Nyonya itu tidak lantas menjawab. Ia menepuk-nepuk bayinya yang sudah pulas nyenyak dan mulutnya bersenyum manis, seolah-olah sekuntum bunga yang indah mendadak muncul di tengah hutan belukar. “Jika kau ingin mengetahui, bagaimana aku bertemu dengan si kusta, aku harus bercerita dari kepala sampai di buntut,” jawabnya. Keng Thian manggutkan kepalanya dan segera memasang kuping. Tjia In Tjin menepuk-nepuk pula anaknya. Mendadak ia tertawa dan berkata: “Coba lihat! Sama sekali tak mirip dengan ayahnya.” “Sangat mirip dengan kau,” celetuk Siauw Tjeng Hong. “Di kemudian hari ia tentu akan menjadi seorang pendekar muda yang cakap dan ganteng.” Dengan berkata begitu Siauw Tjeng Hong sebenarnya ingin memuji kecantikan nyonya itu. Tjia In Tjin mesem. “Kau datang dari Tibet, apakah ayah anak ini masih berada di Puncak Es?” tanyanya kepada Keng Thian. “Waktu terjadi gempa bumi, aku sedang memetik daun obat. Belakangan jalan kembali sudah tertutup lahar, sehingga aku terpaksa pulang lebih dulu. Aku sangat kuatirkan keselamatan mereka. Hari itu, aku melihat keraton es masih berdiri, hanya aku tak tahu bagaimana keselamatan mereka.” Keng Thian merasa sangat pilu. Siauw Tjeng Hong tak tahu, tapi ia tahu, Thiekoay sian sudah pulang ke alam baka dan dalam dunia ini, Tjia In Tjin tak bisa bertemu pula dengan suaminya. Melihat paras muka nyonya itu, tak tega ia menyampaikan warta jelek itu. Maka itu, lantas saja ia menjawab secara samar-samar: “Aku tidak naik lagi ke keraton es dan tak tahu keadaan suamimu. Sesudah Kiatyan, kau boleh pergi ke Sakya untuk menemui muridmu, Tan Thian Oe, yang tentu bisa memberikan keterangan terlebih jelas.” Mendengar jawaban itu, Tjia In Tjin merasa agak heran, tapi ia tidak mendesak terlebih jauh dan mulai dengan penuturannya. “Sebenar-benarnya, sudah lama aku ingin datang kesini untuk menemui Moh Tayhiap guna memberitahukan, bahwa keponakan perempuannya berada di atas Puncak Es, di gunung Nyenchen Tanghla,” katanya. “Tapi karena anak ini, sampai sekarang baru niatan itu terwujud. Sebelum berangkat, aku sudah medengar desas-desus tentang adanya beberapa orang yang ingin menyukarkan Moh Tayhiap dalam Kiatyan kali ini. Tadinya aku tidak begitu percaya, tapi siapa nyana aku sendiri mendapat buktinya. Kalau tak salah, besok bakal ramai sekali.” “Apa?” Keng Thian menegas. “Di samping si kusta, apakah kau bertemu dengan orang lain?” “Tak salah,” Tjia In Tjin membenarkan. “Tadi, kira-kira magrib, baru saja aku masuk ke mulut jalan gunung, anakku lapar. Aku segera bersembunyi di belakang sebuah batu besar dan menetei ia. Tiba-tiba aku mendengar suara tindakan beberapa orang yang sedang memasuki lembah. Aku mengintip dan mendapat kenyataan, bahwa mereka itu adalah beberapa Toosoe Boetong pay, bersama Tjoei In Tjoe. Agaknya mereka sedang bertengkar. Mendadak aku mendengar suara Tjoei In Tjoe yang sangat keras: ‘Loei Toako tidak mati! Ia menjanjikan aku supaya malam ini berkumpul di Kimkong sie. Jika kamu masih tidak percaya, sebentar kamu bisa menyaksikan dengan mata sendiri.’ Agaknya ia dan Loei Tjin Tjoe telah mengambil jalan yang berlainan. Maka itu, waktu tadi bertemu dengan Loei Tjin Tjoe, aku tidak menjadi heran. Beberapa Toosoe itu lantas saja mengatakan sesuatu, tapi tak dapat didengar olehku. Di lain saat, Tjoei In Tjoe berteriak: ‘Itu semua tak ada sangkut-pautnya dengan Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin! Semua-semua adalah main gilanya Ong Loei Tjoe!’ Mendengar namaku disebut-sebut, lantas saja aku memasang kuping dengan lebih sungguh-sungguh” “Beberapa Toosoe itu agaknya merasa sangat heran. ‘Tapi bukankah Ong Lioe Tjoe saudara angkatmu?’ seru satu antaranya. ‘Benar,’jawab Tjoei In Tjoe. ‘Tapi dia adalah murid Khongtong pay. Khongtong pay…’ “Baru saja Tjoei In Tjoe berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suatu teriakan aneh dan dari atas cadas berkelebat turun sesosok bayangan manusia yang lantas menubruk Tjoei In Tjoe.” “Tjoei In Tjoe mengangkat gendewanya untuk menangkis. Sekonyong-konyong terdengar suara nyaring dan teriakan Tjoei In Tjoe yang menyayatkan hati dan ia lantas roboh di atas tanah. Hampir berbareng dengan itu, serupa benda hitam turun melayang ke arah kepalaku!” Tjia In Tjin bergelar si Dewi Pembetot Jiwa. Dalam kalangan Kangouw, orang lainlah yang takut terhadapnya. Tapi, di waktu menutur sampai disitu, paras mukanya berubah pucat dan suaranya agak gemetar. “Apakah itu?” tanya Siauw Tjeng Hong. Tjia ln Tjin menghela napas dan menjawab: “Sinkiong (Gendewa Malaikat) Tjoei In Tjoe yang sudah berubah lempang bagaikan tongkat besi. Coba pikir: Dengan sekali sambar, sekali membetot, senjata Tjoei In Tjoe sudah berubah menjadi begitu!” Mendengar itu, Keng Thian ternganga. Bahwa orang itu bisa membetot dan melemparkan gendewa tersebut dalam tempo sekejap mata, terlebih pula busur yang tadinya melengkung sudah kena dibetot menjadi lurus, adalah suatu kejadian yang sungguh-sungguh luar biasa, la sendiri belum tentu mampu berbuat begitu! “Itu masih belum seberapa,” kata pula Tjia In Tjin. “Sinkiong Tjoei In Tjoe adalah senjata mustika. Talinya yang terbuat dari benang-benang emas, tak dapat diputuskan dengan senjata tajam. Tapi sekarang, tali itu putus seanteronya dan benang-benangnya berkibar-kibar di tengah udara. Jika hanya putus beberapa lembar benang, aku juga tidak merasa heran. Tapi orang itu, dengan sekali mengebas, sudah memutuskan semua tali itu. Jika tak melihat dengan mata sendiri, aku pun tak akan percaya.” “Apakah orang itu seorang imam tua yang mengenakan jubah pertapaan warna kuning?” tanya Keng Thian. “Bukan,” jawabnya sembari menggelengkan kepala. “Dilihat dari mukanya, ia baru berusia tiga puluh tahun lebih. Orangnya tinggi kurus, rambutnya awut-awutan seperti rumput dan di bawah sinar rembulan, mukanya putih meletak, sehingga aku sendiri jadi bergidik.” “Ih!” kata Keng Thian, terkejut. “Kalau begitu, dia bukan Hongsek Toodjin! Dalam dunia ini, kecuali beberapa Tjianpwee dari partai-partai yang murni, siapa lagi yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?” Siauw Tjeng Hong juga heran bukan main, tapi sebagai orang yang berpengalaman luas, ia segera dapat mengutarakan pikirannya. “Dilihat begini,” katanya. “Kalau orang itu bukan Khongtong pay, tentu juga ia mempunyai sangkut paut rapat dengan partai tersebut. Maka itu, di waktu Tjoei In Tjoe menyebut nama Khongtong pay, ia segera menyerang untuk menutup mulutnya.” Keng Thian lantas saja ingat akan pengalamannya di waktu Loei Tjin Tjoe dikepung oleh Tio Leng Koen dan dua belas kawannya. “Tak salah,” katanya. “Sejumlah orang Khongtong pay, di bawah pimpinan Tio Leng Koen, sudah menghamba kepada kerajaan Tjeng dan berniat membasmi orang-orang Boetong yang melawan bangsa Boan di daerah Sinkiang.” “Apakah Tjoei In Tjoe ditotok jalan darah gagunya?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Lebih dari itu!” sahut Tjia In Tjin. “Gendewa itu jatuh di pinggir badanku dan sedikitpun aku tidak berani bergerak. Untung anakku sudah kenyang dan sudah pulas. Dengan hati berdebar-debar, aku mengintip dari sela-sela batu. Sesudah merobohkan Tjoei In Tjoe, bagaikan kilat, orang itu mengerjakan kedua tangannya.” “Beberapa Toosoe itu mengeluarkan teriakan ‘a-a u-u’ yang luar biasa dan melompat-lompat seperti orang menginjak bara. Orang itu tertawa seraya berkata: ‘Sekarang kamu tak bisa menggoyang lidah sembarang lagi.’ Di lain saat, bagaikan seekor kera, bayangannya sudah berada di tanjakan gunung, tapi suara tertawanya yang membangunkan bulu roma masih berkumandang terus di selat gunung yang sunyi.” “Sesudah orang itu pergi jauh, dengan memberanikan hati, aku keluar dari tempat sembunyi untuk melihat keadaan para korban itu. Bermula aku menduga mereka hanya ditotok jalan darah gagunya. Tapi segera juga hatiku mencelos, sebab beberapa Toosoe itu, berikut Tjoei In Tjoe, sudah dikutungkan lidahnya! Setelah memeriksa, aku mendapat kenyataan, bahwa tulang pundak mereka juga dipukul hancur, sehingga mereka bukan saja menjadi orang gagu, tapi juga bercacat untuk seumur hidupnya, tanpa mempunyai lagi kepandaian silat.” Suami isteri Siauw Tjeng Hong kaget bukan main. “Kenapa dia begitu kejam?” tanya Tjeng Hong. “Lebih kejam seratus kali daripada si penderita kusta! Si kusta hanya main-main, tidak melukakan orang secara sungguh-sungguh.” Tong Keng Thian tidak berkata suatu apa dan Tjia In Tjin lantas saja meneruskan penuturannya: “Sorot mata mereka seperti orang berotak miring, mulut mereka ternganga tak bisa ditutup dan juga tak dapat mengeluarkan suara. Otot-otot muka mereka pada timbul dan kelihatannya sangat menakutkan. Tentu saja dengan seorang diri, aku tidak bisa menggendong mereka. Maka itu, tanpa memperdulikan bahaya, jalan satu-satunya adalah memberi warta ke Kimkong sie. Secepat mungkin aku berlari-lari. Tapi baru saja keluar dari selat gunung, aku melihat belasan Toosoe yang membawa obor, masuk ke dalam mulut selat lain. Mereka berkaok-kaok, memanggil-manggil saudara-saudara seperguruannya. Agaknya sesudah mendengar teriakan-teriakan luar biasa, mereka berkuatir dan lalu mencari saudara-saudaranya itu. Hatiku menjadi agak lega, tapi aku merasa, biar bagaimanapun juga, aku harus melaporkan kejadian itu kepada Moh Tayhiap. Demikian aku terus mendaki gunung. Tapi, di luar dugaan, sebelum tiba di Puncak Emas, aku bertemu dengan si penderita kusta!” Tong Keng Thian mesem dan berkata: “Si kusta tentu juga sudah mendengar nama besar Tokbeng Siantjoe, sehingga ia sengaja mengganggu kau.” “Ya,” kata Tjia In Tjin. “Aku tak tahu, bagaimana ia bisa mengenal aku. Waktu itu, Kimkong sie sudah dekat sekali dan gedungnya sudah bisa dilihat nyata dari jauh. Mungkin lantaran aku berlari terlalu cepat, anakku mendusin dan menangis. Aku berhenti dan mengusap-usap tubuhnya. Saat itu hatiku sedih oleh karena mengingat, bagaimana seorang diri dan dengan menggendonggendong anak, aku terombang-ambing di dalam dunia. Sambil menepuk-nepuk anakku, aku berkata: “Ah! Jika ayahmu berada disini, bahaya apapun juga kita tak usah takuti lagi!’ Anak itu seolah mengerti perkataanku dan ia lantas saja berhenti menangis. Selagi mau meneruskan perjalananku, di atas kepalaku mendadak terdengar suara tertawa. Aku mendongak dan disitu, di atas sebuah batu besar, duduk bersila seorang penderita kusta yang macamnya sungguh-sungguh menakutkan. Aku terkejut, lebih terkejut daripada tadi!” “Si kusta mengawasi aku dan tertawa haha-hihi. ‘Apakah kau bukannya Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin?’” tanyanya. “Sesaat itu, aku ingat warta yang tersiar dalam kalangan Kangouw tentang munculnya seorang penderita kusta yang sangat ditakuti. Dengan memberanikan hati, aku berkata: ‘Eh, jangan menakut-nakuti anakku!’ si kusta menyengir dan berkata pula: ‘Hei! Bukankah kau Tokbeng Siantjoe? Kau sendiri yang takut, sebaliknya kau mengatakan anakmu yang takut kepadaku!’ Sehabis berkata begitu, ia membuat lagak seperti monyet dan mengeluarkan suara lucu. Entah bagaimana, anakku jadi tertawa. Ia kelihatan girang sekali. ‘Nah, lihatlah!’ katanya. ‘Anakmu tak takut padaku. Eh, bukankah suamimu yang dipanggil Thiekoay sian? Kenapa ia tidak bersamasama kau?’ Aku tak menjawab sebab sedang mencari jalan untuk menghadapi gangguannya. Si kusta tertawa pula dan berkata: ‘Sayang! Sungguh sayang! Jika suamimu turut datang, bukankah aku dapat meminta pengajaran dari seorang yang namanya begitu kesohor?’ Dia mengenakan pakaian rombeng seperti pengemis dan senjatanya juga sebatang tongkat besi, sehingga mirip sekali dengan ayah anakku. Beberapa saat kemudian, ia berkata lagi: ‘Eh, jelek bagus aku adalah sekaum dengan suamimu. Kenapa kau tak meladeni?’ “Darahku mulai naik. Aku meraba gagang pedang dan membentak supaya ia menyingkir. ‘Baiklah,’ katanya. ‘Tapi dengan satu syarat, yaitu kau harus tertawa dulu terhadapku.’ Aku tak dapat menahan sabar lagi, dengan menghunus pedang, aku menerjang. “Dia lagi-lagi tertawa dan berkata: ‘Ha, galak benar kau! Aku tak membetot jiwamu, hanya ingin melihat tertawamu yang manis. Kenapa kau lantas marah?’ Sembari berkata begitu, tangannya menjumput sebuah batu yang lantas dicengkeram, sehingga menjadi hancur. Di lain saat, ia mengayun tangannya dan hancuran batu itu menyambar ke arahku!” Keng Thian mesem dan berkata: “Bukankah serangannya seperti serangan terhadap Loei Tjin Tjoe? Hanya, terhadap Loei Tjin Tjoe, ia menyerang dengan tongkat, terhadapmu ia menggunakan hancuran batu.” “Benar,” jawab Tjia In Tjin. “Kepingan-kepingan batu itu cepat luar biasa, satu menyambar Djoanma hiat (jalan darah yang membikin orang jadi kesemutan) di dada kiri, satu menyambar Yangyang hiat (jalan darah gatal) di dada kanan, satu lagi menyambar ke arah Siauwyauw hiat (jalan darah tertawa), sehingga serangan itu merupakan serangan segitiga. Oleh karena di depanku menghadang batu besar, jalan satu-satunya adalah loncat ke belakang. Tapi kau tak tahu, bahwa tiga kepingan batu itu, yang menyambar dari depan, bukan serangan satu-satunya. Di samping tiga serangkai tersebut, dari kiri kanan malah dari belakang — kepingan-kepingan itu ada yang terbang melewati kepala dan kemudian berbalik menyambar lagi — menyambar juga kepingan-kepingan lain. Apa yang sangat luar biasa adalah: Kepingan-kepingan itu terbang dalam bentuk (formasi) segitiga dan menyambar ke arah tiga jalan darah! Hatiku mencelos. Aku mengerti, biar bagaimanapun juga, tak nanti aku dapat meloloskan diri.” “Memang,” kata Keng Thian sambil mengangguk. “Memang ilmu melepaskan senjata rahasia itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Menurut pendapatku, dalam dunia ini, di samping keluarga Tong dan Han Tiong San dari Lengsan pay, dia adalah orang ketiga yang mempunyai ilmu itu. Dengan menggendong anak, lebih-lebih sukar kau menyelamatkan diri.” “Aku pun merasa tak akan terlolos lagi,” kata Tjia In Tjin. “Dalam kebingungan, buru-buru aku menarik napas dalam-dalam untuk menutup semua jalan darahku. Tapi karena menyambarnya kepingan-kepingan itu luar biasa cepatnya, aku tidak keburu lagi menutup jalan darahku. Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring. Hampir berbareng dengan itu, terdengar serentetan suara “tring-tring-tring” dan batu-batu itu terpukul jatuh. Si kusta berteriak keras, lalu melompat tinggi dan dalam sekejap, ia sudah menghilang ke dalam hutan. Di antara pohon-pohon yang rindang daunnya, aku melihat berkelebatnya seorang wanita yang mengenakan pakaian berwarna hijau dan yang lantas saja menghilang.” Heran sungguh hati Keng Thian. “Didengar dari penuturanmu,” katanya. “Wanita tersebut sudah menggunakan senjata rahasia untuk memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu. Apakah kau tahu, senjata apa adanya itu?” “Tidak,” jawab Tjia In Tjin. “Tapi dari suaranya, aku dapat memastikan, bahwa senjata rahasia itu adalah sangat halus, seperti sebangsa jarum.” Keng Thian terperanjat dan berpikir: “Wanita itu berada di dalam hutan, sehingga jarak antara ia dan Tjia In Tjin adalah terlebih jauh daripada jarak antara si kusta dan nyonya itu. Bahwa ia bisa memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu dengan senjata jarum, membuktikan, bahwa kepandaiannya sungguh-sungguh berada di sebelah atasku.” Sesudah berdiam beberapa saat, Keng Thian berkata pula dengan suara perlahan: “Apakah benar bukan Pengtjoan Thianlie?” “Waktu itu hatiku sedang berdebar-debar dan gerakan wanita tersebut luar biasa cepatnya,” jawabnya. “Selain itu, daun-daun pohon telah menedeng tubuhnya dan aku hanya dapat melihat belakangnya, untuk sedetik saja. Tapi, jika tak salah, badan Pengtjoan Thianlie agak lebih jangkung, sedang wanita itu lebih kate sedikit. Menurut dugaanku, ia bukan Pengtjoan Thianlie.” Sementara itu, sang Dewi Malam sudah doyong ke sebelah barat, sedang titik-titik sinar “Sengteng” pun sudah mulai guram. Keng Thian betul-betul pusing otaknya. “Dalam keadaan begitu, mungkin sekali Tjia In Tjin sudah salah melihat,” katanya pula di dalam hati. “Aku tak percaya, bahwa selain Peng Go, dalam dunia ini masih ada wanita lain yang mempunyai kepandaian begitu.” Melihat pemuda itu berdiam saja dengan paras muka kusut, Tjia In Tjin segera berkata: “Beberapa kali kau telah menyebutkan nama Pengtjoan Thianlie. Bukankah ia pernah mengatakan, bahwa ia tak akan turun dari Puncak Es? Apakah ia sekarang berada disini?” “Puncak Es sudah roboh, tentu saja ia boleh turun gunung,” jawab Keng Thian. “Jika tak salah, ia sekarang berada di antara kita!” Tjia In Tjin menghela napas.”Jika benar ia berada disini, harap saja ia tidak bertemu dengan si kusta itu,” katanya. “Pengtjoan Thianlie adalah bagaikan sekuntum bunga di selat gunung yang indah. Jika ia melihat si kusta, jangankan sampai bertempur, melihat mukanya saja mungkin ia sudah menjadi muntah.” Mendengar itu, di depan mata Keng Thian kembali terbayang si nona yang sedang berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie. Dalam dunia memang banyak sekali terjadi apa-apa yang di luar dugaan. Siapa bisa percaya, bahwa Pengtjoan Thianlie bisa mempunyai perhubungan dengan penderita kusta itu? Mengingat begitu, ia jadi sangat berduka. “Kau sedang memikirkan apa?” tanya Tjia In Tjin sembari tertawa. “Lagi memikirkan Pengtjoan Thianlie atau si kusta? Lebih baik kau coba mengusir dia, supaya dia tidak mengacau disini.” “Ya,” kata Keng Thian. “Aku sudah mengambil keputusan untuk melek terus malam ini, guna mencari mereka.” “Mereka?” Tjia In Tjin menegasi, yang merasa heran, bahwa Keng Thian menggabungkan Pengtjoan Thianlie dengan si kusta. “Menurut dugaanku, malam ini mereka tidak menginap di kuil,” kata pula Keng Thian. “Kurasa, mereka masih berada di dekat-dekat sini. Keadaan Loei Tjin Tjoe tentu sudah banyak mendingan dan menurut perhitunganku, sekarang ia sudah bisa berjalan pula. Maka itu, pergilah mencari iadan minta mengantarkan kalian pergi menemui Moh Tayhiap. Kejadian malam ini biar bagaimanapun juga harus segera diberitahukan kepada Moh Tayhiap.” Sehabis berkata begitu, Keng Thian segera berlalu dan seorang diri berputar-putar di seluruh bagian gunung, tapi sampai badannya lelah, tak seorang manusia pun dapat ia temukan. Bukan main kalut pikirannya. Kedatangannya sekali ini, pertama adalah untuk mencari Pengtjoan Thianlie dan kedua, adalah untuk menghadiri Kiatyan. Di luar dugaan, dalam tempo semalam itu, ia sudah menemui begitu banyak kejadian yang luar biasa. Jika dihitung-hitung, di pihak lawan sedikitnya terdapat tiga orang yang berkepandaian tinggi, yaitu Hongsek Toodjin, Hiatsintjoe dan orang aneh itu yang telah menganiaya Tjoei In Tjoe dan beberapa imam. Kepandaian mereka semuanya berada di sebelah atasnya. Selain itu, masih ada si penderita kusta yang belum diketahui, apakah ia akan menjadi lawan atau kawan. Maka itu, harapan satu-satunya adalah coba mencari Pengtjoan Thianlie, supaya ia dan si nona bisa bersama-sama melawan musuh-musuh itu. Dalam jengkelnya, ia berdongak dan berteriak: “Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!’ dalam teriakannya itu, ia telah menggunakan lweekang dari Thiansan pay, sehingga suaranya menjadi nyaring tajam dan bisa terdengar dalam jarak belasan li. Tapi, sesudah berteriak berulang-ulang, yang menjawab hanyalah kumandang suaranya sendiri. Sekonyong-konyong dari puncak gunung di depan terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. Suara itu tak asing lagi baginya, tapi dalam keadaan was-was, Keng Thian tak dapat memastikan, apakah itu suara Peng Go atau orang lain. Tanpa berpikir lagi, lantas saja ia berteriak: “Peng Go Tjietjie! Aku disini! Kau keluarlah!” Mendadak serupa benda yang berwarna indah, datang menyambar. Setelah disambuti, benda itu ternyata adalah karangan bunga yang sangat indah, dengan disertai tulisan seperti berikut: “Sekali kau punya, tetap kau punya.” Bunga-bunga dan batang-batangnya masih basah dengan air embun, hal mana menandakan, bahwa karangan bunga itu baru saja dibuat. Hati Keng Thian meluap kegirangan. Puncak gunung di depan dan tempat dimana ia berdiri, dihubungkan dengan batu-batu. Sambil mengempos semangat, dengan beberapa loncatan saja, ia sudah tiba di seberang dan lantas berlari-lari masuk ke dalam hutan sambil berteriak-teriak: “Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!” Kecuali beberapa Tjianpwee, yang dapat menandingi ilmu mengentengkan badan Keng Thian, dengan sesungguhnya tiada berapa orang. Sesudah mencari ke seluruh peloksok hutan, orang yang dicari itu masih tak kelihatan bayang bayangannya. “Andaikata benar Peng Go Tjietjie, dia toh tak bisa lari begitu cepat,” pikirnya. Di lain saat, mendadak ia ingat apa-apa yang membikin ia seperti diguyur air dingin. “Ah!” katanya di dalam hati. “Pengtjoan Thianlie adalah seorang wanita yang beradat angkuh. Tak mungkin ia mengutarakan rasa cintanya begitu terang-terangan. Karangan bunga itu pasti bukan dibuat olehnya! Tapi… jika bukan dia, siapakah yang begitu nakal dan mempermainkan diriku?” Baru bergirang, ia kembali menjadi seperti orang linglung dan jalan sejalan-jalannya, tanpa tujuan. *** Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan kekecewaan yang lebih hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie Ie. Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san, ia terus mengintil di belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang menghilang, terus sampai di gunung Gobie san. Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir diketahui si nona, Kim Sie Ie hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira setengah li jauhnya. Gobie san adalah sebuah gunung yang angker dan berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-cadas tajam dan jalan yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan dayangnya. Ia mempercepat tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia masuk ke suatu lembah, cuaca sudah mulai gelap. Di sebelah jauh, ia melihat air terjun yang turun dari atas gunung. Ia mendekati dan disitu ia mendapatkan suatu kobakan yang airnya jernih dan yang dikitari pohon-pohon bunga hutan, yang seakan-akan merupakan sebuah sekosol sulam. Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara tertawa seorang wanita. “Siauwkongtjoe (Puteri kecil),” demikian wanita itu berkata. ” ‘Ku sudah kata, Tong Siangkong pasti datang lebih dulu disini untuk menunggu kau.” Suara itu bukan lain daripada suara Yoe Peng, sedang orang yang dipanggil “Puteri kecil” tentu Pengtjoan Thianlie sendiri. Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah kata. Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa: “Sebenar-benarnya walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya dulu biar terang.” Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya persembunyiannya tidak diketahui si nona. Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng Go yang sangat perlahan: “Tak usah kau campur tahu.” Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. “Siauwkongtjoe,” katanya “Kenapa kau jadi begitu? Terangterang, aku mengetahui kau menyukai dia!” “Jangan rewel!” bentak si nona. “Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci dia,” kata si dayang. Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa, perkataan Yoe Peng adalah beralasan. Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut. “Ah, Siauwkongtjoe!” kata Yoe Peng dengan suara penasaran. “Sekarang biarlah aku berterus terang: Jika kau tetap mengumbar napsu terhadap Tong Siangkong, ada seorang siauwdjin (orangrendah) yang akan merasa girang.” “Apa?” si nona menegas. “Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?” jawabnya. “Ada seorang, seekor anjing pemburu yang terus menguntit kita… tidak! Bukan, bukan anjing pemburu, tapi kodok buduk, seekor kodok buduk yang mengimpi ingin gegares daging angsa langit!” Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak sekuat-kuatnya: “Apa? Aku kodok buduk?” Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya keluar dari antara pohonpohon bunga. Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: “Siauwkongtjoe, lihatlah! Bukankah benar, apa yang kukatakan tadi? Tak bedanya seperti anjing pemburu yang hidungnya tajam. Kemana juga kita pergi, dia selalu dapat mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya lebih tinggi setingkat daripada kodok buduk.” Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia mengangkat tongkatnya. Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak di depan Yoe Peng. “Mau apa kau?” tanyanya. “Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat wajahmu,” kata Kim Sie Ie. “Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si kodok buduk, ingin menelan dia!” “Kim Sie Ie!” kata si nona dengan suara tawar. “Apakah kau masih memandang aku atau tidak?” Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti kemauannya sendiri saja. Dengan memiliki ilmu silat seperti yang dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat melukakan Yoe Peng. Tapi mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder. Ia merasa, bahwa Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar, yang tak dapat dilanggar oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir, tapi sindiran itu tak bisa keluar dari mulutnya. Maka itu, ia hanya berkata: “Dayangmu telah mencaci aku. Aku…” “Kau ingin mengajar adat?” si nona memotong. “Dayangku tak perlu diajar oleh orang lain.” Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar kegusarannya. Sambil menahan amarah, ia menanya dengan mengutip perkataan Peng Go sendiri: “Pengtjoan Thianlie! Apakah kau masih memandang aku atau tidak?” Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: “Kita bertemu hanya secara kebetulan saja. Soal pandang memandang sebenarnya bukannya soal di antara kita.” Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar berkumpul di dalam dadanya. Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia berteriak: “Dalam matamu, memang hanya terdapat si bocah she Tong!” “Tak ada sangkut pautnya dengan kau!” jawab si nona sembari tertawa tawar. Sehabis berkata begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi Kim Sie Ie dengan sorot kasihan. Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya, ia berkata: “Ah! dengan kepandaianmu, sebenarnya kau bisa menjadi seorang pendekar di jaman ini, jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau terus mempelajari ilmu, kau bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi kenapa, kenapa kau mengeluarkan lagak buaya?” Kim Sie Ie terkesiap. Itu lah kata-kata yang ia baru pernah mendengar. Dalam mengeluarkan kata-kata itu, nada suara Pengtjoan Thianlie penuh dengan rasa sayang. Tapi pada saat itu, mana Kim Sie Ie dapat menerimanya dengan otak dingin? Mendadak saja, ia merasakan darahnya mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak. “Kenapa lagak buaya?” tanyanya, dengan mata merah. Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia yang hidup di dalamnya. Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah sepak terjangnya benar atau tidak. Maka itu, baginya, kata-kata Peng Go adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia menjawab pertanyaan Kim Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng Go dapat adalah berlainan dengan pendidikan Kim Sie le. Bahwa ia sudah menggunakan kata-kata yang kasar itu, sebenarnya sudah melampaui garis kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si nona memberi penjelasan lebih lanjut mengenai lagak buaya Kim Sie Ie. Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie, sehingga Yoe Peng menjadi takut. “Kau terus mengintil di belakang kami,” katanya. “Apakah itu bukan lagak buaya?” “Jalan bukan milikmu,” sahutnya. “Kau jalan sejalanmu, aku jalan sejalanku. Kenapa lagak buaya?” Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. “Sie le-heng,” katanya. “Jalan ada banyak sekali. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri.” Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan bagaikan seekor kera, tanpa menengok lagi, ia terus memanjat puncak gunung yang berdekatan. Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak, ia tertawa, menandak dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi rubat-rabit, muka dan sekujur badannya ketusuk duri sehingga mengeluarkan darah, tapi semua itu, sedikitpun tidak diperdulikannya. Ia merasa rohnya seakan-akan mau berontak keluar dari raganya. Ia ingin sekali agar, pada detik itu juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu untuk disebarkan ke seluruh bumi. Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian berdiri di pinggir kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca. “Tiada beda dengan manusia lain, tubuhku telah dilahirkan oleh ayah bundaku,” ia berteriak. “Tapi kenapa manusia begitu menghina diriku?” *** Di detik itu, segala pengalamannya yang lampau, berbayang pula di depan matanya. Ia ingat masa bocahnya. Lain orang melewati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan, ia justru sebaliknya. Apa yang dialaminya sepanjang masa itu, adalah kepahitan dan kegetiran. Siang-siang ibunya sudah meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang guru sekolah miskin yang mencari makan di kampung orang. Waktu ia berusia lima tahun, karena ayahnya berpenyakitan dan hasilnya sebagai guru sekolah tidak mencukupi ongkos penghidupan, ayahnya itu telah mengambil putusan untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karena tidak mempunyai kemampuan lain, maka mau tak mau, ayah dan anak itu terpaksa harus mengemis di sepanjang jalan. Di tengah jalan, sang ayah sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Masih untung, berkat pertolongan seorang kawan pengemis, ia sendiri tak sampai mati kelaparan. Demikianlah, dengan pakaian rombeng dan badan kurus kering, ia menuntut penghidupan sebagai pengemis kecil, yang hidupnya tergantung dari belas kasihan orang. Sesudah tiga tahun hidup begitu, di badannya mulai tumbuh bisul-bisul dan pada mukanya timbul bintik-bintik merah yang menonjol. Tentu saja ia tak mengerti apa artinya gejala-gejala itu. Ia hanya merasa heran karena kawan-kawannya tak mau bergaul lagi dengan dirinya, bahkan selalu menyingkir jauh-jauh. Pada suatu hari, seorang pengemis tua berkata kepadanya: “Kurasa kau menderita penyakit kusta. Sekarang kau tidak dapat mengemis lagi, sebab kau bisa mati digebuk orang!” Tentu saja ia jadi sangat ketakutan. Sekarang baru ia tahu, kenapa kawan-kawannya selalu menyingkir jika di dekatnya. Mulai dari waktu itu, ia menyembunyikan diri di waktu siang dan baru berani keluar di waktu malam untuk mencari sayur atau buah-buahan di kebun orang. Beberapa kali, hampir-hampir ia binasa dihajar pemiliknya. Kadang-kadang, jika ia berpapasan dengan orang lain di waktu siang hari, ia tentu akan dicaci sebagai “Siauwmahong (penderita kecil). Orang-orang yang bernyali kecil menyingkir jauh-jauh, sedang yang berhati tabah mengejarnya dengan niat akan menguburnya hidup-hidup. Untung juga, ia bisa lari keras sekali dan beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari “lubang jarum.” Berbulan-bulan ia hidup sebagai orang liar. Dapatlah dibayangkan, betapa besar penderitaannya pada waktu itu. Dalam otaknya yang masih sangat sederhana, sering-sering ia mendapat pikiran nekat. Pada suatu hari, dengan perut kosong dan badan kedinginan, ia mendaki sebuah gunung yang tinggi. Akhirnya, tibalah ia di atas sebuah batu cadas yang sangat besar, didampingi air terjun yang jatuh ke dalam jurang yang dalamnya ratusan tombak. Sampai disitu habislah tenaganya, dan mau tidak mau ia harus berhenti. Lama ia berdiri disitu dengan kedukaan yang tak terlukiskan. Mendadak, ia jadi nekat. Sembari berteriak: “Ayah! Ibu!”, ia melompat ke bawah! *** Melamun sampai disitu, tiba-tiba Kim Sie Ie sadar dan ia merasa, bahwa tanah di bawah kakinya, agak bergetar. Ia memperhatikan sekelilingnya dan mendapat kenyataan, bahwa di hadapannya terdapat air terjun, yang mencurahkan airnya ke dalam sebuah jurang yang dalamnya ratusan tombak. Ia menghela napas panjang-panjang. “Dulu, ada yang menolong aku,” katanya di dalam hati. “Sekarang, siapakah yang akan menolong?” Berpikir begitu, ia ingat pula kepada pertemuan luar biasa itu yang telah mengubah seluruh penghidupannya. Begitu ia melompat dari batu cadas itu, selagi badannya berada di tengah udara, dalam keadaan setengah sadar, ia merasa, bahwa sebuah tangan yang besar lagi kuat, menjambret bajunya. Bagaikan dalam mimpi, ia merasakan tubuhnya dilontarkan ke ruang kosong tak berdasar, tidak pula berbatas. Kepalanya pusing, kupingnya mendesing dan ia tak ingat orang lagi…Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, ketika sayup-sayup ia mendengar seseorang berkata: “Sungguh kasihan anak ini!” Ia merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dan mulutnya disuapi makanan. Kejadian itu telah menimbulkan lagi hal-hal di jaman lampau yang sebenarnya sudah lama hilang dari ingatannya. Ia ingat pula kepada saat-saat penuh bahagia, ketika ia didukung ibunya, ditepuk-tepuk dan diberi makanan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia terkejut, karena yang dilihatnya adalah pemandangan sebagai dalam impian. Ia mendapatkan dirinya sedang berbaring di sebuah perahu kecil dan sekelilingnya hanyalah laut biru yang berombak kecil-kecil. Dalam perahu itu terdapat seorang kakek yang beroman aneh dan sedang memandangnya dengan sorot mata menyayang. Ia mengucak-ngucak matanya dan memandang orang tua itu, yang berbadan tinggi besar dan mengenakan pakaian linen. Rambut kakek itu panjang luar biasa, terurai sampai di pundak. Jika dalam keadaan biasa, ia bertemu dengan orang begitu, sudah pasti ia akan menjadi ketakutan. Tapi sekarang, sorot mata si kakek justru menimbulkan rasa hangat di dalam hatinya dan ia merasa, bahwa berdampingan dengan orang tua itu ia seolah-olah berdampingan dengan ibunya sendiri. Si kakek tertawa seraya berkata: “Anak, kau sekarang sudah mendusin. Apakah kau lapar?” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang tua itu segera mengambil sebuah kendi merah dan menuangkan isinya ke dalam mulutnya. Cair itu berasa seperti arak dan sesudah mencegluk beberapa kali, semangatnya lantas saja terbangun. “Siapakah kau?” tanyanya. “Apakah kau yang sudah menolong aku?” Si kakek mengangguk sambil tertawa. “Anak, sudah sejak beberapa hari aku memperhatikan dirimu,” katanya. “Bahwa seorang diri kau berani bergulat untuk hidup di pegunungan yang berbahaya, membuktikan, bahwa kau mempunyai nyali yang besar. Tapi kenapa kau mengambil putusan pendek? Jika aku terlambat sedikit saja, badanmu tentu sudah hancur di dalam jurang.” Ia menggigit jarinya dan ia merasa sakit. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa ia bukan sedang bermimpi. “Sudah lima hari kau pingsan,” kata si kakek sembari mesem pula. “Badanmu ulet sekali. Jika anak lain yang mengalami kejadian ini, dia pasti tak akan bisa sehat kembali begitu cepat.” Ia merangkak bangun. “Kenapa kau menolong aku?” tanyanya sembari mengawasi orang itu. “Kenapa kau tak takut? Aku adalah penderita kusta!” Si kakek tertawa seraya berkata dengan perlahan: “Bukan, kau bukan penderita kusta. Aku, akulah, yang benar-benar seorang penderita kusta.” Ia terperanjat dan menatap wajah orang tua itu. Meskipun beroman luar biasa dan berambut panjang, muka orang tua itu kelihatan sehat dan bersinar merah, sedang kulitnya licin lagi halus, sedikitpun tak terlihat tanda-tanda penyakit kusta kepadanya. “Dulu, aku benar pernah menderita penyakit kusta, tapi sekarang sudah sembuh,” si kakek menerangkan. “Kau hanya mendapat penyakit kulit, karena hidup di tempat kotor. Sesudah mandi dengan air laut beberapa kali dan berjemur beberapa hari, kau akan segera sembuh. Ah! Sungguh sayang, bahwa kau bukan penderita kusta!” Sehabis berkata begitu, ia menghela napas panjang-panjang. Waktu itu, Kim Sie Ie baru saja berusia sebelas tahun. Tapi perkataan si kakek menimbulkan rasa heran dalam hatinya. “Kenapa ia merasa menyesal, karena aku tidak menderita penyakit kusta?” tanyanya di dalam hati sembari mengawaskan orang tua itu. “Dulu aku pernah menderita penyakit kusta,” kata kakek itu. “Aku telah mengalami penderitaan yang sepuluh kali lebih hebat daripada penderitaanmu. Belakangan aku lari ke sebuah pulau dan bersumpah tak akan menemui manusia lagi. Bertahun-tahun aku bersembunyi dan beberapa belas tahun berselang, baru seorang pendekar wanita menyadarkan aku dari kekeliruanku. Aku insyaf, bahwa hidup mengasingkan diri adalah tak benar. Aku mengubah pendirianku dan akupun bersumpah untuk menolong para penderita penyakit kusta, sebisaku dan sebanyak mungkin. Selama sepuluh tahun ini, sudah banyak juga orang yang telah kutolong. Kini aku sudah merasa, bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku ingin sekali mengambil seorang anak yang berpenyakit kusta untuk dijadikan murid. Hanya, sayang aku belum bisa menemukan seorang yang cocok.” Kim Sie Ie adalah seorang cerdik. Begitu mendengar perkataan orang tua itu, ia segera berlutut di hadapannya. “Semua orang mencaci aku sebagai penderita kusta,” katanya dengan suara memohon. “Jika kembali ke darat, aku tentu akan mati digebuk orang. Soehoe, jika kau menolak, lebih baik aku menceburkan diri ke dalam laut!” Si kakek berdiam sejenak dan kemudian berkata: “Baiklah. Tapi kau harus mempunyai nyali untuk hidup bersama-sama dengan aku di pulau terpencil itu.” “Sedang mati ‘ku tak takut, masakah aku takut hidup di pulau?” kata Kim Sie Ie. Demikianlah, ia lalu menjalankan upacara mengangkat guru di perahu itu. Dalam beberapa hari, dengan mandi di air laut dan berjemur di sinar matahari, Kim Sie Ie sudah sehat kembali. Bukan saja tenaganya sudah kembali, malah bisul-bisulnya juga sudah rontok semua dan kulitnya berubah licin. Berselang beberapa hari lagi, sebuah pulau kecil sudah kelihatan di sebelah jauh. Setelah berada tak jauh dari pulau itu, Kim Sie Ie mengendus bau wangi yang dibawa angin laut, tapi di antara bau wangi itu tercium juga bau amis. Ia melihat, bahwa pulau itu ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya dan sebuah sungai kecil juga terdapat disitu. Ombak laut kecil-kecil tiada habisnya bermain di pantainya, pantai berpasir putih. Pemandangan indah, tenang dan menyenangkan itu, membikin hati Kim Sie Ie sangat gembira. “Aduh! Bagus benar tempat ini!” ia berseru. “Bagus atau tak bagus, sebentar baru kau dapat menentukannya,” kata si kakek sembari tertawa. Ia meloncat turun dari perahu itu dan sesaat kemudian ia sudah berjalan di pesisir sambil menuntun muridnya. Mendadak, dari dalam hutan terdengar suara berkresekan yang sangat luar biasa dan di detik berikutnya, ribuan ular keluar menyambut mereka! Alangkah hebatnya pemandangan itu, beribu jenis ular dengan aneka warna kulit mereka, merayap, berbelit-belit mendatangi sambil mendesis tiada sudahnya Seluruh pantai dipenuhi binatang menjijikan itu. Kim Sie Ie kehilangan semangatnya, tapi si kakek sedikitpun tidak merasa takut dan sembari bersenyum, ia maju mendekati. Sungguh mengharukan, ular-ular itu serentak menunduk dan mengangguk-angguk seperti juga memberi hormat kepada si tua. “Anak, apakah kau takut?” tanya orang tua itu sembari tertawa “Takut apa?” jawabnya “Paling ganasnya, mereka juga sama dengan manusia-manusia di dunia yang menghendaki jiwaku.” Si kakek tertawa terbahak-bahak. “Jalan pikiranmu sama benar pikiranku, ketika aku baru mendarat disini,” katanya. Mulai dari saat itu, Kim Sie Ie menetap di pulau tersebut dan belajar silat di bawah pimpinan gurunya. Juga nama “Kim Sie le” itu adalah pemberian gurunya. Sesudah lewat beberapa bulan, ia baru mengetahui, bahwa sang guru bernama Tokliong Tjoentjia, sedang pulau itu adalah Tjoato (Pulau Ular), yang terletak di antara Laut Kuning dan Pokhay, dan semenjak dulu hampir tak pernah didatangi orang lain. Di waktu mudanya, Tokliong Tjoentjia adalah seorang guru silat. Belakangan, karena terserang kusta, ia telah digebah dari rumahnya dan diubar-ubar oleh manusia yang takut ketularan dan merasa jijik melihat bisul-bisulnya. Bertahun-tahun ia bersengsara, dikejar kian kemari, sampai akhirnya ia tiba di pulau itu. Dalam kenekatannya, ia berkawan dengan kawanan ular itu. Kemudian, dengan pertolongan ular, ia berhasil menyembuhkan penyakitnya. Ilmu silatnya yang sangat luar biasa, telah diciptakannya sendiri di pulau tersebut. Tokliong Tjoentjia menurunkan seantero kepandaiannya kepada muridnya. Kim Sie Ie yang berotak cerdas, gampang sekali menerima pelajaran, sehingga sang guru menjadi girang sekali. Menurut kebiasaan setiap tahun sekali atau dua kali Tokliong Tjoentjia pergi ke Tiongkok darat dan setiap kalinya selama sebulan atau dua bulan. Selama gurunya menjalankan tugas sebagai penolong sesama manusia, Kim Sie Ie sendiri terus berlatih silat di pulau itu, dengan dikawani oleh ribuan ular. Di waktu senggang, Tokliong Tjoentjia sering menceritakan pengalamanpengalamannya dalam melaksanakan hasratnya, menolong para penderita kusta yang hidup seperti dalam neraka. Ia juga sering menuturkan segala kepahitan yang pernah dialaminya sendiri, selama ia sendiri masih berpenyakit kusta, antara lain bagaimana hampir-hampir ia mati dibakar oleh orang-orang yang merasa jijik terhadapnya. Semua kisah itu, ditambah dengan pengalamannya sendiri, sudah membikin Kim Sie le sangat membenci manusia dalam keseluruhannya. Ia berharap, supaya ia bisa terus tinggal di pulau itu dan tak usah menemui lagi manusia untuk selama-lamanya. Tanpa terasa, tujuh tahun lewat dengan cepat sekali. Selama tujuh tahun itu, tiada hentinya Kim Sie Ie belajar ilmu silat dan tanpa disadarinya ia sekarang sudah menjadi ahli silat kelas satu. Mendadak datanglah suatu hari yang telah mengubah seluruh jalan penghidupannya. Pada suatu magrib, ketika sang matahari tengah menyelam di sebelah barat dan tampak seolah-olah sebuah bola api, Kim Sie Ie dipanggil gurunya. Begitu berhadapan, ia melihat perubahan luar biasa yang terjadi pada muka gurunya. “Sekarang kau sudah mewarisi semua kepadaianku,” kata sang guru dengan perlahan. “Jika kau kembali ke Tiongkok darat dan berkelana di kalangan Kangouw, kurasa di waktu ini sedikit sekali orang yang bisa menandingi ilmu silatmu.” “Soehoe,” kata Kim Sie le dengan bingung. “Kebanyakan manusia dalam dunia jahat sekali. Lebih baik aku terus berdiam disini seumur hidupku.” Tokliong Tjoentjia mengangguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. “Benar, benar, memang sangat banyak manusia berhati jahat,” katanya dengan sabar. “Malah dalam Rimba Persilatan juga terdapat banyak sekali manusia busuk. Tapi kau harus ingat, bahwa tidak semua manusia berhati jahat. Antaranya, Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie adalah orang-orang yang berhati mulia.” Semenjak berdiam di pulau itu, Kim Sie Ie belum pernah mendengar gurunya bercerita tentang orang-orang Rimba Persilatan. Maka sekali ini, ia menjadi sangat heran. Baru saja ia ingin menanyakan siapa-siapa Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie itu, gurunya sudah berkata pula: “Di samping mereka, ada pula orang-orang dari Thiansan pay. Ah! Jika kau tidak mencari orang-orang Thiansan pay, kau bisa celaka!” Kim Sie Ie tak mengerti apa maksud gurunya. “Kenapa?” tanyanya. “Orang yang sudah mahir dalam ilmu silat gubahanku, rasanya tak akan kalah dari pendekarpendekar Thiansan,” jawabnya. “Tapi… Tapi…” “Tapi kenapa?” si murid menanya lagi. Tokliong Tjoentjia mengerutkan alisnya. “Tak lama lagi, kau akan mengerti sendiri,” katanya. “Ah! Di antara murid-murid Thiansan, entah siapa yang masih hidup. Bagaimana sikap mereka? Apakah mereka akan merasa girang melihat kecelakaan dan membiarkan musnahnya ilmu silat partai kita, agar partai mereka bisa hidup sendiri dalam dunia ini?” “Apa?” tanya Kim Sie Ie. “Apakah dalam Thiansan pay tak ada orang jahat? Teetjoe (murid) bersedia mengikut Soehoe untuk mencari mereka dan menjajal kepandaian mereka.” Tokliong Tjoentjia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sebentar akan kujelaskan,” katanya. “Sekarang panggillah dulu kawanan ular.” Sesudah tujuh tahun berdiam di Pulau Ular, Kim Sie Ie sudah mahir dalam ilmu menjinakkan ular. Tapi baru saja ia ingin memutarkan badannya untuk menjalankan perintah gurunya, tiba-tiba ia melihat uap putih yang keluar dari kepala sang guru. “Sie Ie,” Tokliong Tjoentjia berkata dengan mendadak. “Kau harus ingat segala penderitaanmu di waktu kecil.” “Teetjoe tak akan melupakannya,” jawab si murid. “Pergilah!” perintah sang guru sembari mengebaskan tangannya. “Lekaslah kembali, karena aku masih ingin bicara pula!” Kim Sie Ie segera meninggalkan gurunya dan pergi ke berbagai tempat untuk memanggil kawanan ular. Ternyata, ular-ular itu mengerti maksud manusia dan tak lama kemudian, mereka sudah berkumpul diluar hutan dalam rombongan-rombongan yang masing-masing di kepalai seekor ular besar. Sesudah menjalankan tugasnya, Kim Sie Ie lalu kembali ketempat gurunya. “Soehoe!” ia berteriak. “Kawanan ular sudah datang.” Tetapi, segera juga ia terperanjat dan berdiri laksana patung dengan mata membelalak. Kedua mata Tokliong Tjoentjia terbuka lebar-lebar, biji matanya tak bergerak, sedang keringat membasahi sekujur badannya. “Soehoe! Kau kenapa?” teriak si murid. Tokliong Tjoentjia tak menjawab. Dengan jantung berdebar keras, Kim Sie le menubruk sang guru dan meraba badannya yang ternyata sudah kaku. Ia sudah meninggal dunia! Di samping jenazahnya terdapat tongkat besinya yang biasa digunakannya dan di bawah tongkat itu terdapat sejilid kitab dengan tulisan “Tokliong Pitkip (Kitab Naga Beracun) di kulit luarnya. Sesaat kemudian, Kim Sie Ie mendapat kenyataan, bahwa di atas tanah terdapat tulisan yang terbaca seperti berikut: “Sesudah kepandaianmu sempurna, pergilah mencari orang Thiansan pay dan perlihatkan kitab ini kepadanya. Minta…” Huruf “minta” agak guram dan bentuknya miring, sehingga bisa ditarik kesimpulan, bahwa, tengah menulis huruf itu, Tokliong Tjoentjia sudah kehabisan tenaga. Kim Sie le menangis sedih sekali, sedang semua ular dengan serentak menundukkan kepala sebagai penghormatan penghabisan terhadap majikan itu. Sekarang Kim Sie le baru mengerti, bahwa gurunya telah memanggil kawanan ular untuk berpamitan. Sang guru telah mengatakan bahwa sebelum menutup mata, ia masih ingin bicara dengannya dan kini ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tak bisa mendengar pesan terakhir gurunya itu. Dengan penuh kedukaan, ia mengubur mendiang gurunya. “Soehoe! Ia berteriak dengan suara menyayatkan hati, sesudah jenazah Tokliong Tjoentjia diuruk dengan tanah. “Aku tentu ingat segala perkataanmu. Aku tentu tak akan melupakan, bahwa kau dan aku telah merasakan penderitaan yang sama. Aku mengerti maksudmu. Aku benci semua manusia dalam dunia!” Kim Sie Ie tentu saja tidak mengetahui, bahwa ia telah salah menafsirkan perkataan gurunya! Memang benar Tokliong Tjoentjia pernah melarikan diri ke pulau itu karena diubar-ubar manusia dan ia memang pernah membenci manusia. Akan tetapi, tujuh belas tahun berselang, Lu Soe Nio, Kain Hong Tie, Phang Eng, Tong Siauw Lan dan beberapa pendekar lain pernah datang di Tjoato. Pada waktu itu, Lu Soe Nio dan Phang Eng telah merobohkan Tokliong Tjoentjia dan berbareng menolong juga jiwanya. Belakangan mereka telah memberi nasehat panjang lebar, sehingga Tokliong Tjoentjia memperoleh kembali sifat kemanusiaannya. Kebenciannya berubah menjadi kecintaan dan dengan segenap tenaganya, ia telah menolong para penderita kusta. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia ingin meninggalkan pesan kepada Kim Sie Ie, supaya si murid tidak melupakan penderitaannya di waktu kecil dan meneruskan pekerjaannya menolong para penderita kusta. Tapi sungguh sayang, pesan terakhir itu tak keburu diucapkan, sehingga Kim Sie Ie jadi salah mengerti! Sesudah penguburan itu beres, Kim Sie Ie lalu mempelajari Tokliong Pitkip. Ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun sebagian besar pelajaran ilmu silat dalam kitab itu sudah diketahuinya, tapi berapa bagian yang sulit masih belum dapat diselaminya. Bagian-bagian itu diterangkan secara jelas dalam kitab tersebut. Di samping itu, dalam Tokliong Pitkip juga terdapat pelajaran untuk membuat dan menggunakan macam-macam senjata rahasia beracun. Tiga tahun lamanya, dengan bantuan kitab tersebut, Kim Sie Ie mempelajari segala apa yang belum keburu diyakinkannya di bawah pimpinan sang guru. Berkat kegiatannya, ia memperoleh kemajuan yang mentakjubkan. Dengan pukulan tangan kosong, ia sekarang bisa merobohkan pohon yang besar dan dengan jarum beracun, bahkan membinasakan buaya yang berenang di air. Berselang lagi beberapa lama dalam kesepiannya, Kim Sie Ie sering melamun. “Di pulau ini soehoe telah menggubah ilmu silat yang begitu liehay,” pikirnya pada suatu hari. “Sebagai murid, aku berkewajiban membikin semua manusia di dunia mengetahui keliehayan soehoe. Dengan demikian, barulah capai lelahnya tidak tersia-sia.” Di lain saat, ia berpikir pula: “Menurut kata soehoe, berbagai cabang persilatan di wilayah Tionggoan sebenarnya tidak seberapa liehay. Dulu, semua manusia telah memandang rendah kepada soehoe dan mengejar-ngejarnya. Paling baik,aku sekarang main-main ke daerah Tionggoan dan menghantam mereka sampai kalang kabut. Sesudah aku merobohkan semua orang gagah di kolong langit, baru aku akan mengumumkan asal-usul soehoe. Hanya dengan berbuat begitu aku bisa membikin nama soehoe menjadi harum untuk selama-lamanya.” Demikianlah, dengan adanya angan-angan begitu, dalam hati Kim Sie Ie segera timbul niatan untuk meninggalkan Pulau Ular.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |