Seorang yang menjadi kepala memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring: “Sudah lama kami mendengar betapa liehaynya Kioekiong Patkwa tjiang dari Boetong pay. Tin (barisan) kami yang kecil ini juga diatur menurut kedudukan Kioekiong Patkwa dan cocok sekali untuk dijajal dengan Kioekiong Patkwa tjiang. Kami mengharap, supaya Thaytjongsoe suka memberi petunjukpetunjuk.”
Selagi dia berkata begitu, kawan-kawannya sudah mengurung sekelompok murid Boetong yang berdiri di depan dan tanpa menunggu perkenan Moh Tjoan Seng, mereka serentak menghunus pedang. Murid Boetong yang terkurung berjumlah belasan orang, antaranya Loei Tjin Tjoe juga. Begitu selesai berbicara, orang itu lantas saja membacok Loei Tjin Tjoe dengan senjatanya! Melihat kekurang ajaran sembilan orang itu, para hadirin terkejut sekali, sedang murid-murid Boetong menjadi gusar bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas saja bertempur seru. Meskipun berjumlah lebih besar, tapi karena tin itu saling bersambung kepala buntutnya dan bisa berubah dengan cepat sekali, maka murid-murid Boetong lantas saja terkurung rapat-rapat dan tak bisa menoblos keluar. Tong Keng Thian terkejut. “Celaka!” katanya di dalam hati. “Kali ini, murid Boetong mungkin akan menderita kekalahan.” Baru saja ia memikirkan untuk memberi bantuan, mendadak terdengar suara tertawa Moh Tjoan Seng. “Tin yang diwariskan oleh Han Tiong San dan Yap Hoen Po benar-benar liehay,” katanya dengan tenang. “Akan tetapi, untuk menarik keuntungan sebesarbesarnya, tin itu harus digunakan bersama-sama dengan senjata rahasia. Kenapa kamu hanya menggunakan separuh tenaga?” Mendengar perkataan itu, Keng Thian jadi sangat terperanjat. Harus diketahui, bahwa tiga puluh tahun berselang, sebelum Yong Tjeng naik ke tahta, Han Tiong San dan Yap Hoen Po termasuk dalam “Enam Jago” yang mengabdi kepada putera kaizar itu (pada waktu itu, Yong Tjeng masih dikenal sebagai Soehongtjoe, atau putera kaizar yang ke empat). Empat jago lainnya adalah Liauw In Hweeshio, Haputo, Thian Yap Sandjin dan Tong Kie Tjoan. Han Tiong San dan Yap Hoen Po adalah suami isteri yang bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjata rahasia mereka pun liehay bukan main dan kebesaran nama mereka sejajar dengan keluarga Tong di Soetjoan. Mereka berdua suami isteri adalah pemimpin Lengsan pay dan dalam tingkatan, mereka masih lebih tinggi daripada Tong Siauw Lan. Belakangan, tiga pendekar wanita, yaitu Lu Soe Nio, Phang Eng dan Phang Lin telah menyatroni istana kaizar dan berhasil membunuh Yong Tjeng. Dalam pertempuran itu, Han Tiong San telah membuang jiwa, sedang isterinya Yap Hoen Po, bersama Soetee-nya Thian Yap Sandjin, telah kabur pulang ke Lengsan dimana mereka menutup pintu dan hidup tenang sambil mempelajari ilmu menimpuk dengan senjata rahasia yang diwariskan oleh Han Tiong San. Sesudah lewat tiga puluh tahun, orang Lengsan pay belum pernah mengunjukkan muka dalam kalangan Kangouw. Selama itu, Yap Hoen Po dan Thian Yap Sandjin telah meninggal dunia dan Rimba Persilatan perlahan-lahan sudah melupakan mereka. Tapi tak dinyana, tinhoat (barisan) yang diwariskan Han Tiong San masih tetap dipelajari oleh murid-murid Lengsan pay dan hari ini muncul dengan tiba-tiba di gunung Gobie san. Begitu Moh Tjoan Seng mengucapkan perkataannya, sembilan murid Lengsan pay dan Tong Keng Thian diam-diam terkejut bukan main. Para murid Lengsan pay terkejut karena tin ciptaan Tjouwsoe mereka, yang belum pernah dipertunjukkan di muka umum selama tiga puluh tahun, ternyata dikenal baik oleh Moh Tayhiap. Tong Keng Thian terkejut, karena, tanpa menggunakan senjata rahasia, barisan itu sudah begitu liehay, sehingga, jika ditambah lagi dengan senjata rahasia, para murid Boetong tentu sukar terlolos dari bencana! Sementara itu, Kioekiong Patkwa tin orang-orang itu sudah mengurung semakin rapat, sehingga murid-murid Boetong tak bisa membalas menyerang lagi. Pemimpin barisan itu adalah Tjiangboendjin Lengsan pay yang bernama Yap Thian Djim. Mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, ia lantas saja berpikir di dalam hatinya: “Kedatangan kami sekali ini adalah untuk membikin malu Boetong pay dan menaikkan derajat Lengsan pay. Dilihat dari perkembangan pertempuran, dalam tempo sejam lagi, kita akan memperoleh kemenangan yang diharapkan. Jika kita menggunakan senjata rahasia dan membinasakan murid-murid Boetong, Moh Tjoan Seng tentu akan turun tangan sendiri. Biarpun turun tangannya itu akan berarti kemerosotan derajatnya sebagai Thaytjongsoe, tapi pihak Lengsan pay pun tak akan terluput dari kerugian yang tidak kecil.” Berpikir begitu, ia segera berkata: “Perkataan Thaytjongsoe memang benar sekali. Tetapi menurut kebiasaan, barisan ini baru menggunakan senjata rahasia jika berhadapan dengan lawan yang berkepandaian tinggi. Musuh yang berkepandaian sedang-sedang saja, tak akan bisa meloloskan diri, biarpun kami tidak menggunakan senjata rahasia.” Perkataan itu yang sangat sombong dan memandang rendah kepada murid-murid Boetong pay, sudah membangkitkan kegusaran segenap anggauta partai tersebut. Dengan mata merah dan dengan seluruh tenaganya. Bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menikam orang temberang itu. Yap Thiam Djim meloncat mundur dan serangan Loei Tjin Tjoe disambut oleh kedua Soetee-nya. Di lain saat, Loei Tjin Tjoe sudah dikepung oleh dua musuh itu. “Apakah Kioekiong Patkwa tin masih mempunyai kelemahan lain?”tanya Yap Thian Djim dengan sikap angkuh. “Harap Moh Lootjianpwee suka memberi petunjuk.” Moh Tayhiap tertawa dan berkata: “Barisanmu hanya menggunakan separuh tenaga, tentu saja masih mempunyai banyak kelemahan. Hm! Loei Tjin Tjoe, kau pergi ke jurusan Kianhong dan lari ke kedudukan Soenwie. Leng It Piauw, kau pergi ke jurusan Liehong dan lari ke kedudukan Kanwie. Kamu menyingkir dari musuh yang dekat dan menyerang musuh yang jauh. Dengan demikian, kamu akan segera bisa keluar dari barisan itu.” Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja bergerak menurut petunjuk itu. Mereka tidak memperdulikan musuh yang dekat dan masingmasing merebut kedudukan yang disebutkan oleh Moh Tayhiap. Benar saja, tidak lama kemudian, belasan murid Boetong pay itu sudah dapat menoblos keluar dari kepungan. Yap Thian Djim menjadi malu tercampur gusar. Akan tetapi, karena ia sendiri yang meminta petunjuk Moh Tjoan Seng dan ia sendiri yang berjanji untuk tidak menggunakan senjata rahasia, maka ia tak berani memperlihatkan kegusarannya. Moh Tayhiap bersenyum seraya berkata: “Biarpun kau menggunakan senjata rahasia, belum tentu barisanmu bisa mengepung musuh. Di dalam tin itu masih terdapat banyak sekali kelemahan.” Sembilan murid Lengsan pay menjadi pucat, dan darah mereka semua mendidih. Yap Thian Djim mengeluarkan suara di hidung dan berkata dengan tawar. “Kalau begitu, biarlah Loei Soeheng dan saudara-saudara lain masuk kembali ke dalam barisan kami, untuk memberi pengajaran, dan aku juga memohon supaya Moh Lootjianpwee suka memberi penjelasan tentang kelemahan-kelemahan barisan ini!” Pelajaran getir yang diberikan oleh Moh Tayhiap kepada sembilan murid Lengsan pay yang temberang itu, sudah menggirangkan banyak orang. Akan tetapi, mereka merasa, bahwa Moh Tjoan Seng sudah bertindak keliru dengan mengeluarkan kata-katanya yang paling belakang, karena Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya bisa celaka, jika mereka masuk kembali ke dalam barisan itu. Tong Keng Thian juga berpendapat demikian. “Sebenarnya Moh Lootjianpwee harus mengakhiri pertandingan itu,” katanya didalam hati. “Meskipun benar Kioekiong Patkwa tin mereka masih mempunyai banyak kelemahan, tapi senjata rahasia Lengsan pay bukan main hebatnya. Walaupun mendapat petunjuk, Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya mungkin tak akan terlolos dari bencana.” Dengan tetap duduk bersila di atas pentas, Moh Tayhiap menatap wajah Yap Thian Djim dan berkata dengan suara dingin: “Untuk memecahkan barisanmu, tak perlu dikerahkan begitu banyak orang. Satu orang saja sudah lebih dari cukup!’ Muka Yap Thian Djim jadi berwarna hijau kekuning-kuningan, karena menahan amarahnya yang meluap-luap. Ia menyoja sembari membungkuk dalam-dalam dan berkata: “Aku sungguh merasa beruntung, jika Moh Lootjianpwee sudi turun tangan sendiri untuk memberi pelajaran. Aku sungguh merasa berterima kasih!” Bukan saja Yap Thian Djim, tapi semua orang pun menduga, bahwa Moh Tayhiap ingin turun sendiri ke dalam gelanggang. Siapakah, kecuali ia, yang mampu memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri? Tapi di luar semua taksiran, Moh Tayhiap bersenyum dan berkata: “Aku, si tua, mana mempunyai kegembiraan lagi untuk turun ke dalam gelanggang. Biarlah aku memerintahkan seorang houwpvvee dari Boetong pay untuk menjajal-jajal, untuk mendapat kepastian, apakah kata-kataku benar atau tidak!” Semua orang terkesiap dan terheran-heran. Mereka tahu, bahwa di antara murid-murid Boetong turunan kedua, Loei Tjin Tjoe-lah yang berkepandaian paling tinggi. Dengan kepandaiannya itu, bertempur satu lawan satu saja belum tentu Loei Tjin Tjoe bisa memperoleh kemenangan. Mana bisa ia memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri! Keheranan itu juga dirasakan oleh Tong Keng Thian. “Andaikata aku sendiri yang masuk ke dalam barisan tersebut, aku masih ungkulan untuk memecahkannya jika mereka tidak menggunakan senjata rahasia,” katanya di dalam hati. “Jika mereka menggunakan senjata rahasia, rasanya aku hanya bisa menolong diriku sendiri. Siapakah di antara houwpwee Boetong pay yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?” Selagi semua orang bersangsi, mendadak Moh Tayhiap bertepuk tangan dengan perlahan. Hampir •berbareng dengan itu, di belakang ruang itu terdengar tindakan kaki. Sebelum orangnya muncul, semacam wangi-wangian yang sedap sudah memenuhi seluruh ruang. Semua mata ditujukan ke arah itu dengan tidak berkesip. Di lain saat, dari belakang sekosol keluarlah seorang wanita yang cantik luar biasa, mukanya bundar laksana bulan, kedua alisnya yang hitam, lentik melengkung, mulutnya kecil bagaikan buah tho, matanya yang jeli berwarna kebiru-biruan, sedang pakaiannya yang indah berwarna biru laut. Semua orang terkejut, tapi orang yang paling kaget tercampur girang adalah Tong Keng Thian, karena wanita itu bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie! Bahwa Peng Go yang akan datang ke Gobie san memang sudah diduganya lebih dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengira, bahwa si nona bisa muncul secara begitu mendadak. Begitu keluar, Pengtjoan Thianlie memberi hormat dan berkata dengan suara halus: “Apakah kau ingin aku memecahkan Kioekiong Patkwa tin? Tapi aku tak ingin melukakan orang.” “Jangan kuatir,” kata sang paman. “Jika mereka terluka, aku bisa mengobatinya.” “Tapi aku kuatir, bahwa mereka tetap akan menderita sakit selama kira-kira sebulan,” kata si nona. Tadi, ketika melihat kecantikan Pengtjoan Thianlie, sembilan murid Lengsan pay itu jadi seperti mabuk dan lupa kepada pertempuran yang akan terjadi. Tapi begitu mendengar tanya jawab antara Moh Tjoan Seng dan si nona, seolah-olah kemenangan mereka sudah merupakan suatu kepastian mutlak, dalam hati mereka lantas saja timbul perasaan mendongkol. Sesudah mengebaskan pedangnya untuk mengatur Kioekiong Patkwa tin, Yap Thian Djim berkata: “Walaupun badan kami menjadi hancur lebur, tak nanti kami menyalahkan orang lain, karena yang harus disalahkan adalah kami sendiri yang tak mempunyai kebecusan. Akan tetapi, senjata tiada matanya. Nona, kau sendiri pun harus berhati-hati. Jika kesalahan tangan dan pedang kami menggores mukamu, kami sungguh tak akan sanggup memikul kedosaan yang begitu besar.” Perkataan Yap Thian Djim itu diam-diam dibenarkan para hadirin. Mereka bersimpati terhadap nona itu yang sangat cantik dan memang benar-benar sayang, jika ia sampai terluka. Akan tetapi, tak seorangpun berani mencegahnya di hadapan Moh Tjoan Seng. Pengtjoan Thianlie tertawa angkuh dan menyapu semua lawannya dengan sinar matanya yang tajam dan agung. Tanpa menjawab perkataan Yap Thian Djim, dengan tindakan enteng ia masuk ke dalam tin musuh. Menurut keharusan, begitu lekas sang lawan masuk, Yap Thian Djim harus segera memapakinya dengan senjata. Akan tetapi, karena melihat si nona bertangan kosong, ia bersangsi dan sesudah mengangkat pedangnya, pedang itu tidak terus ditikamkan ke arah si nona. “Apakah kau takut?” tanya Peng Go dengan suara tawar. “Aku menunggu supaya kamu bisa mengerahkan tenaga dalammu untuk melindungi diri. Jika tidak berbuat begitu, kamu pasti akan sakit selama kira-kira sebulan.” Sembilan murid Lengsan pay itu menjadi gusar sekali. Dua Soetee Yap Thian Djim dengan berbareng maju dan berkata: “Soeheng, guna apa kau berlaku sungkan terhadap perempuan itu?” Hampir berbareng dengan perkataan itu, mereka menyerang. Yang di sebelah kiri membabatkan pedangnya dengan gerakan Ganlok pengsee (Belibis jatuh di dataran pasir), sedang yang di sebelah kanan menikam dengan serangan Hianniauw hoasee (burung sakti menggores pasir). Kedua serangan itu hebat luar biasa dan menutup jalan mundur Pengtjoan Thianlie dari kiri dan kanan. Kecuali Loei Tjin Tjoe, yang pernah menyaksikan keliehayannya, semua murid Boetong menahan napas. Mereka sangat berkuatir, jika si nona 'akan terluka. Pengtjoan Thianlie tertawa nyaring, badannya bergoyang dan sebelum orang bisa melihat tegas, bagaimana gerakannya, kedua senjata musuh sudah jatuh di tempat kosong. Hampir seketika itu juga, dengan berbunyi “srt”, Pengpok Hankong kiam si nona sudah terhunus. Dengan serentak, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar ke seluruh ruangan. Yap Thian Djim menggigil beberapa kali, sedang kedua Soetee-nya yang barusan menyerang Peng Go dan masing-masing lweekang-nya lebih lemah, bergemetar seolah-olah berada di tengah lembah es. “Mundur!” teriak Yap Thian Djim. “Serang perempuan siluman itu dengan senjata rahasia!” Kioekiong Patkwa tin lantas saja terbuka lebar dan orang-orang yang berada di luar gelanggang pun serentak mundur supaya berada di luar jarak serangan senjata rahasia. Di lain saat, berbareng dengan komando Yap Thian Djim. bagaikan hujan gerimis aneka senjata rahasia menyambar ke arah Peng Go. “Bagus!” seru si nona sembari menyentilkan jeriji tangannya berulang-ulang. Sesaat itu juga, Pengpok Sintan berterbangan di tengah udara. Senjata-senjata rahasia yang lebih kecil, seperti jarum, Thieliantjoe, panah tangan, paku dan sebagainya, jatuh bagaikan bunga rontok beradu dengan peluru-peluru es itu. Begitu lekas peluru-peluru itu pecah, hawa yang lebih dingin daripada Pengpok Hankong kiam, meliputi seluruh ruangan. Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan dibuat daripada kristal es dari lapisan yang sudah berlaksa tahun usianya di pegunungan Nyenchin Dangla. Hawanya yang luar biasa meresap ke tulang-tulang, sehingga para tamu yang lweekangnya agak lemah, lantas saja mundur lebih jauh atau keluar dari ruangan itu. Tak usah dikatakan lagi, yang menderita paling hebat adalah murid-murid Lengsan pay itu, yang berada di dalam gelanggang dan beberapa antaranya lantas saja roboh terguling dengan badan lemas. Senjata-senjata rahasia yang lebih besar, yang tidak terpukul jatuh dengan Pengpok Sintan, ditangkis oleh si nona dengan pedangnya. Di antara senjata-senjata itu terdapat semacam senjata rahasia yang berbentuk melengkung dan selagi menyambar, mengeluarkan suara “ung, ung”. Dengan perasaan heran, si nona menyabet dengan Hankong kiamnya. Mendadak, senjata itu “melompat”, berputar sekali di tengah udara dan menyambar pula dada Koei Peng Go. Menghadapi serangan yang begitu luar biasa, si nona terkejut bukan main. Sekonyong-konyong, di antara orang banyak terdengar teriakan: “Kimkong tjie!” Pengtjoan Thianlie yang sudah mahir dalam ilmu itu, buru-buru mementang dua jerijinya dan menjepit senjata tersebut, yang, biarpun sudah terjepit, masih terus meronta-ronta. Peng Go menengok dan sinar matanya menyapu seluruh ruangan. Ia melihat Tong Keng Thian berdiri di antara orang banyak sembari bersenyum, sedang Yap Thian Djim sendiri, dengan wajah gusar, memegang dua buah lagi senjata aneh itu di kedua tangannya, siap sedia untuk menyerang pula. Senjata rahasia itu adalah Hoeihoan kauw, yaitu senjata rahasia Han Tiong San yang paling kesohor. Selagi terbang, senjata itu bisa membiluk ke sana-sini dan jika tersentuh, dia bisa berbalik. Di samping itu, Hoeihoan kauw itu adalah senjata yang sangat beracun. Untung juga lweekang Yap Thian Djim masih kalah jauh dari tenaga dalam si nona. Jika bukan begitu, Hoeihoan kauw (semacam boomerang) itu tentu tak akan dapat dijepit dengan jari tangannya. Sementara itu, Yap Thian Djim mengayunkan kedua tangannya dan dua buah Hoeihoan kauw itu terbang dengan kecepatan luar biasa. Di saat itu, karena tangan kanannya memegang pedang, Pengtjoan Thianlie tentu tak akan dapat menjepit kedua-dua senjata itu, yang menyambar dari kiri kanan hanya dengan jeriji tangan kirinya. Semua hadirin terperanjat dan mengawasi gerakan senjata itu sambil menahan napas. Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok bayangan biru dan… Koei Peng Go menghilang dari ruangan itu! Selagi kekagetan para hadirin belum hilang, kedua senjata itu, yang tidak menemukan sasaran mereka, terus terbang ke arah para tamu sambil mengeluarkan suara “ung, ung, ung”. Suasana menjadi kalang kabut, ada yang melompat menyingkir, ada juga yang mengangkat tangan untuk menyambutinya. Sekonyong-konyong di tengah udara terlihat menyambarnya dua sinar emas dan berbareng dengan terdengarnya bunyi: “trang, trang!”, kedua Hoeihoan kauw itu terbang kembali, dengan kecepatan yang lebih besar daripada tadi. Para hadirin sekali lagi terkesiap, karena orang yang melepaskan dua sinar emas itu mempunyai lweekang yang sepuluh kali lebih tinggi daripada Yap Thian Djim. Sebenarnya, mereka ingin sekali mencari tahu, siapa yang melepaskan dua sinar emas itu, tapi mereka tak sempat berpaling, sebab kedua Hoeihoan kauw tersebut sekarang menyambar ke arah Moh Tjoan Seng. Moh Tayhiap tersenyum dan mengebaskan lengan jubahnya. Untuk kedua kalinya, dua Hoeihoan kauw itu terpental kembali, kali ini lebih tinggi, terbangnya, dan dalam sekejap sudah terbang keluar dari ruang itu, lewat di atas kepala para tamu. Tiba-tiba Yap Thian Djim mengeluarkan teriakan menyayatkan hati dan tubuhnya terguling di atas lantai sambil menggigil hebat sekali. Hampir berbareng dengan itu, Pengtjoan Thianlie sudah berada lagi di tengah gelanggang. Ternyata, ketika kedua Hoeihoan kauw itu menyambar, si nona telah meloncat ke atas penglari, tapi karena mendongkol kepada Yap Thian Djim yang tanpa segan-segan telah menggunakan senjata beracun, maka, sebelum meloncat turun, ia lebih dulu menimpuk jalan darah Tayyang hiat orang she Yap itu, dengan Pengpok Sintan-nya. “Siantjay! Siantjay!” kata Moh Tjoan Seng sembari merangkapkan kedua tangannya. “Muridmuridku, lekaslah kamu menolong mereka!’ Loei Tjin Tjoe dan sekalian saudara-saudara seperguruannya lantas saja masuk ke dalam gelanggang dan menggotong sembilan murid Lengsan pay itu ke ruang belakang untuk diobati. Baru saja keadaan tenang kembali, dari luar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan. Dengan penuh keheranan, semua orang menengok ke belakang. Sekonyong-konyong kelihatan segulung sinar merah melayang di atas kepala mereka dan di lain detik, di tengah-tengah ruang itu terdapat seorang laki-laki yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah merah. Kedua mata orang itu bersinar merah seperti api, rambutnya awut-awutan dan rupanya sangat menyeramkan. Beberapa orang dari tingkatan lebih tua serentak berseru dengan kaget: “Hiatsintjoe!’ Sementara itu Hiatsintjoe kembali tertawa nyaring dan kemudian, dengan sikap sombong, ia manggutkan kepalanya kepada Moh Tjoan Seng. “Hm!” ia mengeluarkan suara di hidung. “Kamu mengadakan pertandingan silat disini, sedikitpun tak ada sangkut pautnya denganku. Tapi kenapa senjata rahasia terbang di atas kepalaku?” Sembari berkata begitu, ia melemparkan kedua Hoeihoan kauw itu di atas lantai dan semua orang terkejut, karena senjata rahasia itu sudah patah menjadi delapan potong. “Hiatsin Tooyoe,” kata Moh Tjoan Seng. “Senjata rahasia houwpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), mana bisa melukakan kau? Guna apa kau menjadi gusar?” Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. “Coba panggil orang yang melepaskan senjata rahasia itu,” katanya dengan sikap memerintah. “Sekarang mereka sedang menderita demam,” kata Moh Tjoan Seng sembari tertawa. “Nanti sesudah mereka sembuh, kau boleh mencari suami isteri In di Lenglouw san.” In Leng Tjoe suami isteri adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Lengsan pay dan sebagaimana diketahui, mereka adalah sahabat Hiatsintjoe. Alis Hiatsintjoe berkerut dan matanya memandang kepingan-kepingan Hoeihoan kauw di atas lantai itu. Lantas saja ia mengenali, bahwa senjata itu memang benar adalah senjata rahasia Lengsan pay. Kedatangan Hiatsintjoe di Gobie san memang sebenarnya untuk coba-coba mengadu tenaga dan ia perlu mencari alasan untuk menantang. Sesudah usahanya yang pertama gagal, ia tertawa dingin dan mengangkat tangannya yang menggengam dua batang Thiansan Sinbong. “Apakah ini juga senjata rahasia Lengsan pay?” tanyanya, mengejek. “Itulah Thiansan Sinbong, senjataku,” kata Keng Thian sembari meloncat leluar. “Habis mau apa kau?” Ternyata, dua Thiansan Sinbong yang digunakan oleh Keng Thian, telah menancap di Hoeihoan kauw Yap Thian Djim dan sekarang berada dalam tangan Hiatsintjoe. Hiatsintjoe melirik Keng Thian. Matanya mencerminkan kebenciannya, sesaat kemudian ia berkata kepada Moh Tjoan Seng: “Kiatyan ini merupakan kejadian yang agak langka. Setelah berada disini, aku pun ingin meminta petunjuk-petunjukmu.” Sebenarnya Hiatsintjoe ingin segera menantang Tong Keng Thian, tapi karena merasa segan akan keangkeran Moh Tayhiap, ia tak berani bertindak secara melampaui batas. Oleh sebab itu, sebelum menantang, lebih dulu ia meminjam peraturan Kiatyan. Moh Tjoan Seng tersenyum dan jawabannya adalah di luar dugaan Hiatsintjoe. “Aku merasa girang, bahwa Tooyoe sudi berkunjung kesini,” katanya dengan sabar. “Memberi petunjuk kepada Tooyoe, sekali-kali aku tak berani. Biarlah aku memerintahkan kemenakanku meminta pelajaran dari kau. Peng Go! Coba kau melayani Tjianpwee itu dengan Tatmo Kiamhoat.” Tingkatan Hiatsintjoe sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Tapi dengan kata-katanya itu, Moh Tayhiap seolah olah memandangnya sebagai seorang houwpwee saja. Tak usah dikatakan lagi, betapa gusar Hiatsintjoe di saat itu, tapi sebelum ia keburu mengumbar napsunya, Pengtjoan Thianlie sudah berkata sembari tertawa: “Sudah beberapa kali aku menerima pelajaran dari Tjianpwee itu. Menurut pendapatku, sebaiknya ia berlatih pula selama sepuluh tahun, kemudian baru datang kesini untuk meramaikan Kiatyan.” Dengan berkata begitu, si nona seolah-olah ingin mengatakan, bahwa jangankan Moh Tjoan Seng, sedang ia sendiri pun masih belum bisa dikalahkan oleh Hiatsintjoe. Moh Tayhiap menggelengkan kepalanya dan berkata, seakan-akan menegur: “Ibarat seorang yang baru keluar dari rumah gubuk, kau tak mengetahui betapa dalamnya laut pada hakekatnya.” Hiatsintjoe merasakan dadanya seperti mau meledak dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menghantam Peng Go dengan tangannya yang seperti kipas. “Siluman kecil!” ia mencaci. “Coba lihat, siapa yang harus berlatih lagi selama sepuluh tahun!” Dengan penuh kesangsian, Keng Thian tetap berdiri di dalam gelanggang dengan tangan kanan tetap pada gagang Yoeliong kiam-nya. Moh Tjoan Seng mengulapkan tangannya sembari tertawa: “Kau juga ingin Kiatyan? Sekarang belum tiba giliranmu. Mundurlah dulu.” Keng Thian lantas saja kembali ke tempat duduknya, sedang Hiatsintjoe sudah mulai bertempur dengan Pengtjoan Thianlie. Dengan tangannya yang lebar, ia coba mencengkeram. Dengan mudahnya Peng Go menghindari serangan itu. Begitu lekas serangannya yang pertama gagal, Hiatsintjoe membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan kemudian mendorong ke depan dengan perlahan. Sekonyong-konyong terdengar teriakan “aya!” dan seorang tamu roboh dari kursinya dalam keadaan pingsan. Beberapa ahli silat yang duduk berdekatan menjadi kaget dan lantas saja menolong orang itu. Harus diketahui, bahwa Hiatsintjoe memiliki ilmu yang sangat aneh. Kedua tangannya, yang sudah dikeset kulitnya, berwarna merah bagaikan darah dan tulang-tulangnya bisa dilihat nyata. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih hebat lagi adalah setiap pukulannya, yang disertai sambaran angin yang sangat panas. Karena itu, para tamu dibarisan depan, terutama yang lweekang-nya masih agak lemah, tak kuat menghadapi hawa panas itu. Salah seorang antaranya menjadi pingsan. Di lain saat, sejumlah orang lantas saja mundur ke bagian belakang. “Jangan berlagak disini!” kata Pengtjoan Thianlie sembari mengebaskan pedangnya. Suatu gelombang hawa dingin menjalar ke empat penjuru dan hawa panas lantas saja sirap. Para tamu menjadi girang sekali dan berapa antaranya segera maju pula ke depan, supaya bisa menyaksikan pertempuran itu dari jarak dekat. Hiatsintjoe lantas saja menyerang bagaikan singa gila. Ia menubruk ke kiri-kanan, ke depan dan ke belakang, melancarkan pukulan-pukulan kilat yang disertai dengan hawa panas. Peng Go melayaninya dengan kegesitan luar biasa. Sesudah bertempur beberapa lama, gerak-gerik mereka sudah tak dapat diikuti pula oleh mata para penonton; hanya sesosok bayangan biru kelihatan berkelebat-kelebat ke sana-sini, sedang hawa panas itu saban-saban menjadi buyar karena hawa Pengpok Hankong kiam yang sangat dingin. Dengan cepat mereka sudah bertempur seratus jurus lebih, tanpa ada yang keteter. Moh Tayhiap menonton dengan penuh perhatian. Saban-saban ia manggutkan kepalanya. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata: “Kalian boleh dikatakan setanding, baik dalam serangan maupun pembelaan diri, tak ada pukulan yang salah. Mengenai Hiatsin Tooyoe, hanya tenaganya belum dapat dikeluarkan semua. Peng Go, kegesitanmu sudah bisa dikatakan cukup baik, juga dalam membela diri kau sudah cukup tangguh. Tapi kau harus mengerti juga, bahwa ilmu silat, pada dasarnya sama dengan ilmu perang. Untuk memperoleh kemenangan, kita harus bisa melakukan serangan tiba-tiba yang tak terduga. Dalam hal ini, kau belum dapat menyelami seluruh intisari Tatmo Kiamhoat.” Sesudah berkata begitu, ia mulai memberikan petunjuk-petunjuk, baik kepada Hiatsintjoe, maupun kepada kemenakannya sendiri. Semua petunjuk itu termasuk dalam bidang ilmu silat yang sangat tinggi, dan hanya dimengerti oleh Tong Keng Thian serta beberapa orang lain. Hiatsintjoe tercengang berbareng gusar. Meskipun tingkatnya sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan, bahwa Moh Tayhiap mengenal segala rupa ilmu silatnya dari awal sampai akhir, dan setiap petunjuknya juga diberikan secara jujur. Oleh sebab itu, meskipun merasa dirinya dihinakan sebagai seorang houwpwee, Hiatsintjoe, terpaksa membungkam saja Di lain pihak, sesudah mendapat petunjuk pamannya, serangan-serangan Pengtjoan Thianlie semakin lama jadi semakin hebat. Hiatsintjoe tahu, bahwa lweekang-nya setingkat lebih tinggi daripada tenaga dalam si nona. Oleh sebab itu itu, ia menjadi gemas. Penasarannya memuncak sesudah bertanding hampir dua ratus jurus dan lawannya masih belum keteter. Mendadak, sambil tertawa menyeramkan dan dengan tulang-tulang di seluruh tubuhnya berbunyi kratak-krotok, ia menabas dengan kedua tangannya. Bukan main hebatnya pukulan itu yang di kirimkan dengan seantero tenaganya. Suatu lingkaran yang bergaris tengah kurang lebih setombak tertutup oleh tenaga pukulannya yang berhawa panas. Semua orang terkesiap, Keng Thian sendiri hampir-hampir mengeluarkan teriakan. Sekonyong-konyong pinggang Koei Peng Go kelihatan bergerak dan hampir di saat itu juga, pedangnya diputarkan bagaikan titiran. Di saat itu juga, seluruh ruangan seakan-akan dikelilingi es dan tubuh si nona sendiri terkurung di tengah sinar pedangnya. Kecuali Tong Keng Thian yang masih bisa melihat tegas gerakan si nona, mata semua tamu menjadi kabur dan yang masih bisa dilihat mereka, hanyalah segulung sinar putih. Melihat pembelaan diri yang begitu rapat, kedua tangan Hiatsintjoe terhenti di tengah udara dan untuk sedetik, ia ragu-ragu untuk menubruk terus. Tiba-tiba si nona mundur setindak dan dari suatu kedudukan yang tidak lazim, secara tak terduga, ia menikam dengan pedangnya. Dengan hati mencelos Hiatsintjoe mengangkat kedua tangannya untuk melindungi dadanya. “Srt!”, bagaikan kilat kilat, pedang si nona menyambar dan sebagian rambut Hiatsintjoe terpapas putus! Bukan main girangnya Tong Keng Thian. Ia tahu, bahwa tenaga dalam si nona masih kalah setingkat dari lawannya dan sedari tadi ia terus berkuatir. Sungguh di luar taksirannya, bahwa dalam menghadapi bahaya, Peng Go bisa melakukan dua serangan berantai luar biasa yang ternyata telah berhasil baik. Kedua serangan itu adalah pukulan-pukulan rahasia dari Tatmo Kiamhoat, yang satu Haysiang benghee (Awan terang di atas laut), yang lain adalah Itwie touwkiang (Selembar rumput menyebrangi sungai). Keng Thian tidak tahu, bahwa sesudah tiba di kuil Kimkong sie, Pengtjoan Thianlie telah mendapat petunjuk-petunjuk penting mengenai Tatmo Kiamhoat dari pamannya. Karena kepandaiannya sendiri memang sudah tinggi, beberapa petunjuk itu saja sudah cukup untuk memungkinkan ia menyelami intisari Tatmo Kiamhoat. Ditambah dengan keistimewaan pedangnya, yang bisa menindih hawa panas dari pukulan Hiatsintjoe, Pengtjoan Thianlie telah memperoleh hasil, meskipun lweekang-nya masih kalah dari lawannya Darah Hiatsintjoe mendidih. Dapat dimengerti, bahwa ia merasa penasaran sekali, karena pamornya telah diturunkan seorang houwpwee. Sambil menggeram bagaikan harimau terluka, ia mengumpulkan semangatnya dan menyerang lagi secara mati-matian. Berturut-turut, ia mengirimkan delapan belas serangan yang paling diandalkannya, akan tetapi, biarpun Peng Go terdesak mundur, ia masih belum bisa menarik keuntungan yang berarti. Semakin lama ia jadi semakin bingung. Sesudah lewat lagi beberapa jurus, mendadak, dengan mata menyala-nyala, ia menyalurkan seluruh tenaganya ke sepasang tangannya. Kemudian, dengan gerakan Paysan oentjiang (Mengatur gunung menggerakkan tangan), ia menghantam sekuat-kuatnya. Sungguh dahsyat pukulan itu! Sinar pedang si nona bergoyang-goyang, garis pembelaannya terpukul pecah dan, dengan jantung berdebar keras, semua orang menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu akan roboh di bawah pukulan itu! Tiba-tiba, sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, Hiatsintjoe mengeluarkan teriakan keras dan menubruk lantai, disusul dengan suara gemuruh, debu dan kepingan-kepingan batu muncrat ke atas serta tiang-tiang di ruang itu bergoyang-goyang. Ternyata, Hiatsintjoe sudah jatuh terguling dengan kedua tangannya menghantam lantai yang jadi berlubang besar! Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: “Peng Go, lekas minta maaf kepada Tjianpwee.” Hiatsintjoe melompat bangun dengan muka pucat bagaikan kertas. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lari keluar dan sebelum Pengtjoan Thianlie bisa membuka mulut, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kenapa bisa terjadi begitu? Sebagaimana diketahui, Iweekang Koei Peng Go masih kalah dari lawannya dan ia sebenarnya tak akan bisa menangkis pukulan Paysan oentjiang yang di kirimkan oleh Hiatsintjoe dengan seantero tenaganya. Akan tetapi, sesudah mendapat petunjuk pamannya, ia mengerti, bagaimana harus melayaninya. Ketika Hiatsintjoe menubruk, sedang kedudukannya sangat berbahaya, dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, ia melompat ke belakang Hiatsintjoe sembari menimpuk dengan tujuh butir Pengpok Sintan yang semuanya jitu sekali mengenai jalan darah musuh. Pada ketika itu, Hiatsintjoe tengah mengerahkan Seantero tenaganya di kedua tangannya, sehingga tubuhnya tak mempunyai pembelaan lagi. Dalam keadaaan begitu, jangankan sampai tujuh butir, sedangkan sebutir Pengpok Sintan saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Pertempuran yang luar biasa itu sudah menggetarkan hati semua penonton. Sejumlah tamu yang semula mengandung niatan kurang baik, menjadi gentar dan ramai-ramai mundur ke bagian belakang. Baru saja keadaan menjadi tenang kembali, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok bayangan manusia. Di lain detik, tahu-tahu orang itu — satu toosoe (imam) yang mengenakan jubah kuning —— sudah berdiri di depan pentas ceramah. Moh Tjoan Seng yang sedari tadi terus bersila, sekarang berdiri, suatu tanda bahwa orang yang baru datang itu bukan seorang houwpwee. Dengan heran, semua mata mengawaskan imam itu yang ternyata berparas agung dan sebelah tangannya memegang hudtim (kebutan debu). Antara begitu banyak tamu tak satu pun yang mengenal imam tersebut dan mereka sangat kepingin tahu, siapa sebenarnya orang itu yang agak disegani oleh Moh Tayhiap. Sambil menggoyangkan hudtim-nya, si toosoe tertawa bergelak-gelak seraya berkata: “Moh Lootauwtjoe (orang tua she Moh) aku juga ingin Kiatyan!” Sehabis berkata begitu, ia mengebaskan hudtim-nya dan ribuan bulu hudtim itu lantas saja menjadi tegak, seolah-olah kawat baja. Pengtjoan Thianlie, yang masih menggengam pedang terhunus, segera menangkis hudtim itu yang dihantamkan ke arahnya. “Peng Go, mundur!” perintah Moh Tjoan Seng. Dengan berbunyi “tring…”, Pengpok Hankong kiam itu terpental. “Sungguh sayang jika sampai terluka,” kata si imam sembari tertawa dingin. “Kau bukan tandinganku. Moh Lootauwtjoe, kenapa kau masih belum mau turun?” Sekonyong-konyong, dengan suatu gerakan yang sangat indah, tubuh Tong Keng Thian meluncur ke depan dan hinggap di antara Pengtjoan Thianlie dan imam itu. “Dulu aku sudah mengampuni jiwamu,” kata si imam. “Sekarang kau berani datang lagi?” “Hongsek Toodjin!” bentak Keng Thian. “Jangan kurang ajar! Moh Lootjianpwee mana mau melayani manusia semacam dirimu. Mari, mari! Aku bersedia melayani kau.” Sehabis membentak, ia menghunus Yoeliong kiam-nya dan menyerang dengan sekali bergerak. Hongsek Toodjin yang sudah mengenal keliehayan pedang itu, tidak berani berlaku ayal dan segera menangkis dengan hudtim-nya. Dengan suatu gerakan yang luar biasa, tanpa berkisar, ia membalikkan hudtim-nya dan menghantam pedang Keng Thian dengan gagang kebutan. “Trang!”, Yoeliong kiam si pemuda terpental! Hongsek mengangsek dan seperti ribuan kawat baja, hudtim itu menyambar kepala Keng Thian. Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat untuk melindungi dirinya. Di lain pihak, dengan sekali melompat, Hongsek sudah melewati Keng Thian dan tiba kembali di depan pentas untuk segera menyerang Moh Tjoan Seng, guru besar dari Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan. Dengan kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, biarpun bukan tandingan Hongsek, Keng Thian masih bisa mempertahankan diri dalam lima puluh jurus. Akan tetapi, imam itu yang bermaksud untuk mengangkat derajat partai Khongtong pay, sungkan berurusan lama-lama dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu bergebrak, ia segera menyerang hebat sekali supaya Keng Thian tak bisa merintangi gerak-geriknya. Keng Thian terkejut bukan main. Ia ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena Hongsek sudah berhadapan dengan Moh Tjoan Seng. Walaupun ia yakin, bahwa imam itu tak akan bisa mencelakakan Moh Tayhiap, akan tetapi, jika guru besar itu sampai terpaksa turun tangan sendiri dan tak bisa menjatuhkan lawannya dalam sepuluh jurus, Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan akan mendapat malu besar dan pertemuan Kiatyan tak akan bisa dilakukan lagi. Pada detik yang memutuskan, sekonyong-konyong, tubuh Pengtjoan Thianlie melayang ke depan pentas dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nona lalu membacok dengan pukulan Hoeipo lioetjoan (Air tumpah solokan mengalir), yaitu salah satu pukulan terliehay dari Pengtjoan Kiamhoat yang diciptakan oleh ayah dan ibunya. Hongsek memanggil dan ia terpaksa menangkis dengan hudtim-nya. “Bocah!” ia membentak. “Apakah kau juga mencari mampus?” Sehabis mencaci, ia menarik pulang hudtim-nya Peng Go yang sudah tak keburu menarik pulang pedangnya, lalu mendorongnya untuk menikam dada Hongsek. Tiba-tiba ia merasakan senjatanya terjepit dan tertarik oleh suatu tenaga yang besar luar biasa. Harus diketahui, bahwa senjata Hongsek bisa menjadi “keras” dan juga bisa “lemas”. Tadi, ia sengaja “melemaskan” bulubulu hudtim-nya untuk memancing masuknya Pengpok Hankong kiam. Begitu pedang itu menerobos masuk, dengan menggunakan Djioekin (tenaga “lemas”), ia menggubatnya dan kemudian, dengan tenaga Yangkong (tenaga “keras”), ia menggencet dan menarik pedang itu. Peng Go merasakan lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-nya terlepas dari genggamannya. Ketika si nona sudah hampir tak dapat bertahan lagi, tenaga Hongsek yang tengah menarik dengan hebatnya, tiba-tiba hilang. Ternyata, penolong itu adalah Keng Thian yang telah menikam punggung musuh dengan pedangnya. Walaupun memiliki lweekang yang sangat tinggi, Hongsek tak berani memandang enteng kepada Yoeliong kiam. Mau tak mau, ia menarik hudtim-nya untuk menangkis pedang Keng Thian. Peng Go tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. Dengan beruntun ia mengirimkan tiga tikaman ke arah tiga jalan darah musuh. Tapi Hongsek benar-benar liehay. Dengan mengebaskan lengan jubahnya, ia memunahkan tiga serangan itu dan hampir berbareng dengan itu, sembari memutarkan badannya, lengan jubahnya menyampok Keng Thian yang jadi sempoyongan dan harus mundur beberapa tindak. Orang-orang dari cabang-cabang persilatan yang menyeleweng lantas saja bersorak-sorai, sedang mereka dari cabang-cabang persilatan yang tulen jadi terkejut dan merasa kuatir untuk keselamatan kedua orang muda itu. Mereka tidak tahu, bahwa barusan Hongsek Toodjin telah “lolos dari lubang jarum.” Di luar, imam itu tampaknya telah memukul mundur Keng Thian dan Peng Go dengan mudah sekali. Akan tetapi, sebenarnya, ia telah berada dalam kedudukan yang sangat berbahaya. Hanya karena Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian belum mendapat kesempatan untuk berlatih bersama-sama (sehingga di antara mereka belum terdapat kecocokan yang sempurna), maka Hongsek Toodjin sudah bisa meloloskan diri dari serangan itu. Jika bukannya begitu, andaikata ia terlolos dari Pengpok Hankong kiam si nona, jangan harap ia bisa terlolos dari Yoeliong kiam si pemuda. Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Semakin lama kerja sama antara Peng Go dan Keng Thian jadi semakin baik. Menyerang maupun membela diri dapat dilakukan secara saling bantu membantu yang semakin lancar. Keunggulan ilmu pedang Pengtjoan Thianlie terletak pada kegesitan dan keanehan pukulan-pukulannya, sedang keunggulan Kiamhoat Tong Keng Thian terletak pada kemahirannya. Dengan masing-masing memiliki keunggulan-keunggulan itu, mereka berdua bisa saling menambal bagian masing-masing yang agak lemah. Demikianlah, meskipun Hongsek berkepandaian lebih tinggi, sesudah bertempur agak lama, sebaliknya dari bisa mendesak, ia sendiri akhirnya yang terdesak. Sesudah berhasil menindih keganasan sang lawan, diam-diam Keng Thian melirik Peng Go. Tapi ia jadi kecewa, karena dari paras si nona, tak dapat ditaksir bagaimana perasaannya. Wajah Peng Go kelihatan seperti girang, jengkel dan gusar bercampur menjadi satu. “Biarlah, sesudah pertempuran ini berakhir, aku akan coba memberi keterangan kepadanya,” kata Keng Thian di dalam hatinya. Dalam pertempuran antara jago dan jago, setiap pihak tak boleh memecah perhatiannya. Maka begitu lekas pikiran Keng Thian ketarik ke jurusan lain, garis pembelaannya lantas saja menjadi tak sekokoh tadinya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, Hongsek segera mengirimkan erangan berantai. Pengtjoan Thianlie terkejut, buru-buru ia memberikan pertolongan. Sesudah mendapat pelajaran itu, Keng Thian tak berani memikirkan soal-soal lain lagi. Sembari mengumpulkan semangatnya dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia terus bersilat dengan Thaysiebie Kiamhoat-nya. Segera juga, Yoeliong kiam-nya sudah merupakan tirai sinar putih yang melindungi dirinya sendiri dan Peng Go dengan berbareng. Thaysiebie Kiamhoat adalah ilmu yang paling liehay dari Thiansan pay. Jika ilmu itu digunakan hanya untuk membela diri, pengaruhnya akan lebih besar lagi dan pertahanannya jadi sedemikian rapat, sehingga agaknya, seakan-akan tak dapat ditembusi angin maupun hujan. Dengan mendapat perlindungan Keng Thian, Pengtjoan Thianlie menjadi bebas untuk menyerang musuh itu dengan pukulan-pukulan Tatmo Kiamhoat yang sangat dahsyat. Bagi banyak orang, pertempuran itu adalah pertempuran terhebat yang mereka pernah melihat. Sambil menahan napas, semua tamu menantikan kesudahannya dengan mata tidak berkesip. Selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sekonyong-konyong di luar ruangan terdengar suara tertawa yang ramai aneh. Keng Thian terkesiap. Ia tahu, bahwa Kim Sie Ie lagilagi datang mengacau. Tapi selagi menghadapi lawan berat, ia tak berani memecah perhatiannya. Semua orang lantas saja ramai-ramai menengok keluar. Mereka mendapat kenyataan, bahwa belasan toosoe Boetong pay sedang memasuki ruang itu, sembari melompat-lompat dan tertawa aneh tiada habisnya. Bukan main gusarnya Loei Tjin Tjoe. Sembari membungkuk, ia berkata kepada Moh Tjoan Seng: “Pengemis gila yang kemarin lagi-lagi datang mengacau. Mohon Tjouwsoe memberi hukuman kepadanya.” Dalam kegusarannya terhadap Kim Sie le, ia lupa, bahwa seorang yang berkedudukan tinggi seperti Tjouwsoe-nya, tak boleh sembarang turun tangan terhadap seorang houwpwee seperti Toktjhioe Hong-kay. Dalam sekejap, belasan toosoe itu sudah masuk ke ruang sembahyang dan mereka diikuti seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian indah yang robek di beberapa bagian, sedang kedua tangannya —- yang memegang tongkat – tiada hentinya diangkat untuk menggiring rombongan toosoe itu selaku gembala mengendalikan rombongan bebeknya. Begitu mendengar nama “Toktjhioe Hongkay,” semua orang terperanjat. Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. “Ramai benar! Sungguh ramai!” ia berteriak. Belum sempat ia meneruskan perkataannya, muka Moh Tayhiap berubah dan sebelah tangannya melontarkan sejumlah biji tasbih. Bagaikan kilat, biji-biji itu terbang di tengah udara dan hampir di saat itu juga, suara tertawa itu serentak berhenti! Pada saat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi, suatu kesunyian yang menyeramkan… Mendadak, mendadak saja, di luar terdengar seruan: “Sungguh ramai! Aku pun ingin turut meramaikan Kiatyan!” Hampir berbareng dengan habisnya suara itu, sesosok bayangan manusia melesat ke depan pentas dan orang itu lantas saja menerjang Moh Tjoan Seng. Pada detik itu juga, Koei Peng Go yang gesit luar biasa, sudah meninggalkan Hongsek Toodjin dan menghadang di depan pentas. “Trang!” Peng Go terhuyung, lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiamnya terlepas! Penyerang itu ternyata adalah seorang laki-laki yang badannya kurus tinggi, rambutnya terurai di kedua pundaknya dan mukanya lebih menakutkan daripada muka Toktjhioe Hongkay Kim Sie Ie. Peng Go kaget tak kepalang, karena lweekang orang itu bahkan lebih kuat daripada Hongsek Toodjin. Tentu saja, para hadirin juga terkejut, tapi yang paling terperanjat adalah Tjia In Tjin, karena ia mengenal penyerang itu sebagai si manusia aneh yang sudah mengutungkan lidah sejumlah murid Boetong. “Tongbeng Tooyoe,” kata Moh Tjoan Seng dengan tenang. “Apakah kau masih belum bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun berselang itu?” Ketika mendengar perkataan itu, para ahli silat yang sudah berusia lima puluh tahun lebih lantas saja, mengetahui siapa orang aneh itu. Kurang lebih empat puluh tahun sebelum hari itu, gua Kouwtiok tong di gunung Koenloen san, didiami seorang pertapaan yang dikenal dengan nama Tongbengtjoe. Entah dari mana, ia memiliki ilmu yang aneh. Sering sekali ia mengganggu orang-orang gagah dari Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Ketika itu, Moh Tjoan Seng masih muda dan semangatnya sedang bergelora. Mendengar kejadian tersebut, ia segera mendaki Koenloen san dan menantang Tongbengtjoe. Sesudah bertempur selama setengah hari, ia berhasil merobohkan lawannya dan memaksa Tongbengtjoe bersumpah untuk tidak berkelana lagi di kalangan Kangouw. Selama empat puluh tahun, Tongbengtjoe melenyapkan diri dan semua orang menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tak dinyana, pada Kiatyan ketiga ini, ia muncul dengan tiba-tiba. Teranglah sudah, bahwa kedatangannya sekali ini adalah untuk menantang Moh Tjoan Seng. Mengenai usia, Tongbengtjoe sepantar dengan Moh Tayhiap. Akan tetapi, jika dilihat dari wajahnya, ia masih seperti seorang yang baru berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dalam Rimba Persilatan memang terdapat semacam ilmu yang dapat memepertahankan keremajaan seseorang. Sesudah empat puluh tahun bersembunyi, Tongbengtjoe muncul kembali dengan niatan mengukur kepandaian lagi dengan Moh Tjoan Seng. Semua orang menganggap, bahwa tanpa mempunyai pegangan, ia tentu tak berani datang. Agaknya empat puluh tahun itu telah dilewatkannya dengan memeras keringat untuk mencari kemajuan dan pada saat itu, tentunya ia yakin, bahwa kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada Moh Tayhiap. Tongbengtjoe tertawa lagi. “Moh Tjoan Seng!” katanya. “Kau sekarang sudah menjadi guru besar, sedang aku masih tetap seorang perantaian. Bukankah ini terlalu tak adil? Aku datang kesini untuk menanyakan apakah kau mau mengijinkan aku berkelana lagi di dunia Kangouw atau tidak?” “Selama empat puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi,” jawab Moh Tjoan Seng. “Sedang laut juga sudah bisa berubah menjadi kebun, apalagi manusia? Apakah kau masih mau mentaati sumpahmu atau akan menghapuskannya, terserah kepada kau sendiri.” Dengan berkata begitu Moh Tjoan Seng ingin mengatakan, bahwa, jika Tongbengtjoe sekarang bisa mengambil jalan lurus, ia boleh tak usah menunaikan sumpahnya lagi. Tongbengtjoe tak bisa menangkap maksud Moh Tayhiap, sambil tertawa dingin ia berkata: “Dulu, dengan kekerasan kau memaksa aku memenjarakan diriku sendiri. Sekarang, untuk kedua kalinya aku muncul kembali. Aku sendiri tak tahu, apakah aku masih berhak untuk berkelana lagi di dunia Kangouw. Maka, tak dapat tidak aku mesti meminta pengajaranmu pula.” Moh Tjoan Seng tersenyum. “Apakah di dunia Kangouw orang hanya mengandalkan ilmu silat?” tanyanya. Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak. “Dulu aku telah roboh karena tanganmu!” ia berkata dengan lantang. “Sekarang, juga dari tanganmu, aku hendak merebut kembali kemerdekaanku!” Ia melompat dan coba menyerang pula. Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah menyiapkan tujuh butir Pengpok Sintan dalam kedua tangannya. Begitu Tongbengtjoe melompat, ia segera menimpuk dengan kedua tangannya. “Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?” ia membentak sembari menyentil, tujuh butir Pengpok Sintan itu lantas saja terpental dan lumer menjadi air es. Hampir berbareng dengan itu, ia melompat sambil mementang sepuluh jerijinya untuk menerkam batok kepala si nona.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |