Kedua orang itu mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Berulang kali mereka meloncat setombak lebih dan memeluk salah sebuah pilar batu. Akan tetapi, oleh karena licinnya pilar tersebut, mereka selalu tidak berhasil memanjat ke atas. Dua kali, secara kebetulan mereka berhasil mendekati “Pintu Hidup,” tapi dua-dua kalinya, mereka dipukul mundur dengan timpukan batu yang tepat sekali. Keng Thian kaget. Ia menduga, bahwa dalam hutan batu itu mesti bersembunyi seorang yang berkepandaian tinggi. Lelaki dan perempuan itu agaknya juga. sudah mempunyai dugaan yang sama. “Memang tidak pantas sekali Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) sembarangan masuk disini,” seru yang lelaki. “Aku mohon majikan dari tempat ini sudi memaafkan.” Keng Thian terkejut, karena suara itu agaknya tidak asing baginya. Selagi mengingat-ingat, mendadak terdengar teriakan “Aya!” yang nyaring, seperti suara anak tanggung. Keng Thian jadi semakin heran. Sekonyong-konyong, dari belakang segundukan batu yang terletak beberapa tombak jauhnya dari tin itu, muncul seorang anak tanggung yang berusia kira-kira lima belas tahun. “Apa Siauw Loosoe?” seru anak itu. “Benar, aku Siauw Tjeng Hong,” sahut orang laki-laki itu dengan suara kegirangan. “Apakah kau Kang Lam?” Bukan main tercengangnya Keng Thian. Di Tibet, ia pernah bertemu sekali dengan Siauw Tjeng Hong. Waktu itu, Siauw Tjeng Hong berbadan kurus kering, mukanya pucat kuning dan sikapnya seperti seorang sasterawan tua. Tapi sekarang, walaupun tak dapat dilihat tegas, tapi dengan bantuan sinar rembulan, Keng Thian melihat ia sebagai seorang yang bersemangat dan berparas angker, sedang usianya seperti juga sepuluh tahun lebih muda daripada kira-kira setahun yang lampau. “Tak heran jika tadi aku tidak mengenali ia,” kata Keng Thian di dalam hatinya. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa perubahan itu sudah terjadi karena Siauw Tjeng Hong sudah makan buah Yoetam Sianhoa, hadiah Thiekoay sian. Sembari berlompat-lompatan dan tertawa-tawa di depan barisan batu itu, Kang Lam berkata: “Ah! Benar-benar Siauw Loosoe! Jika kau tidak bersuara lebih dulu, aku tentu tidak berani memanggil. Kenapa kau tidak bongkok lagi? Kerut-kerutan di atas mukamu juga tidak kelihatan lagi. Ha-ha! Siapa nyonya itu? Apa Siauw Soenio? Ah! Siauw Loosoe! Beruntung benar kau! Kang Lam harus memberi selamat dengan secangkir arak. Eh, Siauw Soenio! Apa Siauw Loosoe pernah menyebutkan namaku, si Kang Lam?’ Demikianlah Kang Lam yang sekali berbicara lantas saja seperti petasan disulut. Wanita itu tertawa seraya berkata: “Masakan ia tak pernah menyebutkan nama besar Kang Lam yang kesohor? Bukankah kau menjadi kacung Tan Kongtjoe yang paling suka bicara?” Lagi-lagi Keng Thian merasa heran. Dari mana kacung Thian Oe ini belajar silat? Dilihat dari gerak-gerakannya, ilmu anak itu berbeda dengan ilmu Thian Oe. “Eh,” kata Siauw Tjeng Hong. “Sekarang jangan membicarakan yang tak penting. Lebih dulu aku minta kau melepaskan kami.” “Mana aku mampu?” kata Kang Lam dengan suara jengkel. “Kenapa tidak bisa?” tanya pula Siauw Tjeng Hong. “Apakah kau sendiri tidak mengerti seluk-beluk barisan ini yang sangat aneh?” Kang Lam balas menanya. “Kenapa tadi kau menimpuk dengan batu?” tanya lagi Siauw Tjeng Hong. “Aku tak tahu, yang ditimpuk adalah kau,” sahutnya. “Oh, kalau lain orang, kau rasa boleh menimpuk sembarangan?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Kang Lam, kau tidak kecil lagi. Kenapa masih begitu nakal?” “Ada orang yang menyuruh aku berbuat begitu,” anak itu menerangkan. “Siapa?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Guruku,” jawabnya. “Eh, salah! Tua bangka itu yang memaksa aku mengangkat ia sebagai guruku.” “Tua bangka siapa?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Sudah berapa lama kau belajar silat? Mana Thian Oe? Ia memperlakukan kau sebagai saudara sendiri, kenapa kau mabur dengan diam-diam dan mengangkat orang lain sebagai gurumu? Sudah berapa lama kau kabur?” “Siapa kata aku mabur diam-diam?” teriak Kang Lam. “Dusta besar jika dikatakan aku kesudian mengangkat orang lain sebagai guru. Kongtjoe yang menyuruh aku. Kau tak tahu suatu apa, kenapa sudah mengatakan yang tidak-tidak?” Wanita itu tertawa dan berkata: “Dia tidak sabaran, kau pun begitu juga. Tjeng Hong! Kau harus menanya satu demi satu. Jika kau majukan pertanyaan seperti hujan, mana bisa mendapat jawaban beres.” “Benar,” kata Siauw Tjeng Hong sembari mesem. “Aku melupakan adat Kang Lam yang seperti api. Baiklah. Sekarang pertanyaan pertama: Kenapa Tan Kongtjoe menyuruh kau pergi ke lain tempat?” “Tan Kongtjoe?” kata Kang Lam. “Bukan! Looya (majikan tua) yang menyuruh aku mengantarkan sepucuk surat kepada Tjioe Taydjin. Surat apa? Tentu saja ia tidak memberitahukan. Ha! Tapi aku tahu. Tjioe Taydjin adalah besannya. Aku mendapat tahu dari seorang budak perempuan, Tjay Hong namanya. Dialah yang memberitahukan kepadaku. Aku malah tahu apa yang ditulis. Eh, Siauw Loosoe! Apakah kau tahu, kenapa aku diberi nama Kang Lam? Looya memberikan nama itu kepadaku lantaran ia selalu ingat akan kampung kelahirannya, di daerah Kanglam. Aku sendiri merasa betah hidup di Tibet, tapi Looya sangat tidak betah. Ia selalu ingin pulang ke kampungnya. Suatu malam, aku telah mencuri mendengarkan pembicaraan antara Looya dan Kongtjoe. Looya mengatakan, bahwa dengan menjadi utusan istimewa untuk menyambut guci emas, ia sudah berjasa besar, tapi sungguh sayang, Hok Taydjin-hm! Hok Kong An-tak sudi membantu ia. Sebaliknya, dia malah memerintahkan Looya kembali ke Sakya untuk menjabat pula pangkat Soanwiesoe.” “Oleh sebab itu, Looya segera mengambil keputusan untuk menulis surat kepada besannya, dengan pengharapan Tjioe Taydjin suka memberitahukan Hongsiang (kaisar) tentang jasa-jasanya dan memohon agar Hongsiang sudi membebaskan ia. Tapi, kata Looya, perjalanan begitu jauh, siapa yang dapat dipercayakan membawa surat itu? Ha! Siauw Loosoe. Coba tebak, siapa yang dipujikan oleh Siauwya (majikan muda)? Bukan lain daripada aku sendiri! Kata Siauwya: Orang yang paling tepat adalah Kang Lam. Nah, lihatlah! Semua orang mengatakan aku rewel, banyak mulut, tak mampu bekerja! Tapi, Siauwya? Siauwya memandang tinggi padaku! Maka itu, jika tadi aku mengatakan, bahwa aku disuruh oleh Siauwya, aku pun tidak bicara salah!” Begitulah keterangan Kang Lam yang panjang lebar dan banyak bumbunya. Mendengar itu, Keng Thian pun merasa geli dan berkata di dalam hatinya: “Tak salah jika orang mengatakan, Kang Lam suka benar bicara!” Siauw Tjeng Hong tertawa terbahak-bahak. “Siauwya sungguh memandang tinggi dirimu, sehingga ia sudah menurunkan ilmu silat kepadamu,” katanya. “Bukankah begitu?” “Benar, tepat sekali dugaanmu, jawabnya. “Pada musim semi tahun yang lalu, sesudah beberapa pencuri kuda itu membakar kantoran dan sesudah kau kabur, baru aku mengetahui, bahwa Siauw Loosoe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan bahwa Kongtjoe pun memiliki ilmu yang tidak rendah. Waktu itu, aku sudah lantas memohon supaya Kongtjoe sudi menurunkan ilmunya kepadaku. Tapi, oleh karena ingin menghindari kawin paksaan dan juga ingin mengantar kau, maka Kongtjoe tidak dapat meluluskan permintaanku. Belakangan, sesudah kembali dari Lhasa, baru ia mengajarkan aku beberapa macam ilmu silat yang kasar. Siauw Loosoe! Coba kau pikir: Jika aku tak mempunyai bekal, bagaimana Kongtjoe mau memujikan diriku untuk membawa surat yang begitu penting?” “Jika kau tahu pentingnya surat itu, kenapa juga kau main lambat-lambatan disini?” tanya Siauw Tjeng Hong lagi sembari menahan tertawa. “Dan kenapa kau membiarkan dirimu dijadikan murid tua bangka itu?” “Siapa mengatakan aku main lambat-lambatan disini?” teriak Kang Lam dengan suara mendongkol. “Pengalamanku tiada bedanya dengan kau, Siauw Loosoe! Aku lewat disini, hatiku heran, aku masuk untuk melihat-lihat. Dan kau tahu, seperti kau, begitu masuk aku tak bisa keluar.” Muka Siauw Tjeng Hong jadi berubah merah. “Baiklah,” katanya. “Aku tidak mempersalahkan kau. Tapi kemudian, bagaimana kau dapat keluar?” “Lama juga aku terkurung dalam barisan ini,” Kang Lam menerangkan. “Aku jalan terputarputar, perutku lapar dan aku mencaci maki sekeras-kerasnya. Ha! Baru aku memaki, sudah ada yang datang.” “Apakah tua bangka itu?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Tak salah,” sahutnya. “Selagi aku enak memaki, dengan sekali berkelebat, si tua yang mengenakan jubah pertapaan kuning, sudah berdiri di hadapanku. Tak tahu, dari mana datangnya. Katanya: Hei, anak muda! Kalau kau mau menjadi muridku, aku akan mengeluarkan kau dari tempat ini.” “Dan kau lantas menerima tawaran itu?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Menolak pun tak ada gunanya,” jawab si kacung. “Sehari suntuk aku sudah terkurung dalam barisan batu ini, lebih lama daripada kau. Apakah boleh tak usah makan? Biarpun hatiku tak kesudian, mulutku lantas saja menyanggupi. Si tua tertawa girang. Dengan menuntun tanganku, ia berjalan bulak-balik dan entah bagaimana, tahu-tahu aku sudah berada di luar. Kataku: Maaf, Lootjianpwee. Jika kau memerlukan murid, carilah saja yang lain. Aku sendiri perlu buru-buru meneruskan perjalanan. Tua bangka itu lantas saja berkata: Anak kecil! Kau sungguh tak tahu diri. Lain orang memohon-mohon berlutut di hadapanku tiga hari tiga malam, belum tentu aku sudi mengambil dia sebagai murid. Apakah kau tahu, kenapa aku mau menerima kau sebagai murid? Aku sudah bersumpah, bahwa sebelum mati, aku akan mengambil seorang murid untuk mewarisi Seantero kepandaianku. Tapi aku pun tak sudi keluar dari selat ini. Aku menunggu sampai orang datang. Asal dia belum berusia delapan belas tahun, aku akan mengambilnya sebagai murid. Bukankah kau beruntung sekali? Aku lantas menjawab, bahwa aku tak sudi menerima keberuntungan itu lalu memutarkan badan untuk berjalan pergi. Si tua bangka lantas saja berkata sembari tertawa: Biarpun mempunyai kepandaian seratus kali lipat lebih tinggi, kau tak akan bias kabur. Cobalah! Aku tak meladeni dan berjalan terus. Mendadak, kedua dengkulku kesemutan dan di luar keinginanku, aku jungkir balik tiga kali sampai berhadapan pula dengan si tua bangka. Begitu berhenti jumpalitan, rasa kesemutan di dengkulku lantas saja menjadi hilang. Si tua berkata lagi: Bocah! Jika kau mabur untuk kedua kalinya, seluruh badanmu akan kegatalan dan kesakitan tiga hari tiga malam lamanya. Kalau kau berani mabur untuk ketiga kali, akan kumampuskan kau! Suaranya tenang, agaknya jiwa manusia seperti jiwa kacoa di matanya. Sorot matanya sungguh hebat. Aku menjadi ketakutan. Aku memberitahukan kepadanya, bahwa Siauwya-ku menyuruh aku mengantarkan surat. Ia tidak meladeni dan kukuh pada kemauannya. Demikianlah, aku tak dapat berbuat lain daripada menerima nasib menjadi muridnya.” “Sudah berapa lama kau mengikuti dia?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Baru tujuh hari,” jawab Kang Lam sesudah menekuk jerijinya. “Dusta! Lagi-lagi kau membohong!” membentak Siauw Tjeng Hong. “Lagi kapan aku berdusta?’ tanya Kang Lam dengan suara keras. “Tujuh hari?” Siauw Tjeng Hong menegaskan dengan suara tidak percaya. “Dalam tujuh hari bagaimana kau mampu mempelajari ilmu menimpuk jalan darah?” “Ah!” seru Kang Lam. “Apakah itu ilmu menimpuk jalan darah dengan senjata rahasia? Tadinya aku menduga ia hanya mengajarkan permainan anak-anak belaka.” Keng Thian tercengang. Jika benar dalam tempo tujuh hari ia bisa mengajar menimpuk jalan darah dengan batu, kepandaian orang tua itu sungguh-sungguh tak dapat ditaksir bagaimana dalamnya. “Apa si tua sudah mengetahui kedatangan kami dan menyuruh kau menunggu disini untuk menimpuk dengan batu?” tanya Siauw Tjeng Hong. “Mungkin,” jawabnya. “Semalam dia berkata begini kepadaku: Ada dua orang yang telah masuk ke dalam selat ini. Sesudah mempunyai murid, aku tak suka orang luar datang kemari. “Hantamlah mereka dengan batu, tapi jangan menimpuk sembarangan. Timpuklah sesudah mereka memutar dua kali ke sebelah kiri, dua kali ke sebelah kanan dan mendekati pintu keluar. Siauw Loosoe! Aku tak tahu, kedua orang itu adalah kalian. Aku menganggap senang juga bisa bermain-main dan sudah segera menurut perintahnya. Siauw Loosoe! Harap kau tidak menjadi gusar.” Siauw Tjeng Hong mendongkol berbareng geli. “Kalau begitu,” katanya. “Kau tak dapat melepaskan kami.” “Memang tak bisa,” kata Kang Lam. “Jika kalian lapar, aku bisa mencuri sedikit makanan.” “Cobalah kami menjajal-jajal,” kata Siauw Tjeng Hong yang segera jalan mutar ke kiri dua kali dan ke kanan dua kali. Tapi, sesudah mencoba berulang-ulang, ia masih belum berhasil menoblos dari barisan itu. Tjeng Hong menjadi bingung. Ketika itu, rembulan sudah doyong ke sebelah barat dan fajar akan segera menyingsing. “Siauw Loosoe,” kata Kang Lam. “Sudah semalam suntuk kau berputar-putar disitu. Apakah kau tidak lapar? Jika lapar, aku bisa mencuri makanan ” “Tidak, aku tak lapar,” jawab Tjeng Hong sembari menggaruk-garuk kepalanya. Keng Thian tersenyum. Bagaikan seekor garuda, ia melayang turun dari atas batu seraya berseru: “Siauw Sinshe! Selamat bertemu!” Begitu mengetahui siapa yang datang itu, bukan main girangnya Siauw Tjeng Hong. “Tong Siangkong!” ia berseru sembari berjingkrak. “Bagaimana kau pun bisa berada disini?” “Seperti juga kalian, aku tersurung perasaan kepingin tahu,” jawabnya sembari masuk ke dalam barisan batu itu. “Eh-eh,” kata Kang Lam. “Sekali masuk, kau tak akan bisa keluar lagi. Aku tak mengenal kau, tak dapat aku mencuri makanan untukmu.” Tapi Keng Thian tidak meladeni, ia masuk terus sembari mesem. Dengan dipimpin olehnya, sesudah bulak-balik beberapa kali, Siauw Tjeng Hong dan wanita itu sudah berada diluar tin (barisan). Kang Lam membuka matanya lebar-lebar. “Ha!” katanya. “Tak nyana, kau berkepandaian begitu tinggi. Siapa kau?” Siauw Tjeng Hong tertawa dan berkata: “Dia adalah orang yang pernah menolong Kongtjoemu…” “Aku tahu!” Kang Lam putuskan perkataan orang. “Kau tentu Tong Keng Thian. Tong Siangkong, Siauwya pernah menceritakan halmu kepadaku. Kata Siauwya, Thiansan Kiamhoat-mu,tak ada bandingannya di dalam dunia. “Eh, apakah kau bisa menolong supaya aku dapat meloloskan diri dari tempat ini? Bukankah kau sudah mendengar semua pembicaraanku tadi? Aku perlu berangkat buru-buru untuk menyampaikan surat.” “Kang Lam,” kata Keng Thian sembari mesem. “Jangan kata Aku tahu, apa yang harus kulakukan.” Ia berpaling kepada Tjeng Hong dan menyambung perkataannya: “Selamat, Siauw Sinshe! Lagi kapan kau menikah?” “Tahun yang lalu, sesudah pulang ke Sengtouw, aku lalu mempersatukan diri pula ke dalam partai Tjengshia pay,” Tjeng Hong menerangkan. “Dia juga berada di Sengtouw, menunggu aku.” Sesudah berkata begitu, ia lalu memperkenalkan isterinya kepada Keng Thian. Isteri Siauw Tjeng Hong adalah adik misanannya sendiri yang bernama Gouw Tjiang Sian. Sebagai kawan bermain semenjak kecil, Tjiang Sian mencintai Tjeng Hong, tapi ia selalu mengumpatkan rasa cintanya, karena Tjeng Hong sudah jatuh cinta kepada Tjia In Tjin. Setelah terjadi pertemuan di keraton es, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa orang yang dicintainya itu sudah menikah dengan Thiekoay sian dan bahwa Gouw Tjiang Sian masih menunggu ia. Begitu kembali ke Sengtouw, ia segera meminang adik misanannya itu dan mereka lalu menikah. Di waktu menikah, Siauw Tjeng Hong sudah berusia empat puluh tahun lebih. “Kemana kalian mau pergi?” tanya Keng Thian. “Kenapa lewat disini?” “Tahun yang lalu, aku dan Thian Oe telah mendaki Nyenchen Tanghla, bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan mengetahui, bahwa nona itu adalah puteri Koei Hoa Seng,” Tjeng Hong menerangkan. “Sesudah pulang sebenarnya aku ingin sekali segera pergi menemui Moh Tjoan Seng Lootjianpwee untuk menyampaikan warta girang itu. Akan tetapi, karena repot, belum juga aku dapat mewujudkan niatan itu…” “Siauw Loosoe!” Kang Lam mendadak menyeletuk. “Kau sudah menikah, kenapa masih repot juga?” “Kang Lam, jangan memotong perkataan Siauw Loosoe,” kata Keng Thian. “Tapi sekarang, aku mendengar suatu urusan yang, walaupun bagaimana juga, mesti diselidiki sampai seterang-terangnya untuk diberitahukan kepada Moh Lootjianpwee,” Tjeng Hong melanjutkan penuturannya. “Urusan apa?” tanya Keng Thian. “Moh Lootjianpwee adalah tetua dari Boetong pay,” Siauw Tjeng Hong menerangkan. “Di samping itu, ia telah diakui sebagai ahli silat nomor satu dalam Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan. Sebagaimana kau tahu, setiap sepuluh tahun ia membuka pintu mengadakan Kiatyan (memberi sedekah atau ceramah oleh seorang Budhis) dan memberi petunjuk-petunjuk kepada orang-orang yang tingkatannya lebih rendah. Sekarang tempo untuk Kiatyan sudah mendekati, yaitu tinggal setengah bulan lagi.” “Bagus!” kata Keng Thian. “Bukankah kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada waktunya?” “Tapi… kali ini, mungkin bakal ada orang yang datang mengacau!” kata Tjeng Hong. Keng Thian terkesiap. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, hampir-hampir ia tak percaya kupingnya sendiri. Harus diketahui, bahwa Moh Tjoan Seng adalah pendekar besar dari jaman itu. Bukan saja ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, tapi kebatinannya pun sangat luhur, sehingga kebesaran namanya dapat dipersamakan seperti gunung Thaysan atau bintang Paktauw, yang diindahkan dan dikagumi oleh semua cabang dan partai persilatan di seluruh Tiongkok. Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi dan nama begitu besar, siapakah yang berani mengganggu ia? Siauw Tjeng Hong mendehem beberapa kali lalu berkata pula: “Menurut apa yang kudengar, yang mau mengacau adalah seorang luar biasa dari partai Khongtong pay.” Keng Thian mesem. “Tjiangboendjin (pemimpin) Khongtong pay adalah Tio Leng Koen,” katanya. “Melawan muridmu, saudara Thian Oe, ia masih belum tentu bisa memperoleh kemenangan.” Paras muka Siauw Tjeng Hong yang sangat guram, tetap tidak berubah. “Selama kurang lebih tiga puluh tahun partai Khongtong pay memang sangat merojan,” katanya dengan suara sungguhsungguh. “Orang-orangnya dari tingkatan atas masih belum dapat menandingi ahli-ahli silat kelas satu. Itulah sebabnya, mengapa berbagai partai jadi memandang rendah partai tersebut. Akan tetapi, sebenar-benarnya, Khongtong pay mempunyai keistimewaan yang luar biasa.” Keng Thian terkejut. “Benar,” katanya. “Memang juga, jika tidak mempunyai keistimewaan, Khongtong pay tentu tidak dapat menjadi suatu partai. Kecerdasan manusia tidak dapat disamaratakan dan kerajinan orang pun berbeda-beda, sehingga memang juga kita tidak dapat memukul rata semua orang. Tadi, oleh karena mengingat kepandaian Tio Leng Koen yang masih cetek, aku jadi memandang rendah Khongtong pay sebagai partai. Aku mengakui, bahwa perkataanku itu tidak benar.” Dari sini dapat dilihat, bahwa Keng Thian adalah seorang pemuda yang telah mendapat pendidikan sangat baik dan segera mengakui kekeliruannya, begitu lekas ia menganggap dirinya bersalah. “Menurut apa yang aku dengar,” kata pula Siauw Tjeng Hong. “Oleh karena melihat merojannya partai mereka, sedari tiga puluh tahun berselang, sejumlah orang Khongtong pay dari tingkatan atas, pergi menyembunyikan diri di tempat sepi untuk melatih diri dan meyakinkan kitab-kitab ilmu silat dari Tjouwsoe (pendiri) Khongtong pay, dan selain itu, mereka juga telah menggubah ilmu-ilmu silat baru. Selama beberapa puluh tahun ini, tak seorang pun mengetahui sampai dimana mereka sudah mencapai kemajuan. Paling belakang, secara kebetulan aku mendengar, bahwa ada tetua Khongtong pay yang ingin turun gunung.” “Apakah kau maksudkan, bahwa sesudah turun gunung, ia segera ingin menyatroni Moh Tayhiap untuk menjajal kepandaian?” tanya Keng Thian. “Benar,” jawab Tjeng Hong. “Jika tidak membentur ahli silat nomor satu di wilayah Tionggoan, dia tak dapat memperlihatkan kepandaiannya dan juga sukar mengangkat naik nama partainya yang sudah merosot. Tapi, di samping itu, menurut yang kudengar, masih terselip sebab lain.” Sesudah berkata begitu, ia mengawasi Keng Thian sembari mesem dan menyambung pula perkataannya: “Sebab itu, mungkin adalah karena gara-garamu.” “Sungguh mengherankan,” kata Keng Thian. “Aku mendengar, bahwa kau merobohkan tiga belas jago Khongtong pay dengan Thiansan Sinbong,” kata Siauw Tjeng Hong. “Apakah benar?” “Benar, antara mereka terdapat juga Tio Leng Koen,” jawabnya. “Selain kau, terdapat seorang wanita muda yang menggunakan pedang es bukan?” tanya lagi Tjeng Hong. “Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya yang bernama Yoe Peng,” Keng Thian menerangkan. “Di samping mereka berdua, masih ada seorang lain, yaitu muridmu sendiri, Thian Oe. Jika lantaran itu, Khongtong pay jadi merasa sakit hati, seharusnya mereka mencari aku dan bukannya Moh Tayhiap.” “Kalian, ayah dan anak, mempunyai nama yang lebih besar daripada Moh Tayhiap,” kata Tjeng Hong. “Jika mereka menyatroni kalian dan bertempur di atas gunung Thiansan, orang luar tak akan dapat menyaksikan menang kalahnya. Maka itu, mereka telah mengambil putusan untuk menyatroni Moh Tayhiap. Mereka menganggap Yoe Peng sebagai Pengtjoan Thianlie dan entah bagaimana, mereka juga sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah keponakan Moh Tayhiap. Dengan adanya ikatan keluarga itu, mereka jadi mempunyai alasan lebih kuat untuk menyukarkan Moh Tayhiap. Selain itu, aku pun mendengar, mereka sudah mengundang orang-orang pandai dari partai lain untuk mengacau di harian Kiatyan. Kepergianku kali ini, pertama adalah untuk menyampaikan warta tentang Pengtjoan Thianlie kepada Moh Tayhiap dan kedua, untuk memberitahukan hal itu, supaya Moh Tayhiap bisa bersiap-siap. Tapi sedikitpun aku tidak merasa kuatir. Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, Moh Tayhiap tentu akan dapat mengatasi segala kejadian.” Keng Thian berpikir beberapa saat dan kemudian berkata sembari mesem: “Bagus!” “Kenapa kau kata bagus?” tanya Tjeng Hong. “Bukankah kita akan dapat turut menonton keramaian?” kata Keng Thian sembari mesem. “Apakah kau juga ingin pergi menyambangi Moh Lootjianpwee?” tanya Tjeng Hong. “Benar,” jawabnya. “Menurut perhitunganku, kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada waktu Kiatyan. Aku pun berharap agar Pengtjoan Thianlie juga berada disitu. Ingin sekali aku menyaksikan ilmu apa yang dimiliki orang Khongtong pay itu, sehingga ia berani menyatroni Moh Lootjianpwee.” Mendengar itu, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa Keng Thian niat turun tangan dan hatinya menjadi girang sekali. “Sebagai orang yang tingkatannya tinggi, Moh Lootjianpwee tak pantas turun tangan sendiri,” katanya didalam hati. “Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, mempunyai kepandaian tinggi, tapi tingkatannya rendah. Sungguh bagus, jika mereka berdua bias berada bersama-sama.” “Kalau begitu, biarlah kita menunggu sampai fajar untuk segera berangkat,” kata Tjeng Hong. Kang Lam yang sedari tadi sudah merasa sangat tidak sabar, lantas saja menyeletuk, begitu lekas mereka berhenti berbicara. “Eh, aku bagaimana? tanyanya. “Kau, kau apa?” kata Keng Thian. “Kau sudah mempunyai guru yang baik, apakah kau juga ingin mengikut?” “Kau toh sahabat Kongtjoe-ku bukan?” Kang Lam berseru. “Apakah kau tak tahu, aku diperintah membawa surat? Bagaimana kau bisa tidak mengajak aku?” Keng Thian tertawa. “Eh,” katanya. “Aku mau menanya: Apakah Kongtjoe-mu baik?” “Bagaimana tak baik?” sahutnya. “Sehari makan tiga kali!” “Gila kau!’ bentak Keng Thian. “Aku mau menanya: Bagaimana dengan puteri Touwsoe?” “Apa lagi?” jawab Kang Lam sembari nyengir. “Setiap hari berhias, seperti sundal saja! Dari pagi sampai malam, kerjanya memburu. Saban hari lewat di depan kantoran. Karena takut kesomplok, siang hari malam, Siauwya selalu bersembunyi di dalam, sejenak pun tak berani keluar. Agaknya Siauwya takut digigit!” Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak, sehingga semua orang jadi turut tertawa. “Kalau begitu, pernikahan mereka sudah tetap, bukan?” tanya Keng Thian. “Tidak, tidak! Kongtjoe menolak keras,” jawabnya. “Tapi… tapi sekarang sudah ada ketetapannya… antara Touwsoe dan Looya. Si Touwsoe yang mendesak terus, supaya Looya meluluskannya. Lain tahun musim semi, jika kuil Lhama yang sedang dibuat sudah rampung, aku mendengar, bakal datang seorang Budha Hidup dari Agama Topi Putih untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut. Pada waktu itu, Touwsoe ingin minta bantuan Budha Hidup untuk menikahkan mereka. Hm! Kongtjoe tentu tak bisa berkelit lagi.” Hati Keng Thian berdebar-debar. “Thian Oe tak dapat melupakan Chena, tapi ia tentu tak tahu, nona itu sekarang sudah menjadi Wanita Suci,” pikirnya. “Lain tahun di musim semi, ia akan mengikut raja agama Sekte Topi Putih datang di Lhasa untuk meresmikan pembukaan kuil.” Ketika itu fajar sudah menyingsing dan sinar matahari pagi sudah menembus ke dalam hutan batu itu. “Apakah sekarang kita sudah boleh berangkat?” tanya Tjeng Hong. “Eh, ajak aku!” kata Kang Lam. “Baiklah,” sahut Keng Thian. “Sebelum berangkat, aku minta kau mengajak kami pergi menemui gurumu untuk berpamitan.” “Perlu apa berpamitan?” kata Kang Lam. “Jika pamitan, dia tentu menghalangi.” Mendadak saja, dari jauh terdengar suara seorang tua: “Orang berilmu dari manakah yang sudah penuju dengan muridku yang tolol itu?” Suara itu tidak keras tapi “tajam” dan mengeluarkan suara “ung-ung”, di waktu gelombangnya membentur hutan batu. Dengan hati mencelos, Kang Lam buru-buru bersembunyi di belakang Keng Thian yang lalu merangkap kedua tangannya seraya berkata: “Aku yang muda adalah Tong Keng Thian yang sudah kesalahan masuk ke dalam tempat dewa-dewa ini. Mohon Lootjianpwee suka member maaf.” Suara Keng Thian juga tidak besar, tapi nyaring, seolah-olah tikaman pedang ke dalam hutan batu itu, yang segera berkumandang, setelah dibentur gelombang suara. Baru saja ia mengucapkan perkataannya, dengan sekali berkelebat, di hadapan mereka sudah berdiri seorang Toosoe (imam) yang paras mukanya aneh dan mengenakan jubah pertapaan warna kuning. Kang Lam gemetar sekujur badannya, ia mepet di belakang Keng Thian, tanpa berani menongolkan kepala. “Selama beberapa puluh tahun, tuan adalah orang satu-satunya yang bisa keluar dari barisan batu ini,” katanya. “Orang yang pandai tidak perlu meminta maaf. Sesudah bisa keluar dari barisan batu, kau tentu mempunyai kepandaian untuk membawa pergi muridku yang tolol. Baiklah. Kau boleh membawa dia pergi!” Keng Thian terkejut. Dari perkataannya, imam itu ingin mengukur kepandaiannya. Waktu Toosoe itu pertama bicara, karena teraling puncak-puncak, Keng Thian tidak mengetahui persis dimana ia berada, tapi bisa ditaksir, ia sedikitnya terpisah seratus tombak. Dan hampir berbareng dengan suaranya, manusianya sudah tiba di hadapannya. Dari sini, Keng Thian mengetahui, bahwa imam itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Sebagai penjagaan, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan tenaga Hiankong dari Thiansan pay. “Jika demikian,” katanya sembari membungkuk. “Sesudah urusanku beres, aku tentu akan datang lagi disini guna menyampaikan hormat.” Sembari menuntun tangan Kang Lam, perlahan-lahan ia berjalan keluar dari hutan batu. Toosoe itu mencekal Hudtim (kebutan) dalam tangannya. Melihat tetamunya berangkat, tanpa menggerakkan badannya, ia mengebut dengan Hudtim-nya dan berkata: “Sebelum mempunyai sayap, bocah nakal itu sudah ingin terbang. Tuan harus menilik ia secara keras!” Sebagai seorang yang sudah menyelami ilmu Thiansan pay, Keng Thian mempunyai perasaan yang luar biasa tajamnya. Kebutan itu, yang sebenarnya sangat perlahan, sudah dapat didengar olehnya, dan lebih dari itu, tanpa menengok, ia juga mengetahui, bahwa beberapa helai benang Hudtim sedang menyambar jalan darah Kang Lam dan ia sendiri! Dengan perkataan lain, si Toosoe dapat menggunakan benang-benang yang begitu halus seperti semacam jarum untuk menusuk jalan darah musuh. Dapat dibayangkan, bahwa seorang yang tidak mempunyai “ketajaman” seperti Keng Thian, tidak akan dapat mengelakkan serangan itu yang tidak ada suaranya dan hampir tak kelihatan bahayanya. Bagaikan kilat Keng Thian meloncat dan menarik tangan Kang Lam sambil berkata: “Hati-hati! Ada batu.” Dengan demikian, semua benang Hudtim itu menyambar ke badannya. Akan tetapi, walaupun sudah berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga Hiankong, tak urung ia merasa kesemutan di beberapa jalan darahnya, seperti digigit semut. “Tenaga dalam Toosoe itu sungguh hebat,” katanya di dalam hati. “Meskipun belum bisa menandingi Hoeihoa tjekyap (Bunga terbang memetik daun) Ie-ie-ku, ilmunya masih lebih tinggi daripada aku.” “Mana ada batu?” tanya Kang Lam yang tidak mengetahui, bahwa tanpa pertolongan Keng Thian, kedua dengkulnya tidak akan dapat digunakan lagi. “Kang Lam,” kata Keng Thian. “Haturkan terima kasih kepada gurumu!” Ia mengetahui, bahwa sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, si Toosoe pasti tidak akan menyerang dua kali kepada bocah yang menjadi muridnya sendiri. Kang Lam adalah seorang yang sangat cerdas otaknya Meski tidak mengerti maksudnya, lantas saja ia menyoja dan berkata: “Terima kasih atas budi Soehoe yang sudah melepaskan murid.” Keng Thian segera menggerakkan tangannya supaya Kang Lam berjalan lebih dulu. Muka imam itu menjadi merah padam. “Mulai dari sekarang, antara kau dan aku sudah tidak ada hubungan guru dan murid lagi,” katanya dengan suara dingin. Suara itu menusuk kuping sehingga si bocah merasakan kepalanya puyeng dan hampir-hampir ia jatuh terguling. Buru-buru ia menutup kedua kupingnya dan mementang langkah lebar-lebar. Di lain saat, ia merasakan badannya panas, tapi ia tidak menggubris itu dan terus berjalan secepat mungkin. Selagi Keng Thian mau berpamitan, imam itu mengawasi ia dengan sorot mata tajam dan menanya dengan suara yang sangat tidak enak kedengarannya: “Bagus! Liehay sungguh kepandaianmu! Siapa gurumu? Bilanglah, supaya aku dapat meminta pengajarannya.” Keng Thian mesem. “Tempat tinggal Boanpwee jauh dari sini,” jawabnya. “Mana berani aku membikin Tjianpwee bercapai lelah.” Kata-kata Keng Thian yang manis itu sebenarnya mengandung duri di dalamnya. Dengan perkataannya itu, ia seperti ingin menyatakan, bahwa gurunya sebenarnya dapat melayani permintaan si Toosoe, hanya ia tidak berani membikin si imam menjadi capai. Keng Thian yang biasanya suka merendah sudah terpaksa menggunakan kata-kata yang menusuk itu, oleh karena ia mendongkol mendengar betapa temberangnya imam tersebut. Harus diketahui, bahwa ayah Keng Thian adalah pemimpin suatu partai besar yang kedudukannya sangat tinggi, sehingga ia boleh tak usah bicara sungkan-sungkan untuk ayahnya itu. Toosoe jubah kuning itu lantas saja mendelik. “Sebetulnya aku tak ingin keluar dari hutan ini,” katanya dengan suara tawar. “Tapi sesudah mendengar perkataanmu, tak dapat tidak aku mesti mencari gurumu. Siapa gurumu?” Keng Thian terus mesem. Selagi mau menjawab, dalam hutan batu itu tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan. Di lain saat, seorang manusia muncul dari salah sebuah gua batu. “Hongsek Tooyu,” katanya sembari menyeringai. “Matamu lamur. Apakah kau tidak mengenali ilmu silat dari Thiansan pay? Coba pikir: Di antara orang-orang tingkatan sebelah bawah, selain putera tunggal Tong Siauw Lan, siapa lagi yang berani berlaku begitu kurang ajar di hadapanmu? Sudah lama aku mengatakan, bahwa Thiansan pay sangat sombong dan memandang lain cabang persilatan seperti juga partai yang menyeleweng. Apakah sekarang kau percaya perkataanku itu?” Keng Thian menengok. Orang itu hitam kurus, mukanya melesek ke dalam, kedua matanya bagaikan bara, rambutnya awut-awutan, sedang romannya menakutkan sekali dan dia bukan lain daripada Hiatsintjoe. Kang Lam mengeluarkan teriakan tertahan, hatinya heran bukan main. Terang-terangan ia mengetahui, bahwa di dalam gua hanya terdapat gurunya seorang diri. Dari mana datangnya manusia aneh itu? Apakah ada jalan rahasia di dalam hutan batu itu? Keng Thian juga tidak kurang terkejutnya. Dengan kedatangan Hiatsintjoe, tak gampang-gampang ia akan dapat meloloskan diri. Imam itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba paras mukanya berubah dan sambil mengebut dengan Hudtim-nya, ia berkata: Sebenarnya aku tidak berniat menyusahkan orang yang tingkatannya di sebelah bawah. Akan tetapi, oleh karena orang itu adalah anak Tong Siauw Lan, jika aku melepaskan ia, orang lain akan menduga aku takut kepada suami isteri Tong Siauw Lan.” Biarpun berada dalam bahaya, Keng Thian tetap berlaku tenang. Ia mesem seraya berkata: “Jika kedua Lootjianpwee ingin menahan aku, aku tentu tak akan bisa lari. Maka itu, aku bersedia untuk menerima segala keputusan kalian.” Dengan berkata begitu, ia seperti mau mengatakan, bahwa dalam kedudukannya sebagai Houpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), ia bersedia untuk melayani dua orang yang kedudukannya lebih tinggi itu. “Hm!” si Toosoe mengeluarkan suara di hidung. “Untuk menahan kau, aku tak perlu mendapat bantuan orang. Hiatsintjoe! Biarlah kau menjadi saksi. Jika bocah itu dapat menyambut seranganku dalam tujuh jurus, aku akan membiarkan mereka pergi. Bocah, sungguh sombong kau! Sampai kapan baru kau mau menghunus senjata?” Putera Tong Siauw Lan ini lantas saja tertawa besar. “Jika kau ingin memberi pelajaran, tak usah dibatasi dalam tujuh jurus,” katanya “Aku berdiri disini, tak bisa melarikan diri. Lootjianpwee! Kenapa kau tidak lantas menyerang? Mau tunggu sampai kapan?” Diejek begitu, Hongsek Toodjin jadi marah besar. “Baiklah,” katanya.”Kau tidak mau mengeluarkan senjata, itu tandanya kau sendiri yang mencari mampus!” Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat setombak lebih dan tangannya mengebut dengan Hudtim-nya. Kebutan itu, yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya berisikan dua macam serangan dahsyat. Dalam serangan pertama, benang-benang Hudtim berkumpul menjadi satu, dalam bentuk pit (alat tulis Tionghoa) dan menghantam musuh dengan tenaga Yangkong (tenaga “keras”). Jika serangan ini tidak dapat merobohkan musuh, benang-benang itu lantas terbuka dan menusuk jalan darah musuh dengan tenaga Imdjioe (tenaga “lembek”). Kedua serangan itu hebat luar biasa dan tak akan dapat ditangkis oleh ahli silat yang tanggungtanggung. Tapi, dalam menghadapi serangan sehebat itu, Keng Thian sama sekali tidak bergerak. “Apakah benar-benar kau mau mampus?” Hongsek Toodjin membentak. Ketika itu, benangbenang Hudtim sudah terbuka dan tengah menyambar muka Keng Thian. Pada detik itu, si Toosoe berpikir: “Bukankah aku akan jadi buah tertawaan, jika aku membinasakan bocah yang tidak bersenjata? Selain itu, untung apa aku menanam permusuhan begitu hebat dengan Tong Siauw Lan?’ Memikir begitu, tenaganya yang memang belum digunakan seanteronya, jadi semakin berkurang. Tapi, biarpun begitu, jika kena dikebut, Keng Thian pasti akan bercacat seumur hidupnya, meski tidak mati seketika. Bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-tiba Keng Thian membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga benang-benang itu tersapu buyar. Tenaga dalam Hongsek Toodjin banyak lebih tinggi daripada Keng Thian, tapi dalam serangannya itu, ia hanya menggunakan separoh tenaganya. Di lain pihak, Keng Thian sendiri telah menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat dari Thiansan pay dan meniup sekeraskerasnya, sehingga serangan itu menjadi gagal. Hongsek Toodjin terkejut. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat ribuan benang itu serentak berdiri dan seperti jarum-jarum tajam, menyambar ke arah tenggorokan dan mata Keng Thian. Sebagaimana diketahui, Siauw Tjeng Hong pun bersenjata Hudtim Tapi melihat liehaynya imam itu dalam menggunakan senjata tersebut, ia jadi terpaku bahna kagumnya. Hampir pada detik yang sama, sekonyong-konyong berkelebat sinar terang dan dingin, dibarengi teriakan Keng Thian: “Bagus! Sambutlah pedangku!’ Yoeliong kiam adalah senjata mustika dari Thiansan pay dan tajamnya luar biasa. Hongsek Toodjin sama sekali tidak menduga pemuda itu dapat menghunus pedang dengan begitu cepat dan oleh karena merasa jeri akan tajamnya senjata itu, buru-buru ia menarik pulang tenaga Yangkong dan memutar Hudtim-nya untuk menghindari sabetan Yoeliong kiam. Keng Thian membabat dengan Toeihong Kiamhoat (Ilmu pedang memburu angin) yang saling susul. Belum habis serangan yang pertama, serangan kedua sudah menyusul. Begitulah selagi Hongsek Toodjin memikir untuk balas menyerang, serangan Keng Thian yang kedua sudah menyambar. “Bagus!” seru si imam sembari menggeser kakinya dan mengebut dengan menggunakan tenaga Imdjioe, untuk memunahkan sabetan Yoeliong kiam. Ketika itu Hongsek sudah melakukan tiga serangan. Tapi biar bagaimana juga Hongsek Toodjin benar-benar berkepandaian tinggi. Barusan, setelah didesak dengan dua serangan Toeihong Kiamhoat, ia agak terdesak dan harus membela diri. Mendadak, demi sekali mengebas dengan Hudtim-nya, ia berhasil mengunci gerakan pedang Keng Thian. Benang-benang Hudtim menyambar-nyambar dari segala jurusan dan jika Keng Thian terus menggunakan Toeihong Kiamhoat, punggungnya tentu akan segera kena ditusuk. Selagi Hongsek bergembira, sekonyong-konyong sinar pedang merupakan suatu tirai bundar yang menyelubungi seluruh badan Keng Thian. Itulah ilmu pedang Thaysiebie dari Thiansan Kiamhoat yang hanya digunakan jika bertemu dengan musuh yang lebih tangguh. Tubuh pemuda itu seolah-olah dikitari tembok tembaga yang tak dapat ditembus dengan apapun juga. Hongsek terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa “si bocah” akan dapat merubah gerakannya sedemikian cepat, dari menyerang jadi membela diri. Demikianlah, serangan si imam itu menjadi gagal. Kang Lam menongolkan kepalanya dari lubang gua dan berseru: “Bagus! Hanya ketinggalan tiga jurus lagi!” Bukan main gusarnya Hongsek Toodjin. Sembari mengempos semangat, ia menyapu dengan senjatanya. Sungguh hebat serangan itu, sebab dengan sekali menyapu, senjata si imam menyambar dua belas jalan darah Tong Keng Thian, di sebelah atas badannya. Keng Thian terkejut. Hongsek mengetahui, bahwa pembelaan Thaysiebie Kiamhoat sangat rapat, tapi kenapa ia menyerang juga? Dengan penuh keheranan, ia terus memutar pedangnya. Di lain saat, beberapa puluh benang Hudtim sudah kena terbabat putus dan sesudah tersabet lagi beberapa kali, benang-benang itu menjadi potongan-potongan yang sangat halus. Sekonyongkonyong Hongsek meniup sekeras-kerasnya dan hancuran benang itu menyambar masuk ke dalam sinar pedang! Biar bagaimana pun rapatnya pembelaan, Thaysiebie Kiamhoat tak akan dapat menahan masuknya hancuran benang itu. Hati Keng Thian mencelos. Ia mengetahui, bahwa jika hancuran benang itu masuk ke dalam mulut, mata atau kupingnya, biar mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat lebih tinggi, ia toh akan roboh. Dalam keadaan terdesak, ia meloncat tinggi ke atas, memutarkan badannya dan berbareng mengebas dengan tangan bajunya untuk menyapu hancuran benang itu. Ia berhasil, tapi karena gerakannya itu, pembelaan Thaysiebie Kiamhoat lantas saja berantakan. “Kena!” teriak Hongsek Toodjin sembari menyodok dengan gagang Hudtim-nya dan “brt!” baju Keng Thian, di sebelah bawah pundaknya, berlubang! Harus diketahui, bahwa ilmu silat Hudtim dari Hongsek Toodjin terdiri dari tujuh rupa pukulan. Akan tetapi, dalam tujuh pukulan itu terdapat pula banyak perubahan-perubahannya. Maka itu dengan “membatasi tujuh jurus”, si imam sebenarnya sudah bersiap untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Sesudah mengeluarkan empat pukulan tanpa berhasil, si imam menjadi agak bingung dan oleh karena itu, ia rela mengorbankan sebagian benang Hudtim-nya untuk merobohkan musuh dengan serangan kelima dan keenam, yaitu suatu serangan untuk memecahkan Thaysiebie Kiamhoat dan serangan yang lain untuk menotok bagian badan Keng Thian yang tidak berbahaya dengan gagang Hudtim, yang digunakan sebagai Poankoan pit. Hudtim Hongsek adalah senjata istimewa. Gagangnya yang dibuat dari campuran baja murni dan emas, berujung lancip tajam, sehingga dapat digunakan untuk menikam jalan darah dan memecahkan Lweekeeh Khiekang (ilmu dalam) dari musuhnya. Barusan, dengan menyodok jalan darah Iekie hiat, di bawah pundak Keng Thian, Hongsek menduga pemuda itu akan lantas menjadi roboh. Tak dinyana, begitu mengenakan sasarannya, gagang Hudtim seperti kebentur dengan semacam tameng dan terpental kembali. Di saat itu juga, Keng Thian memutarkan tubuhnya dan berkata sembari tertawa: “Hanya tinggal satu jurus lagi!” Hongsek Toodjin jadi seperti orang terkesima. Sodokannya itu, yang berhasil merobek baju Keng Thian, menyambar tepat pada sasarannya dan menurut perhitungan, walaupun pemuda itu mempunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk), ia tak akan dapat menyelamatkan diri. Apakah pemuda itu, yang usianya masih begitu muda, sudah mempunyai badan seperti dewa yang tak dapat dilukakan dengan senjata? Benar-benar ia sukar percaya! Si imam tentu saja tidak mengetahui, bahwa sebab dari itu semua adalah karena Keng Thian memakai Kimsie Djoanka, semacam baju mustika peninggalan Po Tjeng Tjoe, yang pada empat puluh tahun lebih berselang, telah diberikan kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong, pemimpin partai Boekek pay. Hiatsintjoe dan suami isteri Siauw Tjeng Hong, yang menyaksikan bagaimana Keng Thian dapat menyelamatkan diri dari bahaya besar, dengan berbareng mengeluarkan seruan tertahan. Siauw Tjeng Hong kaget lebih dulu, belakangan girang, Hiatsintjoe bergirang lebih dulu, belakangan kaget. Selagi Siauw Tjeng Hong menyusut keringatnya, tiba-tiba Hongsek membentak keras,badannya melesat ke tengah udara dan selagi melayang turun, ia menghantam dengan senjatanya! Dalam serangan yang terakhir itu, si imam menggunakan Hudtim dan tangannya dengan berbareng, Hudtim menghantam jalan darah, telapak tangannya memukul dada Keng Thian. Belum sempat Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat, serangan musuh sudah tiba dan tak dapat diegos lagi. Kimsie Djoanka yang hanya melindungi bagian atas tubuh, tidak bisa menahan tenaga pukulan itu yang dikirim dengan seluruh tenaga si imam. Melihat bahaya, dalam keadaan kepepet, Keng Thian mengambil suatu keputusan nekat. Ia memutarkan badan untuk menyambut pukulan itu dengan punggungnya. Pada detik itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan Hiatsintjoe. Siauw Tjeng Hong jadi terkesima. Dalam menyambut pukulan Hongsek dengan seluruh tenaganya, belum tentu Keng Thian bisa berhasil. Siapa yang tidak kaget melihat serangan Hiatsintjoe pada saat yang berbahaya itu? Dan pada detik, sedang jiwa Keng Thian tergantung atas selembar rambut, mendadak terdengar teriakan Hiatsintjoe. Berbareng dengan itu, Hongsek bergidik dan tenaga pukulannya lantas saja berkurang banyak. Sungguh gesit gerakan Tong Keng Thian! Hampir berbareng dengan itu, badannya sudah melesat menyingkir, pedangnya menyambar dan pada detik itu juga,lengan jubah Hongsek berlubang! “Bocah dari mana berani kirim serangan gelap?” membentak si imam. Sekonyong-konyong dari atas batu-batu terdengar suara tertawa yang aneh. “Tua bangka, apakah kamu tidak malu?” kata orang itu. “Dua tua bangka mengerubuti satu bocah! Ha-ha-ha!’ Keng Thian mendongak, mengawasi. Di atas sebuah batu kelihatan bersila seorang pemuda yang bukan lain daripada Kim Sie Ie dan tak jauh dari situ, terdapat Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya. Agaknya selagi pertempuran berjalan hebat-hebatnya, sedang perhatian semua orang ditujukan ke arah pertempuran itu, mereka bertiga sudah datang dengan diam-diam. Teriakan Hiatsintjoe dan bergidiknya Hongsek Toodjin disebabkan oleh senjata rahasia Koei Peng Go dan si penderita kusta. Si imam merasakan dadanya mau meledak. Dengan sekali menjejek kaki, ia meloncat ke atas untuk mencengkeram Kim Sie Ie. “Satu bocah saja kau masih belum dapat menjatuhkan,” kata si pengemis sembari menyengir. “Guna apa aku meladeni kau?” Ia meloncat bangun dan bagaikan seekor kera, ia memanjat puncak batu dan dalam sekejap, ia sudah berada di garisan luar. Selagi si imam mau mengubar, sekonyong-konyong terdengar teriakan kesakitan dari Hiatsintjoe. Ia menengok dan melihat muka kawannya bersemu hitam, sebagai tanda sudah terkena senjata beracun. Oleh karena merasa, bahwa seorang diri belum tentu ia dapat melayani beberapa lawannya, lantas saja ia mengurungkan niatannya untuk mengubar Kim Sie Ie dan kembali untuk menolong Hiatsintjoe. “Tujuh jurus sudah lewat, sekarang aku berangkat,” kata Keng Thian. “Hm!” gerendeng si imam yang sedang berjongkok untuk memeriksa luka Hiatsintjoe. Sesudah mengucapkan beberapa perkataan merendah seperti lazimnya dalam dunia Kangouw, dengan terburu-buru Keng Thian lari keluar hutan batu itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Mengubar belum berapa lama, ia melihat Peng Go bersama dayangnya berjalan di sebelah depan, sedang Kim Sie Ie mengikuti dari belakang. “Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!” teriak Keng Thian. Si nona menengok dan mengawasi dengan sorot mata gusar dan sedih. “Peng Go Tjietjie!” Keng Thian berseru pula. “Berhentilah sebentar! Dengarkanlah dulu beberapa perkataanku.” Pentjoan Thianlie tidak meladeni. Sebaliknya dari menghentikan tindakannya, sembari menuntun tangan Yoe Peng, ia berlari semakin keras. “Peng Go Tjietjie!” teriak Keng Thian pula dengan suara menyayatkan hati. “Berhenti dulu! Dengar dulu perkataanku!’ Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Ia berhenti berlari, membalikan badannya dan menghadang di tengah jalan. Begitu Keng Thian datang dekat, ia menyembur dengan ludahnya. “Siapa kesudian mendengarkan segala ocehanmu!” ia membentak.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |