Sementara itu, Kim Sie Ie sudah hinggap di atas lantai. Ia tertawa bergelak-gelak seraya berkata: “Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?”
Kata-kata itu justru adalah ejekan yang digunakan Tongbengtjoe terhadap Pengtjoan Thianlie. Kim Sie Ie mengembalikan ejekan itu untuk menyenangkan dan membalaskan sakit hati si nona, sekalian untuk membangkitkan kegusaran musuh, supaya hawa racun itu bekerja semakin cepat. Tentu saja Tongbengtjoe mengetahui maksud pemuda itu. Sambil menutup mulut, ia engerahkan lweekang-nya dan menangkis serangan-serangan Koei Peng Go. “Dalam dunia tak ada yang bisa memunahkan racun senjata rahasiaku,” kata Kim Sie Ie pula sembari tertawa dingin. “Jika kau suka berlutut tiga kali di hadapanku dan memanggil kakek epadaku, dengan memandang muka si cucu, mungkin sekali aku akan mengampuni jiwamu.” Tongbengtjoe mendelik. “Bocah tak kenal mampus!” ia membentak. “Rasakanlah keliehayanku!” Ia mengebaskan lengan jubahnya untuk memukul mundur Pengtjoan Thianlie dan kemudian mengirimkan dua pukulan geledek ke arah Kim Sie Ie. “Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, semakin cepat kau mampus!” Kim Sie Ie mengejek sambil menangkis dengan tongkatnya yang ujungnya sekali lagi kena ditangkap oleh Tongbengtjoe.Tadi, dengan mempertaruhkan jiwanya dengan pukulan yang sangat berbahaya, baru ia bisa terlolos dari bencana. Sekarang, ia tak mau membiarkan dirinya diseret dan diputar-putarkan sekali lagi oleh musuhnya. Begitu lekas tongkatnya ketangkap, ia mengerahkan tenaganya dan ilmu Tjiankin toei (ilmu menambah berat badan), untuk memperkuat kuda-kudanya, ia membetot sekuat-kuatnya. Di saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah menerjang kembali mengirimkan tiga tikaman kepada tiga jalan darah musuh yang sudah menjadi baal itu. Hampir berbareng dengan serangan si nona, terdengar bunyi: “srt” dan tangan Kim Sie Ie sudah memegang sebatang pedang besi, sedang Tongbengtjoe masih tetap menggenggam tongkat itu yang sebenarnya sebuah sarung pedang. Bersama dengan Koei Peng Go, lincah sekali Kim Sie Ie bergerak, menyerang musuh itu. Pedangnya adalah pedang mustika yang, bila digunakan, mengeluarkan bau amis. Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe melontarkan tongkat Kim Sie Ie dan lantas saja bersila di atas lantai, sedang kedua tangannya menyambar kian kemari untuk menangkis setiap serangan. Buru-buru Kim Sie Ie memungut tongkatnya dan kemudian dengan angan kiri memegang tongkat dan tangan kanan membekal pedang, ia menyerang pula dengan hebatnya. Tongbengtjoe tetap bersila sembari mengerahkan lweekang-nya untuk menahan naiknya hawa racun, sedang kedua tangannya digerakkan kian kemari, menangkis tiga senjata musuhnya yang pergi datang menghujani ia dengan pukulan-pukulan membinasakan. Dalam sekejap, keadaannya sudah sangat berbahaya dan ia hanya bisa membela diri, tanpa mampu membalas menyerang. Sembari mengejek terus untuk membangkitkan amarah musuhnya, Kim Sie Ie memperhebat serangan-serangannya. Melihat keadaan lawan, Peng Go —— yang berhati murah — lantas saja merasa kasihan. “Sudahlah! Lepaskanlah supaya ia bisa menyingkir dari sini,” katanya. Tongbengtjoe mendelik dan membentak: “Siapa sudi dikasihani olehmu! Jika sekarang kau niat lari, kau tak akan bisa lari!” “Lihatlah!” kata Kim Sie Ie. “Ia sendiri yang ingin melaporkan diri kepada Giam Loo-ong. Siapakah yang bisa merintanginya?” Sembari berkata begitu, ia menghantam kalang kabut. Peng Go melirik ke bagian lain dan mendapat kenyataan, bahwa Hongsek Toodjin yang dilayani oleh Keng Thian seorang sedang membalas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat. Si nona menjadi kuatir. “Tongbengtjoe sudah mendapat luka berat dan Kim Sie Ie seorang diri rasanya sudah cukup untuk melayaninya,” katanya di dalam hati. Ia segera menarik Hankong kiam-nya dan mengenjot badannya untuk melompat keluar dari gelanggang. Sekonyong-konyong, berbareng dengan suatu gerakan tangan Tongbengtjoe, ia merasakan dirinya ditarik oleh suatu tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia tak bisa meloloskan diri. Justru pada detik itu, Kim Sie Ie memukul dengan tongkatnya dan musuh terpaksa membagi tenaganya untuk menangkis. Pada saat itulah Peng Go mengempos semangatnya dan badannya lantas saja melesat keluar gelanggang. Jantung si nona berdebar keras dan untuk sejenak ia bersangsi. Apa mau, di saat itu Keng Thian didesak oleh Hongsek dengan serangan bertubi-tubi. Tanpa berpikir panjang-panjang lagi, ia segera melompat dan menikam punggung imam itu, untuk menolong Keng Thian. Dengan bekerja sama, baru saja bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Keng Thian dan Peng Go kembali berada di atas angin. Selagi mereka mendesak musuh itu, alis si pemuda mendadak berkerut dan ia berkata dengan perlahan: “Peng Go Tjietjie, pergi kau membantu Hongkay itu. Tak usah memperdulikan aku.” Ketika itu Kim Sie Ie sedang dalam bahaya besar. Tadi, ketika ia dan si nona mengerubuti Tongbengtjoe, ia tidak merasakan tekanan yang luar biasa. Tapi, begitu lekas Peng Go meninggalkannya seorang diri, tekanan musuh semakin lama jadi semakin berat. Perlahan-lahan ia merasa seakan-akan suatu tenaga tidak kelihatan menekan seluruh tubuhnya dan sesudah lewat kira-kira tiga puluh jurus lagi, ia sudah tak dapat bergerak dengan leluasa. Tongkat dan pedangnya dirasakan sangat berat dan ia harus menggunakan banyak tenaga untuk mengangkatnya. Kim Sie Ie kaget berbareng bingung. Sekonyong-konyong, Tongbengtjoe mengubah siasatnya. Jika barusan ia hanya membela diri, sekarang ia membalas menyerang. Meskipun ia terus bersila, tenaganya telah “mengunci” suatu lingkaran yang garis tengahnya setombak lebih. Kedua senjata Kim Sie Ie seakan-akan ditempel dengan lem dan badannya terasa dibetot tenaga yang tidak kelihatan itu. Beberapa kali ia menyemburkan jarumnya, tapi karena musuh itu sudah waspada, semua jarum beracun itu telah dihalaukan dengan kebasan lengan jubah saja. Semakin lama, Kim Sie Ie semakin mendekati musuhnya, terseret tenaga luar biasa itu. Ia mengetahui, bahwa Tongbengtjoe sedang berusaha untuk memusnahkan tenaga lweekang-nya dan dalam tiga puluh jurus lagi, ia akan kehabisan tenaga seperti lampu yang kehabisan minyak. Meskipun tak mati, ia akan bercacat seumur hidupnya. Selagi terengah-engah Kim Sie Ie coba bertahan terus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe membentak: “Bocah! Sekarang baru kau tahu keliehayanku!” Ia membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, tongkat dan pedang Kim Sie Ie, dua-dua sudah tertangkap tangannya. Pada detik itu, kupingnya tiba-tiba mendengar suara Pengtjoan Thianlie. “Tidak,” kata si nona. “Lebih dulu kita membereskan siluman ini, belakangan baru menolong dia.” Ternyata Pengtjoan Thianlie belum tahu bencana apa yang dihadapi Kim Sie Ie, ia ingin merobohkan Hongsek lebih dulu sebelum membantu pemuda itu. Bagi Kim Sie Ie, kata-kata itu bagaikan pisau yang menikam jantungnya. Hatinya sakit bukan main. “Dengan suka rela aku membantu kau, tapi kau hanya memperhatikan bocah itu,” katanya dengan perasaan duka. Dengan munculnya kekecewaan itu, semangatnya musnah dan badannya terbetot keras-keras… Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terdengar teriakan Keng Thian: “Tidak! Tolong dia lebih dulu!” Hampir berbareng dua Thiansan Sinbong menyambar Tongbengtjoe yang harus menangkis dengan tangan jubahnya. Karena adanya serangan itu, tenaga yang menekan Kim Sie Ie menjadi kendur, sehingga pemuda itu keburu memperbaiki kedudukannya dan coba mempertahankan diri dengan seantero tenaganya. Dengan kedua senjatanya ditangkap musuh, Kim Sie Ie jadi serba salah, menyerang ia tak bisa, mundur pun tak dapat. Di lain pihak, sekonyong-konyong Tong Keng Thian mengubah cara bersilatnya. Kalau tadi ia hanya membela diri dengan Thaysiebie Kiamhoat, adalah sekarang ia juga menyerang dengan Toeihong Kiamhoat. Diserang dengan pukulan-pukulan hebat yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin, Hongsek terpaksa berkelahi sembari mundur. Mendadak, Tong Keng Thian melonjak ke tengah udara dan selagi tubuhnya melayang turun, bagaikan seekor elang, ia menikam leher Tongbengtjoe dengan Yoeliong kiam-nya. Gerakan itu, indah dan cepat luar biasa, mengejutkan semua penonton. Hampir pada saat yang sama, suatu sinar putih berkelebat dan menyambar punggung Tongbengtjoe. Itulah serangan Pengtjoan Thianlie yang sudah melihat bahaya apa yang mengancam Kim Sie Ie. Biarpun berkepandaian lebih tinggi lagi, Tongbengtjoe tak akan bisa melawan seranganserangan tiga orang muda itu. Ia melompat bangun sembari mendorong dan tongkat serta pedang besi Kim Sie Ie, yang terpental akibat dorongan itu, secara tepat menangkis Pengpok Hankong kiam si nona. Tapi gerak-gerik Toeihong Kiamhoat cepat luar biasa. Selagi musuh melompat dan membetot, Keng Thian sudah mengubah gerakan pedangnya dan memapas musuh dari samping. Kedua tangan Tongbengtjoe yang baru saja digunakan, tak keburu menangkis lagi dan Yoeliong kiam si pemuda lantas saja mampir dipundaknya! Tapi Tongbengtjoe benar-benar liehay luar biasa. Berbareng dengan tikaman Keng Thian, tangannya sudah menghantam, sehingga Keng Thian terhuyung beberapa tindak karena kesambar anginnya. Demikianlah, sebab harus meloloskan diri, dari pukulan musuh, tenaga tikaman Keng Thian jadi berkurang. Jika bukan begitu, tulang kipas Tongbengtjoe tentu sudah ditobloskan pedang Keng Thian. Sesudah terkena senjata beracun dan kemudian tertikam pedang, buru-buru Tongbengtjoe mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup semua jalan darahnya, sehingga bukan saja hawa racun dapat ditahan, tapi mengalirnya terlalu banyak darah pun dapat dicegah. Lweekang Tongbengtjoe tak sama dengan lweekang cabang persilatan yang tulen, ia mempunyai suatu keistimewaan. Jika seorang dari cabang persilatan tulen mendapat luka, ia akan segera mengerahkan lweekang-nya untuk melindungi diri dan ia tidak boleh menggunakan tenaga lagi. Di lain pihak, begitu terluka, Tongbengtjoe segera mengumpulkan lweekang-nya di luka itu, laksana gili-gili membendung air pasang. Jika air pasang itu tak begitu besar, gili-gili itu tentu kuat menahannya, dan air bah itu tak dapat membahayakan sekitarnya. Demikian juga makna pergerakan lweekang tersebut. Tapi, sesudah sembuh dari lukanya, seorang dari cabang persilatan yang tulen akan mendapat pulang semua tenaga dalamnya, tanpa menderita kerugian apa-apa. Di lain pihak, lweekang Tongbengtjoe hanya merupakan semacam “tambalan,” suatu sumbat sementara saja. Lama-lama, sumbatan itu akan pecah dan bahaya akan mengancam sekitarnya. Sebagai akibatnya, walaupun tak mati, orang itu akan bercacat, atau sedikitnya, lweekang-nya akan berkurang banyak. Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie yang tak mengerti keistimewaan itu, merasa terkejut karena musuh masih bisa bertempur terus dengan tak berkurang tenaganya. Tongbengtjoe sangat membenci Kim Sie Ie, dan ia tahu, bahwa di antara tiga musuhnya, pemuda itulah yang paling lemah. Sembari membentak keras, ia melompat tinggi-tinggi dan selagi Tong Keng Thian belum keburu memperbaiki kedudukannya, ia menghantam kepala Kim Sie Ie dengan pukulan yang membinasakan. Kim Sie Ie mengerti, bahwa ia tak akan kuat menahan pukulan itu, tapi ia mengangkat juga tongkatnya untuk menangkis dan pedangnya digunakan untuk melindungi dada, agar ia tidak sampai terpukul mati. Pada detik itulah, pada saat yang sangat berbahaya, sesosok bayangan berkelebat dan Pengtjoan Thianlie sudah menghadang di depan pemuda itu. Dengan pukulan Soatyong Nakoan (Salju meliputi Nakoan), ia membuat setengah lingkaran dari kiri ke kanan. Pukulan itu, pukulan untuk untuk membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah salah satu pukulan paling liehay dari Tatmo Kiamhoat. Tapi Tongbengtjoe telah mengerahkan seantero tenaganya dalam pukulan itu. Dengan disertai sambaran angin dahsyat, tangannya menyambar si nona. Hampir seketika itu juga, badan Pengtjoan Thianlie meluncur ke tengah udara dan jungkir balik dua kali, sebelum hinggap lagi di atas lantai. Hanya dengan kegesitannya yang luar biasa dan ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai kesempurnaan, si nona dapat menolong diri dari pukulan itu. Jika kena terpukul, ia pasti binasa di bawah pukulan geledek itu. Di lain pihak, bukan saja maksud Tongbengtjoe gagal, bahkan lengan bajunya pun dirobek sebagian oleh ujung Hankong kiam. Begitu terlolos dari bencana, Kim Sie Ie segera menyabet pinggang musuh dengan tongkatnya. Tongbengtjoe buru-buru menangkis dengan tangan kirinya dan seketika terdengar “tak!”, tongkat Kim Sie Ic terbang ke tengah udara dan bentuknya sudah berubah melengkung. Tapi Tongbengtjoe pun harus sama-sama menderita, karena dua tulang pergelangan tangan kirinya menjadi patah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi. Darah Tongbengtjoe seolah-olah mendidih. Dengan nekat ia mengangsek dan sesudah mementalkan tongkat pemuda itu, tangan kanannya menyambar ke dada orang. Tapi, sebelum pukulan itu mengenai dada Kim Sie Ie, mendadak Tongbengtjoe merasakan sambaran angin tajam di belakangnya, itulah pedang Keng Thian yang menikam punggungnya. Mau tak mau, ia terpaksa memutarkan badan untuk menangkis serangan Tong Keng Thian. Tapi, dalam kegusarannya, ia tak mau melepaskan Kim Sie Ie mentah-mentah. Selagi memutarkan badan, ia mementang jerijinya yang berkuku panjang dan menggores dada Kim Sie Ie! Pada saat itu, dalam gelanggang terjadi lakon belalang diterkam tonggeret dan tonggeret dicengkeram burung. Tong Keng Thian, yang sedang menyerang Tongbengtjoe, dibayangi oleh Hongsek Toodjin yang menerjang dari belakang. Ketika itu, Pengtjoan Thianlie baru saja hinggap di atas lantai. “Awas di belakang!” ia berteriak sembari mengenjot badannya dan menikam punggung Hongsek Toodjin. Semua kejadian itu, yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam sekejap mata saja. Bagaikan kilat Hongsek mengebut punggung Keng Thian dengan hudtim-nya, sehingga pemuda itu buru-buru melompat ke samping. Tapi Tongbengtjoe sudah siap sedia. Dengan pukulan Tjioehoei ngohian (Tangan memetik lima tali tabuh-tabuhan), lima jeriji tangan kanannya menggores punggung Keng Thian. “Brt!”, baju pemuda itu terrobek di beberapa tempat. “Srt!”, Keng Thian sudah menikam sebelum ia memperbaiki kedudukannya sendiri. Tongbengtjoe terkesiap. Ia tak nyana, bahwa pemuda itu masih bisa meloloskan diri dari gencatan dua serangan hebat itu, serangan Hongsek dan serangannya sendiri. Di samping itu, ia juga tidak mengerti, kenapa keadaan pemuda itu tidak berubah sesudah terkena pukulan Tjhioehoei ngohian. Harus diketahui, bahwa goresan lima jeriji itu adalah pukulan yang sangat beracun yang diberi nama Sin-eng Djiauwhoat (Ilmu cengkeraman garuda sakti). Terang-terang, sebagian bajunya robek dan paling sedikit, kulitnya di bagian punggung tentu mendapat luka. Tapi kenapa sedikitpun tak kelihatan darah? Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah bertempur seru dengan Hongsek Toodjin. Biarpun ilmu pedangnya dahsyat luar biasa, tetapi tenaga si nona kalah jauh dari musuhnya dan baru saja bertanding belasan jurus, keringat sudah mulai mengucur dari dahinya. Keng Thian yang sedang melayani Tongbengtjoe seorang diri, juga berada dalam keadaan terjepit. Sembari bertempur, Keng Thian melirik. Ketika itu, hudtim Hongsek terbuka lebar seperti jala ikan dan sedang menyambar sinar pedang si nona. Keng Thian mengetahui, bahwa si nona bertahan dengan hanya mengandalkan sinar pedang itu. Jika satu saja di antara ribuan lembar bulu hudtim itu, dapat menerobos masuk, Peng Go bisa celaka. Semakin lama, sinar pedang itu semakin tertindih dan semakin ciut pula, sehingga Pengtjoan Thianlie hanya bisa melindungi kepala, muka, dada dan beberapa bagian badan lain yang sangat penting. Keng Thian terkejut dan berteriak: “Mari kita berkumpul!” Sekali memecah perhatian, garis pembelaannya agak terbuka, sehingga hampir-hampir ia kena dihantam oleh Tongbengtjoe. Sengit sekali ia berbalik menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, tapi gerakannya sudah kena ditempel” oleh tenaga Tongbengtjoe dan saban kali ia coba maju, segera juga ia terpukul mundur kembali. Di lain pihak, seluruh tubuh Koei Peng Go, juga sudah berada di bawah pengaruh hudtim lawannya dan si nona tak dapat meloloskan diri lagi. Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Kim Sie Ie segera memungut tongkatnya yang sudah terpukul bengkok dan sudah berubah menjadi semacam gendewa. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menekuk dan berhasil melempangkan pula tongkat yang melengkung itu. Sesudah itu ia menerjang pula ke dalam gelanggang dan menyodok punggung Hongsek dengan tongkatnya. Si imam memutarkan badannya sembari mengebut dengan hudtimnya. Tapi serangan Kim Sie Ie itu hanya gertakan belaka dan begitu lekas hudtim sang lawan lewat di sisi badannya, Kim Sie Ie menotok lantai dengan tongkatnya dan badannya lantas saja melonjak ke atas. Selagi melayang turun, sekonyong-konyong mulutnya menyemburkan ludah. Tongbengtjoe gusar bukan main. Dengan gesit, ia mengebaskan tangan jubahnya dan ludah itu terpukul kembali. Dalam pertempuran antara jago, menang kalah selalu diputuskan dalam perebutan tempo sedetik. Serangan-serangan Kim Sie Ic yang aneh lagi tiba-tiba itu, sudah memaksa Hongsek dan Tongbengtjoe memecahkan perhatian mereka dan saat-saat yang pendek itu sudah digunakan oleh Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sebaik-baiknya untuk meloloskan diri dari tindihan musuh. Di lain saat, mereka bertiga sudah berdiri berendeng pundak —— Peng Go di tengah dengan Keng Thian dan Kim Sie Ie di kiri kanan — untuk melawan dua jago tua itu bersama-sama. Sambil menangkis serangan-serangan Hongsek, Kim Sie Ie mencuri lihat wajah Koei Peng Go. Ia mendapat kenyataan, bahwa —— dengan wajah berwarna dadu —— si nona justru sedang melirik Keng Thian. Ketika melihat baju Keng Thian yang robek akibat cengkeraman Tongbengtjoe, sinar mata Peng Go mengesankan kekuatirannya di samping berterima kasih dan mencinta. “Apakah kau tak terluka?” ia berbisik. “Jangan kuatir,” jawabnya. “Aku tak apa-apa.” Sembari menjawab begitu, pedangnya menangkis tiga serangan Tongbengtjoe. Hati Kim Sie Ie sangat berduka. “Ah! Setiap orang mempunyai untung sendiri,” pikirnya. Di lain saat, ia berkata didalam hatinya: “Tong Keng Thian telah dicengkeram Tongbengtjoe, tapi sedikitpun ia tidak terluka. Ah! Apakah yang kupunya untuk menandingi ia?” Pada detik itu, ia merasa dirinya kecil. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa Keng Thian telah tertolong baju mustikanya, hadiah Po Tjeng Tjoe — yang tak ternilai harganya —- kepada ibunya. Karena hatinya berduka dan semangatnya runtuh, Kim Sie Ie lantas saja merasakan betapa sakit lukanya. “Celaka!” ia mengeluh sembari mengumpulkan semangatnya untuk bertahan terus. Tongbengtjoe sudah segera melihat kelemahan itu, ia segera menghantam dada Kim Sie Ie. Pada saat itu, pedang Kim Sie Ie baru saja terpental disampok hudtim Hongsek Toodjin, sehingga dadanya terbuka lebar. Hatinya mencelos, karena pukulan Tongbengtjoe sudah tak dapat dielakkannya lagi. Kim Sie Ie sudah memejamkan matanya, ketika tiba-tiba Keng Thian melompat dan memukul pinggangnya. Tubuh Kim Sie Ie lantas saja terpental ke tengah udara. Semua orang terkejut, sedang Kim Sie Ie sendiri, mula-mula juga menduga, bahwa pemuda itu sengaja mau mengambil jiwanya dengan kesempatan tersebut. Tapi, sebelum sempat mencaci, ia merasakan badannya seakan-akan didorong semacam tenaga luar biasa dan dorongan itu sesuai sekali dengan ilmu mengentengkan badannya sendiri. Ia lantas saja mendusin. Tahulah ia sekarang, bahwa Tong Keng Thian telah menggunakan ilmu “meminjam tenaga, mengirim tenaga” untuk menolong jiwanya! Pukulan Keng Thian itu menggunakan tenaga yang tepat luar biasa. Kelihatannya, ia menghantam Kim Sie Ie dengan pukulan sungguh-sungguh, tapi sebenarnya, ia hanya mendorong tubuh pemuda itu dengan tenaga yang telah diperhitungkan cermat sekali. Sebetulnya Keng Thian belum pernah menggunakan ilmu itu, ilmu istimewa dari Thiansan pay. Sesudah beberapa kali bertempur melawan Kim Sie Ie, ia mengenal ilmu mengentengkan badan pemuda itu dan dalam keadaan berbahaya itu, secara untung-untungan ia mencoba ilmu tersebut. Sungguh mujur, percobaannya yang pertama itu sudah berhasil baik. Sesudah usahanya berulang-ulang digagalkan oleh ketiga orang muda itu, Tongbengtjoe menjadi kalap. Dengan gigi dikertak-kertakan nyaring, ia mengebaskan tangan kanannya dan… loh! lima kukunya yang panjang terlepas dari jerijinya dan menyambar ke arah sepasang mata Tong Keng Thian! Semua orang terkesiap, tapi Pengtjoan Thianlie yang gerakannya gesit luar biasa masih keburu menangkis lima kuku itu dengan Pengpok Hankong kiam-nya. Sementara itu, sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, badan Tongbengtjoe melesat ke tengah udara, mengejar Kim Sie Ie yang barusan dilontarkan oleh Keng Thian. Peng Go dan Keng Thian ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena Tongbengtjoe sudah tiba di belakang Kim Sie Ie. Melewati kepala para tamu, dari tengah ruangan itu Kim Sie Ie “terbang” keluar dan jatuh di tangga ruang sembahyang. Tongbengtjoe juga sangat liehay. Bagaikan anak panah yang baru terlepas dari busurnya, ia menyusul sampai di atas kepala Kim Sie Ie. Sedang badannya masih berada di tengah udara, bagaikan elang raksasa, ia menyerang batok kepala pemuda itu dengan kedua tangannya. Dengan kebencian yang meluap-luap — karena Kim Sie Ie sudah melukakannya dengan racun ular, yang akan menyebabkan ia bercacat – ia mengumpulkan Seantero tenaganya di telapakan tangan dan menghantam sekuat-kuatnya. Oleh karena ia memukul dari atas ke bawah, pukulan itu jadi lebih hebat lagi. Di antara begitu banyak orang mungkin hanya Moh Tjoan Seng seorang saja yang dapat menyambut serangan itu. Pada detik itu sedang jiwa Kim Sie Ie tergantung pada sehelai rambut, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul suara seorang wanita: “Tooyoe, kenapa kau jadi begitu gusar?” Badan Tongbengtjoe kelihatan menggigil, pukulannya miring dan entah dari mana, di depannya sudah berdiri seorang wanita setengah tua berparas sangat cantik. Wanita itu mengebaskan lengan bajunya dan hampir sedetik itu, sembari mengeluarkan teriakan keras, Tongbengtjoe terjungkal. Di lain saat, ia sudah bangun kembali dan kemudian duduk bersila di atas lantai. Sementara itu Kim Sie Ie sendiri sudah kabur dari Kimkong sie. Wanita itu mengeluarkan suara “ih!” dan bergerak seperti mau mengejar, tapi setelah melihat Tongbengtjoe yang sedang bersila, ia mengurungkan niatannya. Suatu peristiwa yang sangat luar biasa telah terjadi pada ketika itu. Rambut Tongbengtjoe yang tadi masih berwarna hitam berkilau, dengan mendadak berubah menjadi putih layu, sedang mukanya, yang semula licin dan berisi, tiba-tiba menjadi kisut, berkeriput sebagai wajah seorang kakek. Dalam sekejap mata, dari seorang yang tampaknya baru berusia kurang lebih empat puluh tahun, ia sudah berubah menjadi seorang tua yang berbadan lemah. Sekali lagi wanita itu mengeluarkan suara “ih!”. Perlahan-lahan ia menghampiri Tongbengtjoe dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengn perlahan: “Maaf, maaf! Tooyoe, jalanlah baik, baik!” Mulut Tongbengtjoe bergerak dan memperlihatkan senyumnya yang menyeramkan. Ia membuka kedua matanya dan dengan napas tersengal-sengal, ia berkata: “Jatuh dalam tanganmu, dapat dikatakan cukup berharga.” Sehabis berkata begitu, matanya dipejamkan dan rohnya pulang ke alam baka! Kejadian itu hampir tak dapat dipercaya oleh semua tamu yang berada di ruangan itu. Andaikata Moh Tjoan Seng turun tangan sendiri, menurut taksiran, paling banyak ia hanya dapat menangkis serangan Tongbengtjoe. Tapi wanita itu, dengan kebasan lengan baju sekali saja, sudah dapat mengambil jiwa Tongbengtjoe. Keng Thian sudah memburu untuk menolong Kim Sie Ie. Di luar dugaan, dalam jangka waktu sependek itu, sudah terjadi beberapa peristiwa luar biasa itu. Kaburnya Kim Sie Ie, munculnyaseorang wanita yang tak dikenal dan kebinasaan Tongbengtjoe! Dengan mata yang penuh pertanyaan, ia mengawaskan wanita itu yang berparas cantik, angker, agung dan penuh welas asih. Jantung Keng Thian berdebar keras. “Apakah ia bukannya Tjianpwee yang sangat dihormati oleh kedua orang tuaku?” tanyanya kepada dirinya sendiri. Sementara itu, sembari merangkap kedua tangannya, Moh Tayhiap sendiri sudah turun dari pentas dan menghampiri dengan sikap menghormat. “Siantjay! Siantjay!” katanya. “Tongbengtjoe sekarang sudah berpulang ke alam bahagia. Secara kebetulan Liehiap sudah menjalankan tugas ini.” Wanita itu membalas penghormatannya seraya berkata: “Semenjak pertemuan di Tangpeng, sampai sekarang sudah lewat tiga puluh tahun. Moh Loosoe, kau telah mendapat kemajuan jauh sekali dalam pertapaanmu dan sekarang akhir yang penuh bahagia sudah menunggu di depan pintu. Begitu lekas menerima surat, buru-buru aku datang kesini untuk turut mengantar. Hanya secara tak disengaja, aku sudah membuka larangan membunuh. Meskipun kebinasaan Tongbengtjoe bukan seluruhnya disebabkan olehku, tapi hatiku juga merasa sangat menyesal.” Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: “Selama tiga puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi. Tak dinyana, di antara houwpwee banyak muncul orang pandai, seperti juga gelombang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di sebelah depan. Kejadian ini benar-benar menggirangkan.” Ia berpaling kepada Keng Thian dan menanya: “Pernah apakah kau dengan Siauw Lan?” Keng Thian terkesiap karena ternyata, dengan melihat ilmu mengentengkan badannya saja, wanita itu sudah bisa menebak asal-usulnya. Ia sudah yakin, bahwa Tjianpwee itu mestinya adalah Liehiap yang sangat dikagumi kedua orang tuanya. Dengan sikap sangat menghormat, ia segera berlutut. “Ialah ayahku,” jawabnya. “Apakah Lootjianpwee bukan Lu Soe Nio dari Binsan?” Wanita itu mengangkat tangannya dan Keng Thian merasakan semacam tenaga yang tak kelihatan, mengangkat tubuhnya, sehingga Lu Soe Nio hanya menerima separuh pemberian hormatnya. “Dengan mempunyai putera sebagai dirimu, Siauw Lan dan Phang Eng sungguh harus diberi selamat,” katanya sembari tertawa. “Ah. Saudara Tjoan Seng! Sang tempo jalannya cepat luar biasa. Dalam sekejap mata, kawan-kawan lama kita hanya ketinggalan beberapa orang saja!” Setelah mendengar, bahwa wanita cantik itu adalah Lu Soe Nio yang namanya kesohor di seluruh negeri, para hadirin terkejut berbareng kagum. Serentak mereka berdiri untuk member hormat kepada pendekar wanita itu. Lu Soe Nio adalah salah seorang dari Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Daerah Kanglam). Sesudah membinasakan Liauw In, kakak seperguruannya yang menjadi penghianat, kemudian membunuh Yong Tjeng, puluhan tahun lamanya ia hidup bersembunyi, tak pernah ia muncul dalam Rimba Persilatan, sehingga banyak orang menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tapi ternyata, bukan saja ia masih hidup dan gagah, tapi wajahnya pun masih begitu muda. Dalam tingkatan, kedudukannya setara dengan Moh Tjoan Seng dan Tong Siauw Lan. Menurut usia, ia lebih muda dari Moh Tayhiap, tapi lebih tua daripada Tong Siauw Lan. Dinilai dari kemashyuran nama, ia lebih kesohor daripada Tong Siauw Lan maupun Moh Tjoan Seng. Pada hakekatnya, di seluruh Rimba Persilatan, tak ada yang dapat direndengkan dengan Lu Liehiap. Orang-orang yang menghadiri Kiatyan biasanya sudah merasa puas jika bisa bertemu dengan Moh Tjoan Seng. Tapi sekarang, di samping Moh Tayhiap, mereka juga bisa melihat wajah Lu Liehiap. Kejadian itu benar-benar sangat menggirangkan. “Saudara-saudara janganlah berlaku begitu sungkan,” kata Lu Liehiap. “Duduklah.” Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sambil jalan berendeng dengan Moh Tjoan Seng, ia memasuki ruang sembahyang. Ketika itu, Hongsek Toodjin yang bertempur dengan Pengtjoan Thianlie, justru sedang berada di atas angin. Mendengar kedatangan Lu Soe Nio, jantung Hongsek berdebar keras. Begitu lekasLu Liehiap mendekati, ia segera meloncat keluar dari gelanggang dan mengawasi pendekar wanita itu dengan perasaan sangsi. “Dengan banyak capai lelah, Tooyoe sekarang sudah mendapatkan kembali ilmu silat Khongtong pay yang sudah lama lenyap,” kata Lu Liehiap sembari bersenyum. “Untuk itu, Tooyoe pantas diberi selamat.” Berbareng dengan perkataan itu, bulu-bulu hudtim si toosoe mendadak bergoyang seperti ditiup angin, sedang Hongsek sendiri merasakan tangannya kesemutan. Tanpa tercegah lagi, hudtim itu jatuh di atas lantai! Muka Hongsek lantas saja menjadi pucat bagaikan kertas. Sudah lama ia mendengar, bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang dinamakan Tjoan-im tjoktek (Dengan gelombang suara merobohkan musuh), tapi ia sendiri belum mendapat buktinya dan ia pun tak percaya, bahwa dalam dunia terdapat ilmu yang begitu luar biasa. Baru sekarang ia yakin, bahwa cerita itu bukan cerita kosong. Dengan hati bercekat, buru-buru ia memberi hormat seraya berkata: “Pintoo Hongsek Toodjin menghadap kepada Lu Liehiap.” “Perguruanmu dan perguruanku tak mempunyai sangkut paut sama sekali,” kata Lu Soe Nio. “Maka kita harus bergaul seperti orang sepantaran. Kata-kata ‘menghadap’ adalah kehormatan yang tak dapat kuterima.” Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: “Setiap cabang persilatan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Sebenarnya orang tak perlu mempunyai niatan untuk menang sendiri dan sebentar-sebentar ingin mengadu ilmunya.” Mendengar kata-kata yang tajam itu, selebar muka Hongsek menjadi merah. “Petunjuk Liehiap pasti akan kuperhatikan,” katanya dengan menunduk. “Lihat saja Tongbengtjoe Tooyoe,” Lu Liehiap melanjutkan nasehatnya. “Dari ilmu Gwakee (ilmu silat luar) yang paling tinggi, ia terus menanyak sampai ke kalangan Lweekeeh (ilmu silat dalam). Hasil itu sesungguhnya harus dihargakan tinggi-tinggi. Tapi karena salah bertindak, latihannya selama berpuluh tahun telah terbuang-buang dengan percuma, malah Sampai ia harus tewas tanpa mempunyai murid yang dapat mewarisi pelajarannya. Bukankah kejadian itu harus disesalkan?” Hongsek tak berani menjawab, ia hanya mengangguk berulang-ulang. Beberapa saat kemudian, Lu Liehiap berkata pula: “Tongbengtjoe adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Koenloen. Sudah selayaknya, jika jenazahnya dibawa pulang untuk dikuburkan di gunung itu. Tooyoe, kau dan ia bersahabat baik. Bolehkah urusan ini diserahkan kepadamu? Di samping itu, aku berharap, supaya kau suka memberikan penjelasan sebaik-baiknya kepada murid-murid Koenloen.” “Terima kasih atas belas kasihan Lihiap,” kata Hongsek. “Bahwa liehiap sudah mengijinkan dibawa pulangnya jenazah Tongbeng Tooyoe, murid-murid Koenloen tentu sudah merasa berterima kasih tiada habisnya.” Menurut peraturan Kangouw, Tongbengtjoe yang sudah menyatroni tempat orang dan menantang bertempur, kebinasaannya harus dianggap sebagai bencana yang dicarinya sendiri. Maka, ijin dari pihak yang disatroni supaya jenazahnya bisa dibawa pulang ke tempat asalnya, sudah dianggap sebagai budi besar. Hongsek segera mendekati jenazah Tongbengtjoe yang masih tetap bersila di atas lantai. Begitu tersentuh, tubuh Tongbengtjoe lantas terguling, rambutnya rontok semua dan badannya menjadi jauh lebih kecil, sehingga jubah pertapaannya menjadi sangat longgar. Semua orang terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa dalam tempo sependek itu, tubuh Tongbengtjoe sudah bisa menjadi begitu kecil lagi kurus kering. Memang seseorang yang memiliki lweekang tinggi, bisa mempertahankan keremajaan wajahnya yang tidak berubah menjadi tua. Tapi orang-orang yang benar-benar beribadat, seperti misalnya Moh Tjoan Seng, tak mau menggunakan ilmu tersebut. Mengenai paras Lu Soe Nio, soalnya lain. Di waktu muda, Lu Liehiap telah memperoleh ilmu Tjiantjeng lweesit (ilmu memperdalam dan memperkuat jiwa) dari le Lan Tjoe, maka kemudian, sesudah lweekang-nya mencapai kesempurnaan mutlak, secara wajar wajahnya tetap muda dan tak akan berubah sampa di akhir penghidupannya. Di lain pihak, Tongbengtjoe telah masuk ke jalan tersesat dan mempelajari ilmu yang menyeleweng, sehingga ia bisa juga mencegah proses yang menjadikan wajahnya berubah sesuai dengan usianya. Tapi begitu lekas tenaga dalamnya musnah, selekas itu pula proses terhambat itu menyusul kelambatannya, dari seorang gagah yang bertubuh kekar dalam sekejap mata ia diubah menjadi seorang kakek kurus kering. Dalam Rimba Persilatan, kejadian itu bukannya sesuatu yang mengherankan. Soal yang mengherankan bagi Lu Liehiap adalah, kenapa ia binasa begitu mendadak, terkena kebutannya sekali saja. Hongsek Toodjin segera membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk membungkus jenazah Tongbengtjoe. Sesudah itu, sembari membungkuk kepada kepala biara Kimkong sie, ia berkata: “Apakah aku boleh meminjam tempat pembakaran jenazah dalam kuil ini?” “Tentu saja,” jawab hweeshio kepala itu sembari merangkap kedua tangannya. “Loolap pun berkewajiban mengantar keberangkatan Tongbeng Tooyoe.” Ternyata, karena terlalu sukar untuk membawa jenazah dalam perjalanan sejauh itu, Hongsek Toodjin telah mengambil keputusan untuk memperabukannya dan kemudian membawa abu itu untuk dikuburkan di gunung Koenloen. Ketua Kimkong sie itu, Moh Tjoan Seng, Lu Soe Nio, Keng Thian, Peng Go, Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja pergi ke tempat pembakaran yang terletak tak jauh dari ruangan sembahyang itu. Selagi api membakar jenazah Tongbengtjoe, Moh Tjoan Seng berkata kepada Lu Soe Nio: “Soe Nio, aku sedianya ingin berangkat beberapa hari lagi. Tapi karena kau sudah datang, kurasa lebih baik aku berangkat lebih siang.” “Lebih lambat beberapa hari atau lebih cepat beberapa hari tiada bedanya,” kata Lu Lihiap. “Tapi, apakah kau sudah mempunyai ahli waris?” Maksud Lu Soe Nio adalah ada tidaknya orang yang mewarisi semua kepandaian Moh Tjoan Seng. Pengrjoan Thianlie terkejut, ia tak mengerti maksud pembicaraan kedua orang itu. Mendadak sang paman berpaling ke arahnya dan tersenyum, sedang Lu Soe Nio kelihatan seperti baru mendusin. “Tatmo Kiamhoat yang diperlihatkan nona ini adalah kiamhoat Boetong pay asli.” Kata Lu Liehiap. “Sejak kapan kau menerima dia sebagai murid? Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku?” “Peng Go,” Moh Tayhiap memanggil. “Mari sini! Inilah Lu Liehiap. Di kemudian hari kau harus meminta banyak petunjuknya.” Ia berpaling kepada Soe Nio dan menyambung perkataannya: “Anak ini adalah kemenakanku, Hoa Seng telah berkelana ke negara asing, tapi dengan mempunyai anak ini, ia boleh pulang ke alam baka dengan mata meram.” Buru-buru Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Lu Liehiap. Sembari menepuk-nepuk pundak si nona, Soe Nio berkata dengan gembira: “Dengan mempunyai kemenakan ini, kau pun boleh berangkat dengan hati senang.” Mendengar perkataan itu, Loei Tjin Tjoe tercengang. “Di kuil ini Soetjouw dapat menuntut penghidupan tenteram untuk melewatkan sisa penghidupannya,” katanya didalam hati. “Dalam usia yang sudah lanjut, kemana lagi Soetjouw hendak pergi?” Saat itu, jenazah Tongbengtjoe sudah terbakar habis. Tiba-tiba di antara api yang berkobarkobar, kelihatan asap hitam berkepul ke atas dengan menyiarkan bau yang agak amis. Muka Lu Liehiap lantas saja berubah. “Ah! Sekarang aku baru tahu,” katanya perlahan. “Kejadian ini sungguh diluar dugaanku.” “Soe Nio, apakah yang kau lihat?” tanya Moh Tayhiap. Lu Liehiap tak menyahut, sebaliknya ia menengok kepada Keng Thian seraya menanya: “Siapakah bocah itu yang bertempur melawan Tongbengtjoe?” “Namanya Kim Sie Ie,” jawab Keng Thian. “Dalam kalangan Kangouw, ia dikenal sebagai Toktjhioe Hongkay. Cara-caranya sangat aneh dan agak menyeleweng.” “Menyeleweng atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan,” kata Lu Soe Nio. “Gurunya adalah sahabatku. Dulu, dari jalan tersesat sahabatku itu telah beralih ke jalan lurus.” Keng Thian yang sampai saat itu masih belum mengetahui asal-usul Kim Sie Ie, buru-buru menanya: “Siapakah gurunya?” “Begitu melihat gerakannya, aku sudah bercuriga,” jawabnya. “Sesudah menyaksikan munculnya asap hitam dari racun yang mengeram dalam tubuh Tongbengtjoe, aku bisa memastikan, bahwa gurunya adalah Tokliong Tjoentjia.” Dengan serentak, Keng Thian dan Loei Tjin Tjoe mengeluarkan seruan tertahan. Sebagai orang-orang yang mengenal selak beluk Rimba Persilatan, mereka tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah orang aneh nomor satu di antara jago-jago dari tingkatan lebih tua. “Sedari tadi aku agak heran, kenapa Tongbengtjoe lantas binasa begitu terkena kebutanku,” kata Soe Nio perlahan. “Tak tahunya ia lebih dulu sudah terkena racun hebat dan harus memusatkan seluruh tenaganya untuk membendung menjalarnya. Begitu lekas tenaganya buyar hawa racun lantas naik ke uluhatinya dan ia lantas binasa.” Mendengar penjelasan itu Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain menjadi kagum bukan main. Racun Kim Sie Ie yang begitu dahsyat sudah cukup mengherankan. Tapi yang lebih mengherankan lagi, adalah pukulan Lu Liehiap. Dengan sekali mengebas saja, ia sudah bisa menangkis pukulan yang begitu hebat, malah juga membuyarkan Seantero tenaga dalam Tongbengtjoe. Itulah kejadian yang –sependengaran mereka — belum pernah terjadi dalam Rimba Persilatan. Sekonyong-konyong alis Lu Soe Nio berkerut dan sambil menghela napas, ia berkata: “Sayang! Sungguh sayang!” Ia menengok ke arah Keng Thian seraya berkata: “Di antara houwpwee, Kim Sie Ie adalah orang yang sukar dicari tandingannya. Bagaimana perhubunganmu dengan ia?” Sebagaimana diketahui, terhadap pemuda itu, Keng Thian tak mempunyai rasa simpati. “Aku merasa kasihan padanya, tapi aku tak bisa menghargakan cara-caranya,” jawabnya, berterus terang. “Bagus,” kata Soe Nio. “Dulu, semua orang mengatakan gurunya pantas mati, hanya aku yang merasa kasihan. Apapula, Kim Sie Ie belum pantas dihukum mati. Dulu, ketika aku menolong Tokliong Tjoentjia, Soeheng-ku sendiri, Kam Hong Tie, merasa tidak setuju. Tapi, kemudian semua orang yakin, bahwa tindakanku itu yang benar.” Hati Keng Thian berdebar-debar. “Apakah Kim Sie Ie tengah menghadapi bencana?” tanyanya. “Apakah teetjoe (murid) bisa menolongnya?” Lu Liehiap bersenyum dan berkata: “Sesudah mengurus urusan Moh Loosoe, aku akan member keterangan lebih jelas kepadamu.” Mendengar jawaban itu, Keng Thian tak berani mendesak lagi, hanya di dalam hati, ia merasa bimbang. “Meskipun Kim Sie Ie telah dilukakan Tongbengtjoe, tapi dengan lweekang-nya yang tinggi ia masih dapat menyembuhkan sendiri lukanya itu,” pikirnya. “Mengapa Lu Liehiap mengeluarkan kata-kata begitu?” Sementara itu, Hongsek Toodjin sudah mengumpulkan abu dan tulang-tulang Tongbengtjoe yang lalu dimasukkan ke dalam sebuah guci. Sesudah beres, ia segera berpamit dan berangkat ke Koenloen san. Moh Tjoan Seng dan yang lain-lain mengantar sampai di pintu kuil dan kemudian kembali ke ruangan sembahyang. Semua orang segera mengambil pula tempat duduk masing-masing untuk menunggu dilanjutkannya Kiatyan yang terputus karena pertempuran tadi. Moh Tayhiap juga kembali ke pentas dan meneruskan ceramahnya mengenai Iekinkeng. Sesudah selesai memberi ceramah, Moh Tayhiap segera berkata dengan suara perlahan: “Pengetahuanku sebenarnya masih cetek, hanya atas budi kawan-kawan dari berbagai cabang persilatan, aku telah diangkat menjadi pemimpin pertemuan ini. Selama tiga kali Kiatyan, di dalam hati aku selalu merasa malu. Selama tiga kali Kiatyan itu, aku juga mendapat kenyataan, bahwa di antara houwpwee sudah muncul banyak orang pandai. Memang dalam ilmu silat, yang belakang selalu akan lebih unggul dari yang dulu. Maka, di antara perasaan malu, di dalam hatiku terdapat juga kegirangan. Kiatyan sekali ini, kuakhiri sampai disini.” Menurut kebiasaan, paling sedikit Kiatyan berlangsung untuk setengah bulan lamanya. Oleh sebab itu, pernyataan Moh Tjoan Seng, bahwa pertemuan itu — yang baru saja berjalan satu hari akan segera ditutup, telah membangkitkan keheranan semua orang. Sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, Moh Tjoan Seng sudah berkata pula: “Sebagaimana kukatakan tadi, dalam ilmu silat, setiap cabang mempunyai keunggulan sendiri sendiri dan sekalian saudara adalah tokoh-tokoh dari berbagai cabang persilatan. Iekinkeng, yang barusan diperbincangkan, adalah pokok dasar latihan lweekang. Jika masih ada bagian-bagian yang kurang terang, saudara-saudara bisa memohon penjelasan dari para tokoh terkemuka dan tak perlu kuterangkan lagi secara bertele-tele. Untuk kunjungan saudara-saudara, aku hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima kasih. Sekarang ini aku akan mengurus sedikit urusan pribadi dan aku memohon supaya saudara-saudara suka turut menyaksikannya.” Ia berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: “Peng Go, mari sini!” Pengtjoan Thianlie segera maju ke depan pentas. “Sesudah ditunjuk sebagai Tiangloo (pemimpin, penasihat) Boetong pay, selama beberapa puluh tahun aku sudah menyia-nyiakan kepercayaan orang dan jarang sekali memberi petunjuk kepada murid-murid Boetong, sehingga partai kita semakin lama jadi semakin merana. Untuk kelalaian itu, aku merasa sangat malu terhadap leluhur kita. Aku mendapat kenyataan, bahwa kau berhati bersih dan juga sudah paham akan intisari ilmu silat Boetong pay. Maka itu, dengan menanggung risiko dicela orang, memilih kasih kepada pamili sendiri, aku sekarang mengangkat kau sebagai ahli warisku. Mulai dari hari ini, tanggung-jawab untuk memimpin saudara-saudara separtai jatuh di atas pundakmu.” Peng Go terkesiap mendengar perkataan pamannya. Ia tak pernah tertarik, bahkan merasa sangat sebal terhadap keruwetan-keruwetan keduniawian dan siang-siang ia sudah mengambil keputusan untuk kembali ke istana es guna menuntut penghidupan bebas, tenteram dan suci bersih. Mana mau ia menjadi Tjiangboen (pemimpin, ketua) cabang persilatan yang begitu besar seperti Boetong pay? Sang paman, yang agaknya dapat membaca jalan pikirannya, lantas saja berkata pula: “Kau jangan bingung. Aku akan memberi penjelasan lebih lanjut.” Ia berpaling ke arah Loei Tjin Tjoe dan memanggil: “Loei Tjin Tjoe, mari sini!” Loei Tjin Tjoe segera maju dan memberi hormat. “Ilmu silat adalah seperti laut yang sangat dalam,” kata Moh Tayhiap. “Apakah kau sekarang sudah mengerti akan kekuranganmu?” “Teetjoe mengerti,” jawabnya dan mukanya menjadi merah. “Bagus,” kata Moh Tjoan Seng sembari tersenyum. “Beberapa hari yang lalu, Tjiangboen Soeheng-mu telah menulis surat kepadaku untuk memberitahukan, bahwa, karena sudah tua dan berpenyakitan, ia tak dapat menunaikan kewajibannya terhadap partai dan minta aku mengangkat Tjiangboendjin baru. Aku mendapat kenyataan, bahwa selama setahun ini, kau telah memperoleh banyak kemajuan, maka sekarang aku mengangkat kau sebagai Tjiangboendjin dari Boetong pay.” Loei Tjin Tjoe girang berbareng kaget. Ia belum pernah bermimpi, bahwa ia akan mendapat kehormatan untuk menjadi pemimpin partainya. Dengan wajahnya menjadi merah, ia menjawab kemalu-maluan: “Tanggung jawab yang begitu berat mungkin sekali tak akan terpikul oleh teetjoe.” Sehabis berkata begitu, ia melirik ke arah Pengtjoan Thianlie. “Jika kau bisa mengenal kelemahanmu sendiri, kau pasti akan dapat memikul tanggungan itu,” kata Moh Tayhiap. “Yang paling penting bagi seorang Tjiangboen adalah perbuatannya yang adil dalam memberi ganjaran atau hukuman serta kepandaiannya untuk menjaga supaya saudara-saudara separtainya selalu berjalan lurus. Kepandaian bersilat adalah soal kedua. Peng Go adalah ahli warisku. Di hari kemudian jika muncul urusan-urusan yang tidak dapat kau putuskan sendiri, kau harus memberitahukan soal itu kepadanya dan minta pendapatnya.” Menurut peraturan Rimba Persilatan, dalam setiap partai, di atas Tjiangboen masih terdapat Tiangloo (pemimpin, penasihat) partai itu. Dalam urusan-urusan penting, Tjiangboen harus mendengar pendapat Tiangloo. Kedudukan Tiangloo hampir sama dengan Thaysiang Tjiangboen (ketua kehormatan), hanya ia tidak mencampuri segala urusan kecil. Pada jaman itu, Moh Tjoan Seng bertiga saudara adalah para Tiangloo dari partai tersebut. Sesudah Tjio Kong Seng dan Koei Hoa Seng meninggal dunia Tiangloo satu-satunya adalah Moh Tjoan Seng yang sekalian menjabat Thaysiang Tjiangboen. Tjiangboen bisa diganti-ganti, tapi seorang Tiangloo menduduki kursi kehormatan itu sehingga ia meninggal dunia. Seorang Tiangloo bisa diangkat oleh rapat anggauta partai atau ditunjuk oleh Tiangloo yang ingin mengundurkan diri. Tapi, karena kedudukan Tiangloo hanya boleh di tempati oleh seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan dihormati oleh seluruh Rimba Persilatan, maka sering kejadian, bahwa sesudah Tiangloo lama meninggal dunia, tidak diangkat lagi Tiangloo yang baru. Dalam suatu partai yang tidak mempunyai Tiangloo, maka orang yang paling tinggi kedudukannya adalah Tjiangboen. Sekarang, sesudah menunjuk Pengtjoan Thianlie sebagai ahli warisnya dan memesan supaya Loei Tjin Tjoe berunding dengan nona itu jika menemui urusan-urusan besar, maka secara resmi Peng Go sudah diangkat menjadi Tiangloo atau Thaysiang Tjiangboen (ketua kehormatan) Boetong pay. Tapi menurut peraturan Rimba Persilatan, Thaysiang Tjiangboen yang baru belum boleh diangkat secara resmi, sebelum yang lama meninggal dunia. Hal inilah yang tidak dapat dimengerti oleh para hadirin, karena Moh Tjoan Seng tampak masih segar bugar. Sesudah mendapat kenyataan, bahwa ia bukan disuruh menjadi Tjiangboen dan hanya diperintah “menilik” Loei Tjin Tjoe, Peng Go yang tidak mengerti seluk-beluk peraturan itu, lantas saja berkata di dalam hatinya: “Pehpeh tidak tahu, bahwa siang-siang aku sudah menilik Loei Tjin Tjoe. Kurasa, pangkat ini boleh juga diterima.” Berpikir begitu, lantas saja ia berkata: “Aku akan memperhatikan segala perintah Pehpeh. Akan tetapi, titlie (keponakan perempuan) tak ingin berdiam lama-lama di Boetong san dan ingin kembali untuk menetap di Puncak Es.” “Sekarang kau sudah menjadi pemimpin penasihat partai kita,” kata sang paman sembari bersenyum. “Kemana juga kau mau pergi, tak akan ada yang berani melarang!” Si nona terkejut. “Bagaimana aku bisa jadi pemimpin penasihat partai kita?’ tanyanya kepada dirinya sendiri. Sementara itu, Moh Tjoan Seng sudah memejamkan kedua matanya, pada mukanya terdapat sifat welas asih dan pada kedua bibirnya tersungging senyum puas. Beberapa ratus orang yang hadir itu, melihatkan dengan hati berdebar-debar, kemudian, dengan serentak mereka berbangkit sembari menundukkan kepala. Seluruh ruangan besar itu menjadi sunyi senyap. Soe Nio merangkap kedua tangannya dan mengucapkan pujian dengan suara perlahan: “Puluhan tahun kau bertapa dan sudah bisa mendapat kesadaran yang diidam-idamkan. Lebih menggirangkan lagi, kau sekarang sudah mempunyai ahli waris yang cakap dan tepat.” Kepala biara Kimkong sie pun turut merangkap kedua tangannya dan memberi pujian: “Dengan bebas dari segala sangkutan dunia, Kiesoe berpulang ke Barat. Caramu berpulang adalah cara seorang Pousat (dewa)!” Sementara itu, dengan di kepalai oleh Loei Tjin Tjoe, semua murid Boetong segera berlutut. Pengtjoan Thianlie terkejut tak kepalang. “Apakah Pehpeh meninggal dunia?” ia bertanya dengan mata terbelalak. “Dengan segala kejayaan dan dalam usia yang sudah begitu lanjut, Pehpeh-mu berpulang ke alam baka,” kata Soe Nio dengan khidmat. “Berpulang secara demikian adalah kejadian yang langka dalam dunia dan harus dianggap menggirangkan.” Pengtjoan Thianlie pernah mempelajari agama Budha, ia juga mengetahui, bahwa meninggal dunia sebagai pamannya barusan, adalah kejadian yang paling dikagumi oleh segenap penganut agama Budha. Akan tetapi, karena mengingat, bahwa mulai dari saat itu, ia tak mempunyai sanak dekat lagi, tak urung hatinya merasa sedih juga dan air matanya membasahi kedua pipinya. Buru-buru ia berlutut untuk memberi penghormatan terakhir kepada pamannya itu. “Lu Liehiap,” kata Loei Tjin Tjoe kepada Soe Nio. “Mohon supaya Liehiap sudi menilik pengurusan jenazah Tjouwsoe.” “Kedatanganku justru untuk mengantar Tjouwsoe-mu berpulang ke Barat,” jawab Soe Nio. “Maka, aku tentu tak akan menolak permintaanmu. Tapi lebih dulu aku ingin berbicara dengan Keng Thian.” Bersama dengan pemuda itu, Lu Liehiap lantas saja keluar dari ruang sembahyang. “Keng Thian,” katanya. “Kau tak usah turut serta dalam upacara pemakaman.” “Moh Lootjianpwee adalah sahabat ayahku,” kata Keng Thian. “Aku merasa tak enak hati, jika tidak turut serta.” “Orang-orang sebangsa kita selamanya tidak mengukuhi segala peradatan,” kata Lu Soe Nio. “Menolong jiwa manusia lebih berharga daripada mendirikan gedung bertingkat tujuh. Roh Moh Lootjianpwee tentu mengetahui, bahwa kau tidak dapat hadir karena tenagamu dibutuhkan untuk menolong sesama manusia. Pasti sekali ia tidak akan mencela dirimu.” “Menolong siapa?” tanya Keng Thian dengan kaget. “Kim Sie Ie.” “Apakah pukulan Tongbengtjoe begitu berat, sehingga jiwa Kim Sie Ie berada dalam bahaya?” tanya pula pemuda itu dengan ragu-ragu. “Bukan, bukan karena pukulan Tongbengtjoe,” Soe Nio menerangkan. “Ia menghadapi bencana karena ilmunya sendiri!” “Teetjoe sungguh tak mengerti,” kata Keng Thian sembari memandang pendekar wanita itu. “Ilmu silat Tokliong Tjoentjia telah diciptakannya sendiri di sebuah pulau terpencil. Kecuali ular, di pulau itu tak ada makhluk lain. Ditambah dengan kebenciannya terhadap dunia, jika sedang berlatih lweekang, hatinya penuh dengan perasaan duka dan penasaran. Oleh sebab itu, meskipun akhirnya ia memiliki semacam lweekang yang sangat tinggi dan yang tak kalah liehaynya daripada lweekang cabang-cabang persilatan lain tapi jalan yang telah diambilnya bukanlah jalan lurus. Semakin tinggi lweekang-nya, bencana yang tersembunyi di dalam badannya jadi semakin besar. Menurut taksiranku, Tokliong Tjoentjia telah tewas karena ‘dimakan’ ilmunya sendiri. Kenyataan itu, kenyataan, bahwa lweekang-nya sendiri yang akan mencelakakannya, mungkin baru disadarinya ketika ia hampir menutup mata. Kim Sie Ie yang masih cetek ilmunya, tentu tak menyadari bencana itu.” Soal ilmu “makan” peyakinnya sendiri, seperti senjata makan tuan, adalah kejadian yang kadang-kadang memang terjadi dalam dunia persilatan. Hal demikian itu adalah akibat dari latihan yang tidak benar. Sebagai perumpamaan, lihatlah orang yang menghisap candu. Candu sebenarnya bisa mengobati penyakit. Tapi jika digunakan secara keliru, candu bahkan berbalik mencelakakan. Lweekang yang “menyeleweng” hampir serupa dengan candu. Semakin lama seseorang berlatih dengan lweekang itu, semakin besar bencana yang mengancamnya. “Lweekang Kim Sie Ie masih belum mencapai tingkat gurunya,” kata Soe Nio pula. “Maka sementara ini, ia belum tercelakakan Lwekangnya. Tapi… jika tidak ditolong sekarang juga, nasibnya tentu akan serupa dengan gurunya.” “Tapi kenapa begitu terburu-buru?” tanya Keng Thian. “Sebenarnya, memang tak usah begitu kesusu. Akan tetapi, sesudah mendapat pukulan Tongbengtjoe yang beracun, keadaannya kini sudah sangat berbahaya. Racun di dalam tubuhnya itu, pada suatu saat akan ‘meledak’. Celakalah ia, jika tak cepat-cepat diberi pertolongan. Ketika ia bertempur melawan Tongbengtjoe, aku sudah memperhatikan lweekang-nya. Menurut taksiranku, dengan memiliki lweekang sedalam itu, ia kan dapat bertahan sampai tiga puluh enam hari. Lekas- Iekaslah kau mencarinya! Berikanlah tiga butir Pekleng tan-mu kepadanya. Dengan pertolongan pil itu, jiwanya akan dapat diperpanjang sampai tujuh puluh dua hari.” Bukan main kagetnya Keng Thian. “Apakah pil Thiansan Soatlian itu hanya dapat memperpanjang usianya dengan tiga puluh enam hari?” tanyanya. “Penyakit itu sebenarnya tak akan dapat disembuhkan dengan obat apapun juga,” jawab Lu Liehiap sembari bersenyum. “Bahwa Thiansan Soatlian dapat menyambung jiwanya dengan tiga puluh enam hari lagi, sudah merupakan kejadian yang luar biasa.” Hati Keng Thian mencelos, ia merasa kecewa sekali. “Kalau begitu, kita hanya bisa menambal, tapi tak bisa mengobati akar penyakitnya,” katanya. “Apa gunanya, memperpanjang usianya dengan beberapa hari itu saja dan akhirnya ia mesti binasa juga?” “Tidak, tidak begitu!” kata Soe Nio tanpa ragu-ragu. “Obat tak dapat menolong, tetapi masih ada yang bisa menolong dia, golonganmu, orang-orang Thiansan pay!” Keng Thian tercengang. “Kenapa begitu?” ia menegasi. “Lweekang Thiansan pay adalah warisan Hoeibeng Siansoe,” Soe Nio menjelaskan. “Ketika menciptakan pelajaran lweekang tersebut, beliau telah memilih dan memetik bagian-bagian yang paling berharga dan paling bersih dari ilmu berbagai cabang persilatan. Dengan demikian, lweekang Thiansan pay bukan saja bersih dan dalam sifatnya, tapi juga dapat menyingkirkan segala macam racun dari dalam tubuh orang, racun yang disebabkan latihan lweekang ‘menyeleweng’. Maka, hanya kaum Thiansan pay yang akan dapat menolong jiwa Kim Sie Ie.” “Teetjoe masih belum mengerti,” kata Keng Thian. “Karena kepandaianmu belum mencapai kesempurnaan mutlak, tentu saja kau masih belum mengerti,” kata Soe Nio. “Tugasmu yang terutama adalah mencari Kim Sie Ie dan sesudah bertemu, bawalah dia ke Thiansan supaya bisa ditolong kedua orang tuamu. Dengan mendapat pertolongan ayah dan ibumu, bukan saja jiwanya akan tertolong, tapi sesudah ia kembali ke jalan lurus, di kemudian hari, Kim Sie le akan bisa memperoleh kemajuan, sehingga tidak kalah dari kau sendiri.” Keng Thian tak mengucapkan sepatah kata, ia berdiri bengong seperti sedang berpikir. “Apa yang kau harus perhatikan adalah: dalam tiga puluh enam hari kau harus sudah menemukannya dan dalam tujuh puluh dua hari, dia harus sudah tiba di Thiansan,” pesan Soe Nio. Keng Thian berkelahi dengan hatinya sendiri, tapi sesaat kemudian, sifatnya yang mulia telah mengalahkan segala pikiran lain. “Baiklah, teetjoe akan berangkat sekarang juga,” kalanya tanpa sangsi-sangsi. Sesudah mengalami banyak penderitaan baru saja ia bisa berkumpul kembali dengan Koei Peng Go, dan segera juga mereka sudah mesti berpisah lagi. Sebagai manusia biasa, biar bagaimana juga, ia merasa berat untuk segera meninggalkan kecintaannya. Ia menoleh dan justru pada saat itu, Peng Go sedang memandang ke arahnya. Mata mereka beradu dan wajah Peng Go lantas saja berwarna kemerah-merahan. Buru-buru ia melengos dan berlagak bicara dengan Yoe Peng, dayangnya. Lu Liehiap bermata sangat tajam, ia lantas saja mengerti apa yang tersembunyi di hati mereka. Ia menghampiri si nona dan berkata: “Peng Go, antarkanlah Keng Thian sampai beberapa jauh.” Mendengar perintah itu, dengan perlahan Peng Go menghampiri Keng Thian. Walaupun parasnya tenang, di dalam hati ia berduka, tapi ia tak berani menanyakan, mengapa begitu cepat pemuda itu sudah harus berangkat pula. “Menurut penglihatanku Kim Sie Ie agaknya beradat angkuh,” kata Lu Liehiap kepada pemuda itu. “Jika ia tahu, bahwa kau hendak menolongnya, belum tentu ia suka menerimanya. Dari sebab itu, kau harus bertindak dengan mengimbangi keadaan dan jika perlu, kau boleh menggunakan tipu untuk mempedayakannya, supaya dia suka turut naik ke Thiansan.” “Teetjoe mengerti,” jawab pemuda itu. Dari pembicaraan itu barulah Pengtjoan Thianlie mendusin, bahwa keberangkatan Keng Thian adalah untuk menolong Kim Sie Ie. Ia menjadi kagum dan terharu, mau tak mau ia harus mengakui kebesaran jiwa pemuda itu. Lu Liehiap segera meninggalkan kedua orang muda itu dan pergi kepada Loei Tjin Tjoe untuk merundingkan pengurusan jenazah Moh Tjoan Seng. Bagaikan dua orang gagu, Keng Thian dan Peng Go meninggalkan Kimkong sie. Sesudah berjalan jauh juga, setiba mereka di jalan yang menuju ke kaki gunung, Keng Thian menghela napas dan berkata: “Peng Go Tjietjie, apakah kau masih membenci aku?’ “Ada hubungan apakah antara kau dan aku?” si nona berbalik menanya dengan kasar. “Mengapa aku harus membenci kau?” “Dengan berkata begitu, agaknya kau memang masih membenci diriku,” kata Keng Thian dengan sedih. “Tapi, tak perduli kau membenci atau tidak, aku sendiri tetap tak akan melupakan kau.” “Tapi…” kata si nona setengah berbisik. “Aku kuatir, bahwa — begitu lekas bertemu dengan Moaymoay (adik perempuan) — kau akan segera melupakan Tjietjie (kakak perempuan).” Baru sekarang Keng Thian mengerti, bahwa Peng Go telah jadi mendongkol karena persahabatannya dengan Tjee Tjiang Hee. Ia tertawa dan berkata: “Ah! Kau tak tahu, bahwa orang yang kau maksudkan masih bersifat kekanak-kanakan, sedang waktu itu aku harus berobat di rumahnya…” Dengan jelas Keng Thian lalu menceritakan segala pengalamannya dan berbareng dengan itu, dengan kata-kata lemah lembut, ia membuka rahasia hatinya kepada si nona. “Hm! Kalau begitu, semua itu adalah gara-gara Kim Sie Ie main gila,” kata si nona. “Mengapa?” tanya Keng Thian. Pengtjoan Thianlie segera menceritakan, bagaimana Kim Sie Ie telah memberikan gambar itu kepadanya dan apa yang telah terjadi karena itu. Keng Thian jadi mendongkol berbareng geli. “Benar-benar gila!” katanya sembari tertawa. “Dan kau masih tetap akan menolongnya?” si nona menegasi. “Kenapa tidak?” jawab Keng Thian tegas-tegas. Peng Go tertawa manis dan berkata: “Aku merasa senang…” “Senang apa?” Keng Thian mendesak. Peng Go sebenarnya ingin menyahut: “Aku merasa senang, karena kau berjiwa begitu besar.” Tetapi kata-kata itu tidak terselesaikan. Ia hanya tertawa sembari menatap wajah pemuda itu dan cintanya yang tak terbatas, terpancar dari sepasang matanya. Tertawa itu, bagaikan angin sejuk, sudah menyapu bersih segala awan gelap, sudah menghilangkan semua salah paham…
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |