峨眉山 / Emei Shan / Gunung Gobi /Mount Emei Keng Thian naik darah. “Minggir!” ia membentak. Kim Sie Ie tertawa besar. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: “Tak tahu malu! Mengudak-udak gadis orang!’ Keng Thian tak dapat menahan sabar lagi. Sekali ia mengayun tangan, sebatang Thiansan Sinbong menyambar Kim Sie Ie. Di waktu pertama kali bergebrak, si pengemis sudah mengenal liehaynya Sinbong. Sesudah mengerahkan tenaga Hiankong tujuh hari lamanya, baru ia dapat menyembuhkan luka akibat serangan senjata rahasia itu. Karena itu, sekali ini ia berwaspada. Begitu melihat sambaran Sinbong, ia menjungkir balik, badannya melesat tiga tombak lebih dan berbareng, menyampok dengan tongkatnya. “Tring!’, lelatu api melentik dan senjata rahasia itu kena tersampok jatuh. Dengan sekali berjungkir balik lagi, Kim Sie Ie sudah menghadang pula di tengah jalan. “Si nona sudah lari jauh sekali,” katanya, mengejek. Keng Thian bingung. Thiansan Sinbong hanya dapat mendesak dia untuk sementara waktu. Dengan hati mendongkol, tanpa berkata suatu apa lagi, ia melompat dan membabat dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie tak berani berlaku ayal. Ia menghunus pedang besinya dan menangkis. “Trang!”, dua pedang itu kebentrok dan kedua belah pihak, yang tenaga dalamnya kira-kira setanding, mundur terhuyung beberapa tindak. Keng Thian tak mengasih hati lagi kepada lawannya. Begitu bergebrak, ia segera menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, yang saling susul bagaikan gelombang. Baru bertempur beberapa saat, Keng Thian sudah dapat melihat suatu kekosongan dalam pembelaan musuh. Yoeliong kiam yang tengah menyambar dari kiri ke kanan, mendadak bergerak dalam suatu lingkaran dan mengurung pedang Kim Sie Ie. Sekali dibalik lagi, ujung pedang itu menggetar dan menyambar sembilan jalan darah Kim Sie Ie dengan berbareng. “Hebat!” teriak si pengemis. “Bocah! Gara-gara si nona manis, kau lupa, bahwa barusan aku sudah menolong jiwamu!” Ia menjejek kakinya dan badannya melesat keluar gelanggang. Keng Thian bergoncang hatinya. “Tadi, waktu Hongsek Toodjin mengirim serangan terakhir, aku tentu sudah akan kena dipukul jika dia dan Peng Go tidak menolong dengan senjata rahasia,” pikirnya. “Biarpun aku mempunyai Djoanka dan jika terluka, masih mempunyai Thiansan Soatlian untuk mengobatinya, tapi budi mereka tak dapat diabaikan begitu saja.” Memikir begitu, lantas saja ia menarik pulang Yoeliong kiam dan membentak: “Baiklah! Belum lama berselang, tanpa sebab kau sudah melukakan aku, sehingga hampir-hampir aku terbinasa. Hari ini, mengingat pertolonganmu, sakit hatiku sudah dibayar impas olehmu. Sekarang, kau minggirlah! Di kemudian hari, kita masih bisa bersahabat.” Kim Sie Ie mengawasi dan sesudah mengeluarkan tertawa aneh, ia berkata: “Siapa kesudian menjadi sahabatmu? Bocah tak kenal malu! Sedikitpun kau tidak mengenal adat istiadat dalam kalangan Kangouw.” “Apa?” menegas Keng Thian. “Aku tak mengenal adat istiadat dalam kalangan Kangouw? Siapakah yang kau maki? Cacian itu sungguh tepat untuk ditujukan kepada alamatmu!” “Aku memaki kau!” bentak Kim Sie Ie. “Jika tidak dijelaskan, kau tentu masih penasaran. Aku mau menanya: Menurut adat istiadat kalangan Kangouw, bukankah ada nasi sama-sama makan, ada pakaian sama-sama memakai dan sudah punya tak boleh merampas milik orang? Bukankah begitu?” “Benar,” jawab Keng Thian. “Orang-orang dari jalanan hitam sangat memperhatikan kebiasaan itu.” “Bagus!” kata si pengemis. “Kau sudah mempunyai nona dari keluarga Tjee itu, tapi kenapa masih juga ingin mengudak-udak nona Koei? Ha! Tak sudi aku menjadi sahabatmu! Aku sudah menganggap nona Koei sebagai sahabatku. Kau sendiri sudah punya satu, tapi masih mengubar-ubar sahabat orang lain. Bukankah perbuatan itu perbuatan tak mengenal adat istiadat Kangouw?” Tong Keng Thian adalah seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang telah mendapat pendidikan yang baik pula. Seujung rambut pun, ia tidak menduga bahwa ia akan mendengar perkataan itu. Ia kemekmek, untuk sementara ia tak dapat menjawab. Si pengemis lantas saja mengeluarkan tertawanya yang menyeramkan dan berkata pula: “Benar atau tidak perkataanku? Apakah kau sudah merasa bersalah?” “Jangan ngaco!” Keng Thian membentak dengan gusar sekali. “Jika kau bicara lagi yang tidak-tidak, tanpa sungkan-sungkan aku akan mengutungkan kepalamu!” “Apakah kau mampu?” tanya si pengemis dengan suara mengejek. Keng Thian jadi gelap mata. Bagaikan kilat, ia menyabet dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie melayani dengan saban saban menengok ke belakang. Agaknya ia ingin menunggu sampai Pengtjoan Thianlie sudah pergi cukup jauh, baru ia ingin menghentikan pertempuran itu. Keng Thian gusar dan bingung. Ia menyerang secara hebat, tapi karena kepandaian mereka kira-kira berimbang, maka sedikitnya untuk sementara, ia tak dapat meloloskan diri. Sekarang Keng Thian menumplek semua kemendongkolannya di atas kepala Kim Sie Ie. “Hra!” katanya di dalam hati. “Kalau begitu, dia yang menjadi setan.” Dengan gergetan, lantas saja ia menyerang dengan pukulan-pukulan Thiansan Kiamhoat yang paling liehay. Kim Sie Ie memutarkan pedangnya bagaikan titiran dan menutup rapat-rapat dirinya dengan sinar pedang, sehingga sesudah lewat seratus jurus lebih, belum juga ada yang keteter. Sementara itu, suami isteri Siauw Tjeng Hong dan Kang Lam sudah menyusul. Mereka terkejut melihat pertempuran yang lebih hebat daripada pertarungan antara Keng Thian dan Hongsek Toodjin. Tiba-tiba sembari membentak keras, Keng Thian mengirimkan tiga serangan dengan berbareng. Tangan kirinya mengait tongkat Kim Sie Ie, kaki kanannya menendang, sedang Yoeliong kiam menikam ke arah jantung. Menurut perhitungannya, dengan tiga serangan hebat itu, walaupun tidak menjadi mati, si pengemis pasti akan terluka berat. Pada detik itu, berbareng dengan terdengarnya tertawa aneh, Kim Sie Ie berjungkir balik dan menyemburkan ludah lendirnya. “Untuk seorang wanita, kau mati-matian!” ia memaki. “Apakah ada harganya? Bocah! Aku sungguh kasihan kepadamu. Baiklah, kakekmu mengijinkan kau lewat.” Berhubung dengan berjungkir baliknya, Kim Sie Ie berhasil mengelakkan bahaya. Yoeliong kiam menikam tempat kosong, tapi kaki kanan Keng Thian berhasil menendang tongkat si pengemis yang lantas saja terbang ke tengah udara. Pada saat yang sangat berbahaya itu, dengan meminjam tenaga terpentalnya tongkat itu, badan Kim Sie Ie turut melesat ke udara dan menangkap tongkatnya yang sedang melayang turun. Ia hinggap di tempat yang jauhnya kurang lebih enam tombak dan begitu kedua kakinya menginjak bumi, ia mabur ke arah hutan, sembari menengok dan tertawa kepada Keng Thian. Dengan gergetan, Keng Thian mengeluarkan sebatang Thiansan Sinbong, tapi sebelum ia sempat menimpuk, Kim Sie Ie sudah meloncat ke sebuah pohon besar dan naik ke atas bagaikan seekor kera dan di lain saat, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Seperti kesima, putera Tong Siauw Lan ini berdiri terpaku. Melihat tertawanya Kim Sie Ie di waktu ia ini barusan menengok, hati Keng Thian jadi berdebar keras. Ia ingat, bahwa di waktu pertama kali bertemu, orang itu adalah seorang pengemis kotor yang muka dan badannya penuh dengan bisul-bisul penyakit kusta. Tapi sekarang, perbedaan bagaikan langit dan bumi. “Kalau begitu, ia juga adalah seorang pemuda tampan,” katanya didalam hati. “Untuk apa dia terus mengikuti Peng Go?” Sebegitu jauh ia selalu menganggap, bahwa di dalam dunia ini, ia adalah satu-satunya orang yang pantas menjadi pasangan Pengtjoan Thianlie. Sekarang, mau tak mau, di dalam hati kecil ia terpaksa mengakui, bahwa pemuda itu yang berlagak sebagai penderita kusta, merupakan saingan berat baginya. Di samping itu, ia ingat juga bagaimana Kim Sie Ie sudah meloloskan diri dari dua serangannya yang sangat hebat. Dengan pengetahuannya yang sangat luas mengenai berbagai cabang persilatan, ia masih belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dimiliki si pengemis. Ia mengakui, bahwa Kim Sie Ie adalah seorang yang jarang ada tandingannya dalam Rimba Persilatan, tapi kenapa tingkah lakunya begitu luar biasa? Sementara itu, sesudah napasnya yang tersengal-sengal menjadi reda. Kang Lam lantas saja berkata: “Sungguh berbahaya! Eh, Tong Siangkong, siapa pemuda itu? Tadi dia membantu kau dengan senjata rahasia, tapi kenapa belakangan menghalang-halangi kau mengubar nona itu?” Keng Thian yang sedang kalut pikirannya tak menjawab pertanyaan kacung itu. “Sungguh cantik wanita itu,” Kang Lam mengoceh lagi. “Aku tahu, Kongtjoe-ku suka kepada seorang gadis Tsang yang sangat aneh. Aku pernah melihat wajah gadis itu. Waktu itu, aku menganggap dalam dunia tidak ada orang yang lebih cantik lagi. Ha! Sekarang, sesudah melihat yang barusan, baru aku tahu, di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia.TongSiangkong, apakah dia kau punya?” “Apa?” Keng Thian menegas, seperti baru mendusin dari tidurnya. “Kau mirip sekali dengan Kongtjoe-ku,” jawabnya. “Begitu melihat wanita cantik, lantas kehilangan semangat. Aku tak mempersalahkan kau. Tapi mereka datang bersama-sama. Jika kau memang sudah jatuh hati, sepantasnya kau harus minta lelaki itu memperkenalkan kau kepadanya. Mungkin mereka bersaudara. Itu masih tidak apa. Jika mereka suami isteri, apakah mengherankan kalau lelaki itu lantas menghantam kau?” Keng Thian tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Sesudah mengalami berbagai kesukaran, ia naik ke keraton es dan membujuk si nona supaya turun gunung. Ia berhasil dalam usahanya itu, tapi siapa nyana, buntutnya menjadi begini sehingga sampai Kang Lam juga menganggap si nona adalah seorang asing baginya. “Kang Lam, jangan rewel!” bentak Siauw Tjeng Hong. Kang Lam tidak berani membuka suara lagi dan mereka lalu meneruskan perjalanan. “Tong Siangkong,” kata Siauw Tjeng Hong dengan suara perlahan. “Jangan kau terlalu jengkel. Sekarang kita tak dapat menyandak ia, tapi setibanya di tempat Moh Lootjianpwee, kita tentu akan bertemu pula.” Keng Thian lantas saja sadar. “Benar aku goblok,” katanya di dalam hati. “Sesudah sampai disini, ia tentu akan menyambangi pamannya.” Akan tetapi, begitu mengingat masih setengah bulan sebelum mereka dapat bertemu lagi dan selama setengah bulan itu, Peng Go akan selalu berada bersama-sama dengan “si pengemis kusta,” hati Keng Thian lantas saja menjadi pedih. Tapi sebenarnya, pemuda itu sudah menduga salah. Pengtjoan Thianlie tidak berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie, tapi Kim Sie Ie-Iah yang selalu mengikuti dari belakang. Ia tidak berani terlalu mendesak, oleh karena mengetahui bahwa si nona tidak begitu menyukai dirinya. Sebenarnya Pengtjoan Thianlie telah tiba lebih dulu di hutan batu, sedang Kim Sie Ie menyusul kemudian. Melihat si nona melepaskan Pengpok Sintan, ia mengetahui, bahwa Peng Go masih belum dapat melupakan Keng Thian, sehinga ia jadi merasa jengkel. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati Pengtjoan Thianlie, ia pun segera melepaskan senjata rahasianya. Dengan pikiran tertindih, Keng Thian meneruskan perjalanannya, sedang Siauw Tjeng Hong, yang mengetahui persoalan si pemuda, juga kesal hatinya. Selagi mereka berjalan dengan masing-masing tenggelam dalam alam pikiran sendiri, Kang Lam mendadak berteriak: “Aduh!” “Kenapa?” tanya Tjeng Hong sembari menengok ke belakang. Bocah itu berjongkok sembari memegang perutnya. “Perutku sakit,” jawabnya. “Tadi masih baik-baik, kenapa mendadak sakit?” tanya Tjeng Hong yang lantas saja memegang nadi Kang Lam, tapi ia tidak mendapatkan tanda-tanda penyakit. “Setan kecil!”ia mengomel. “Kau selalu main gila! Siapa mempunyai tempo untuk melayani kegila-gilaanmu? Kita mempunyai urusan penting dan perlu berjalan buru-buru.” “Siapa yang main gila?” teriak Kang Lam “Benar-benar perutku sakit.” Keng Thian segera mendekati dan memegang nadinya. Sesudah beberapa saat, muka pemuda itu menunjukkan perasaan heran dan kaget. Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya dan dengan dua jeriji, ia menotok jalan darah Hiankie hiat, di dada Kang Lam. Tjeng Hong terkesiap. Hiankie hiat adalah jalan darah yang membinasakan. Ia mau mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. Begitu ditotok, Kang Lam lantas saja tertawa haha-hihi. “Gatal! Gatal!” ia berteriak. “Aku paling takut kegatalan. Tong Siangkong, ampun!” “Perutmu masih sakit?” tanya Keng Thian. “Ih! Heran sungguh. Sekarang tak sakit lagi,” jawabnya. Keng Thian mesem sambil menotok pundak Kang Lam dengan dua jerijinya. Tjeng Hong mengetahui, bahwa yang ditotok adalah jalan darah Tonghay hiat, yang jika diurut, dapat melemaskan urat dan menjalankan darah. Menurut kebiasaan Rimba Perdilatan, jika seseorang kena ditotok jalan darahnya dan jalan darah itu untuk sementara masih belum dapat dibuka, maka orang itu biasanya minta salah seorang kawannya untuk menotok Tonghay hiat guna menjalankan aliran darah di lain-lain bagian badannya, untuk mempertahankan diri sementara waktu. Maka itu, totokan Tonghay hiat ada baiknya dan tak ada jahatnya. Tapi di luar dugaan, Kang Lam lantas saja berteriak-teriak: “Aduh! Sakit! Sakit!” Buru-buru Keng Thian menotok jalan darah Tjietong hiat, di kempungan Kang Lam. Tjietong hiat adalah salah saru dari sembilan jalan darah, yang jika ditotok, dapat membinasakan orang. Keruan saja, Siauw Tjeng Hong menjadi kaget bukan main. Tapi, sungguh luar biasa, Kang Lam lantas tidak berkaok-kaok lagi. “Ah, Tong Siangkong,” katanya. “Kenapa kau mengganggu aku? Perutku tidak sakit lagi.” “Gatal tidak?” tanya Keng Thian. “Tidak, hanya sedikit kesemutan,” sahutnya. Keng Thian tertawa berkakakan. “Ya sekarang aku tahu,” katanya. “Bukan aku, tapi gurumu yang mempermainkan kau.” “Apa?” Tjeng Hong menegas dengan suara heran. “Apakah benar perbuatan si Toosoe tua? Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi dan kedudukannya sebagai guru, sedang ia sendiri sudah meluluskan, apakah benar ia masih main gila terhadap muridnya?” Keng Thian bersenyum. “Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia mempermainkan muridnya,” katanya. “Mungkin kejadian ini adalah karena untung Kang Lam yang baik.” “Apakah yang kau maksudkan?” tanya pula Siauw Tjeng Hong, yang tidak mengerti perkataan pemuda itu. Keng Thian berdiam beberapa saat, seperti sedang mengasah otak. “Siauw Sinshe,” katanya mendadak.”Apakah kau tahu, siapakah nama dan dimana tempat tinggal orang aneh dari Khongtong pay itu yang menurut katamu ingin menyukarkan Moh Lootjianpwee?” “Tidak,” jawab Tjeng Hong sembari menggelengkan kepalanya. “Kalau aku tahu, aku tentu sudah memberitahukan kepada Moh Lootjianpwee. Perlu apa aku pergi ke berbagai tempat untuk mencari keterangan?” “Dulu, di Thiansan, aku pernah mendengar pembicaraan antara ayah dan Iethio (suami bibi) yang sangat menarik,” Keng Thian menerangkan. “Menurut mereka, partai Khongtong pay dulu mempunyai semacam ilmu yang luar biasa. Dengan ilmu tersebut, seseorang dapat mengacaukan jalan darahnya sendiri. Maka itu, ia akan terus segar bugar, meskipun jalan darahnya yang membinasakan kena ditotok. Akan tetapi, orang yang mempunyai ilmu tersebut, harus berlatih terus seumur hidupnya. Jika ia berhenti, jiwanya terancam. Di samping itu, walaupun berlatih terus-terusan, belum dapat dipastikan, bahwa akhirnya ia tak akan masuk ke dalam jalan yang menyeleweng. Itulah sebabnya, mengapa belakangan orang sungkan mempelajari ilmu itu yang perlahan-lahan jadi tidak dikenal lagi.” “Kalau begitu,” kata Tjeng Hong. “Apakah ilmu yang diajarkan oleh si Toosoe kepada Kang Lam, adalah ilmu yang kau maksudkan?” “Mungkin, mungkin sekali,” jawabnya. Siauw Tjeng Hong berdiam sejenak, kemudian ia berkata pula: “Jika memang demikian, apakah, walaupun perhubungan guru dan murid sudah diputuskan, seumur hidupnya Kang Lam harus terus menerus berlatih ilmu tersebut?” “Kang Lam baru saja tujuh hari menjadi muridnya, sehingga apa yang didapat olehnya baru hanya pelajaran permulaan,” Keng Thian menerangkan. “Seperti juga pelajaran lain-lain, untuk memperoleh kemajuan, ilmu itu harus dipelajari dengan perlahan, di bawah pimpinan guru yang pandai. Mengenai Kang Lam, baik juga ia baru saja memperoleh sedikit pelajaran, sehingga biarpun ada akibatnya, akibat itu hanya merupakan sakit perut, sakit miang dan sebagainya. Jika ia sudah belajar lama dan pelajaran dihentikan mendadak, akibatnya tentu akan hebat sekali, mungkin ia akan binasa, atau sedikitnya, menjadi orang bercacat. Maka itu, selama beberapa ratus tahun ini, dalam partai Khongtong pay, orang yang mempelajari ilmu itu tidak pernah keluar dari rumah perguruan.” “Kalau begitu,” kata Siauw Tjeng Hong. “Apakah kau maksudkan, bahwa Kang Lam harus kembali lagi dan seumur hidupnya harus menemani siluman tua itu?” “Tidak!” teriak Kang Lam. “Biarpun harus mati, aku tak akan kembali. Tong Siangkong, tolonglah aku!” Keng Thian tertawa. “Tak kembali juga boleh,” katanya sembari tertawa. “Hanya setiap hari kau harus menderita sakit perut sejam lamanya.” “Tidak!” si bocah berteriak pula. “Aku paling takut akan sakit perut. Perut sakit, makanan enak tak bisa masuk. Tong Siangkong, aku tahu kau bisa menolong. Tolonglah. Aku akan menurut segala perintahmu.” “Baiklah,” kata Tong Keng Thian yang merasa sudah cukup menggoda kacung itu. “Tapi aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembuh, mulutmu jangan terlalu rewel.” “Baik, baik,” jawabnya, terburu-buru. “Sesudah sembuh, orang menanya sepatah, aku menjawab setengah patah.” Keng Thian tak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia menengok kepada Siauw Tjeng Hong seraya berkata: “Itulah! Itulah sebabnya, mengapa aku mengatakan Kang Lam bagus untungnya. Sebagaimana kau tahu, lethio-ku telah mewarisi kitab ketabiban, peninggalan Po Tjeng Tjoe, sehingga ia mahir dalam ilmu pengobatan. Dalam kitab tersebut terdapat suatu bagian yang membicarakan bahaya-bahaya akibat pelajaran ilmu silat. Menurut kitab tersebut, jika seseorang ingin menyelamatkan diri dari bahaya itu, jalan satu-satunya adalah melatih diri dalam ilmu lweekang dari cabang persilatan yang murni. Dengan latihan itu, isi perut dan bagian-bagian dalam badannya akan menjadi kuat dan dengan sendirinya, dapat melawan segala akibat jelek dari latihan ilmu yang menyeleweng. Maka itu, untuk menolong Kang Lam, aku harus menurunkan pokok-pokok pelajaran lweekang dari Thiansan pay.” “Bagus!” seru Kang Lam, kegirangan. “Sekarang juga aku akan berlutut di hadapanmu, untuk mengangkat kau menjadi guru.” Berbareng dengan perkataannya, ia segera menekuk lutut. Keng Thian mencekal tangan si nakal, sehingga ia ini tak dapat meneruskan niatannya. “Siapa mau mempunyai murid begitu rewel?” kata Keng Thian sembari tertawa. “Jangan begitu,” kata Kang Lam, meringis. “Aku toh sudah berjanji untuk tidak rewel-rewel lagi” “Dalam menerima murid Thiansan pay memegang peraturan yang sangat keras,” kata Keng Thian dengan paras sungguh-sungguh. “Usiaku masih terlalu muda, sehingga tak dapat aku menerima kau sebagai murid. Selain itu, yang akan kuturunkan hanya pokok-pokok lweekang, bukan ilmu pedang atau ilmu silat. Maka itu, kau tak dapat dipandang sebagai murid Thiansan pay.” “Kang Lam,” kata Tjeng Hong sembari tertawa. “Dengan mendapat pokok-pokok lweekang Thiansan pay, kau sudah mempunyai nasib yang bagus luar biasa. Kenapa kau tidak mengenal puas?” Mendengar itu, si nakal tidak berkata apa-apa pula. Ia manggut-manggutkan kepalanya dengan hati girang. Keng Thian yang merasa sangat suka terhadap anak yang cerdik itu, lebih dulu memberikan dua butir Pekleng tan yang dibuat dari Thiansan Soatlian, untuk memperkuat tubuh dan anggauta dalam Kang Lam. Sesudah itu, baru ia menurunkan pelajarannya. Waktu itu, Kang Lam sendiri tidak mengetahui, bahwa ia telah mendapat suatu kefaedahan yang tidak kecil. Sesudah memperoleh dasar-dasar ilmu aneh Khongtong pay dan tidak takut lagi akan totokan jalan darah, sekarang ia mendapat pokok lweekang dari Thiansan pay. Dengan mempunyai dua dasar itu, tenaga dalamnya bertambah secara luar biasa. Walaupun ketika itu ia hanya mengenal ilmu silat yang sangat cetek dari Tan Thian Oe, tapi jika digunakan, dengan mudah ia akan dapat merobohkan ahli-ahli silat kelas tiga atau kelas dua dari kalangan Kangouw. Di belakang hari, benar saja Kang Lam telah menjadi seorang ahli silat yang kenamaan dan disegani. Oleh karena harus memberi pelajaran kepada si bocah, dalam tiga hari Keng Thian hanya dapat melalui seratus li lebih. Untung juga, berkat kecerdasannya, pada hari ke empat Kang Lam sudah dapat menyelami pelajaran yang diberikan kepadanya, sehingga Keng Thian dapat mengambil selamat berpisah dengan hati lega. Kang Lam sendiri segera menuju ke timur untuk pergi ke Tiongkeng, dari mana, dengan perahu ia akan pergi ke Boehan, akan kemudian langsung pergi ke kota raja untuk menyampaikan surat majikannya. Keng Thian bersama suami isteri Siauw Tjeng Hong meneruskan perjalanan ke Soetjoan selatan untuk kemudian mendaki gunung Gobie san dan menemui Moh Tjoan Seng. Sesudah berjalan sepuluh hari, Gobie san yang agung dan angker sudah kelihatan di depan mata. Sebagai umumnya seorang yang sedang menderita penyakit asmara, di sepanjang jalan Keng Thian lesu kelihatannya, tapi begitu mendekati Gobie san, semangatnya terbangun karena mengingat bahwa saat pertemuan dengan Koei Peng Go sudah dekat. Tapi saban kali teringat “si penderita kusta”, ia lantas menjadi lesu kembali. Dengan Tiangloo (paderi kepala) dari kuil Kimkong sie, Moh Tjoan Seng bersahabat baik, sehingga selama kira-kira dua puluh tahun, ia menetap dalam kuil tersebut. Seperti juga yang lalu, Kiatyan kali ini pun diadakan dalam kuil itu, yang berdiri di puncak tertinggi — yaitu Puncak Emas dari gunung Gobie san. Di waktu Keng Thian bertiga sampai disitu, Kiatyan sudah tiba waktunya dimulai. Gobie san adalah salah satu dari empat gunung ternama di Tiongkok. Tiga yang lain adalah Poto san di Tjiatkang, Kioehoa san di Anhoei dan Ngotay san di Shoasay. Luas gunung tersebut adalah lebih dari empat ratus li, bentuknya agung, angker dan indah. Dipandang dari kejauhan, Gobie san seakan-akan merupakan sepasang alis yang tebal dan itulah sebabnya, mengapa gunung itu dinamakan Gobie (Bie berarti alis). Pagi-pagi sekali, Keng Thian bertiga mulai mendaki gunung. Di sepanjang jalan, mereka melewati pohon-pohon siong tua, batu-batu cadas yang bentuknya aneh, air terjun yang indah dan solokan-solokan yang airnya jernih dan dingin. Gobie disebut sebagai salah satu “Keindahan dalam dunia” dan julukan itu sungguh bukan pujian belaka. Berada di tempat yang pemandangannya seindah itu, hati Keng Thian yang pepat menjadi lapang. Di sepanjang jalan, sering mereka bertemu dengan kelompok- kelompok orang yang sedang mendaki gunung untuk menghadiri Kiatyan. Semenjak kecil, Keng Thian berdiam di Thiansan yang jauh dan belum pernah mengunjungi wilayah Tionggoan, sedang Siauw Tjeng Hong hidup bersembunyi di Tibet untuk belasan tahun lamanya dan sekarang, mukanya sudah banyak berubah. Maka itu, tidak mengherankan jika orang-orang Rimba Persilatan itu, tak satu pun yang mengenali mereka. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, kira-kira tengah hari, Keng Thian bertiga sudah tiba di Puncak Emas. Dari tempat yang tertinggi itu, jika orang memandang keempat penjuru, ia akan melihat puncak-puncak di sebelah bawah yang bersusun tindih dan lautan awan putih yang tiada batasnya. Kimkong sie yang berdiri tegak di puncak itu, seakan-akan diselimuti awan tersebut. Begitu Keng Thian dan suami isteri Siauw Tjeng Hong masuk ke dalam kuil, mereka disambut oleh paderi yang bertugas. “Apakah Moh Tyahiap baik?” tanya Keng Thian. “Tolong kau memberitahukan bahwa keponakannya mohon bertemu dengan beliau.” Si paderi merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: “Sudah tiga hari Moh Tayhiap bersemedhi, aku tak berani mengganggu ia. Kalian tak usah memakai banyak peradatan, besok kalian akan dapat bertemu dengan beliau.” Paderi itu yang tidak mengetahui asal-usul mereka, sudah menganggap mereka sebagai orang-orang biasa yang ingin menghadiri Kiatyan. Harus diketahui, bahwa karena kedudukannya yang sangat tinggi, di antara orang-orang yang berkunjung sebagian besar mengaku sebagai “keponakan” dan banyak juga yang ingin sekali dapat bertemu dengan Moh Tjoan Seng pribadi, sehingga, jika diladeni, orang tua itu akan menjadi repot sekali. Maka itu, benar Moh Tjoan Seng sedang bersemedhi atau tidak, si paderi tak akan dapat meluluskan permintaan Keng Thian. Sesudah mengantar tiga tamu itu kedua buah kamar yang sudah sedia, paderi itu segera berlalu untuk menyambut tamu-tamu lain. Moh Tjoan Seng adalah tetua Boetong pay dan orang yang paling banyak datang untuk menghadiri Kiatyan, adalah orang-orang partai tersebut. Entah dari mana, mereka juga rupanya sudah mengendus, bahwa Kiatyan kali ini bakal dikacau orang. Dalam kelompok-kelompok, mereka kasak-kusuk, masing-masing mengutarakan pendapat-nya. Ada yang gusar, ada yang menganggap Boetong pay akan malu besar jika Moh Tjoan Seng sampai mesti turun tangan sendiri, ada yang tidak percaya dan sebagainya. Mendengar itu, Keng Thian merasa geli bercampur kuatir. Malam itu ia tak dapat pulas. Sesudah berlatih lweekang kurang lebih sejam, kira-kira tengah malam, ia menolak jendela dan melongok keluar. Sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tiba-tiba, di sebelah jauh, di antara puncak-puncak gunung, muncul titik-titik sinar api, seperti kunang-kunang, dari sedikit semakin lama menjadi semakin banyak, perlahan-lahan mumbul ke atas dan bergoyang-goyang kian kemari, seolah-olah ingin bersaing dengan bintang-bintang di langit. Itulah pemandangan istimewa di gunung Gobie san yang oleh kaum Budhis dinamakan “Sengteng” (Pelita Nabi). Pada malam-malam terang bulan, jika udara bersih, titik-titik sinar api itu muncul, semakin lama semakin banyak, seperti juga api ribuan pelita yang terombang-ambing di tengah udara. Itulah sebabnya mengapa sinar-sinar itu dinamakan “Sengteng”. Tapi sebenar-benarnya sinar-sinar tersebut muncul karena fosfor yang banyak sekali terdapat di gunung Gobie san. Kuil Kimkong sie mempunyai peraturan yang dipegang keras. Pada waktu itu, jumlah paderi dan tamu yang bernaung dalam kuil tersebut, sedikitnya ada beberapa ratus orang, tapi keadaan di sekelilingnya sunyi senyap dan tidur orang tidak terganggu suara apa-pun juga. Dengan hati yang tidak keruan rasanya, Keng Thian mengawasi pemandangan malam yang indah itu. “Tempat ini tenang dan damai,” katanya didalam hati. “Sungguh sayang jika kelak benar-benar dikacau orang.” Tiba-tiba ia ingat akan Hongsek Toodjin. Ia tak tahu, apakah benar imam itu si orang aneh dari Khongtong pay yang telah disebutkan Siauw Tjeng Hong. Jika benar dia, ia merasa tidak ungkulan untuk melayani musuh itu seorang diri. Sesaat kemudian, ia ingat kepada Pengtjoan Thianlie. Jika si nona berada disitu dan bersama-sama melayani musuh, ia tak akan merasa keder lagi terhadap si Toosoe atau orang lain yang berkepandaian lebih tinggi dari Hongsek Toodjin. Engingat Peng Go, tanpa merasa ia teringat pula kepada “Si pengemis Kusta” yang terus mengikuti si nona dari belakang. Kenapa Pengtjoan Thianlie sudi berkawan dengan orang itu? Benar-benar ia tak mengerti. Semakin berpikir, hatinya semakin pepat. Perlahan-lahan ia memakai jubah panjangnya dan pergi ke kamar sebelah dengan niatan bercakap-cakap dengan suami isteri Siauw Tjeng Hong. Tapi tak dinyana, mereka berdua tidak berada dalam kamar. Seperti Keng Thian, malam itu Siauw Tjeng Hong juga tak dapat pulas. Inilah untuk kedua kalinya ia menghadiri Kiatyan. Ia ingat, dulu, ketika datang untuk pertama kalinya, Tjia In Tjin telah mengadu pedang dengan Loei Tjin Tjoe dan ia sendiri, tanpa sebab tanpa lantaran, sudah terseret masuk ke dalam peristiwa itu dan jadi bermusuh hebat dengan Loei Tjin Tjoe, sehingga ia mesti kabur ke Tibet dan hampir-hampir tak bisa pulang lagi ke kampung halamannya. Ia menghitung-hitung, dari tempo itu sampai sekarang, sudah berselang dua puluh tahun. Untung juga, pada tahun yang lalu, ketika mendaki Puncak Es, permusuhan dengan Loei Tjin Tjoe dapat dibereskan dan ia bisa pulang ke kampungnya, akan kemudian menikah dengan Gouw Tjiang Sian. Bahwa sekarang ia bisa berada pula di Gobie san dan akan turut pula dalam pertemuan Kiatyan,sudah sangat mengharukan hatinya. Sebagai isteri, Gouw Tjiang Sian mengetahui apa yang sedang dipikir suaminya dan di waktu gembira, ia segera mengajak suaminya pergi ke tempat dimana dulu mereka bertempur. Malam ini adalah sama dengan malam pada dua puluh tahun berselang, yaitu malaman Kiatyan. Tapi beda dengan dulu, malam ini terang cemerlang disinari sang bulan, dengan udaranya yang sangat bersih dan dengan “Sengteng” yang luar biasa. Di bawah sinar terang laksana perak, segala apa dalam jarak setengah li, dapat dilihat tegas sekali. Siauw Tjeng Hong menunjuk tempat dimana dulu terjadi pertempuran dan sekali lagi menuturkan segala kejadian itu. Peristiwa itu sudah terjadi lama sekali, akan tetapi, pada saat itu, dalam suasana yang sedemikian, Siauw Tjeng Hong merasa seakan-akan segala sesuatu itu baru saja terjadi kemarin. Gouw Tjiang San tertawa dan berkata: “Tak tahu dimana adanya Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin sekarang ini. Apakah kau masih ingat kepadanya?” “Tjia In Tjin mempunyai tangan yang telengas,” kata sang suami. “Tapi, biar bagaimanapun juga, ia adalah seorang yang mencinta sahabat. Terhadap sahabat begitu, siapapun tak akan dapat melupakannya. Di samping itu, aku juga merasa sangat berterima kasih terhadapnya. Ia mengenal kau lebih dari aku.” “Kenapa begitu?” tanya Gouw Tjiang Sian. Ia pernah mengatakan, bahwa kau adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya,” Tjeng Hong menerangkan. “Sekarang, aku juga mengetahui, bahwa kau adalah seorang isteri yang sangat bijaksana. Sungguh sayang, aku adalah manusia goblok. Jika pada dua puluh tahun berselang, aku sudah mengetahui perasaan cintamu, mungkin sekali aku tak usah menderita sepuluh tahun di Tibet.” Siauw Tjeng Hong mengucapkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan dengan hati yang penuh kecintaan, sehingga si isteri merasa beruntung bercampur terharu. “Aku sungguh ingin bertemu muka dengan Tjia In Tjin,” kata Gouw Tjiang Sian sembari mesem. “Tak tahu, apakah ia dan Thiekoay sian sekarang masih berada di Tibet,” kata sang suami. “Memang tak gampang orang dapat menemui mereka.” Selagi mereka berbicara, di tempat agak jauh, di antara daun-daun pohon kembang, tiba-tiba muncul muka seorang wanita. Ketika wanita itu memutarkan badan, baru kelihatan bahwa di punggungnya menggemblok seorang bayi, yang mungkin karena terpukul cabang, mendadak sadar dari tidurnya dan segera menangis. Hampir berbareng dengan itu, Siauw Tjeng Hong mengeluarkan teriakan tertahan. Kedua matanya terbuka lebar sambil mengawasi wanita itu dengan mata mendelong. “Siapa?” tanya Gouw Tjiang Sian. “Tjia In Tjin!” jawabnya dengan suara di tenggorokan. Saat itu, hampir-hampir Siauw Tjeng Hong tidak percaya matanya sendiri. Tapi, sebelum mereka dapat bergerak atau memanggil, kesunyian sang malam sekonyongkonyong dipecahkan oleh bentakan: “Perempuan siluman! Kau masih mempunyai nyali untuk datang pula di Gobie san?” “Ha!” bentak seorang lain. “Kau kira kami tidak mengenali kau? Lagi dua puluh tahun, biar kau sudah mampus menjadi abu, kami toh masih mengenali kau!” “Kami ingin berkenalan dengan cara-cara Tokbeng Siantjoe membetot jiwa manusia,” kata orang ketiga dengan suara mengejek. (Tokbeng Siantjoe berarti Dewi Pembetot Jiwa) Di lain saat muncul empat imam yang mengenakan pakaian hitam dan masing-masing mencekal pedang. Mereka mengambil kedudukan di timur, selatan, barat dan utara dan mengurung Tjia In Tjin dalam jarak sepuluh tombak. Siauw Tjeng Hong menghela napas mengingat sakit hati manusia yang begitu berlarut. Tak bisa salah lagi, beberapa Toosoe itu sekarang ingin membalas sakit hati Loei Tjin Tjoe yang didendam selama dua puluh tahun. Tapi mereka mungkin tidak mengetahui, bahwa pada waktu itu, dengan segala kesombongannya, Loei Tjin Tjoe telah memasang jebakan untuk mencelakakan orang. Sebenarnya Siauw Tjeng Hong ingin segera tampil ke muka untuk membujuk. Tapi mengingat, bahwa dalam peristiwa dulu, ia adalah salah seorang yang turut tersangkut dan kalau sekarang ia muncul besar sekali kemungkinannya ia akan terseret pula. Mengingat itu, ia lantas saja mengurungkan niatannya dan mengambil keputusan untuk melihat dulu bagaimana tindakan Tjia In Tjin. Ia segera menarik tangan isterinya dan mereka berdua bersembunyi di belakang sebuah pohon besar. Jika menuruti adatnya di waktu muda, siang-siang Tjia In Tjin sudah menghunus pedangnya. Akan tetapi, sesudah berkelana dua puluh tahun dalam dunia Kangouw dan mendapat berbagai pengalaman, “hawa apinya” sudah berkurang banyak. Ia menepuk-nepuk bayinya dan berkata dengan suara tawar: “Moh Tayhiap telah meminjam Gobie san untuk mengadakan Kiatyan. Orangorang dari berbagai cabang persilatan semua diterima dengan tangan terbuka. Aku adalah anggauta dari Gobie pay. Mengapa aku tak boleh datang kemari?” “Moh Tayhiap adalah tetua Boetong pay kami,” kata si imam yang berdiri di timur. “Kau sudah melukakan Toasoeheng Loei Tjin Tjoe, sehingga tak ketahuan dimana ia berada sekarang. Apakah kau masih mempunyai muka untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap?” Toosoe yang berdiri di sebelah barat tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek: “Loei Tjin Tjoe telah roboh dalam tangan jahatmu. Apakah kau yang berkepandaian begitu tinggi, sekarang ingin belajar dari Boetong pay yang ilmunya begitu cetek?” Lagi-lagi Siauw Tjeng Hong menghela napas. Ia ingat bahwa sebagai partai, Boetong pay mengalami jaman makmur pada masa kerajaan Beng. Sesudah itu, Boetong pay mulai merojan. Belakangan, yaitu seratus tahun lebih yang lampau, Koei Tiong Beng telah mendapatkan Tatmo Kiamhoat yang asli. Semenjak itu, Boetong pay kembali naik namanya. Sekarang, walaupun putera Koei Tiong Beng, yaitu Moh Tjoan Seng, memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan cukup syaratsyaratnya untuk meneruskan pekerjaan ayahnya, tapi ia adalah seorang yang sungkan pusing dan tak sudi mengurus segala soal-soal yang dianggap remeh. Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay adalah seorang yang berilmu tinggi, tapi agak tolol, sehingga murid-murid Butong tidak terlalu mengindahkan kepadanya. Demikianlah, seperti seratus tahun lebih yang lalu, keadaan Boetong pay kembali merosot. Nama Boetong pay masih kesohor sebagai suatu partai besar, tapi sedalam-dalamnya, orang yang benar-benar berisi, jumlahnya sedikit sekali. Yang banyak adalah orang-orang sombong. Mendengar disebutkannya nama Loei Tjin Tjoe, Tjia In Tjin mesem dan berkata: “Biarpun mendapat luka sedikit, Loei Tjin Tjoe sudah mendapat keuntungan yang sangat besar.” Keempat Toosoe itu lantas saja menjadi gusar. “Perempuan siluman!” bentak seorang antaranya. “Sudah melukakan orang, masih kau mengeluarkan perkataan merdu.” Tjia In Tjin tadinya berniat untuk menceritakan segala kejadian di Puncak Es, tapi melihat lagak beberapa imam itu, ia sengaja mengurungkan niatannya. Ia mendongak dan berkata sembari menarik napas panjang: “Sungguh sayang! Sungguh sayang!” “Sayang apa?” empat Toosoe membentak dengan serentak. Tjia In Tjin tak menyahut, tangannya kembali menepuk-nepuk bayinya. “Anak, jangan takut,” katanya. “Ini beberapa hidung kerbau boleh kau pandang sepi saja.” Kecil-kecil bayi itu sudah mengunjukkan sifat-sifatnya yang mengherankan. Tadi, lantaran kesampok cabang pohon, ia menangis keras. Tapi sekarang, melihat empat Toosoe itu yang mencekal pedang mengkilap, ia berbalik seperti orang kegirangan. Sembari mengeluarkan kedua tangannya yang kecil montok, ia tertawa lebar. “Sungguh sayang,” kata pula Tjia In Tjin. “Moh Tayhiap adalah guru besar dari satu jaman dan tetua dari sebuah partai besar. Beliau dihormati oleh semua orang dari Rimba Persilatan dan diakui sebagai pemimpin utama. Tapi kamu? Kamu sendiri hanya menganggap beliau sebagai seorang Tiangloo (paderi yang memimpin kuil) dari Boetong pay. Dengan begitu, bukankah kamu sangat merugikan keangkeran beliau? Ah! Sungguh aku merasa sangat sayang, bahwa Boetong pay sudah mempunyai murid-murid yang segoblok kamu!” Keempat Toosoe itu adalah murid-murid Boetong pay yang mendapat didikan langsung dari adik Moh Tjoan Seng, yaitu Tjio Kong Seng, yang sudah meninggal dunia beberapa belas tahun yang lalu, dan mereka mempunyai kedudukan yang agak tinggi di dalam partai. Dimaki secara begitu oleh Tjia ln Tjin, tentu saja mereka menjadi gusar sekali. “Tjia In Tjin!” bentak Toosoe yang berdiri di sebelah barat sambil mengebaskan pedangnya. “Lepaskan anakmu! Kami ingin belajar kenal dengan Tokbeng Kiamhoat!’ Tjia In Tjin tetap bersikap acuh tak acuh. “Hm!” ia menggerendeng. “Besok Boetong pay bakal mengalami peristiwa berdarah, tapi kamu masih tidak kenal takut dan masih ingin menyukarkan aku. Sungguh membikin orang tertawa!” Siauw Tjeng Hong terkejut. Ternyata Tjia In Tjin juga sudah mendapat endusan dan perkataannya dikeluarkan secara begitu meyakinkan. Apakah ia mempunyai pengetahuan yang lebih jelas mengenai mara bahaya yang mengancam? Beberapa Toosoe itu yang biasanya sombong, selalu menganggap bahwa di dalam dunia ini tak ada manusia yang berani membentur partainya. Maka itu, mendengar peringatan nyonya tersebut, sebaliknya dari berterima kasih, mereka jadi semakin gusar. “Mungkin sekali kaulah yang bersekutu dengan kaum siluman untuk mengacau,” maki imam yang berdiri di timur. “Lepaskan anakmu! Sambutlah pedang tuanmu!” Mendengar bentakan keras, bayi itu yang sedang tertawa-tawa, menjadi kaget dan menangis. “Aku sebenarnya sungkan meladeni kamu,” kata Tjia In Tjin dengan paras muka berubah. “Tapi karena kau, hidung kerbau, sudah membikin nangisnya anakku, aku tak dapat mengampuni lagi!” Sebelum si Toosoe sempat membuka suara, sebuah sinar hijau sudah berkelebat. Semenjak dulu, Tjia In Tjin kesohor cepat gerakannya. Begitu terhunus, pedang itu tahu-tahu sudah menyambar ke tenggorokan si imam yang dengan hati terkesiap, sedapat mungkin coba menangkis. Dengan berbunyi “trang!”, pedang Toosoe itu kutung menjadi dua. Sekali lagi pedang berkelebat dan konde si imam terpapas separoh! Memang begitulah Kiamhoat Tjia In Tjin. Sekali menghunus pedang, tak main sungkan-sungkan lagi. Muka Toosoe itu menjadi pucat pias dan ia segera loncat mundur sejauh mungkin. Bayi Tjia In Tjin mendadak berhenti mengangis dan kembali tertawa-tawa sambil mengeluarkan suaranya yang tidak tegas, seolah-olah ia mengetahui kemenangan ibunya. Siauw Tjeng Hong yang menonton dari jauh, jadi merasa geli. “Ah! Bayi itu sungguh-sungguh anak Thiekoay sian dan Tjia In Tjin,” katanya di dalam hati. Tiga Toosoe lainnya gusar bukan main. Tanpa memperdulikan lagi bayi yang sedang digendong, mereka membentak dan terus saja menyerang. Beberapa saat kemudian, sesudah dapat menenteramkan jantungnya yang bergoncang keras, Toosoe yang barusan dihajar juga lantas menerjang dengan pedang kutungnya. “Berikan dua tanda di badan perempuan siluman itu!” ia berteriak. “Tapi hati-hati! Jangan melukakan anak yang tidak berdosa itu.” Empat Toosoe itu lantas saja mengurung dengan Soesiang Kiamtin (Barisan Pedang Empat Gaya) yang kepala buntutnya bergandengan satu dengan yang lain dan perlahan-lahan mereka mendekati Tjia In Tjin. Soesiang Kiamtin adalah salah satu barisan pedang dari Boetong pay. Cara mengurungnya barisan itu rapat bukan main dan kecuali, jika seorang dua orang pengepung dibinasakan, orang yang dikepung tak akan gampang-gampang dapat meloloskan diri. Pada mulut Tjia In Tjin tetap tersungging meseman tawar. Dengan keras ia mengebaskan pedangnya sehingga mengeluarkan suara “ung, ung”, siap sedia untuk membinasakan. “Celaka!” Siauw Tjeng Hong mengeluarkan seruan tertahan. Baru saja ia ingin loncat keluar untuk mendamaikan, tiba-tiba dari tanjakan gunung berkelebat bayangan manusia yang gerakannya luar biasa cepatnya dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa aneh. Dalam sekejap, orang itu sudah tiba di dekat gelanggang pertempuran. Hampir berbareng empat Toosoe itu berteriak: “Aya!” dan serentak loncat keluar gelanggang. “Toasoeheng!” mereka berseru. Siauw Tjeng Hong mengenali, orang itu benar Loei Tjin Tjoe adanya. Bajunya, di bagian atas, penuh darah, seperti baru saja bertempur dengan musuh. Ia berlompat-lompat dan membentak: “Hian Boe! Hian Ham, bikin apa kamu! Hi-hi. Lekas berhenti! Hi-hi.” Ia berpaling kepada Tjia In Tjin dan berkata pula: “Tjia Toatjie, kau juga datang? Hi-hi!” Perkataan-perkataannya itu, yang diseling dengan tertawa aneh, membikin ia jadi kelihatan lucu sekali. Di samping itu, tak hentinya ia melompat-lompat, seperti juga tak tahan merasakan kesakitan atau kegatalan. Loei Tjin Tjoe adalah murid kepala dari turunan kedua partai Boetong pay, sehingga, kecuali Tjiangboendjin, ialah yang paling tinggi kedudukannya. Maka itu, walaupun geli melihat lagaknya yang aneh, empat Toosoe itu tidak berani tertawa. “Loei Tjin Tjoe, kenapa kau?” tanya Tjia In Tjin sembari tertawa. “Kenapa kau bertempur dengan mereka?” Loei Tjin Tjoe balas menanya. “Hi-hi! Biar mereka berdosa, kau harus pandang juga mukaku. Hi-hi!” Tjia In Tjin yang barusan merasa geli, sekarang mengetahui, bahwa Loei Tjin Tjoe telah menemui kejadian luar biasa. “Mereka mengatakan, aku sudah mendesak kau, sehingga kau tak ketahuan kemana perginya,” Tjia In Tjin menerangkan. “Mereka mau juga bertempur denganku. Bagus juga kau keburu datang. Jika tidak, jiwa Tokbeng Siantjoe berbalik lebih dulu dibetot oleh murid-murid Boetong.” “Dua puluh tahun yang lalu, dia menghina kau,” kata seorang Toosoe. “Sekarang dia menghina kami. Toasoeheng, tak dapat kita melepaskan dia.” “Dan juga,” sambung imam yang lain. “Dia mengatakan, besok partai kita akan mengalami peristiwa berdarah. Hm! Toasoeheng, apa boleh manusia itu dibiarkan mengaco belo?” Mendadak, Loei Tjin Tjoe meloncat beberapa tombak tingginya. “Benar!” ia berteriak. “Besok bakal ada mara bahaya! Hi-hi! Kamu benar-benar sudah membikin malu Boetong pay. Hi-hi!” Selagi badannya melayang turun, bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menggaplok empat Toosoe itu yang lantas saja terguling sembari berkaok-kaok. Di lain saat, ia juga roboh di atas tanah dengan mulut mengeluarkan rintihan aneh dan badannya dingin bagaikan es. Bukan main kagetnya keempat Toosoe itu, yang segera memeriksa keadaan kakak seperguruan itu. Napas Loei Tjin Tjoe masih berjalan sebagaimana biasa dan nadinya pun tidak berubah, tapi ia tak dapat berbicara lagi. “Buka bajunya,” Tjia In Tjin memerintah dengan suara dingin. “Mungkin sekali jalan darahnya kena ditotok.” Begitu baju Loei Tjin Tjoe dibuka, semua orang mengeluarkan teriakan kaget. Dengan bantuan sinar rembulan, dapat dilihat, bahwa pada pundak Loei Tjin Tjoe terdapat bekas tapak tangan yang berwarna merah darah dan di lain bagian terdapat tiga tanda totokan pada jalan darah Mahiat (jalan darah yang membikin orang merasa kesemutan), Yangyang hiat (jalan darah yang menimbulkan rasa gatal) dan Siauwyauw hiat (jalan darah yang menimbulkan tertawa). Empat Toosoe itu saling mengawasi dengan muka pucat. Mereka heran berbareng takut. Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang sangat terpandang dalam Boetong pay dan sekarang, ia sudah kena dilukakan secara begitu menyedihkan. Mengingat perkataan Tjia In Tjin dan kakak seperguruannya, mereka bergidik. Jika begitu, mungkin sekali besok akan terjadi peristiwa berdarah. Meskipun Tjia In Tjin berkepandaian banyak lebih tinggi dari empat Toosoe itu, tapi sesudah melihat luka Loei Tjin Tjoe dan tiga totokan jalan darah itu, ia juga tak dapat mengetahui tangan orang partai mana yang begitu beracun. Tersipu-sipu empat Toosoe itu mengurut badan kakak seperguruannya untuk coba membuka jalan darah yang kena ditotok. Tapi keadaan Loei Tjin Tjoe menjadi semakin hebat. Rintihannya jadi semakin keras dan keringat dingin membasahi seluruh badannya. “Sudahlah, kamu jangan mengurut sembarangan,” kata Tjia In Tjin. “Jika kamu bisa menolong, apakah soeheng-mu tak dapat membuka sendiri jalan darahnya?” Disemprot begitu, mereka yang sedang kebingungan, lantas saja naik darah. “Kalau kami tak mampu, apakah kau mampu?” tanya seorang antaranya dengan aseran. Tjia In Tjin yang sebenarnya bermaksud baik, jadi mendongkol. Tapi, sebelum ia membalas menyemprot, di sebelah belakang mendadak terdengar suara tertawa. “Ia dijuluki Tokbeng Siantjoe, si Dewi Pembetot Jiwa, bukan Kioebeng Siantjoe (Dewi Penolong Jiwa),” kata seorang. Dengan serentak empat imam itu memutarkan badan dan di hadapan mereka berdiri seorang pemuda baju putih, yang tak ketahuan kapan datangnya. Tjia In Tjin segera mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang pernah naik ke Puncak Es dan mengadu pedang dengan Pengtjoan Thianlie. Ia menjadi girang bukan main dan berkata sembari tertawa: “Dewa penolong jiwa sudah datang! Hei, kawanan hidung kerbau! Lekas berlutut untuk memohon pertolongan!” Melihat usia Keng Thian yang masih begitu muda, tentu saja mereka tak mau percaya perkataan Tjia In Tjin yang dianggap hanya ingin mengejek. Mereka sudah lantas ingin mengumbar kegusaran mereka, tapi Keng Thian keburu berkata: “Baiklah, aku mencoba-coba. Tjia Liehiap, dua kawan lama sedang menunggu kau!” Sedari tadi Tjia In Tjin memang mengetahui, bahwa suami isteri Siauw Tjeng Hong bersembunyi di belakang pohon. Sesudah Keng Thian menyanggupi untuk mengobati Loei Tjin Tjoe, lantas saja ia berlalu. Tong Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa luka Loei Tjin Tjoe berhawa sangat panas dan berbau daging dibakar. Ia terkejut, sebab tak bisa salah lagi, itulah akibat tangan Hiatsintjoe. Tapi ia juga mengetahui, bahwa Hiatsintjoe hanya memukul dengan sebagian kecil tenaganya untuk memberi “tanda” dan bukan untuk membinasakan. Waktu memeriksa totokan jalan darah, ia menjadi heran sekali, sebab totokan itu bukan totokan yang biasa digunakan oleh ahli-ahli silat wilayah Tionggoan. Sesudah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat kepada seorang. “Apakah tak mungkin dia yang datang!” katanya di dalam hati. Buru-buru Keng Thian mengeluarkan Pekleng tan yang lalu dikunyah dan kemudian ditempelkan pada luka itu. Beberapa saat kemudian, Loei Tjin Tjoe sadar dari pingsannya dan sesudah membalikkan badan, ia bangun berduduk dan mengawasi Tong Keng Thian. Lantas saja ia mengenali, bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah merobohkan tiga belas jago Khongtong pay itu dengan sekaligus. Walaupun tak mengetahui nama Keng Thian, ia yakin bahwa pemuda itu adalah murid Thiansan pay. “Hian Boe! Hian Ham!” ia berseru. “Lekas berlutut! Hi-hi!’ “Tak usah banyak peradatan,” kata Keng Thian yang segera memberikan sebutir Pekleng tan kepadanya untuk ditelan. “Kau ketemu siapa?” tanya Keng Thian. “Lebih dulu seorang kusta,” jawabnya. “Hi-hi! Belakangan seorang siluman tua yang rambutnya awut-awutan. Hi-hi!” Dugaan Keng Thian ternyata tidak meleset. Kedua orang itu ternyata benar Kim Sie Ie dan Hiatsintjoe adanya. Tapi kenapa mereka bisa berada bersama-sama? “Bermula si penderita kusta menyerang aku,” kata pula Loei Tjin Tjoe. “Belakangan ia menolong aku. Hi-hi!” Sesudah diobati dengan Pekleng tan, rasa sakit dan panas sudah banyak mendingan, tapi jalan darahnya belum dibuka, sehingga Loei Tjin Tjoe masih terus mengeluarkan tertawa aneh. Keng Thian yang pernah bergebrak beberapa kali dengan Kim Sie Ie dan sudah mengenal ilmu totokannya, buru-buru mengurut bagian badan Loei Tjin Tjoe yang perlu, untuk membuka tiga jalan darah yang tertutup itu. Dilihat dari bekas-bekasnya, totokan itu dikirim dengan gunakan tongkat besi dan biarpun cukup keras, sama sekali tidak merusak urat. Dilihat begitu, Kim Sie Ie rupanya hanya ingin guyon-guyon dan bukan mau mencelakakan orang. Meskipun tidak ditolong, jalan darah itu akan terbuka dengan sendirinya, tapi harus menunggu dua puluh empat jam. Begitu jalan darahnya terbuka, rasa kesemutan dan geli segera menjadi lenyap. Untuk beberapa lama, Loei Tjin Tjoe duduk mengasoh dengan napas tersengal-sengal. “Cara bagaimana, si kusta lebih dulu menyerang dan kemudian menolong kau?” tanya Keng Thian. “Untuk menghadiri Kiatyan, terburu-buru aku datang kemari,” Loei Tjin Tjoe menerangkan. “Di mulut gunung, aku bertemu dengan seorang yang menderita penyakit kusta. Aku berpikir, peraturan kita begitu keras, kenapa si kusta dibiarkan datang mengganggu? Maka itu, aku segera coba mengusir dia. Ia menanyakan namaku. Aku memberitahukan sebenarnya dan menambahkan bahwa masih untung dia bertemu aku. Jika dia bertemu Soetee-ku, bisa-bisa jiwanya melayang. Sesudah itu, aku memberikan beberapa tail perak kepadanya dan suruh dia lekas-lekas pergi. Tak dinyana, mendadak dia tertawa besar. Katanya: ‘Kalau begitu kau Loei Tjin Tjoe? Kudengar, di antara turunan kedua dari Boetong pay, kaulah yang berkepandaian paling tinggi.” Begitu katanya. Aku heran, bagaimana ia mengetahui namaku. Di luar dugaan, sedang ia belum habis tertawa, tongkatnya menyambar dan berhasil menotok jalan darahku beberapa kali. Aku tak dapat mempertahankan diri lagi, lantas saja aku melompat-lompat dan tertawa seperti orang gila. Dengan gusar aku mengambil putusan untuk bertarung mati-matian dengan ia. Tapi dalam sekejap, ia sudah menghilang, entah kemana!” Mendengar penuturan Soeheng-nya, empat Toosoe itu menjadi tercengang. Dalam Boetong pay, Loei Tjin Tjoe mempunyai kepandaian tinggi dan bahwa ia sudah kena diserang beberapa kali tanpa mampu membalas, merupakan satu bukti dari hebatnya ilmu si pengemis kusta. Keng Thian merasa geli dan berkata dalam hatinya: “Kau tentu saja tak mengetahui, bahwa Kim Sie Ie memang paling senang mengganggu orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan. Jika kau tidak memberitahukan namamu, kau tentu tidak akan mendapat gangguan suatu apa. Tapi disurung kesombonganmu, kau sudah menonjolkan namamu yang dianggap besar. Dengan begitu, sekalipun kau tidak mengusir-usir dia, kau tak akan bisa luput dari guyonannya.” Sesudah mengasoh beberapa saat, Loei Tjin Tjoe segera melanjutkan penuturannya: “Sesudah kena dipermainkan, sudah tentu aku menjadi gusar bukan main. Tak terduga, baru saja berjalan beberapa tindak, aku bertemu dengan manusia aneh yang rambutnya awut-awutan seperti rumput. Dia ternyata mengenal diriku, sebab, begitu membuka mulut, dia berkata: ‘Loei Tjin Tjoe, kenapa kau tertawa begitu enak?’ “Bukan urusanmu!” aku membentak dengan aseran. Orang aneh itu mendelik dan berkata: ‘Baiklah. Sekarang aku ingin memberi tanda di badanmu, supaya kau dapat melaporkan kepada Moh Tjoan Seng.’ Dengan cepat aku menghunus pedang, tapi pada saat itu juga, aku merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas. Hampir berbareng, kupingku mendengar suara menyeramkan dan si kusta kembali muncul. ‘Siluman tua!’ ia membentak. ‘Mengertikah kau peraturan Kangouw? Kenapa kau campur-campur jual beliku?’ Si orang aneh lantas saja loncat menyingkir, tapi tangannya yang menyambar luar biasa cepat, sudah menowel pundakku.” Sekarang Keng Thian mengetahui, bahwa Hiatsintjoe bukan berbelas kasihan, tapi oleh karena merasa jeri terhadap senjata rahasia Kim Sie le, ia tidak keburu menurunkan tangan yang lebih berat. Dengan pertolongan Thiansan Soatlian, racun panas yang mengeram dalam badan Loei Tjin Tjoe sudah dapat diredakan, tapi luka di dalam belum menjadi sembuh. Sesudah bicara banyak, ia kelihatan lelah dan napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, beberapa murid Boetong yang mendapat warta, sudah datang untuk memberi pertolongan. “Loei-heng,” kata Keng Thian. “Pergilah ke kuil untuk mengasoh. Dengan menggunakan obat biasa, dalam tiga hari, kesehatanmu akan pulih seperti sediakala.” Dua kali Loei Tjin Tjoe pernah bertemu dengan Tong Keng Thian, tapi ia belum mengetahui nama pemuda itu. Tapi, baru saja ia ingin menanyakan, dengan sekali berkelebat, badan si pemuda sudah melesat melewati pohon-pohon dan di lain saat, sudah tak kelihatan lagi bayangbayangannya. Empat Toosoe yang tadi mau mengepung Tjia In Tjin, saling mengawasi dengan mulut ternganga. Sekarang mereka mengerti, bahwa di luar langit masih ada langit. Keng Thian pergi tersipu-sipu oleh karena mengingat Pengtjoan Thianlie. Ia memang sudah” menduga, bahwa Kim Sie Ie akan datang di tempat Moh Tjoan Seng. Sekarang, sesudah dugaan itu merupakan kenyataan, hatinya berdebar-debar. “Dia tentu datang bersama-sama Peng Go,” pikirnya. “Peng Go adalah seorang yang suka akan kebersihan. Ia sebenarnya adalah pemuda cakap. Tapi kenapa ia muncul pula sebagai penderita kusta? Apakah ia tak kuatir Pengtjoan Thianlie merasa jijik?’ Ia menghela napas berulang-ulang. Memikirkan semua teka-teki itu, otaknya yang cerdas agaknya sudah tidak dapat bekerja sebagaimana biasa lagi. “Dengan berjalan bersama-sama, Kim Sie Ie tentu juga sudah mengetahui, bahwa Peng Go adalah keponakan Moh Tayhiap,” kata Keng Thian pula dalam hatinya. “Ia tentu tahu, Peng Go juga terhitung orang Boetong. Tapi, kenapa ia mempermainkan juga murid Boetong pay? Sekalipun adatnya aneh, tak boleh ia berlaku begitu keterlaluan. Apa ia tak takut kepada gusarnya Pengtjoan Thianlie?” Sembari jalan, otak Keng Thian bekerja terus. Berkata lagi ia dalam hatinya: “Sesudah tiba, kenapa Pengtjoan Thianlie tidak lantas menemui pamannya? Apakah ia sudah ketularan sifat-sifat Kim Sie Ie dan bermain-main dulu di dekat-dekat sini?” Semakin berpikir, otaknya semakin butak, sehingga akhir-akhirnya ia mengambil keputusan untuk tak tidur dan coba mencari Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie. Selagi berjalan dengan pikiran pepat, matanya tiba-tiba melihat dua orang wanita dan seorang pria sedang jalan berendeng di suatu tanjakan, di bawah pohon-pohon siong tua. Wanita yang berjalan di sebelah kanan, menggendong bayi dan ia itu bukan lain daripada Tjia In Tjin, sedang dua orang lainnya adalah suami isteri Siauw Tjeng Hong. Keng Thian sungkan mengganggu mereka, tapi sambil lalu, ia mendengar Tjia In Tjin berkata; “Tak salah! Yaitu orang yang berpenyakit kusta!” Hatinya melonjak dan ia menghentikan tindakannya secara mendadak, sehingga menerbitkan suara kresekan. Tjia In Tjin menengok dan menanya sembari tertawa: “Bagaimana? Apakah keadaan Loei Tjin Tjoe tidak berbahaya?” “Untung juga Hiatsintjoe tidak mengunakan seantero tenaganya,” jawab Keng Thian. “Sesudah menelan Pekleng tan, kurasa jiwanya tidak terancam lagi. Sebenarnya, ia harus berterima kasih kepada si kusta.” “Apa?” menegasi Tjia In Tjin. “Ah! Lagi-lagi si kusta!” Keng Thian lantas saja menceritakan apa yang didengarnya dari Loei Tjin Tjoe dan menambahkan: “Tangan Hiatsintjoe sangat beracun, tapi cara-cara si kusta yang aneh juga agak menakutkan. Baik juga aku mengenal ilmu totokannya. Jika tidak, Loei Tjin Tjoe harus tertawa dan melompat-lompat seperti orang gila dua puluh empat jam lagi. Sungguh sangat tak enak bagi Loei Tjin Tjoe yang terkenal sebagai murid utama dari turunan kedua partai Boetong pay.” Tjia In Tjin terkesiap. “Ah, untung aku ditolong oleh seorang berilmu,” katanya. “Kalau tidak, aku pun harus menjadi korban si kusta itu!’ “Kau juga bertemu dengan ia?” tanya Keng Thian. “Benar,” sahut Tjia In Tjin. “Selagi dia mau menimpuk jalan darahku dengan batu, seorang wanita muda yang tak mau menampakkan diri, sudah menggebah ia.” “Wanita mana yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?” tanya pula Keng Thian dengan penuh keheranan. “Apakah Pengtjoan Thianlie?”
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |