dibandingkan dengan Potala yang bertingkat tiga belas, kuil itu mempunyai tujuh tingkatan dan tingginya lebih dari dua puluh tombak. Tak usah dikatakan lagi, pembuatannya teguh dan indah luar biasa, dengan tiang-tiang yang diukir, dengan batu-batu marmer dan tembok tinggi yang berwarna merah. Dari jarak puluhan li, orang sudah bisa melihat bangunan itu yang sangat angker.
Dengan mengenakan pakaian penduduk Sakya, Keng Thian dan Thian Oe mendaki gunung itu bersama orang-orang yang ingin memasang hio dan menonton keramaian. Kira-kira tengah hari, tibalah mereka di depan kuil tersebut. Dengan melalui jalanan yang ditutup dengan batu-batu marmer hijau, mereka mulai masuk ke dalam pekarangan. Sesaat itu, dua belas pintu besar sudah dibuka semuanya dan dari pintu-pintu itu kelihatan mengepul ke atas asap hio dan kayu garu yang sangat sedap baunya. Wewangian itu, keindahan seluruh kuil, suara tambur dan lonceng yang dipukul tak henti-hentinya, menimbulkan suasana yang angker dan suci. Tetamu yang datang berkunjung berjumlah ribuan, dan malahan mungkin laksaan orang. Tapi, kecuali suara lonceng dan tambur, keadaan sunyi senyap, karena tiada seorang pun yang berani bicara atau berbisik. Dengan mengikuti iring-iringan yang panjang, Keng Thian dan Thian Oe maju setindak demi setindak, melewati tiang-tiang jalanan yang tertutup genteng. Dinding di sekitar itu penuh dengan lukisan, satu antaranya adalah lukisan “Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia.” Lukisan itu indah luar biasa. Di sebelah kiri dilukiskan sepasukan tentara Mongol yang sedang mengiring joli Phaspa dan di sebelah depan terdapat sejumlah pembesar tinggi yang menyambut kedatangannya. Tak jauh dari itu, dilukiskan tenda-tenda Mongol dan di belakang tenda, terlihat sejumlah orang yang sedang menyalakan api sambil menunggu kedatangan tamu agung itu. Di samping itu, terlihat juga unta-unta, keledai-keledai dan kerbau-kerbau yang sedang makan rumput. Yang paling menyolok adalah lukisan seorang wanita muda yang mengenakan pakaian bangsawan Nepal dan yang sedang berdiri di atas rumput. Paling menyolok, karena wanita itu berparas luar biasa cantik dan sungguh mengherankan, mukanya sangat mirip dengan muka Pengtjoan Thianlie. Melihat lukisan tersebut, jantung Keng Thian memukul keras. “Siapa yang melukis gambar itu?” ia tanya dirinya sendiri. “Tibet adalah tempat yang terpencil. Dari mana datangnya ahli gambar yang begitu pandai? Kenapa muka wanita itu sangat mirip dengan muka Peng Go?” Ia melirik Thian Oe, tapi kawan itu ternyata tidak memperhatikan gambar atau lainnya, sebab kedua matanya tetap mengawaskan pintu, seperti juga Chena bisa muncul di sembarang saat. Ia menghela napas, tapi lantas saja ia ingat, bahwa ia pun tiada banyak bedanya. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan ruangan sembahyang yang indah dan besar. Semua orang segera berdiri di undakan batu, sambil menunggu dimulainya upacara. Di antara segala kemewahan yang terlihat dalam ruangan itu, yang paling menarik perhatian adalah dua pagoda suci yang terbuat dari emas dan yang di atasnya ditata dengan giok, mutiara dan lain-lain batu permata. Selagi semua orang menunggu dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba terdengar suara lonceng dan tambur yang sangat gencar, disusul dengan keluarnya seiringan Lhama yang mengenakan pakaian serba putih. Yang jalan paling muka adalah Hoat-ong, yang di kiri kanannya diapit oleh empat muridnya yang terutama. Mereka berhenti dan berdiri di tengah-tengah kedua pagoda suci itu. Sesudah itu, keluar utusan-utusan Dalai dan Panchen Lama yang masing-masing diiring oleh empat pengikut. Sebagai tetamu agung, mereka berdiri berendeng dengan Hoat-ong, di samping pagoda suci. Belakangan, barulah keluar Touwsoe dari Sakya dengan empat Nyepa, antaranya Omateng yang bibirnya tersungging senyuman licik. Dilihat parasnya yang agak ketakutan dan sikapnya yang kikuk, dapat diduga, bahwa kejadian semalam belum dilaporkan kepada Touwsoe. Mata Thian Oe terus mengawasi ruangan sembahyang dengan tidak berkesip, tapi rombongan Wanita Suci belum juga keluar. Keng Thian pun memasang mata ke empat penjuru, tapi Kim Sie Ie yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangannya. Sesaat kemudian, perlahan-lahan Hoat-ong mengangkat tangan dan berkata dengan suara nyaring: “Semenjak agama kami meninggalkan Tibet, sampai sekarang sudah lebih dari seratus tahun. Hari ini, berkat belas kasihannya Sang Budha kami bisa kembali ke negeri sendiri dan atas dukungan Budha Hidup Dalai serta Panchen, kami memperoleh Sakya sebagai pusat untuk menyiarkan agama kami. Kami mengharap, bahwa mulai dari sekarang tidak akan terjadi sengketa apa-pun juga dan dengan dipayungi Sang Budha, kita sama-sama bisa mengicipi suatu perdamaian yang abadi.” Harus diketahui, bahwa sedari tahun Tjong Tjeng (kaizar Beng) ke enam belas, Sekte Topi Putih telah didesak keluar dari Tibet oleh. Sekte Topi Kuning, dan sedari waktu itu sampai pada pembukaan kuil tersebut, sudah berselang lebih dari seratus tahun. Selama seabad lebih, sudah terjadi puluhan kali benterokan senjata. Sekarang, walaupun di Sakya sudah tidak terdapat banyak pengikut Sekte Topi Putih, akan tetapi kejadian itu sangat menggirangkan hatinya semua orang. Maka itu, pidato Hoat-ong disambut dengan sorak-sorai yang gemuruh. Keng Thian manggutmanggutkan kepalanya dan di dalam hati, ia mengakui, bahwa segala tenaga dan uang yang digunakan untuk membuat kuil itu, mempunyai harga yang setimpal dengan maksudnya, yaitu perdamaian. Sesudah suara sorak-sorai mereda, lonceng di ruangan sembahyang dibunyikan tiga kali dan dua baris Lhama lalu jalan memutari ruang itu sambil membaca doa dan menciprat-cipratkan air suci. Mendadak, seluruh ruangan seolah-olah kena arus listrik dan para hadirin membuka mata mereka lebar-lebar. Sererotan wanita muda, semuanya berjumlah tiga puluh enam orang, yang mengenakan pakaian serba putih dan kudungan muka, muncul dari pedalaman. Semua orang mengetahui, bahwa upacara pembukaan kuil akan segera dimulai. Mereka mengawasi sambil menahan napas, tapi orang yang hatinya berdebaran paling hebat adalah Thian Oe. Dengan tangan masing-masing mencekal botol kristal yang berisi air suci, Wanita-wanita Suci itu mulai menari-nari di depan patung Sang Budha, sambil menciprat-cipratkan air suci di seluruh ruangan. Thian Oe mengawasi dengan mata tidak berkesip, akan tetapi, ia tak bisa membedakan yang mana Chena. Sesudah menari-nari beberapa lama. mereka menyanyikan lagu agama dalam bahasa Tibet, yang bunyinya kira-kira seperti berikut: Air suci. Membersihkan kekotoran di dunia. Tenaga Sang Budha tidak terbatas. Memayungi umat manusia. Mendadak, pada bagian terakhir dari empat baris nyanyian itu, terdengar suara yang bernada agak tinggi dan agak gemetar. Dengan cepat Thian Oe mengawasi ke arah suara itu. Tiba-tiba ia melihat seorang Wanita Suci yang tubuhnya bergoyang-goyang dan gerakannya agak berlainan dengan kawan-kawannya yang lain. Jantung Thian Oe memukul keras. “Itulah Chena! Katanya di dalam hati dan matanya mengawasi dengan tidak berkesip. “Chena, aku sungguh tak mengerti,” ia mengeluh di dalam hati. “Apa benar kau rela menjadi Wanita Suci seumur hidup?” Ia tentu saja tidak menduga, bahwa pada waktu itu, kedukaan si nona adalah seratus kali lipat lebih hebat daripada penderitaannya. Pada saat itu, Chena telah menggunakan seantero tenaganya untuk mempertahankan diri. Sesudah memutari ruangan sembahyang sekali lagi, para Wanita Suci itu kembali memperdengarkan nyanyiannya: Air suci. Mencuci hati, debu kotoran. Langit dan manusia menyaksikan kebenaran. Tersadar, bahwa dunia penuh kekosongan. Mendadak, tiga puluh enam Wanita Suci itu berhenti menari dan menyanyi dan lalu berdiri berjejer di depan patung Budha. Perlahan-lahan salah seorang membuka sebuah kelambu yang terbuat dari sutera kuning dan terlihatlah delapan belas patung Budha yang sangat indah dan halus buatannya. Di tengah-tengah adalah patung Sakyamuni (Djielayhoed) yang tingginya dua tombak empat kaki. Para Wanita Suci segera mencipratkan air suci kepada patung-patung itu dan kemudian lalu mundur dan berbaris di kedua samping. Demikian berakhirlah upacara resmi pembukaan kuil baru. Perlahan-lahan Hoat-ong maju ke depan patung dan dengan sikap hormat mempersembahkan khata kepada patung Djielayhoed. Sesudah Hoat-ong, utusan Dalai dan Panchen Lama mendapat giliran. Selama diadakan upacara tersebut, semua hadirin merangkap kedua tangannya sambil menundukkan kepala dan membaca doa di dalam hati. Sehabis utusan Dalai dan Panchen, Touwsoe Sakya lalu maju ke depan. Ia berlutut di hadapan patung Djielayhoed dan mempersembahkan khata yang lalu disambuti oleh seorang Lhama dan diselendangkan di lengan patung. Pada detik itulah, mendadak, mendadak saja terdengar teriakan Touwsoe! Hampir berbareng dengan berkelebatnya sinar putih, sebilah golok terbang menancap di belakang kepala Touwsoe! “Chena!” demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Seluruh ruangan sembahyang lantas kacau balau. Untuk membalas sakit hati, bertahun-tahun puterinya Raja muda Chinpu melatih diri dalam ilmu melepaskan golok terbang. Ia sudah memahami ilmu tersebut sampai di dasar-dasarnya dan timpukannya tepat luar biasa, menancap di atas leher, tiga dim di bawah otak Tapi, karena kuatir golok itu belum cukup untuk membinasakan musuh besarnya, hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, ia melepaskan pula golok kedua dan ketiga dengan beruntun. Hoat-ong yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari patung Djielayhoed, cepat-cepat melompat sambil mengebas tangan bajunya, sehingga golok kedua terpental balik dan menancap di pundak Chena, yang badannya lantas saja bergoyang-goyang, Thian Oe mencelos hatinya, hampir-hampir ia berteriak, tapi untung mulutnya masih keburu ditekap oleh Tong Keng Thian. Golok ketiga tidak mengenakan sasarannya dan mengenakan punggung Touwsoe. “Tring!”, golok itu terpental dan menyambar utusan Panchen, yang tidak mengenal ilmu silat. Dengan terkesiap buru-buru ia menundukkan kepala, tapi golok itu menancap di dekat tulang punggungnya. Pada saat itu, dengan sekali melompat, Hoat-ong sudah mencekal tangan Chena. Tapi ia terkejut bukan main setelah melihat utusan Panchen mendapat luka. Buru-buru ia melepaskan Chena dan menolong utusan Panchen. Begitu terlepas dari cekalan, Chena lalu melompat naik ke atas meja sembahyang dan membuka kudungan mukanya. “Aku adalah anak Raja muda Chinpu!” teriaknya. “Aku membunuh Touwsoe untuk membalas sakit hati orang tua dan kejadian ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan orang lain.” Sesaat itu, empat murid Hoat-ong sudah meloncat ke arah Chena dan seorang antaranya sudah menyentuh pakaian si nona. Hampir berbareng dengan ucapannya, Chena mencabut golok yang menancap di pundaknya dan lalu menikam leher sendiri! Darah muncrat dan ia roboh terguling. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang menyapu ke empat penjuru. Di lain saat, ia meramkan kedua matanya dan dengan bibir tersungging senyuman, ia berpulang ke alam baka. Ia merasa puas, bahwa pada detik penghabisan, ia masih bisa melihat wajah Tan Thian Oe, yang juga mengawasinya dengan mata tidak berkesip. Dapatlah dibayangkan, betapa kagetnya semua orang melihat kejadian yang tidak diduga-duga itu. Untuk sejenak, semua orang berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Di lain saat, mereka mengeluarkan teriakan dan bagaikan gelombang, berlomba lari keluar dengan saling desak. Hanya Thian Oe sendiri yang tetap berdiri tegak, sambil terus mengawaskan tubuh Chena yang berlumuran darah. Pada waktu si nona roboh, darahnya bergolak dan tanpa merasa, ia berteriak: “Chena! Chena!” Sambil berteriak, ia melompat ke depan untuk menghampiri kecintaannya. Keng Thian buru-buru mencekal tangannya seraya berbisik: “Thian Oe, kuatkan hatimu! Jangan menerbitkan keonaran!” Ia menyeret pemuda itu, yang, seperti orang linglung, lalu mengikuti. Di dalam dan di luar ruangan sembahyang, keadaan kacau balau. Di antara teriakan-teriakan, tiba-tiba terdengar jeritan: “Touwsoe binasa!” Itulah jeritan dari salah seorang pengikut Touwsoe. Kekalutan menghebat dengan ribuan orang berlari-lari bagaikan kalap. Sekonyong-konyong terdengar teriakan Omateng yang sangat nyaring: “Tangkap kawan pembunuh! Tangkap konco pembunuh!” Sesaat itu, Keng Thian dan Thian Oe sedang berlari-lari keluar dari pintu Goatgee boen. Mendadak, seorang Lhama mecegat jalanan mereka. Tanpa menegur lagi, Keng Thian menyikut dan Lhama itu lantas saja roboh terguling. Gelombang manusia terus merangsak dari belakang dengan dahsyatnya, sehingga tubuh si Lhama terinjak-injak. Waktu ia merangkak bangun, Keng Thian dan Thian Oe sudah tak kelihatan bayang-bayangannya. Antara begitu banyak orang, hanyalah Hoat-ong yang bisa mempertahankan ketenangannya. Sesudah kagetnya hilang, mata dan kupingnya memperhatikan segala apa. Teriakan Thian Oe tentu saja tidak terlolos dari perhatiannya, akan tetapi, sebab Keng Thian dan Thian Oe mengenakan pakaian penduduk Sakya dan juga karena mereka berada di antara ribuan orang, untuk sementara Hoat-ong tak bisa mengenali siapa yang sudah mengeluarkan teriakan itu. Begitu melihat seorang Lhama terpukul roboh, ia lantas memburu sambil berteriak: “Jangan lari! Semua orang berpencar kedua pinggiran. Kawan pembunuh adalah dua bocah itu! Semua orang jangan lari!” Teriakan Hoat-ong yang sangat berpengaruh memberi hasil yang diharapkan dan, meskipun ketakutan, semua orang lantas saja menghentikan tindakannya. Keng Thian kaget bukan main. “Hoat-ong sungguh liehay!” katanya di dalam hati. Selagi ia berusaha untuk mencari jalan guna meloloskan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang aneh. “Semua orang minggir! Aku ingin berjumpa dengan Budha Hidup!” katanya. Itulah suara Kim Sie Ie! Dengan hati berdebar-debar, Keng Thian menengok ke arah suara itu. Sesaat itu semua orang sudah mulai lari lagi dan sambil menyeret Thian Oe, Keng Thian lalu menggunakan kesempatan yang baik itu. Dalam sekejap mereka sudah keluar dari pintu kuil dan terus kabur ke belakang gunung dengan mengambil jalanan kecil. Kira-kira sepasangan hio, mereka tiba di belakang gunung yang sepi dan sampai disitu, barulah hati Keng Thian menjadi lega. Ia menepuk pundak Thian Oe seraya berkata: “Tan-heng, sadarlah!” Thian Oe mengawaskan dengan sorot mata lupa ingat. “Chena! Ah, Chena!” ia mengeluh dengan suara hampir tak kedengaran. “Sekarang aku tahu, kenapa kau menjadi Wanita Suci.” “Chena yang sudah mati tak bisa hidup kembali,” kata Keng Thian dengan suara membujuk. “Menurut pendapatku, kejadian ini akan menerbitkan keonaran besar. Paling benar kita cepatcepat pulang untuk berdamai.” “Berdamai apa? Aku toh tak bisa mengambil jenazahnya,” jawab Thian Oe. Keng Thian insyaf, bahwa otak pemuda itu masih kacau akibat pukulan yang hebat. Tanpa bicara lagi, ia menyeret pula tangan Thian Oe dan terus berlari-lari ke arah gedung Soanwiesoe. Selagi enak jalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang dalam bahasa Tibet: “Hm! Sesudah menerbitkan keonaran, kau orang mau mabur?” Keng Thian menoleh dan dari arah belakang pohon muncul dua orang. Yang satu adalah seorang pendeta India yang tangan kanannya mencekal tongkat bambu warna hijau, sedang tangan kirinya memegang sebuah mangkok emas. Orang itu bukan lain dari si pendeta berkelana yang pernah coba merebut guci emas dan yang telah dirobohkan dengan Pengpok Sintan. Orang yang satunya lagi adalah Teruchi yang semalam mengacau di taman Hoat-ong. Tanpa menegur lagi, si pendeta lalu membabat dengan tongkatnya dan menghantam kepala Thian Oe dengan mangkok emas. Melihat sambaran dahsyat dari mangkok itu, pada detik yang sangat berbahaya, Keng Thian menyikut, sehingga tubuh Thian Oe terpental dan berbareng dengan itu, ia memapaki senjata tersebut dengan tinju kiri, dengan menggunakan tenaga Toalek Kimkong. Di luar dugaan, begitu tersentuh, mangkok itu terputar-putar bagaikan terbang dan Keng Thian merasa tinjunya “diisap dengan semacam tenaga yang sangat kuat. Ia terkesiap, tapi tak jadi bingung. Sambil mengerahkan Iweekang dan dengan pukulan Ngoteng kaysan yang sangat keras, ia membabat dengan telapakan tangan kanan. Akibat babatan itu, tongkat si pendeta terpental ke atas, akan tetapi, sebagai ahli silat jempolan, hampir berbareng ia sudah menyodok jalanan darah Hianki hiat, di dada Keng Thian. Serangan susulan ini memang sudah diduga Keng Thian. Cepat bagaikan kilat, pukulan Ngoteng kaysan berubah menjadi Toakinna tjhioe (ilmu menangkap) dan ia menangkap ujung tongkat. Si pendeta kaget bukan main dan lalu membetot dengan menggunakan Iweekang, tapi tidak bergeming. Kedua jago itu lantas saja mengadu tenaga dalam dan saling membetot. Tongkat si pendeta dicekal Keng Thian, sedang tinju kiri Keng Thian “diisap” mangkok si pendeta. Sesaat kemudian, dari atas kepala si pendeta mengepul uap putih, suatu tanda bahwa ia sedang mengerahkan Seantero lweekang-nya. Teruchi, yang sedari tadi menonton tanpa bergerak, jadi sangat kaget. Ia adalah soetit (keponakan murid) si pendeta dan mengetahui, bahwa paman gurunya biasanya sungkan dibantu orang. Tapi keadaan sekarang adalah lain dari keadaan biasa. Sesudah memikir sejenak, tanpa menghiraukan kemungkinan dimaki, ia membuka Kongso (tali ikatan pinggang yang terbuat dari baja) yang lalu disabetkan ke muka Keng Thian. Pada detik itu Keng Thian berada dalam bahaya besar. Karena sedang mengadu tenaga dengan menggunakan dua tangannya, ia tak bisa berkelit atau menangkis lagi, sedang Thian Oe terus berdiri terlongo-Iongo, seperti orang yang lupa ingatan. Pada saat genting itu, dalam bingungnya Keng Thian membentak keras, suaranya menggeledek seolah-olah halilintar di tengah hari bolong. Teruchi terkesiap dan tangannya agak bergemetar, sehingga Kongso itu meleset dari sasarannya, lewat tiga dim dari kulit muka Keng Thian. Akibat bentakan itu, Thian Oe tersadar dan sambil menghunus pedang, ia segera melompat dan menyampok Kongso yang telah disabetkan untuk kedua kalinya ke muka Keng Thian. Begitu senjata musuh terpental, ia mengirim serangan kedua dengan pukulan Taypeng tiantjie (Burung garuda membuka sayap), sehingga dengan hati mencelos, buru-buru Teruchi meloncat ke samping. Ia sungkan memberi napas kepada musuh dan lalu mengirim serangan ketiga dengan ilmu Pengtjoan hoeipo (Sungai es berterbangan), ialah salah satu pukulan yang paling liehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Sebisa-bisa Teruchi coba menolong diri dengan melompat ke belakang, tapi ia agak terlambat, karena topinya kena dibabat putus. Melihat liehaynya pemuda itu, Keng Thian jadi sangat girang dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa dengan berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silat Thian Oe sudah maju begitu jauh. Karena mengetahui, bahwa jago Kalimpong itu bukan tandingan Thian Oe, maka dengan hati mantap, Keng Thian segera mengerahkan Seantero lweekang-nya dan membetot sekeras-kerasnya. Sekali ini, kaki si pendeta terangkat dari bumi dan tubuhnya terputar. Melihat lawannya keteter, Keng Thian segera mengerahkan tenaga di tangan kiri untuk melepaskan “isapan” mangkok. Sesaat itu, tiba-tiba ia mendengar suara Teruchi yang berkata dalam bahasa Tibet: “Jangan banyak tingkah, kau! Kecintaan sendiri kau masih tak bisa melindunginya, guna apa kau membantu kawan?” Sambil berkata begitu, ia mengawasi Thian Oe dengan sorot mata mengejek. Mendengar perkataan itu yang tajam seperti pisau, Thian Oe menjadi kalap. Ia melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan sambil menyender di pohon dengan badan bergoyanggoyang, ia berteriak: “Benar! Benar! Guna apa aku menjadi manusia? Kecintaan sendiri saja, aku sudah tak mampu melindungi. Chena! Chena! Aku sungguh merasa malu terhadap kau!” Melihat siasatnya berhasil, sambil tertawa nyaring, Teruchi melompat dan menyabet muka Keng Thian dengan senjatanya. Apa mau, sebelum Kongso mengenakan sasarannya, tubuh si pendeta dan Keng Thian sudah mulai terputar-putar dengan cepatnya, sehingga, karena kuatir melukakan paman guru sendiri, ia terpaksa menarik pulang senjatanya. Di lain detik, berbareng dengan teriakan Keng Thian yang sangat nyaring, mereka berpencaran dan dengan gerakan kilat, Keng Thian sudah menghunus pedang Yoeliong kiam. Begitu melihat musuh terpencar dari Soesiok-nya, Teruchi segera menghantam dengan Kongso. “Awas!” teriak si pendeta. Teruchi kaget dan coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi. Ujung Kongso terbabat putus dan dua bola baja yang tercantel disitu, jatuh di tanah. Ternyata, sesudah saling membetot beberapa saat, Keng Thian mengetahui, bahwa tenaga “mengisap” dari mangkok itu muncul dari gerakan terputarnya, sehingga semakin ia membetot tangannya, “isapan” itu jadi semakin keras. Buru-buru ia menukar siasat dan memutar tangannya, tapi arah putaran tangan itu adalah sebaliknya dari arah putaran mangkok. Benar saja, sesudah dua putaran, tangannya terlepas dari “isapan”. Di lain pihak, pada saat Keng Thian memusatkan tenaganya di tangan kiri, si pendeta membetot tongkatnya dengan sekuat tenaga dan ia pun berhasil melepaskan cekalan lawan. Begitu terlepas, mereka berpencaran dengan masing-masing melompat ke samping, sedang Keng Thian sendiri menghunus Yoeliong kiam sembari meloncat. Melihat keponakan muridnya berada dalam bahaya, si pendeta berkelana segera menerjang pula dan mengirim pukulan-pukulan berantai dengan tongkat dan mangkoknya. Karena menghadapi musuh yang terlalu kuat, ia tidak menghiraukan kebiasaannya lagi dan malahan memerintahkan supaya Teruchi memberi bantuan. Keng Thian sedikitpun tak menjadi keder dan ia lalu melayani dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat. Sebagaimana diketahui, si pendeta adalah pecundang Pengtjoan Thianlie, sehingga menurut pantas, ia juga bukan tandingan Keng Thian. Akan tetapi, keadaan sekarang sedikit berlainan dengan keadaan dulu. Pertama, senjata rahasia Pengpok Sintan dari Koei Peng Go merupakan senjata sangat istimewa yang disegani oleh si pendeta dan kedua, sekarang si pendeta dibantu oleh keponakan muridnya yang memiliki ilmu Yoga dan yang selalu menyerang dari samping dan belakang secara gerilya. Maka itulah, sesudah bertempur seratus jurus lebih, perlahan-lahan Keng Thian jatuh di bawah angin. Ia melirik Thian Oe dan ternyata, kawan itu masih terus menyender di pohon dengan mata mendelong, seperti orang kehilangan semangat, seolah-olah tidak mengetahui, bahwa sang kawan sedang bertempur mati-matian untuknya. Keng Thian jadi bingung, karena kedudukannya jadi semakin jelek. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan gergetan Keng Thian mengirim dua tikaman ke arah Teruchi, tapi dua serangan itu telah ditangkis dengan mangkok emas. Berbareng dengan dua kali suara “trang! trang!” Teruchi mengedut Kongso yang lantas saja menjadi lurus keras seperti tombak dan yang lalu ditikamkan ke tenggorokan Keng Thian. Dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala), Keng Thian mengegos tikaman itu yang lewat di atas kepalanya. Tapi Teruchi pun bukan anak kemarin dulu. Hampir berbareng ia menggentak, sehingga Kongso itu, yang berubah menjadi pecut lemas, menyabet punggung musuh. Berbareng dengan serangan keponakan muridnya, si pendeta menekan Yoeliong kiam dengan mangkok emas dan menotok jalan darah Djiekie hiat, di kempungan Keng Thian. Dua serangan itu, yang menyambar dengan berbareng, tak bisa ditangkis atau dikelit lagi. Pada detik berbahaya, Keng Thian mengempos semangat untuk menerima kedua pukulan musuh. Dengan mengenakan baju mustika, ia merasa pasti akan bisa mempertahankan diri terhadap sabetan pecut yang menyambar ke punggung. Tapi totokan si pendeta adalah totokan membinasakan yang sangat liehay dari ilmu tongkat Thianmo Tianghoat dan totokan itu memang untuk memecahkan lweekang dari ahli-ahli Lweekeeh. Maka itu, Keng Thian sendiri masih belum tahu, apa ia akan berhasil mempertahankan diri dengan menutup semua jalanan darah. Pada detik Kongso dan tongkat hampir menyentuh tubuhnya, mendadak saja si pendeta mengeluarkan teriakan aneh, tongkatnya terpental ke belakang, seakan-akan didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar. Tubuh si pendeta kemudian terputar beberapa kali, dan sesudah roboh, menggelinding ke bawah tanjakan. Sementara itu, begitu lekas Kongso menghantam punggung Keng Thian, badan Teruchi pun terpental setombak lebih karena idorong dengan tenaga dalam pemuda itu. Dia bergulingan beberapa kali dan kemudian, seperti juga Soesiok-nya, menggelinding ke bawah tanjakan. Semua kejadian itu, telah terjadi dalam beberapa detik. Keng Thian terlolos dari bencana, tapi ia tak tahu, apa sebabnya. Robohnya Teruchi memang merupakan akibat dari serangan tenaga dalamnya. Waktu Kongso menghantam punggungnya, yang tidak terluka karena dilindungi baju mustika, ia mengerahkan lweekang sambil menggoyang punggung, sehingga tubuh Teruchi terpental akibat dorongan tenaga dalam itu. Apa yang mengherankan adalah robohnya si pendeta berkelana itu, Kenapa, sedang tongkat belum menyentuh badannya, si pendeta mendadak menarik pulang senjatanya, seperti didorong oleh semacam tenaga yang sangat besar? Siapa yang sudah menolongnya? Keng Thian sungguh tak mengerti. Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, suara tertawa yang kedengarannya tak asing lagi. Tanpa memikir panjang-panjang, ia melompat ke hutan, ke arah suara itu. Sekonyong-konyong dari dalam hutan terbang menyambar seikat bunga yang masih basah dengan air embun. Keng Thian menangkap ikatan bunga itu yang di dalamnya terselip selembar kertas dengan tulisan: Lekas berlalu dari Sakya! Ia terkejut. Melihat gubahan dan cara menimpuknya ikatan kembang itu, ia ingat itu ikatan bunga yang ditimpukkan pada waktu ia mencari Pengtjoan Thianlie di atas gunung Gobie san. Ketika itu, ia menduga, bahwa orang yang menimpuk adalah Koei Peng Go. Belakangan, ia menyangsikan dugaan tersebut, karena si nona pasti tak mempunyai lweekang yang sedemikian tinggi. Tapi sekarang, sebab mengetahui, bahwa Peng Go belum tiba di Sakya, ia berani menentukan, bahwa orang yang menimpuk bukan Pengtjoan Thianlie. Tapi siapa? Sekonyong-konyong di dalam hutan kembali terdengar suara tertawa nyaring, yang dalam sekejap mata, sudah terdengar jauh sekali. Jantung Keng Thian memukul keras. Dalam dunia ini, tidak seberapa orang yang mempunyai ilmu entengkan badan begitu tinggi, yang bisa berlari begitu cepat. Mendadak, dalam otaknya berkelebat satu nama dan ia lantas saja berteriak: “Ie-ie (bibi)!” Tak bisa salah lagi orang yang menimpuk adalah Phang Lin, bibinya yang mahir dalam ilmu Tjekyap Hoeihoa (Ilmu menimpuk dengan daun dan bunga) dan yang suka sekali berguyonan. Untuk sejenak Keng Thian berdiri terpaku. Ia yakin, bahwa tak guna ia mengubar bibinya yang liehay itu. “Tapi kenapa Ie-ie juga datang kesini?” tanyanya di dalam hati. “Kenapa ia menasehatkan supaya aku meninggalkan Sakya?” Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab olehnya, tapi sesudah memikir beberapa saat, ia menarik kesimpulan, bahwa sang bibi hanya berguyon-guyon. Tapi ia tak tahu, bahwa nasehat Phang Lin bukan guyonan. Ia lalu menghampiri Thian Oe yang sedang duduk di bawah pohon dan menggurat-gurat tanah dengan sebatang kayu. Ternyata, pemuda itu tengah menulis huruf-huruf “Chena.” Keng Thian menghela napas dan sambil menarik tangan orang, ia berkata: “Hayolah!” “Kemana?” tanya Thian Oe. “Kemana kita cari Chena?” “Dengarlah!” kata Keng Thian dengan suara sungguh-sungguh. “Chena sudah meninggal dunia dan tentu bakal ada buntutnya. Jika kau tidak mengurus urusan-urusan yang merupakan akibat dari kebinasaannya, di alam baka ia tentu merasa penasaran.” Mendengar perkataan itu, Thian Oe agak tersadar. “Bagaimana mengurusnya?” tanyanya. “Paling terutama kau harus menyayang diri sendiri,” jawabnya. “Sekarang marilah kita pulang untuk berunding terlebih jauh.” Setibanya di gedung Soanwiesoe, mereka menuju langsung ke kamar Thian Oe, dimana Keng Thian lalu memeriksa nadinya pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa mengalirnya darah kacau balau karena kedukaan yang melampaui batas. “Sekarang coba kau bersila dan mengeluarkan segala pikiran dari otakmu,” kata Keng Thian. Thian Oe menurut, tapi beberapa saat kemudian, ia membuka mata seraya berkata: “Tak bisa! Tak dapat aku menolak gangguan pikiran.” Keng Thian memikir sejenak dan lalu berkata: “Bersilalah dengan tenang dan turut segala petunjukku.” Sesudah itu, ia lalu menurunkan ilmu melatih lweekang dari Thiansan pay. Sebagai seorang penggemar ilmu silat, perhatian Thian Oe lantas saja ditujukan kepada pelajaran itu. Dengan sepenuh hati, ia mendengari petunjuk-petunjuk dan lalu mulai berlatih. Berselang kurang lebih setengah jam, benar saja ia bisa membebaskan diri dari segala gangguan pikiran dan terus berlatih dengan tenang. Perlahan-lahan Keng Thian meninggalkan kamar itu untuk mendengar-dengar warta tentang kejadian barusan. Waktu itu, peristiwa di kuil Lhama sudah diketahui oleh segenap penghuni gedung Soanwiesoe. Keng Thian memanggil pengurus rumah tangga dan memesan supaya semua penghuni dilarang keluar sembarangan dan supaya pintu depan dijaga baik-baik. Sesudah lewat magrib, Tan Teng Kie barulah pulang dengan paras muka kusut. Si pengurus rumah tangga terkejut, karena belum pernah majikannya kelihatan begitu berduka. Begitu pulang, Teng Kie segera memerintahkan pengurus rumah tangga menutup pintu tengah dan memerintahkan juga dua puluh serdadu untuk menjaga diluar pintu. Sesudah itu, ia mengundang Keng Thian masuk ke kamar tamu untuk berunding. Begitu lekas mereka berduduk, Teng Kie menanya: ” Mana Oe-djie?” Dengan ringkas Kang Thian menuturkan segala kejadian yang dialaminya. “Baru sekarang aku tahu, gadis yang dipenujui Oe-djie adalah puterinya Raja muda Chinpu,” kata Tan Teng Kie. “Semula aku menduga Yoe Peng, itu dewi dari istana es.” Ia menghela napas dan kemudian berkata pula: “Dengan demikian keadaan jadi semakin sulit.” “Kenapa?” tanya Keng Thian. “Jika tak salah, Omateng bakal menimbulkan kekacauan besar,” jawabnya. “Sesudah kau dan Oe-djie melarikan diri, dalam kuil terjadi lain peristiwa.” “Kehadiran kami dilihat olehmu?” tanya Keng Thian. Teng Kie mengangguk. “Meskipun Oe-djie mengenakan pakaian orang Tibet, aku tentu mengenalinya,” jawabnya. “Sebelum kau orang kabur dari pintu Goatgee boen, Hoat-ong sudah mengubar. Pada saat itu, aku bingung bukan main. Mendadak, muncul seorang pemuda aneh, badannya jangkung, parasnya cakap, mirip-mirip Oe-djie. Ah! Pemuda itu benar-benar besar nyalinya, entah dia pernah makan nyali singa atau jantung macan tutul. Begitu muncul, begitu dia menerjang Budha Hidup!” Keng Thian lantas saja mengetahui, bahwa “pemuda aneh” itu adalah Kim Sie Ie. “Habis bagaimana?” tanyanya dengan hati berdebar-debar. “Seperti seekor garuda, dia melayang turun dari payon rumah,” Teng Kie melanjutkan penuturannya. “Begitu kakinya menginjak bumi, begitu dia mengirim tinju ke arah Hoat-ong. Dalam jarak yang agak jauh, sang Budha Hidup mengebas tangannya dan sungguh heran, pemuda itu seperti kena didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar, sehingga dia terpental dan melompat naik lagi ke atas genteng. Sesaat kemudian, ia turun kembali, Hoat-ong mengebas lagi dan untuk kedua kalinya, ia ngapung ke atas genteng. Sesudah kejadian itu berulang tiga kali, empat murid Hoat-ong melompat ke atas dan lalu mengurungnya.”- “Dan bagaimana dengan Hoat-ong sendiri?” tanya Keng Thian. “Hoat-ong sendiri tidak bergerak,” jawabnya. “Empat murid yang sudah berada di genteng, tidak lantas menyerang. Dengan sikap hati-hati, seperti sedang menghadapi lawan berat, perlahan-lahan mereka mengurung. Dengan tetap berdiri di tanah, Hoat-ong mengirim beberapa pukulan ke arah si pemuda yang berada di genteng. Sungguh aneh, setiap kali Hoat-ong mengirim pukulan, badan pemuda itu bergoyang-goyang. Sementara itu, empat Lhama sudah mengurung semakin rapat dan mereka akan segera menyerang. Mendadak, entah kenapa, tubuh Hoat-ong bergoyang-goyang dan sebelum mengirim pukulan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata sambil mengebas tangannya: “Biarkan dia pergi!” Sambil tertawa nyaring, seperti seekor walet, pemuda itu melompat ke wuwungan dan dalam sekejap, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Keadaan jadi semakin kalut dan orang ramai membicarakan kejadian itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu adalah jejadian yang sengaja datang untuk menjajal Hoat-ong. Bahwa Hoat-ong tak berhasil menangkapnya, adalah suatu tanda, bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi, demikian katanya orang-orang itu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Sekte Topi Kuning.” Keng Thian kaget berbareng kagum. Di dalam hati ia mengerti, bahwa pukulan yang di kirim Hoat-ong dari bawah genteng adalah pukulan Pekpo sinkoen (Pukulan malaikat dari jarak seratus kaki). “Dengan kepandaian yang dimiliki Kim Sie Ie, paling banyak ia bisa mempertahankan diri dari serangan Hoat-ong ,” pikirnya. “Bagaimana, selagi diserang Hoat-ong dan dikepung empat Lhama yang berkepandaian tinggi, ia masih bisa meloloskan diri? Apakah ada orang pandai yang membantunya? Didengar dari penuturan Tan Teng Kie, Hoat-ong rupanya telah mendapat peringatan dari seorang pandai. Tapi siapakah orang itu?” Keng Thian telah menebak jitu, hanya ia tidak menduga, bahwa orang yang sudah menolong Kim Sie Ie, adalah bibinya sendiri. Sesudah berdiam sejenak, Tan Teng Kie berkata pula: “Tentang puteri Raja muda Chinpu…” “Namanya Chena,” memotong Keng Thian. “Ya, Chena,” membenarkan Teng Kie sambil mengangguk. “Hal Chena membunuh Touwsoe dan kemudian membunuh diri sendiri, sudah dilihat oleh kau orang. Sesudah nona itu roboh, Omateng segera menghampiri dan membuka kudungan mukanya. ‘Hei! Coba kau orang datang kemari!’ ia berteriak. ‘Puteri Raja muda Chinpu adalah penjahat perempuan yang dulu pernah mencuri kuda dan membakar gedung Touwsoe!’ Orang-orangnya Touwsoe segera mendekati dan sebagian besar antaranya mengenali Chena. Mereka manggut-manggutkan kepala dan membenarkan perkataan Nyepa gemuk itu. Di lain saat, sambil berpaling kepadaku, Omateng berkata: ‘Tan Taydjin, dia adalah itu penjahat perempuan yang dulu pernah dilindungi olehmu dengan mengajukan permohonan pengampunan kepada Touwsoe.’ Dia tertawa, tertawa yang membangunkan bulu romaku. Baru saja aku ingin menjawab, bahwa tindakanku itu adalah karena desakannya sendiri, mendadak Hoat-ong dan empat muridnya berjalan masuk ke ruangan sembahyang. Sementara itu, Omateng dan orang-orangnya Touwsoe sudah menggotong jenazah Touwsoe dan Chena keluar dari ruangan sembahyang. Dia juga sudah berhasil membujuk utusan Dalai Lama untuk mengikutinya, dengan membawa utusan Panchen yang mendapat luka. Sambil berjalan keluar, dia berteriak-teriak, mengatakan ingin membalas sakit hati Touwsoe dan mengajak pulang semua orang-orangnya Touwsoe. Hoat-ong kelihatan bingung, tapi tidak merintangi perbuatan Nyepa gemuk itu. Demikianlah, dengan sikap sombong, dengan diikuti oleh utusan Dalai dan Panchen Lama, Omateng berlalu dari kuil tersebut. Coba kau pikir, siasat apa yang akan dijalankan olehnya? Satu hal yang sudah boleh dipastikan, Omateng sedang bersiap untuk menerbitkan badai di Tibet.” Keng Thian kaget tak kepalang. “Asal-usul Omateng tak diketahui olehku,” katanya. “Tapi aku sependapat, bahwa dia akan menimbulkan keonaran besar. Tan Taydjin, menurut pendapatku, jalan yang paling baik adalah segera melaporkan kepada Hok Kong An.” Tan Teng Kie menyetujui usul Keng Thian dan ia segera menulis surat. Tapi belum selesai ia menulis surat itu, mendadak di luar gedung terdengar suara ribut-ribut. Di lain saat, pengurus rumah tangga masuk dengan tersipu-sipu. “Dengan membawa sepasukan tentara, Omateng telah mengurung gedung ini,” katanya dengan suara gugup. Tan Teng Kie tertawa getir. “Sakit hati apakah yang didendam olehnya, sehingga dia datang begitu cepat?’ katanya. “Apa dia takut aku melarikan diri?” Sehabis berkata begitu, dengan mengajak Keng Thian, ia lalu naik ke atas ranggon. Mereka melihat Omateng dan isteri Touwsoe sedang mencaci di bawah tembok. Dalam rombongan itu terdapat juga para Nyepa, si pendeta berkelana dan Teruchi. Sambil mengebas dengan tangannya. Omateng berteriak: “Mampuskan semua pembesar Han! Mereka semua bukan manusia baik-baik. Mereka datang ke Tibet untuk mengacau.” Dari atas ranggon, Tan Teng Kie membungkuk kepada nyonya Touwsoe seraya berkata dengan suara nyaring: “Kebinasaan Touwsoe memang merupakan kejadian yang sangat menyedihkan dan kami turut berduka cita. Tapi, ada hubungan apakah antara terbunuhnya Touwsoe dan aku pribadi? Bolehkah aku mendapat tahu, untuk urusan apa Hoedjin datang kemari dengan sepasukan tentara? Kenapa kalian menumplek kegusaran di atas pundak orang Han?” Nyonya Touwsoe menangis keras dan sambil menuding Tan Teng Kie, ia berteriak: “Tan Teng Kie! Jangan kau berpura-pura! Jika penjahat perempuan itu bukan suruhanmu, kenapa dulu kau sudah coba melindunginya? Kenapa anakmu sudah menolongnya dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri?” “Tan Teng Kie, kau dengarlah!” Omateng menyambungi dengan suara menggeledek’ “Urusan kami di Tibet bisa diurus oleh kami sendiri. Kami tak memerlukan bantuan orang Han. Dengan menggunakan tangannya seorang penjahat perempuan, kau sudah membunuh Touwsoe dan kau sudah memerintahkan supaya penjahat itu mengaku sebagai puterinya Raja muda Chinpu. Terang-terangan kau ingin menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya kau bisa menarik segala keuntungan dan bisa berkuasa terus di wilayah kami. Sebelum manusia-manusia seperti kau diusir semuanya, di Tibet tak akan bisa tercapai perdamaian kekal.” Bukan main gusarnya Tan Teng Kie. Sekarang sudah nyata, bahwa Omateng memang berniat menimbulkan kekacauan dan sengaja menuduh dirinya secara membabi buta. Baru saja ia ingin balas mencaci, si gemuk sudah mementang busur dan melepaskan sebatang anak panah. Dengan cepat Keng Thian melompat dan berdiri di depan Tan Teng Kie, akan kemudian, dengan dua jeriji, ia menjepit anak panah yang menyambar itu. “Manusia tak punya malu!” bentaknya. “Sambutlah anak panah ini!” Ia mementil dengan dua jerijinya dan anak panah itu menyambar balik dengan tenaga lebih hebat daripada waktu dilepaskan dengan menggunakan busur. Cepatcepat Omateng mengangkat busur dan menangkisnya. “Tak!”, busur itu patah dua! Omateng kaget tak kepalang, buru-buru ia menggulingkan badan dan menyelesap masuk di antara orang banyak. “Lepaskan anak panah!” teriaknya. Dalam sekejap, ribuan anak panah menyambar bagaikan hujan gerimis ke arah ranggon. Sambil memutar Yoeliong kiam, Keng Thian melindungi Tan Teng Kie turun dari ranggon itu dan begitu turun, mereka lalu mengatur pembelaan. Gedung Soanwiesoe hanya dijaga oleh seratus lebih serdadu, sedang jumlah musuh kurang lebih seribu orang. Akan tetapi, sebab semua tentara memiliki ilmu silat yang lumayan berkat pelajaran yang diberikan oleh Thian Oe dan juga karena gedung Soanwiesoe kekar dan kuat buatannya, maka tentara Omateng tak gampang-gampang masuk. Mereka menggunakan “tangga awan” untuk memanjat tembok, tapi tangga-tangga itu semua kena dirobohkan. Sehari dan semalam. Mereka menyerang terus menerus, tapi gedung Soanwiesoe masih tidak bergeming. Di pihak Tan Teng Kie, semua orang sudah lelah bukan main dan Keng Thian, yang belum tidur sekejap, mengetahui, bahwa mereka tak bisa mempertahankan diri terus menerus secara begitu. Pada hari ketiga, waktu fajar mulai menyingsing, Keng Thian melihat, bahwa tentara Omateng telah ditarik mundur kurang lebih separuh. “Eh-eh!” katanya di dalam hati. “Aku justru kualir mereka menambah kekuatan. Kenapa mereka mundur? Apa Omateng menukar siasat?” Tentara Tibet itu hanya mengurung, sama sekali tidak memperlihatkan tanda untuk menyerang, sedangkan Omateng dan Teruchi tidak berada dalam tentara. Selagi Keng Thian mengawasi dengan perasaan sangsi, dari sebelah timur sekonyong-konyong terlihat satu bayangan manusia yang mendatangi dengan cepat sekali dan melewati bagian yang agak kosong dari tentara musuh. Karena cuaca masih belum terang, tentara Tibet itu tak bisa segera mengenali siapa yang datang, entah musuh atau kawan, sehingga mereka tidak segera merintangi. Dalam sekejap, bayangan manusia itu sudah melewati dua lapis tentara dan sekarang baru orang melihat tegas, bahwa ia itu adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih dan mengenakan pakaian sasterawan. Beberapa tentara yang menjaga gedung, lantas saja berteriak: “Aha! Siauw Loosoe!” Waktu Siauw Tjeng Hong masih menjadi guru dalam gedung Soanwiesoe, ia kelihatan tua dan loyo. Bahwa sekarang ia muncul dengan gerakan yang begitu gesit, sudah menimbulkan perasaan heran dalam hati segenap tentara yang mengenalnya. Sesaat itu, tentara Tibet yang juga sudah mengetahui, bahwa Siauw Tjeng Hong bukan seorang kawan, lantas saja merintangi dan coba mengepungnya. Dengan cepat ia mengebut dengan hudtim dan setiap kali mengebut, satu serdadu roboh terguling. Tentara Tibet jadi ketakutan, mereka menduga musuh mempunyai ilmu siluman dan tidak berani mengejar terus. Sesaat itu, orang satu-satunya yang mengubar adalah si pendeta berkelana yang, dengan beberapa kali lompatan saja, sudah menyandak Siauw Tjeng Hong. Keng Thian kaget, karena ia yakin, Siauw Tjeng Hong bukan tandingan si pendeta. Sambil mengerahkan lweekang, ia menimpuk dengan dua batang Thiansan Sinbong. Si pendeta menangkis dengan mangkoknya dan dua kali suara “trang!”, senjata rahasia itu menancap di mangkok. Si pendeta terkesiap, ia tak menduga, bahwa di dalam dunia terdapat senjata rahasia yang begitu liehay dan bisa menembus emas. Karena musuhnya tertahan Sinbong, Siauw Tjeng Hong bisa lari terus dan melompat naik ke atas tembok. “Siauw Loosoe, lagi kapan kau datang?” tanya Keng Thian sesudah Tjeng Hong hilang sengalsengalnya. “Sesudah selesai mengubur jenazah Moh Tayhiap, aku segera menyusul kemari,” jawabnya. “Kau tiba lebih dahulu kira-kira satu setengah hari.” “Pengtjoan Thianlie?” tanya pula Keng Thian. “Ia berangkat belakangan,” sahutnya. “Sesudah aku berlalu, ia masih harus berdiam di Gobie san dua hari lagi, untuk mengurus urusan-urusan partai Boetong pay. Ia akan berangkat berbareng dengan Lu Liehiap.” Keng Thian berdiam sejenak. “Ilmu entengkan badan Peng Go banyak lebih tinggi daripada Siauw Tjeng Hong, sehingga, biarpun berangkat dua hari belakangan, sebenarnya ia sudah mesti tiba disini,” katanya di dalam hati. “Kenapa sampai sekarang ia belum kelihatan mata hidungnya? Apa terjadi kejadian luar biasa?”Memikir begitu, ia segera menanya pula: “Lagi kapan kau tiba di Sakya?” “Kemarin,” sahutnya. “Aku tak bisa lantas masuk kesini, karena penjagaan di luar sangat kuat. Baru hari ini, aku mendapat kesempatan. Mana Thian Oe?’ “Jika mau dituturkan, ceritanya panjang sekali,” jawab Keng Thian. “Dia sekarang sedang beristirahat dalam kamarnya. Sekarang lebih dulu aku minta kau tuturkan keadaan di luar.” “Kalut bukan main,” jawabnya. “Menurut pendengaranku, Omateng telah “membakar’ utusan Dalai Lama dengan mengatakan, bahwa Hoat-ong Sekte Topi Putih telah menghina Sekte Topi Kuning, karena ia memerintahkan Wanita Suci untuk melukakan utusan Panchen Lama. Katanya, mereka ingin memohon supaya Dalai dan Panchen Lama mengirim tentara untuk mengusir Sekte Topi Putih, Aku kuatir kejadian ini akan berbuntut dengan perang agama.” Keng Thian terperanjat. Semula ia menduga Omateng hanya ingin mengusir orang Han dari wilayah Tibet, tapi sesudah mendengar penuturan itu, si Nyepa gemuk ternyata sudah menyulut api di beberapa tempat untuk membakar seluruh Tibet. Apa maksudnya? “Kuil Lhama juga sudah diawasi oleh tentara Tibet, tapi mereka belum berani mengacau, karena rupanya masih merasa segan terhadap Hoat-ong,” kata pula Siauw Tjeng Hong. “Menurut pendengaranku Omateng ingin minta bala bantuan dari Kalimpong dan Nepal untuk mempersatukan Tibet.” “Bagaimana baiknya?” kata Keng Thian dengan suara bingung. “Jalan satu-satunya adalah memberi laporan kepada Hok Kong An, supaya segera di kirim bantuan tentara.” Tapi, siapa yang harus membawa surat itu? Selagi mereka bersangsi, pasukan Tibet mendadak berpencaran dan minggir ke kiri kanan dan di jalanan yang terbuka itu muncul Omateng yang mengiring dua orang Lhama Sekte Topi Putih, yang menunggang seekor gajah putih. Keng Thian lantas saja mengenali, bahwa mereka adalah murid-murid utama dari Hoat-ong yang pernah dikirim untuk merebut guci emas. “Sungguh heran,” katanya di dalam hati. “Menurut keterangan, Omateng mengambil sikap bermusuh terhadap Hoat-ong. Tapi kenapa Hoat-ong mengirim dua muridnya datang kesini!” Sekonyong-konyong pasukan Touwsoe juga berpencaran dan membuka satu jalanan lebar. Di lain saat, seorang gadis Tsang yang mengenakan pakaian warna hijau dan menunggang seekor kuda, mendatangi dengan cepat sekali. Kedatangan wanita itu disambut dengan membungkuk oleh semua perwira. “Itulah puterinya Touwsoe!” kata Siauw Tjeng Hong. Sementara itu, sambil mengaburkan tunggangannya, nona itu berteriak: “Omateng! Omateng!” Si gemuk menoleh seraya berkata: “Sanpiie Kangma Kusiu (Nona Sanpiie), perlu apa kau datang kemari? Pulang! Lekas pulang!” Si nona mendelik dn membentak: “Omateng! Dengan siapa kau bicara? Bukan kau, tapi akulah yang memerintahkan kau lekas pulang!” Omateng tertawa dingin. “Tindakanku ini adalah atas perintah Hoat-ong dan sudah disetujui oleh ibumu,” katanya. “Ayahmu binasa dibunuh penjahat perempuan dan ia mati dengan mata melek. Aku adalah seorang yang ingin membekuk musuh ayahmu!” Sanpiie kelihatan jengkel sekali, tapi ia tak dapat menjawab perkataan Nyepa itu. Sementara itu, Omateng dan dua murid Hoat-ong sudah tiba di depan pintu dan berteriak-teriak minta bicara dengan Tan Teng Kie. Kedua Lhama itu mengacungkan Kioehoan Sekthung (tongkat timah) yang pada ujungnya tergantung satu Patkwa tertata mutiara, yaitu tanda kekuasaan Hoat-ong. “Kami, utusan Budha Hidup, minta bertemu dengan Taytjeng Ponpo (pembesar kerajaan Tjeng)!” berteriak satu antaranya. “Tan Taydjin bagaimana?” tanya Siauw Tjeng Hong, “Buka pintu atau jangan?” Tan Teng Kie bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut: “Buka!” Dengan segala kehormatan Tan Teng Kie menyambut empat tetamunya (Omateng, kedua Lhama dan Sanpiie) dan mengundang mereka ke kamar tamu. Keng Thian mengikut sebagai pengawal pribadi Soanwiesoe dan duduk di pinggiran. Sesudah mempersembahkan khata dan mengajak tetamunya minum teh, Tan Teng Kie segera menanya maksud kedatangan mereka. “Karena merasa tak tega jika sampai terjadi bentrokan senjata, maka Budha Hidup bersedia untuk mengadakan perdamaian,” kata salah seorang murid Hoat-ong. “Orang-orang sebawahan Touwsoe semua mengatakan, bahwa penjahat perempuan itu adalah kawan puteramu, yang sudah turut campur tangan dalam pembunuhan itu. Maka itu, kami meminta supaya Ponpo Taydjin suka menyerahkan puteramu kepada Hoat-ong untuk diadili.” Hati Tan Teng Kie mencelos. Ia tak menduga, bahwa Omateng sudah bisa mempengaruhi Budha Hidup sampai begitu rupa. Tentu saja ia tak sudi meluluskan permintaan itu. Tapi, baru saja ia mau membuka mulut, Sanpiie sudah mendahului: “Ayahku telah dibunuh oleh puteri Raja muda Chinpu dan sekarang si pembunuh sudah membunuh dirinya sendiri. Maka itu, menurut pendapatku, tidak pantas kita menyeret-nyeret Thian Oe. Jika mau dikatakan Thian Oe turut berdosa, karena ia pernah menolong pembunuh itu, maka cukuplah kiranya jika ia diperintah menjaga peti mati ayahku selama tujuh hari.” Si nona yang mencintai Thian Oe, mengetahui, bahwa jika pemuda itu jatuh ke dalam tangan Omateng, hampir boleh dipastikan ia akan celaka. Maka itu, dengan mendusta pada ibunya, cepatcepat ia menyusul. Teng Kie girang bukan main. “Perkataan Sanpiie Kangma Kusiu benar sekali,” katanya. “Aku menyetujui pemberesan itu. Begitu lekas kau mundurkan tentara, aku akan segera memerintahkan Oe-djie pergi ke gedung Touwsoe.” Omateng tertawa dingin. “Urusan di Sakya diurus olehku dan ibumu,” katanya. “Tak perlu kau campur-campur. Aku sekarang ingin menandaskan sekali lagi: Aku datang kemari atas perintah Hoat-ong dan ibumu. Apa kau belum mengerti?” Jika Touwsoe masih hidup, Omateng tentu tak berani berlaku begitu kurang ajar. Tapi sekarang, sesudah kekuasaan jatuh ke dalam tangannya, ia tak memandang sebelah mata lagi puterinya Touwsoe. Sementara itu, si gemuk selalu menggunakan nama Hoat-ong dan ibunya serta saban-saban mengatakan, bahwa segala tindakannya adalah untuk membalas sakit hatinya ayahnya, Sanpiie pun tak bisa bertengkar lagi. Omateng berpaling lagi kepada Teng Kie sambil memperlihatkan tertawa licik, ia berkata pula: “Ponpo Taydjin, aku mengharap, bahwa dengan mengingat kepentingan yang lebih besar, kau suka segera menyerahkan puteramu.” Teng Kie bingung bukan main dan berkata dengan suara gugup: “Ini… ini…” “Orang Han sering mengatakan bahwa siapa yang berbuat, dialah yang harus menanggung segala akibatnya,” si gemuk memutuskan omongan tuan rumah. “Dulu di gedung Touwsoe, puteramu sudah berani membelah buah dengan golok terbang. Apa sekarang ia tak mempunyai nyali untuk mengikut kami?” Sekonyong-konyong, dari dalam terdengar tertawa nyaring dan seorang pemuda muncul dengan tindakan perlahan. “Oe-djie!…” Teng Kie mengeluarkan seman tertahan. Ia mau bicara lagi, tapi mulutnya seperti terkancing, karena melihat hal yang sangat aneh. Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. “Omateng!” katanya. “Benar katamu: orang yang berani berbuat harus berani menanggung akibatnya. Aku justru ingin menemui Hoat-ong untuk bicara dengannya. Hayolah! Mari kita berangkat sekarang.” Tan Teng Kie menatap wajah pemuda tersebut dengan mata terbelalak. Dia mengenakan pakaian Thian Oe dan romannya memang mirip dengan puteranya itu, tapi sudah pasti, dia bukan Thian Oe. Keng Thian pun kelihatan kaget, tapi di lain saat, ia memberi isyarat kepada Teng Kie dengan kedipan mata. “Saudara Thian Oe,” katanya. “Kau belum sembuh, bagaimana kau bisa pergi?” Si pemuda tertawa dingin seraya berkata: “Tak usah kau memperdulikan aku. Andaikata aku tak sakit, Nyepa Omateng tentu tak sudi membiarkan aku hidup tenang. Eh, Nyepa! Kenapa kau belum mau berangkat?” Tan Teng Kie yakin, bahwa pemuda itu yang ingin menolong puteranya, mengenal Keng Thian, tapi ia sendiri belum pernah melihatnya dan Thian Oe belum pernah memberitahukan tentang sahabat itu. Jika Tan Teng Kie heran, Keng Thian sebenarnya lebih heran lagi, sebab pemuda itu bukan lain daripada Kim Sie Ie. Kenapa dia mendadak muncul dalam peranan sebagai Thian Oe? la ingat, bahwa menurut Lu Soe Nio, si pengemis kusta hanya bisa hidup tiga puluh enam hari lagi. Ia menghitung-hitung dan ternyata, sedari Liehiap mengatakan begitu sampai sekarang, sudah berselang tiga puluh tiga hari, atau dengan lain perkataan, Kim Sie Ie hanya bisa hidup tiga hari lagi. Tapi kenapa mukanya masih tetap seperti biasa, sedikitpun tak memperlihatkan tanda-tanda jelek? Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa berkat bantuan lweekang dari bibinya, umur Kim Sie Ie diperpanjang lagi tiga puluh enam hari. Sanpiie juga tak kurang kagetnya. Ia pun tahu, pemuda itu bukan Tan Thian Oe. Sementara itu, kedua Lhama lalu bangun berdiri dan berkata sambil merangkap kedua tangannya: “Terimakasih atas bantuan Ponpo Taydjin.” Sehabis berkata begitu, ia segera bergerak untuk berlalu dengan membawa Kim Sie Ie. Harus diketahui, bahwa Hoat-ong dan empat muridnya sebenarnya merasa bersimpati terhadap Tan Teng Kie dan mendongkol terhadap Omateng. Akan tetapi, karena Nyepa gemuk itu menggunakan utusan Dalai dan Penchen Lama untuk menekannya dan juga karena mengingat kepentingan Agama Topi Putih, maka dengan terpaksa, ia menuruti segala permintaan Omateng. Pada hakekatnya, ia sama sekali tak berniat menyusahkan Tan Teng Kie dan keluarganya. Di lain pihak, sesudah menatap wajah Kim Sie Ie beberapa saat, Omateng maju setindak sambil membentak: “Siapa kau?” Kim Sie Ie mendelik. “Siapa kau?” ia balas membentak. “Aku adalah Nyepa besar dari Sakya, namaku Omateng,” jawabnya. “Siapa tidak mengenal aku?” “Aku adalah Tan Thian Oe, menantu Touwsoe Sakya,” Kim Sie Ie menimpali. “Siapa tidak mengenal aku? Sesudah Touwsoe meninggal dunia, aku sudah menjadi separuh majikanmu. Jangan kau berlaku kurang ajar di hadapanku.” “Bocah! Apa kau mau cari mampus?” mencaci Omateng dengan gusar sekali. “Jangan kau coba-coba memalsukan nama orang lain?” “Memalsukan nama orang lain?” menegas Kim Sie Ie. “Dalam dunia ini, mana ada manusia yang mau memalsukan diri sebagai suami orang lain.” Kedua Lhama itu melirik Sanpiie yang paras mukanya berubah merah. “Thian Oe,” kata si nona dengan suara bergemetar. “Omateng mengandung maksud kurang baik. Kau tak boleh pergi.” Dengan berkata begitu, ia mengakui Kim Sie Ie sebagai Tan Thian Oe. Sebenarnya, ia juga mengetahui, bahwa pemuda itu bukan kecintaannya, tapi karena tak ingin Thian Oe mengantarkan jiwa, maka, dengan menahan malu, ia sudah berkata begitu. Mendengar perkataan Sanpiie, kedua Lhama itu tidak bersangsi lagi. Mereka menganggap, tak mungkin seorang gadis mengakui orang lain sebagai tunangannya dan di samping itu, juga tak mungkin seorang manusia sudi mengantarkan jiwa untuk orang lain. Mengingat begitu, satu antaranya lantas saja berkata; “Aku rasa dia adalah Thian Oe tulen, Nyepa tak usah bersangsi lagi.” Omateng tertawa dingin. “Aku mengenal Tan Thian Oe,” katanya. “Tan Thian Oe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi.” Sambil berkata begitu, ia mengangsurkan tangan untuk mencengkeram. “Terima kasih,” kata Kim Sie Ie seraya menggoyang pundaknya dan… si gemuk jatuh terjengkang. Ia merasa badannya sakit dan untuk sementara tak bisa bangun berdiri. “Ilmu silatnya memang cukup tinggi,” kata Keng Thian, tertawa. “Apa sekarang Nyepa percaya?” Dalam tindakannya yang barusan, Omateng ternyata sudah salah menduga. Ia menaksir, bahwa pemuda itu adalah orang yang dibeli oleh Tan Teng Kie. Maka itu, dalam anggapannya, seorang tenaga belian tentu tak mempunyai kepandaian suatu apa. Tapi kali ini ia membentur tembok dan bertemu dengan si pengemis kusta yang berkepandaian lebih tinggi daripada Thian Oe. Masih untung, Kim Sie Ie tidak menggunakan seluruh tenaganya, sehingga si gemuk tak sampai patah tulang. “Siapa berani kata, aku memalsukan nama?” membentak Kim Sie Ie sambil mendelik. Omateng tak berani berkata apa-apa lagi. “Nyepa tak usah bersangsi lagi,” kata sang Lhama sambil tersenyum. “Budha Hidup tengah menunggu. Marilah kita berangkat sekarang.” Keng Thian buru-buru bangun dan sesudah mendekati Kim Sie Ie, ia berkata: “Saudara Thian Oe, dalam pergimu ini, aku mengharap kau bisa menjaga diri. Inilah yowan-mu (pil). Bawalah.” Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan satu botol perak kecil yang berisi tiga biji Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, setiap pil itu bisa memperpanjang umur Kim Sie Ie untuk tiga puluh enam hari. Sesaat itu, karena merasa kagum akan pengorbanan si pengemis kusta, Keng Thian rela menyerahkan semua pil bekalannya. Sebagaimana diketahui, Pekleng tan dibuat dari Soatlian (Teratai salju) yang terdapat di gunung Thiansan. Soatlian adalah bahan obat yang tiada bandingannya dalam dunia dan yang bisa memunahkan racun serta menyembuhkan luka. Dulu, dalam pertempuran antara Tjoei In Tjoe dan Siauw Tjeng Hong, Tjoei In Tjoe telah mendapat luka berat sehingga separuh badannya tidak bisa bergerak. Hanya dengan sekuntum Soatlian saja, luka itu sudah menjadi sembuh. Maka itulah, melihat Keng Thian menyerahkan botol obat kepada Kim Sie Ie, Siauw Tjeng Hong jadi kagum bukan main. Tapi di luar dugaan, pemuda itu mengebas tangan bajunya seraya tertawa terbahak-bahak. “Tong Keng Thian!” katanya. “Aku tak sudi menerima budimu.” Karena dikebas secara tak terduga, botol itu terbang dan Keng Thian buru-buru menangkapnya kembali. “Bukan kau, tapi akulah yang menerima budi,” katanya. Selagi ia mau melanjutkan omongannya, Kim Sie Ie sudah memotong: “Hm! Kau hanya ingin memperlihatkan ksatriaanmu kepada Pengtjoan Thianlie. Tapi aku tak mau kau mewujutkan niatan itu. Mati atau hidup adalah takdir Tuhan. Perlu apa aku menerima pertolonganmu?” Kata-kata itu dikeluarkan dengan suara angkuh dan sebelum Keng Thian bisa menjawab, ia sudah bertindak keluar. Keng Thian mengantar mereka sampai di depan pintu, tapi Kim Sie Ie terus berjalan tanpa menoleh. “Orang itu sungguh-sungguh aneh,” kata Keng Thian sesudah kembali di kamar tamu. “Siapa dia?” tanya Teng Kie. “Orang itu adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay,” jawabnya. “Biar bagaimanapun juga, perbuatannya di kali ini adalah perbuatan seorang ksatria,” kata Siauw Tjeng Hong. “Ia sama sekali tidak mengenal Thian Oe dan aku sungguh tidak mengerti, kenapa ia rela berbuat begitu.” Mereka coba menebak-nebak, tapi tak dapat memecahkan tekateki itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan Kim Sie Ie itu bukan ditujukan untuk Thian Oe, tapi untuk Keng Thian. Ia adalah seorang aneh yang gerak-geriknya aneh pula. La mengetahui, bahwa jiwanya hanya dapat ditolong dengan Iweekang Thiansan pay. Tapi karena menganggap Keng Thian sebagai lawannya, keangkuhannya tidak mempermisikan untuk ia menerima belas kasihan. Ia jadi nekat dan tidak menghiraukan lagi soal mati atau hidup. Diamdiam ia mengambil keputusan, bahwa sebelum mati, ia akan membuang budi kepada Tong Keng Thian, supaya lawan itu berhutang budi untuk selama-lamanya. Ia mengetahui, bahwa Keng Thian adalah sahabat Thian Oe dan pemuda itu sedang kebingungan karena tidak mendapat jalan untuk menolongnya. Mendadak ia mendapat serupa ingatan. “Dengan menolong sahabatnya, aku mendapat jalan untuk membuang budi kepadanya,” pikirnya. Tapi jalan pikiran itu tentu saja tak dapat ditebak oleh Keng Thian, yang merasa sangat berduka dan menyesal akan keangkuhan orang aneh itu. Kira-kira seminuman teh, serdadu yang menjaga di luar memberi laporan, bahwa sebagian besar tentara Touwsoe sudah ditarik pulang dan si pendeta berkelana pun sudah berlalu. Tapi di sekitar gedung Soanwiesoe masih ditaruh sejumlah tentara untuk mengamatamati. Teng Kie dan yang lain-lain merasa heran dan tidak dapat meraba-raba apa maksud Omateng. Sesudah berpikir sejenak, Keng Thian lalu minta Siauw Tjeng Hong pergi keluar untuk menyelidiki. Sesudah lewat magrib, barulah Siauw Tjeng Hong kembali. “Dari keterangan yang dikumpul olehku, Omateng menarik tentaranya untuk menghadapi lain musuh,” katanya. “Apa kalian pernah mendengar nama Lochu?” “Dia adalah saudara lelaki dari isteri Raja muda Chinpu,” jawab Teng Kie. “Aku dengar, dia adalah orang gagah nomor satu di bawah perintah Raja muda Chinpu.” “Begitu mendapat warta, bahwa keponakan perempuannya meninggal dunia dan jenazahnya dirampas Omateng, Lochu segera mengerahkan sepasukan tentara untuk membalas sakit hati Tjiehoe dan Gweesenglie-nya (Tjiehoe berarti suami kakak perempuan, sedang Gweesenglie berarti keponakan perempuan),” Siauw Tjeng Hong melanjutkan keterangannya. “Pada waktu tentara Omateng mengurung gedung ini, pasukan Lochu sudah mengepung bentengan Touwsoe. Maka itu, mau tak mau, Omateng terpaksa menarik mundur tentaranya. Nyepa itu beranggapan, bahwa Oe-djie adalah orang yang paling tinggi ilmu silatnya dalam gedung Soanwiesoe. Jika Oedjie disingkirkan, maka disini tak ada orang pandai lagi. Memikir begitu, ia lalu menggunakan macam-macam akal licik untuk mendesak Hoat-ong, supaya Budha Hidup itu menangkap Oe-djie. Keadaan di seluruh kota ini bukan main kalutnya. Omateng sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong dan Nepal untuk minta bantuan tentara, katanya guna mengusir orang Han dan mempersatukan Tibet di bawah kekuasaan orang Tibet sendiri. Warta itu sudah tersiar luas dan semua orang Han menutup pintu rapat-rapat, tanpa berani keluar rumah. Kekacauan sudah terjadi dan jika tentara asing sampai masuk disini, dapatlah kita membayangkan hebatnya kekalutan yang bakal terjadi. Menurut keterangan, tentara Lochu berjumlah kecil dan diduga akan dipukul hancur dalam beberapa hari. Sesudah membasmi Lochu, Omateng tentu akan enggerayang kesini lagi.” Tan Teng Kie menghela napas berulang-ulang. “Pangkat Soanwiesoe adalah pangkat yang tidak dihiraukan olehku,” katanya dengan suara duka. “Tapi jika di Tibet sampai terjadi huru-hara, aku tak ada muka untuk menghadapi kaizar dan rakyat.” Keng Thian mengasah otaknya, tapi ia tak bisa mendapatkan daya yang sempurna. “Paling baik kita menjalankan tindakan yang sudah disetujui pagi ini,” katanya. “Secepat mungkin mengirim orang untuk melaporkan kepada Hok Kong An dan meminta bantuan bala tentara.” “Suruh siapa?” tanya Teng Kie. “Aku bersedia untuk menjalankan tugas itu,” Siauw Tjeng Hong menawarkan diri. Keng Thian melirik tanpa berkata suatu apa. Dengan kepandaian yang dimilikinya, Siauw Tjeng Hong belum tentu ia bisa tiba di Lhasa dengan selamat. Sebenarnya ia sendiri yang ingin pergi, tapi mengingat keselamatan Tan Teng Kie dan segenap penghuni gedung Soanwiesoe, ia jadi bersangsi. “Tong Tayhiap, bagaimana pendapatmu?” tanya Siauw Tjeng Hong. Keng Thian merasa tak enak untuk bicara terus terang. Selagi bimbang, mendadak ia ingat satu orang. “Siauw Loosoe,” katanya. “Bukankah kau ingin menemui Oe-djie? Sekarang kau sudah boleh menemuinya.” Sesudah melatih Iweekang Thiansan pay sehari dan semalam, kesehatan jasmani dan rohani Thian Oe sudah pulih kembali. Mendengar teriakan ayahnya, buru-buru ia menyelesaikan latihan dan keluar dari kamarnya. Begitu melihat gurunya, ia mengeluarkan teriakan girang dan lalu memeluknya. “Oe-djie,” kata sang guru dengan air mata berlinang-linang. “Dua tahun kita berpisahan dan baru hari ini kita bisa bertemu kembali. Aku dengar, selama dua tahun ini, ilmu silatmu sudah maju jauh sekali. Aku sungguh merasa girang.” “Hal ini sudah terjadi berkat pelajaran yang diberikan oleh Djiewie Soehoe (kedua guru, yaitu Siauw Tjeng Hong dan Thickoay sian) dan petunjuk Tong Tayhiap,” katanya. “Sepanjang warta, soehoe sudah menikah? Mana Socbo (isteri guru)? Apa beliau datang bersama-sama?” Siauw Tjeng Hong merasa jengah, karena, sebagaimana diketahui, ia baru menikah sesudah berusia lanjut. “Dia menunggu di Soetjoan,” jawabnya dengan pendek. Bicara tentang pernikahan, pemuda itu mendadak ingat Chena dan mukanya lantas saja berubah sedih. “Dengan membunuh Touwsoe yang kejam, Chena telah menyingkirkan satu kekuasaan jahat dari kota Sakya,” kata Keng Thian dengan suara perlahan. “Perbuatan itu harus mendapat pujian tinggi.” Air mata Thian Oe sebenarnya sudah hampir mengucur, tapi begitu mendengar perkataan Keng Thian, sebisa-bisa ia menahan rasa sedihnya. “Tapi dia tak bisa kembali kepada kita,” katanya dengan suara duka. Teng Kie turut berduka, ia merasa sangat kasihan kepada puteranya yang malang itu. Akan tetapi, mengingat pentingnya urusan negara, ia segera berkata dengan suara keras: “Oe-djie! Pelajaran apa yang diberikan oleh nabi dan pujangga kita?” Thian Oe terkejut seraya berkata: “Aku memohon petunjuk ayah.” “Di ini saat, pemberontakan sudah meledak di Tibet,” katanya. “Tapi kau sendiri, sebaliknya daripada bangkit untuk melindungi rakyat, sudah mengambil sikap seperti seorang perempuan yang lemah. Apa kau tidak merasa malu?” Thian Oe menatap wajah ayahnya, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. “Hanya sayang Chena meninggal dunia dengan mata melek,” kata Keng Thian sambil menghela napas. “Kenapa mata melek?” menegas Thian Oe, jantungnya memukul keras. “Selama hidupnya, Chena selalu berangan-angan supaya orang Han dan orang Tibet bisa hidup akur bersama-sama seperti satu keluarga,” kata Keng Thian. “Kenyataan ini tentu juga diketahui olehmu.” “Sebagai puteri seorang raja muda, belum pernah ia memandang rendah kepada orang Han,” kata Thian Oe. “Hal ini tak akan bisa dilupakan olehku.” “Hm!” kata Keng Thian. “Sekarang, dengan menggunakan alasan dari kebinasaannya, Omateng sudah menyulut api pemberontakan supaya orang Tibet saling membunuh dengan orang Han. Bagaimana Chena bisa mati dengan mata meram? Omateng telah merampas jenazahnya yang sampai sekarang masih belum dikubur. Bagaimana dia bisa mati dengan mata meram? Di samping itu, orang yang dicintainya bukan saja tidak berusaha untuk mencegah pemberontakan itu, tapi malahan enak-enak menonton sambil berpeluk tangan. Coba kau pikir: Bagaimana dia tidak mati dengan mata melek?” Perkataan Keng Thian itu bagaikan halilintar yang menyambar kuping Thian Oe, sehingga ia berdiri terpaku seperti patung. Sesudah lewat beberapa lama, ia mendongak dan berkata dengan suara perlahan: “Apakah yang harus dilakukan olehku?” “Kita berniat mengirim orang untuk membawa surat kepada Hok Kong An,” kata Keng Thian, seperti juga ia bicara pada dirinya sendiri. “Hanya sayang, belum didapat orang untuk membawa surat itu.” “Kenapa kau tidak memberitahukan siang-siang?” kata Thian Oe dengan cepat. “Guna ayah dan Chena, aku bersedia untuk melakukan tugas itu.” “Surat ini penting luar biasa, sehingga kau harus bersungguh hati dan berlaku sangat hati-hati,” memperingatkan Keng Thian. “Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, aku pasti akan menyampaikan surat itu kepada alamatnya,” kata Thian Oe dengan suara tetap. Mendengar begitu, Keng Thian jadi girang bukan main. Harus diketahui, bahwa pada waktu itu, ilmu silat Thian Oe sudah lebih tinggi daripada gurunya. Biarpun kepandaiannya masih belum bisa menandingi si pendeta berkelana, akan tetapi ilmu mengentengkan badannya lebih tinggi setingkat daripada pendeta tersebut. Maka itu, andaikata ia dikalahkan dalam pertempuran, ia masih dapat melarikan diri. Tan Teng Kie lantas saja menyerahkan surat yang sudah ditulisnya, kepada Thian Oe dengan memberi banyak nasehat dan pesanan. Waktu itu, matahari sudah selam ke barat. Sesudah menangsal perut, Thian Oe segera berdandan dan mengenakan pakaian jalan malam yang berwarna hitam, akan kemudian berangkat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Berkat gerakannya yang sangat gesit, ia bisa meloloskan diri dari belasan serdadu musuh yang menjaga di luar, tanpa diketahui. *** Dengan hati jengkel dan bingung, Hoat-ong jalan mundar-mandir di dalam kuil, sambil menunggu kedua muridnya yang diperintah menangkap putera Soanwiesoe. Ia menghela napas berulang-ulang dan berkata dalam hatinya: “Hai! Aku tahu, Omateng seorang jahat yang licik, sedang Tan Teng Kie seorang pembesar jujur. Kenapa juga aku sudah menyediakan diri untuk diperalat Omateng guna mencelakakan orang yang baik. Dengan perbuatan yang rendah itu, apakah aku masih ada muka untuk menjadi pemimpin dari satu agama?” Di lain saat, ia ingat kepentingan agamanya sendiri. Jika ia tidak menunduk kepada Omateng, terdapat kemungkinan besar, agama Sekte Topi Putih bakal diusir lagi dari wilayah Tibet. Ia bingung dan sangsi. Di satu pihak, ia ingat kehormatan diri sendiri, di lain pihak, ia harus memperhatikan kepentingan agamanya. Sebelum ia mengambil keputusan, seorang Lhama melaporkan bahwa kedua muridnya sudah kembali dengan membawa putera Tan Teng Kie. Hoat-ong segera mengeluarkan perintah supaya “Thian Oe” dibawa ke hadapannya, sedang Omateng boleh lantas pulang. Beberapa saat kemudian, dua muridnya sudah masuk dengan mengiring Kim Sie Ie. Sekali melihat pemuda itu, Hoat-ong terkesiap. Pemimpin agama yang matanya sangat awas itu, lantas saja mengenali, bahwa pemuda yang berdiri di hadapannya, adalah si pemuda angin-anginan yang pernah mengacau waktu diadakan upacara pembukaan kuil. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara dalam. Kim Sie Ie tertawa dingin. “Kau sendiri yang mengundang aku,” jawabnya. “Apa benar kau tak tahu siapa adanya aku?” Kedua muridnya kaget bukan main dan buru-buru memberi keterangan: “Puteri Touwsoe telah mengakui, bahwa dia adalah tunangannya sendiri. Tan Teng Kie juga mengakui, bahwa dia adalah puteranya. Maka itu, kami menganggap tak bisa salah lagi.” Mulutnya berkata begitu, hatinya ketakutan, karena mengingat perkataan Omateng. Hoat-ong jadi semakin bercuriga. “Jika benar dia putera Soanwiesoe, tak bisa jadi dia cari permusuhan denganku,” pikirnya. Memikir begitu, ia mengebas tangannya supaya kedua muridnya berlalu dan kemudian mengunci pintu. “Bocah!” bentaknya. “Sungguh sayang, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, kau sudah berani menggunakan nama orang lain.” “Hoat-ong!” Kim Sie Ie balas membentak. “Sungguh sayang, sebagai kepala dari satu agama, kau sudah rela diperalat Omateng, guna mencelakakan orang baik.” Hoat-ong merasa malu dan untuk sejenak, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Kim Sie Ie tertawa nyaring. “Ha-ha! Aku tak nyana, seorang Budha Hidup juga bisa menjadi bingung,” ia mengejek. “Tak usah kau bingung-bingung. Tak usah kau menghiraukan, apa aku Tan Thian Oe atau bukan. Sebegitu jauh kau bisa menghukum satu manusia, kau sudah bisa memuaskan hatinya binatang Omateng.” Bahwa satu manusia berani bicara begitu kasar di hadapan Hoat-ong, adalah kejadian yang baru pernah terjadi. Selama Kim Sie Ie mengejek, beberapa pikiran keluar masuk dalam otaknya. Bagaimana ia harus berbuat? Melepaskan pemuda itu? Menyerahkannya kepada Omateng? Tapi, jika diserahkan kepada Omateng, pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi itu, mungkin akan menerbitkan keonaran yang lebih hebat. Kim Sie Ie terus mengawaskan sambil tertawa dingin. Tiba-tiba paras muka Hoat-ong berubah menyeramkan. “Anak muda,” katanya. “Apa benar kau rela pergi ke bentengan Touwsoe untuk mewakili putera Soanwiesoe menerima hukuman?” “Itu urusanku, tak perlu kau campur-campur,” jawabnya dengan ketus. “Baiklah,” kata Hoat-ong. “Aku mengantar kau dengan memberi berkah.” Ia membalik tangannya yang lantas menyambar ke kepala Kim Sie Ie. Sambil tertawa, Kim Sie Ie menangkis. “Aku tak percaya malaikat, tak menyembah Budha,” katanya. “Tak perlu segala berkahmu.” Tapi, begitu lekas tangannya kebentrok tangan Hoat-ong, ia terkejut, karena tangan itu menindih dengan tenaga yang luar biasa besar. Buru-buru ia mengempos semangat dan menahan dengan sekuat tenaga. “Anak muda,” kata Hoat-ong. “Kesombongan dan kekurang ajaranmu pantas mendapat hukuman. Kau adalah seorang yang sangat mengandalkan ilmu silatmu. Biarlah sekarang aku memusnahkan ilmumu itu.” Ia menambah tenaga dan menekan semakin kuat. Kim Sie Ie sebenarnya masih mau mengejek, tapi ia tidak dapat berbuat begitu, sebab harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan serangan musuh. Meskipun lweekang Tokliong Tjoentjia bukan dari cabang persilatan yang “tulen”, akan tetapi, dalam Rimba Persilatan, ilmu itu mempunyai kedudukan istimewa, sebagai lweekang yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, biarpun Kim Sie Ie baru mempunyai latihan belasan tahun, dalam tempo setengah jam, ia masih bisa mempertahankan diri. Hoat-ong merasa kagum dan berkata dalam hatinya: “Sayang, sungguh sayang! Orang yang berbakat begini baik, tidak mengambil jalanan lurus.” Sesudah bertahan kurang lebih sepasangan hio, Kim Sie Ie merasa badannya panas dan tenaganya mulai berkurang. Ia mengerti, lama-lama ia pasti akan roboh sebagai orang yang bercacat. Dengan nekat, ia lalu mengempos semangat untuk mempertahankan diri sedapat mungkin. Sesudah lewat lagi beberapa lama, Kim Sie le merasa bibir dan lidahnya kering, sedang tubuhnya seperti dibakar. Di lain pihak, Hoat-ong pun merasa tulang-tulangnya sakit, suatu tanda ia sudah mengeluarkan tenaga secara melampaui batas. Tapi biar bagaimanapun juga, berkat latihan puluhan tahun, lweekang Hoat-ong lebih unggul setingkat daripada pemuda itu. Tiba-tiba Hoat-ong mengempos semangat sambil menekan keras dengan telapakan tangannya. Mendadak ia berpikir: “Dia masih berusia begitu muda, tapi ilmunya sudah begitu tinggi. Apa tidak kasihan, jika aku memusnahkan kepandaiannya?” Di lain detik, dalam otaknya masuk lain pikiran: “Jika aku tidak memusnahkan ilmunya, bagaimana aku bisa menyerahkan kepada Omateng?” Pada detik itu, selagi Hoat-ong bersangsi, sinar mata Kim Sie Ie tiba-tiba berubah beringas dan bibirnya bergerak. Hoat-ong adalah seorang Lhama yang berilmu sangat tinggi. Tapi, melihat sinar mata itu, tanpa merasa hatinya berdebar-debar. Ia tak mengetahui, bahwa pada detik itu, dalam hati Kim Sie Ie timbul keinginan untuk membinasakan lawannya. Sebagaimana diketahui, dalam mulutnya tersimpan senjata rahasia yang paling beracun didalam dunia, yaitu jarum Tjitsat Tokbcng Sintjiam (Jarum Pembetot Nyawa), yang telah direndam di dalam bisa ular dari pulau Tjoato. Waktu Tong Keng Thian kena jarum itu, ia harus berobat sebulan lebih, biarpun sudah menelan Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian. Lweekang Keng Thian dan Hoat-ong kira-kira setanding, tapi Hoat-ong tidak memiliki obat semacam Pekleng tan, sehingga, jika ia kena jarum itu, hampir boleh dipastikan, ia akan binasa. Pada saat Kim Sie Ie hendak menyemburkan senjata rahasianya, sekonyong-konyong dalam otaknya berkelebat satu pikiran: Aku dan dia sama sekali tidak bermusuhan. Hatiku tentu tak enak, jika ia sampai binasa.” Di lain saat, ia berkata pada dirinya sendiri: “Jika aku tidak membinasakannya, dialah yang bakal memusnahkan seantero kepandaianku. Tanpa ilmu silat, aku pasti diinjak-injak manusia, sehingga tak guna aku hidup terus.” Memikir begitu, bibirnya bergerak pula dan jarum racunnya sudah tersedia di atas lidah. Tapi, mendadak saja ia mendapat lain ingatan: “Ah! Biar bagaimanapun juga, dia adalah pemimpin dari satu agama. Apa tak sayang, jika ia binasa dalam tanganku? Waktu hidupku sudah tidak lama lagi. Biarlah aku mengalah terhadapnya.” Sesaat itu, Hoat-ong kembali menambah tenaganya dan lagi-lagi ia mendapat lain pikiran: “Sedari aku meninggalkan pulau Tjoato, banyak sekali jago-jago sudah dirobohkan olehku. Jika aku dirobohkan, bukankah orang yang tak tahu akan mengatakan bahwa aku kalah dalam mengadu ilmu. Mereka tentu tak menduga, bahwa kekalahanku adalah karena aku yang mengalah.” Demikianlah, pada detik yang sangat genting itu, beberapa pikiran keluar masuk bagaikan kilat di dalam otaknya. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak mau kalah dari siapapun juga. Pada detik itu, dalam alam pikirannya ia lebih suka mati daripada dihina orang. Yang harus dikasihani adalah empat murid Hoat-ong yang menunggu di luar pintu. Mereka menungggu dan menunggu dengan tidak sabaran, tapi sesudah menunggu lebih dari satu jam, pintu masih tetap tertutup. Mereka sama sekali tidak mimpi, bahwa dalam kamar itu dua jago kelas utama sedang mengadu jiwa dan tengah berada pada detik yang memutuskan.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |