Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan pegunungan antara Sakya (di Tibet Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es dan salju masih belum mulai lumer. Pengembara yang nyalinya paling besar juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi sampai sinarnya matahari musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang menutup jalanan, barulah berani berjalan. Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang bulat-belit dan penuh bahaya itu.
Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan satu muda, bukan lain daripada Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe. Tibet dikenal sebagai “Atapnya dunia.” Daerah antara Sakya dan Shigatse, di sebelah selatan terdapat pegunungan Himalaya, sedang di sebelah utara membentang gunung Koenloen san, sehingga jalanannya lebih-lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya hawa udara membikin orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-dasarnya ilmu silat dan usianya masih sangat muda, sehingga mereka tidak merasakan penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua tunggangannya sangat kepayahan, napasnya sengal-sengal, sedang dari mulutnya keluar ilar tak hentinya. “Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian,” kata Siauw Tjeng Hong sembari usap-usap bulu suri kudanya. Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari sangat panas, dan ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti orang. Akan tetapi, di tempat-tempat teduh, atau di waktu malam, dinginnya bukan main. Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang, sungai es mengalir legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang berkepandaian bagaimana tinggi pun tidak berani menempuh bahaya buat coba-coba memacul es atau salju buat dilumerkan menjadi air. Harus diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan salju bisa menjadi ambruk dan manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka itulah, dengan tumpukan es di seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan setengah mati, tanpa berani mengambil es itu. Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya: “Kita masih punya berapa kantong air?” “Tiga kantong,” jawab muridnya. “Bagus,” kata sang guru. “Coba berikan setengah kantong kepada kedua kuda. Kita irit sedikit. Tanpa diberi minum, kedua binatang ini tidak akan kuat berjalan terus.” Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh, masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan oleh Thian Oe seorang. Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua binatang itu. Mendadak di sebelah belakang terdengar suara kelenengan kuda dan tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi. Mereka itu adalah orang-orang Han, alisnya tebal, matanya besar dan romannya kasar sekali. Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu antaranya berkata: “Sayang! Sayang!” Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya Thian Oe. “Eh,” ia menegur. “Apa kau punya banyak air? Persediaan kami sudah hampir habis. Dapatkah kau bagi satu kantong?” Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi kaget dan, berkata dalam hatinya: “Disini air lebih berharga daripada emas. Cara bagaimana bisa bagi kau?” Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: “Pelancong harus saling membantu. Oe-djie, kasihkan!” Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada orang itu yang lantas tenggak dengan bernapsu sekali. “Kau orang baik. Mau kemana?” kata ia sembari lirik Siauw Tjeng Hong. “Ke Shigatse,” jawabnya dengan pendek. “Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?” ia tanya lagi. “Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti lekas-lekas tengok padanya,” jawab Tjeng Hong. Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian. “Oe-djie,” kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. “Hati-hati obat itu. Kantong obat lebih baik jangan digantung di sela. Simpan saja. Jalanan sangat jelek, kalau kuda terpeleset dan kantong obat hilang, akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi Iiongsoeko sukar dicari.” Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya adalah kantong senjata rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia dengan sorot mata berarti. Ia mendusin dan berkata dalam hatinya: “Benar, ketiga orang yang berani jalan di waktu sekarang tentulah mempunyai kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang sebenarnya. Tapi Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di Sakya. Kenapa soehoe bilang begitu?” “Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?” kata lagi orang itu. “Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa berhasil baik. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan juga mau pergi ke Shigatse. Marilah kita jalan bersama-sama.” “Bagus! Bagus!” jawab Siauw Tjeng Hong. “Walaupun aku pernah baca beberapa buku obat, tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang keluarkan banyak darah waktu datang bulan. Maka itu, rasanya aku mesti minta pertolongan saudara untuk mengobatinya.” “Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa,” kata orang itu sembari menyoja Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-tengah. Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan gurunya, dan dengan diapit di sama tengah seperti orang perantaian, hatinya jadi mendeluh. Ia tidak tahu, bahwa biarpun di Sakya liongsoeko, bukannya barang langka, akan tetapi pada waktu begini, liongsoeko sukar didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai lumernya salju barulah ada pedagang yang angkut obat itu ke Shigatse. Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw Tjeng Hong. Akan tetapi ia berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia lantas member jawaban tolol dan belokkan omongan ke ilmu pengobatan. Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu tersebut dan cuma kenal cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan sebagainya, yang umumnya harus dimengerti oleh orang yang pandai silat. Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. “Untung kita tidak ketemukan salju roboh,” kata orang yang jalan paling depan. Belum habis ia ucapkan perkataannya, di sebelah depan mendadak terdengar suara tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu penunggang kuda mendatangi dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga hawa dingin, sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang dekat. Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui oleh seekor kuda. Kuda yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya tidak akan dapat ditahan oleh si penunggangnya, sehingga satu tubrukan sukar disingkirkan. Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan Siauw Tjeng Hong, jepit keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda itu lantas berhenti. Satu tangannya terangkat dan dorong orang yang baru datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke dalam jurang. Sembari menjerit, orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya jambret selanya orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang jambretannya mengenakan kantong air si kasar yang lantas menggelinding jatuh ke dalam jurang. Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah pemuda yang dandanannya seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan sikap yang ketakutan. Si orang kasar loncat turun dari kudanya dan memaki: “Apa kau buta? Hayo lekas ganti kantong airku!” “Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air, mana bisa mengganti?” jawabnya. “Tak bisa ganti?” membentak si kasar. “Baiklah! Aku keset saja kulitmu dan hirup darahmu!” Ia cabut goloknya dan jalan menghampiri buat pegang tangannya si anak sekolah. Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi mengambil jiwanya adalah perbuatan keterlaluan. “Aku yang ganti!” ia berseru tanpa merasa lagi. Si kasar kelihatan terkejut. “Baik!” kata ia sembari tertawa dingin. “Kau yang mau ganti? Mari!” Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di sela kuda. Waktu berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong sudah dihadiahkan, satu kantong dibuat mengganti, isinya sekantong lagi sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga sekarang mereka cuma mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-sungkan. Ia angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu. Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada Thian Oe. “Terimakasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah menolong jiwaku,” kata ia. “Ah, sekarang bisalah kita melihat budi pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan serakahnya seorang siauwdjin (orang rendah).” “Kau bilang apa?” tanya si kasar sembari mendelik. “Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?” kata si anak sekolah. “Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah,” kata Thian Oe dengan suara berkuatir. “Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi apa-apa.” Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia adalah saudara paling tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk: “Loosam, dengan memandang mukanya ini saudara kecil, biarlah kita ampuni padanya.” Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. “Sekarang mundurkan kudamu sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat lebih dahulu,” kata ia kepada si anak sekolah dengan suara aseran. “Ah, buat apa begitu berabe,” jawabnya. “Kemanakah kalian mau pergi?” “Bukan urusan kau,” kata si kasar. “Manalah aku berani tanya kau? Aku tanya ini saudara kecil,” kata si anak sekolah dengan suara tenang. “Kita semua mau pergi ke Shigatse,” kata Thian Oe. “Bagus! Bagus!” kata si anak sekolah lagi. “Kalau begitu, kita beramai semua satu tujuan.” “Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau ke Shigatse?” tanya Thian Oe dengan penuh keheranan. “Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai disini,” menerangkan ia. “Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang harus menolong sampai di akhirnya. Kasihlah aku minum barang dua ceglukan.” Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong airnya, yang isinya tinggal separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok isinya dan Thian Oe mengawasi dengan perasaan sayang. Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di pinggir kudanya si orang kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda, supaya si anak sekolah jadi kaget. Tapi tak dinyana gerakannya si anak sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah cemplak kudanya. Ia rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari berkata: “Aku jalan duluan sebagai pengunjuk jalan.” “Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?” kata si kasar dengan suara perlahan. Si anak sekolah seperti tidak mendengar dan lantas jalankan kudanya. Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh sama dua kawannya dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian Oe. Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun dan hawa luar biasa dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara “srr, srr.” Orang yang jalan di belakangnya Siauw Tjeng Hong, berkata dengan girang: “Kita kuatir malam ini tidak bisa dapat tempat mengasoh yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas.” Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas dan dari antara batu-batu gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-gulung, sedang cipratan air muncrat berterbangan di tengah udara, sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu dan merah muda. Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang di waktu pesta Goansiauw (Capgomeh). Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya masih terus bekerja dan semburkan air mancur yang sangat panas ke atas bumi, dan inilah yang merupakan salah satu pemandangan yang aneh di wilayah Tibet. Oleh karena di pegunungan sukar mencari bahan bakar, maka penduduk sangat hargakan ini sumber air panas. Sering-sering mereka mengikat daging kering sama tali dan dicemplungkan ke dalam air panas itu. Sesudah lewat beberapa jam, daging itu akan matang. Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim semi. Selainnya itu, sesudah dibikin dingin, air panas tersebut merupakan minuman yang paling baik. Maka itulah, para pelancong paling girang kalau bertemu dengan sumber panas itu. Mereka turun dari kuda dan pasang tenda buat mengasoh. Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat mereka mengasoh. Oleh karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga orang itu, diam-diam Thian Oe berdamai dengan gurunya buat undang ia itu mengasoh bersama-sama dalam tendanya. Tapi sang guru unjuk paras muka sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya, sehingga si murid tidak berani bicara lebih jauh. Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke dalam tenda.“Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya anak sekolah itu?” Thian Oe berbisik. “Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan adalah musuhku!” jawab sang guru. “Habis bagaimana?” tanya Thian Oe dengan terkejut. “Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan dengan tiga orang,” menerangkan si guru. “Dua antaranya kemarin dulu datang di Sakya buat cari padaku. Yang satu bernama Ong Lioe Tjoe, sedang yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong Lioe Tjoe berada di sebelah bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan aku. Musuhku yang ketiga adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei Tjin Tjoe. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku. Buat singkirkan diri, aku mengumpat di tempat sepi. Tapi, siapa nyana, mereka dapat juga cari diriku.” “Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?” tanya Thian Oe. “Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa,” jawab Siauw Tjeng Hong. “Mereka itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe. Barusan aku dapat dengar pembicaraannya dalam bahasa Kangouw. Ternyata mereka mendapat perintah Loei Tjin Tjoe buat cari Ong Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku adalah musuh gurunya. Tapi mereka curigai anak sekolah itu, yang diduga adalah muridku. Menurut pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang berkepandaian tinggi, cuma masih belum terang, apa ia kawan atau lawan. Biar bagaimana juga, kita harus sangat berhati-hati.” Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas. Tak tahu sudah lewat berapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tangisan di tempat jauh. Suara itu yang menyayatkan hati seperti juga tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru mendengar, bulu badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa seperti sudah pemah dengar suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.“Mau apa?” tanya gurunya. “Soehoe,” berbisik sang murid. “Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi bencana. Rasanya masih bisa ditolong.” “Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki,” kata sang guru dengan mata bersinar. “Tidak, aku harus temani soehoe,” kata sang murid. Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi lantaran kedua tangannya belum dapat bergerak leluasa, ia seperti juga orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu ia berlalu, musuh segera menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan nasibnya wanita yang sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani tinggalkan gurunya. Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: “Kita adalah kaum ksatria yang mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk tangan, jika ketemu dengan sesama manusia yang menghadapi kebinasaan. Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu penjahat, ia tentu mau bunuh diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong diri sendiri, jika perlu. Hayo, lekas!” Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati. “Urusan ada yang penting, ada yang kurang penting,” kata Siauw Tjeng Hong dengan suara gusar. “Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel? Hayo lekas!” “Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas kembali,” kata sang murid dengan suara terharu melihat tingginya budi pekerti sang guru. Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari menuju ke arah suara tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan. Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum pernah digunakan dalam praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan ilmu tersebut. Jalanan gunung yang penuh bahaya dan banyak batunya, ditambah lagi sama gelapnya sang malam, membikin perjalanan jadi semakin sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya melesat beberapa tombak jauhnya. Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya terpeleset dan ia jatuh terguling. Mendadakan, ia dengar suara tertawa dingin. Buru-buru ia bangun dan memandang ke seputarnya, tapi tidak kelihatan bayangannya barang satu manusia. Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan terlebih hati-hati. Sesudah jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di depannya satu bukit es. Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain daripada itu gadis Tsang! “Thianlie tjietjie,” kata si nona sembari menangis. “Sungguh aku menyesal tidak belajar lebih lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit hati tak dapat dibalas, malahan berbalik didesak orang. Oh, ayah dan ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!” Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti orang mau buang diri, tapi tidak jadi. “Biarlah! Bisa lawan satu, aku lawan satu! Mari! Mari!” katanya dengan suara geregetan. Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari bukit es dan di depannya menghalang satu batu besar. Si gadis pun bukannya berdiri berhadapan dengan ia, maka perkataannya tadi tentulah bukan berarti ditujukan kepadanya. Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera mengambil jalanan pendek. Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam otaknya. Apakah Touwsoe itu yang jadi musuhnya si nona? Kalau benar, kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara begitu gampang? Apakah, diam-diam si Touwsoe perintah orang ubar padanya? Kalau bukan begitu, kenapa ia bilang sedang didesak orang? Dan siapa itu wanita yang dinamakan Thianlie? Kenapa namanya begitu luar biasa? Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit es. Tiba-tiba ia dengar wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan sehelai sinar terang menyambar bagaikan kilat. Itulah golok terbang! Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu, yang rupanya terpleset lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada saat yang sangat berbahaya, dari pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang lantas jambret padanya. Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng yang telah minta pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu. Tidak dinyana, Nyepa yang rakus dan gemuk itu, yang biasanya sukar dapat berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke atas bukit es dalam gerakan yang sedemikian cepatnya. Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang satu tangannya mencekal hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas menimpuk jika Omateng coba bikin celaka gadis itu. “Minggir!” gadis itu membentak. “Aku memang bukan tandinganmu. Sakit hatiku tak dapat dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang sudah terima perintahnya Touwsoe buat mengubar padaku, harus mengetahui bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku mau kasih diri dihina olehmu?” Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: “Aku tahu, nama pedenganmu adalah Sanma, sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah puterinya Raja muda Chinpu!” “Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!” membentak sang puteri. “Puterinya Raja muda Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh dihina orang! Sesudah aku binasa di bawah bukit, barulah kau boleh kutungkan kepalaku!” Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa” “Apa kau tahu, siapa adanya aku?” “Anjingnya Touwsoe Sakya!” sahutnya. “Tidak,” kata Omateng. “Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku sengaja datang kemari buat menolong jiwamu.” Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: “Jadi kau datang bukan buat menangkap aku?” “Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda Chinpu,” kata Omateng. “Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat bekuk padamu.” Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. “Nyalimu cukup besar, Cuma terlalu goblok,” kata ia. “Apa?” Chena menegasi. “Goblok,” mengulangi Omateng. “Kau sama sekali tidak pikirkan Touwsoe mempunyai berapa banyak orang pandai, dan dengan seorang diri, kau sudah berani coba-coba membalas sakit hati. Aku sendiri, yang mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi daripada kau, bertahun-tahun mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she dan nama. Buat membalas sakit hati, orang harus menunggu sampai datang temponya yang tepat. Orang Han ada bilang: “Koentjoe membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat. Apakah kau belum pernah dengar nasehat itu?” Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah percaya habis kepada Nyepa itu. “Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?” Omateng mendadak tanya. “Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!” sahutnya. “Pengtjoan Thianlie?” menegaskan Omateng dengan paras muka berobah. “Apa benar Pengtjoan Thianlie?” “Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma mau ajarkan ilmu silat buat tiga hari lamanya,” menerangkan Chena. “Oh, kalau begitu, aku percaya,” kata Omateng. Dengan berkata begitu, Omateng seperti mau bilang, bahwa jika benar Chena adalah muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu silatnya mesti banyak lebih tinggi daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang. “Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?” tanya lagi Omateng. “Di Thian-ouw (Telaga Namtso) (Telaga Langit)” jawab Chena. “Namanya yang sejati jarang diketahui orang. Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?” “Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang cari pad-anya,” kata Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik, sehingga Thian Oe tidak dapat dengar. Ia cuma lihat, sang puteri manggut-manggutkan kepalanya. “Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es itu,” kata Omateng. “Disini ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe. Ambillah. Dengan lengtjian itu, orang tidak akan berani ganggu padamu. Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi. Aku pergi lebih dahulu.” Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa. Dengan mengintip, ia dapat lihat Omateng keluarkan seutas tambang panjang, dengan apa ia turun ke bawah bukit. Mendadak, dari sinar rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman yang membikin bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah mendengar pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap Omateng sebenarnya sudah menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah seorang baik. Tapi sekarang, sesudah lihat senyuman itu, hatinya timbul perasaan sebal dan kembali curigai orang yang serakah itu. Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke arah tempat sembunyinya Thian Oe. “Keluarlah! Aku sudah lihat kau,” kata ia. Sehabis berkata begitu, ia lantas jalan turun ke bawah bukit es. Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona, tapi sekarang, sesudah berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa. Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: “Terima kasih atas pertolonganmu kepada wanita yang menderita ini!” Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama itu, belum pernah ia bicara dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya lantas saja bersemu merah dan ia berdiri dengan sikap kemalu-maluan. Akan tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya dengan mulut tersungging senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan angkuh, Thian Oe jadi merasa lebih tetap hatinya. Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera yang berwarna putih dan persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu khata. Si gadis mesem simpul dan sambuti hadiah itu dengan dua jerijinya. Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia berkata: “Terima kasih buat hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?” “Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan,” jawab Thian Oe. “Sungguh ‘ku tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang kita muliakan.” “Urusanku kau tak usah sebut-sebut lagi,” kata Chena. “Di antara orang Tsang ada satu pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan ceritakan di siang hari.” Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya sangat memperhatikan wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi mulutnya seperti terkancing. Akhirnya, dengan memberanikan hati, ia berkata: “Alangkah baiknya kalau nona tidak terlalu percaya Nyepa Omateng.” “Apa ia?” kata Chena. “Urusanku aku dapat mengurus sendiri. Legakanlah hatimu.” Sesudah berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal dan kuatir kalau-kalau perkataannya menyinggung perasaan. Maka itu, ia kembali mesem dan berkata: “Biar bagaimana juga, aku menghaturkan banyak terima kasih buat maksudmu yang sangat baik. Sebenarnya aku pun tidak percaya habis padanya! Sedari tadi, aku sudah mengetahui kedatanganmu, akan tetapi aku tidak membilang apa-apa di hadapannya.” Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka suara, sang puteri sudah mendahului “Terima kasih banyak buat hadiahmu. Aku sendiri tidak mempunyai suatu apa untuk membalasnya. Biarlah aku persembahkan sekuntum bunga kepadamu.” Thian Oe heran. “Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa sedemikian dingin, dimanalah orang dapat mencari kembang?” kata ia dalam hatinya. Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas itu terdapat sekuntum bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-butiran embun, seperti juga baru dipetik dari tangkainya. “Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah simpan setahun lamanya,” kata Chena. “Sekarang biarlah aku persembahkan kepadamu.” Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya bunga itu, yang sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar? “Menurut keterangan Thianlie tjietjie,” kata lagi Chena. “Bunga ini dinamakan soatlian (Teratai salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan dan dipindahkan ke tempat tinggalnya. Tidak perduli orang mendapat luka di dalam yang bagaimana berat, begitu makan bunga ini, jiwanya akan ketolongan. Kau ambillah.” “Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian besar,” kata Thian Oe. “Apa kau lupakan gurumu?” tanya Chena. “Aku tahu, dua orang Han itu cari permusuhan dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu kau sudah menolong jiwaku dan aku tidak mempunyai apa-apa buat membalas budimu. Soatlian ini justru cocok buat gurumu. Ambillah.” Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas menerima vas tersebut. Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia sendiri dapat menyembuhkan lukanya, akan tetapi sekarang, sesudah lewat empat hari, kedua lengannya masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan napas itu bisa berhasil baik. “Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah,” kata Chena sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia loloskan seutas tambang panjang yang ujungnya dipasangi gaetan. Dengan sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada batangnya satu pohon siong tua. Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang lantas terbang ke seberang. Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap, ia sudah lewati tanjakan di sebelah depan dan sesudah biluk di satu lembah, badannya lantas menghilang. Thian Oe menghela napas panjang. “Ah, bertahun-tahun aku belajar silat, tapi ia, yang baru elajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian entengi badan yang lebih tinggi daripada aku,” katanya di dalam hati. Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan pulang. Sembari jalan, otaknya penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat kejadian-kejadian luar biasa selama beberapa hari paling belakang. Itu gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi, didengar dari pembicaraannya sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara bagaimana, dalam tempo cuma tiga hari, ia sudah bikin puteri yang lemah dari seorang raja muda menjadi seorang yang ilmu silatnya tinggi. Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati beberapa lembah dan ia sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber air panas. Sesudah datang lebih dekat, di antara suara semburan air, lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata yang semakin lama jadi semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya. Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar dari pinggir jalan. Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari pinggir jalanan loncat keluar satu orang yang tangannya mencekal pecut panjang. “Bocah tolol!” ia mengejek sembari tertawa. “Kau mau pulang buat antar jenazahnya tua bangka she Siauw?” Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit sembari sabetkan pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja kena terpecut kalau tidak buru-buru loncat tinggi. Sembari tertawa berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang menyambar dua kali beruntun bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka jendela melongok bulan), Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay. Dengan cepat ia robah gerakan dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh lantaran diserang atas dan bawah. Dalam kerepotannya itu, Thian Oe kirim satu tikaman hebat. Mendadakan, ia rasakan lengannya berat, sebab pedangnya kena digulung sama ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa berpikir keluarlah ilmu silat simpanan dari gurunya. Ia pasang kuda-kuda dan gentak pedangnya Orang itu keluarkan seruan tertahan lantaran ujung pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat itu, Thian Oe segera barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu, orang itu terpaksa mundur beberapa tindak. Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya. Cuma saja lantaran baru pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada gebrakan pertama, hatinya sedikit keder. Sesudah lihat kemampuan sang lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi lebih besar dan dengan tenang ia keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari Tjengshia pay) yang lantas menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus sudah lewat tanpa ada yang keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi orang itu lebih matang dalam pengalaman. Sekarang orang itu tidak berani lagi memandang enteng kepada pemuda lawanannya. “Murid dari guru ternama, memang juga tidak sembarangan,” kata ia dalam hatinya. Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan akal licik. Kakinya terus bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian Oe terpaksa mengikuti padanya. Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya. Ditambah dengan gelapnya sang malam dan licinnya jalanan lantaran es, bahaya itu jadi semakin besar. Thian Oe belum mempunyai pengalaman. Buat jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah tidak biasa, apalagi mesti bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali dalam mengikuti tindakan lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan hampir-hampir jatuh terguling. Dengan perlahan orang itu tuntun Thian Oe ke pinggir jurang dan hatinya diam-diam merasa girang. Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan tidak mau bergerak lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan saban-saban musuh datang dekat, ia menikam atau menyabet bagaikan kilat. Ternyata Thian Oejuga sangat cerdik. Begitu melihat cara berkelahinya orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam. Buru-buru ia kerahkan ilmu Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap kedua kakinya di atas tanah. Dalam kedudukan begitu, ia mengambil siasat membela diri. Berulang kali orang itu coba pancing padanya, tapi ia tetap tidak mau bergerak. Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat menyerang masuk, sedang Thian Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi hatinya merasa sangat tidak sabaran, kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara tertawa dari seorang tua. “Hm!” kata orang itu. “Masa segala bocah kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe, coba dekatan supaya aku dapat melihat terlebih nyata.” Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang lelaki tinggi besar dan bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam tandu itu duduk satu orang yang mukanya kuning dan menakuti sekali, sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu bukan lain daripada Tjoei In Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena terpukul hudtim, isi perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah dan tidak dapat bergerak. Lantaran begitu, ia perintah dua muridnya tandu padanya buat pergi ke Shigatse guna cari Loei Tjin Tjoe supaya dapat diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di tengah jalan ia bertemu dengan Tan Thian Oe. Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan sungkan turun tangan terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih dahulu perintah salah satu muridnya menyerang pemuda itu. Ia menduga, berhubung usianya yang masih sangat muda. Thian Oe tidak mempunyai kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua puluh tahun, sehingga dengan sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan dapat dibekuk. Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang dibelajarkan oleh Thian Oe adalah lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah mempunyai dasar-dasar yang kuat. Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat bagus, kalau bukan ia masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan tandingannya. Melihat muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe terpaksa munculkan diri. Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan dan ia berdiri sembari tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati sebelah di bagian bawah, tapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua jerijinya sentil sebutir Thielian tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu melesat bagaikan kilat dan sebelum Thian Oe keburu kelit, ia rasakan dadanya kesemutan dan badannya terguling di atas tanah. Masih untung, lantaran mendapat luka, tenaga dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak kurang, sehingga muridnya Siauw Tjeng Hong tidak sampai menjadi pingsan. Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di atas tanah dan bersama soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat. “Geledah badannya!” memerintah sang guru. Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian. Tjoei In Tjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata: “Ha! Kalau begitu Sanma rela menyerahkan soatlian dari Thiansan kepadamu. Muridku, serahkan vas itu kepadaku.” Bukan main gusarnya Thian Oe. “Itu adalah milik guruku!” ia berseru. “Gurumu tak perlu lagi barang begini,” kata Tjoei In Tjoe. “Sebentar aku akan kirim kau ketemui gurumu.” Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat badannya ada cukup kuat. “Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia ke dalam tandu,” Tjoei In Tjoe perintah muridnya. Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan cara bagaimana ia buka tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan ke dalam mulutnya! Mengingat soatlian itu tadinya adalah untuk gurunya sendiri, bukan main sakit hatinya Thian Oe. Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas jalan dengan cepat sekali. Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya di atas puncak-puncak gunung yang tertutup es, sehingga puncak-puncak itu jadi bersinar putih bagaikan perak. Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran Thian Oe awasi perubahan pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe kuning pias, adalah sekarang, sesudah makan soatlian, mukanya mulai bersemu merah. Ia duduk disitu dengan meramkan kedua matanya, sambil kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia tertawa nyaring sekali. “Sungguh manjur soatlian dari Thiansan!” ia berseru. Suaranya yang nyaring berbeda sekali daripada tadi. Tak terkira sakit hatinya Thian Oe, sakit hati yang tercampur keheranan. “Aku tidak duga soatlian begitu manjur. Luka di dalam dari manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu cepat. Ah, malam ini jiwanya guru dan murid akan binasa!” pikir Thian Oe dalam hatinya. Sesudah lewat beberapa lama, suara semburan air panas kedengaran semakin nyata, diseling dengan suara bentakan dan beradunya senjata. Paras muka Tjoei In Tjoe menunjukkan keheranan. “Ih! Urat lengan si tua bangka she Siauw sudah diputuskan dengan tali gendewaku. Cara bagaimana ia masih bisa bertempur?” kata ia. Mendadak dengan dua jerijinya ia gunting tali yang mengikat badan Thian Oe, yang lantas diangkat, dan ia lantas loncat turun dari tandu. “Tak usah digotong lagi!” kata ia. “Aku Tjoei Loosam tidak berdusta. Sekarang juga aku antar kau ketemui gurumu.” Dikempit oleh musuh tangguh, Thian Oe tidak dapat berkutik. Setibanya di dekat sumber air panas, ia lihat tendanya robek sana sini, sedang ketiga orang kasar yang masing-masing mencekal golok mengkilap, sedang kepung gurunya yang bersita di tengah-tengah tenda yang robek itu. Thian Oe terperanjat. Gurunya bersila dengan badan tidak bergerak, sedang mulutnya menggigit hudtim. Golok yang menyambar, ia sampok dengan hudtim. Tak perduli serangan datang dari depan, samping atau belakang, dengan sedikit saja goyang kepalanya, hudtim itu selalu dapat menyambut dengan tepat sekali! Semakin hebat bacokan musuh, semakin hebat lagi tenaga yang menangkis. Tjoei In Tjoe kerutkan alisnya dan kemudian tertawa berkakakan. “Siauw Tjeng Hong!” ia berseru. “Marilah aku sambut lagi hudtimmu.” Tiga orang yang sedang mengepung lantas loncat mundur. Dengan sekali loncat, Tjoei In Tjoe sudah berhadapan dengan Siauw Tjeng Hong dan kedua tangannya lantas terangkat naik. Dengan seruan tertahan, Tjeng Hong pentang mulutnya dan kebutannya melesat bagaikan anak panah. Dengan sebet, Tjoei In Tjoe kelit senjata itu. “In Tjoe,” berkata Siauw Tjeng Hong sambil menghela napas. “Lweekangmu ternyata lebih tinggi daripada aku. Empat hari aku kerahkan hiankong, kedua lenganku belum dapat bergerak, tapi kau sudah bisa jalan sebagaimana biasa. Aku mengaku kalah!” “Tidak! Soehoe, kau tidak kalah!” berseru Thian Oe. “Dia yang kalah. Dia rampas soatlian-ku.” Siauw Tjeng Hong kaget dan berseru: “Apa? Dari mana kau…” Belum habis perkataannya, Tjoei In Tjoe sudah loncat sembari menotok jalan darahnya sama jerijinya, sehingga ia tidak keburu menanya terus. Tan Thian Oe yang jalanan darahnya masih belum terbuka, ketika itu telah didorong roboh oleh satu muridnya Tjoei In Tjoe. “Siauw Tjeng Hong,” kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa. “Mengenai ilmu, kau memang lebih tinggi daripadaku. Tapi memang sudah maunya Tuhan, aku mesti membunuh kau. Maka itu,dengan pinjam tangan muridmu, Tuhan sudah kirim soatlian yang langka untukku!” Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dan keluarkan suara di hidung. “Bagus!” kata ia. “Sungguh gagah! Hari ini aku dapat saksikan kepandaiannya ahli silat Khongtong pay!” Tjoei In Tjoe kembali tertawa dan berkata: “Menurut peraturan Kangouw, aku mesti tunggu sampai kau sembuh, barulah jajal lagi kepandaianmu. Cuma aku kuatir, sesudah sembuh, kau kembali akan kabur sembari kelepotan buntut. Kemana aku mesti cari padamu? Apalagi dahulu, kau bersama itu perempuan siluman juga menggunakan akal bulus buat celakakan kita. Hai! Dengarlah! Sekarang lebih dahulu aku mau balaskan sakit hatinya toako dengan persen empat bacokan di atas mukamu!” Sehabis berkata begitu, ia ambil sebatang golok dari tangan soetit-nya (keponakan murid, tiga orang itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe). Sembari bulang-balingkan golok itu, ia tarik tangannya Siauw Tjeng Hong dan awasi muka korbannya dengan sorot mata kejam. Mendadak ia keluarkan satu suara tertawa seperti orang kalap dan angkat goloknya yang akan segera menyabet mukanya Siauw Tjeng Hong. Mendadak, mendadakan saja, satu suara tertawa dingin terdengar, disusul dengan perkataan halus mengejek: “Aduh! Gagah betul!” Tan Thian Oe kaget sebab satu bayangan berkelebat di pinggir badannya, dan apa yang membikin ia jadi lebih kaget lagi, adalah jalanan darahnya mendadak terbuka sendirinya! Orang yang baru datang adalah si anak sekolah yang berdiri disitu sembari mesem-mesem simpul. Tjoei In Tjoe mengawasi dan menanya: “Apa tuan tidak suka hati?” “Mana aku berani!” jawab si anak sekolah. “Dalam kalangan Kangouw, soal membalas sakit hati adalah soal yang lumrah. Cuma saja orang tua ini mempunyai sedikit hubungan denganku.” “Dalam kalangan Kangouw, hal membantu sahabat adalah hal yang lumrah,” kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa dingin. “Baiklah. Kita jangan banyak omong yang tidak ada perlunya. Cabut senjatamu, aku Tjoei In Tjoe akan meladeni beberapa jurus dengan tangan kosong.” Si anak sekolah dongak dan tertawa terbahak-bahak. “Aku belum keluar dari rumah perguruan,” kata ia. “Guruku larang aku adu tenaga dengan orang.” “Kalau begitu, apakah dengan dengar omongannya satu pitik, aku harus ampuni si tua bangka?” kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa bergelak-gelak. “Siapa kau? Siapa gurumu?” “Siapa suruh kau ampuni si tua bangka?” sahut si anak sekolah. “Si tua bangka adalah musuhku juga!” Tjoei In Tjoe kaget dan berkata: “Kalau begitu aku salah sangka. Apa kau juga mempunyai permusuhan dengan dia?” “Benar,” sahutnya. “Sungguh bagus nasibmu,” kata Tjoei In Tjoe dengan sikap sombong. “Dengan ilmu silatmu, sekali pentil saja, dia bisa bikin kau terguling ke dalam jurang. Mengingat kita berdua sama-sama bermusuh padanya, sesudah aku membacok empat kali, kau boleh bacok satu kali buat lampiaskan ganjelanmu.” “Tidak,” kata si anak sekolah. “Sakit hatiku dalam seperti lautan. Kasihlah aku yang membalas lebih dahulu.” Hatinya Tjoei In Tjoe gusar sekali, tapi oleh karena perasaan herannya, ia segera menahan sabar. “Kau mempunyai permusuhan apa dengan dia?” tanya ia. “Coba ceritakan.” “Kemarin di tengah jalan aku bertemu mereka, guru dan murid,” ia menerangkan. “Waktu aku minta air dari muridnya, si tua unjuk paras sekaker. Baik juga muridnya yang baik hati, bagikan air kepadaku. Ah, orang kehausan bisa jadi mati, dan si tua rela melihat kebinasaan sambil berpeluk tangan. Inilah sakit hatiku yang pertama Tadi, saudara kecil itu sebenarnya mau undang aku buat sama-sama mengasoh dalam tendanya. Tapi si tua tidak permisikan. Tendaku sudah pada robek dan angin dingin menyerang hebat sekali, hingga hampir-hampir aku mati kedinginan. Ah, mendesak orang sampai mesti mati kelaparan dan kedinginan adalah kedosaan hebat. Inilah sakit hatiku yang kedua.” Begitu bertemu dengan si anak sekolah, Siauw Tjeng Hong sudah merasa heran. Sekarang, esudah dengar omongannya, hatinya jadi kaget sekali. “Cara bagaimana ia bisa dapat dengar pembicaraanku dengan Oe-djie?” tanya ia dalam hatinya. Tjoei In Tjoe jadi gusar sekali. “Jangan banyak bacot!” ia berteriak sembari sabetkan goloknya ke arah si anak sekolah. Sembari berteriak “A-yo!” ia miringkan badannya dan goloknya Tjoei In Tjoe jatuh di tempat kosong. “Kau tidak bacok si tua, sebaliknya membacok aku,” berseru si anak sekolah. “Punya sakit hati tidak dibalas, berbalik hantam kawan sendiri. Dalam dunia mana ada aturan begitu!” Diejek secara begitu, Tjoei In Tjoe jadi seperti orang kalap dan ia lalu membacok beruntun tiga kali. “Kalau kau tak mau membalas sakit hati, biarlah aku turun tangan lebih dahulu,” kata si anak sekolah, “aku belum keluar dari perguruan dan guruku larang aku menggunakan senjata tajam. Tapi menggunakan senjata rahasia rasanya masih boleh juga.” Sembari kelit sana-sini buat loloskan diri dari bacokan saling susul, ia ayun satu tangannya dan beberapa sinar emas melesat ke arah Siauw Tjeng Hong. Ketika itu Siauw Tjeng Hong tak dapat bergerak lantaran jalanan darahnya sudah kena ditotok dan beberapa jarum emas itu mengenakan tepat pada sasarannya! Thian Oe terkesiap. Barusan mendengar si anak sekolah permainkan Tjoei In Tjoe, Thian Oe menduga, ia berdiri sebagai kawan. Tapi tak dinyana, benar-benar ia menggunakan senjata rahasia buat menyerang * gurunya. Tanpa berpikir lagi, ia loncat dan hantam jalanan darah Tayyang hiat si anak sekolah dengan gerakan Kimkouw kibeng (Tambur emas bersuara). Si anak sekolah berkelit. “Dengan menghadiahkan air, kau adalah tuan penolongku,” kata ia sembari tertawa. “Seorang laki-laki harus membalas budi dan sakit hati secara tepat. Maka itu, manalah aku boleh turun tangan terhadap seorang penolong.” Sehabis berkata begitu, badannya berkelebat dan lantas tidak kelihatan lagi! Sesudah membacok tempat kosong empat kali dan setelah melihat lagak lagunya si anak sekolah yang sedemikian aneh, Tjoei In Tjoe jadi bengong beberapa saat. Hatinya sungguh tidak dapat mengerti apa maunya orang itu. Ia balik badannya dan menoleh kepada Siauw Tjeng Hong. Kali ini, ia benar-benar kaget! Siauw Tjeng Hong sudah bisa angkat kedua tangannya dan berseru: “Tjoei Loosam, marilah kita adu tenaga lagi!” Beberapa jarum emas yang menancap di dagingnya masih kelihatan menonjol di luar bajunya dan pancarkan sinar yang gilang-gemilang! Ketika si anak sekolah menimpuk dengan jarum emas, hatinya Siauw Tjeng Hong terkejut bukan main. Tapi di lain saat, mendadak ia rasakan satu perasaan segar dalam badannya, hawa dan darah mengalir lagi seperti biasa, bukan saja jalanan darah yang tertotok terbuka kembali, akan tetapi, urat-uratnya yang kena terpukul juga sudah pulih seperti sediakala, sedang buku-buku tulang yang kesemutan pun sudah dapat bergerak leluasa. Inilah ada kejadian seperti di dalam impian dan Siauw Tjeng Hong kaget berbareng girang. Tjoei In Tjoe terperanjat bukan main. Ketika itu tangannya Siauw Tjeng Hong sudah terangkat dan terus menghantam dengan sepenuh tenaga. In Tjoe menyambut dan rasakan tenaga yang luar biasa besarnya, mendorong ia sehingga badannya sempoyongan ke belakang beberapa tindak. “Tenaga dalamnya si tua cuma lebih tinggi setingkat daripadaku. Tapi kenapa dalam tempo yang begitu pendek, ia sudah jadi begitu liehay?” tanya In Tjoe dalam hatinya. Ia tidak mengetahui, bahwa tenaganya Siauw Tjeng Hong sudah pulih kembali, sedang tenaganya sendiri, biarpun lukanya sudah disembuhkan dengan soatlian, belum balik seperti biasa, oleh karena ia mendapat luka yang lebih berat daripada musuhnya. Itulah sebabnya kenapa ia kalah jauh dari tenaganya Siauw Tjeng Hong. Melihat gurunya sembuh mendadak, Thian Oe jadi seperti orang kalap lantaran kegirangan. “Oe-djie, hati-hati!” mendadak ia dengar gurunya berteriak. Dua muridnya Tjoei In Tjoe menyerang dari kiri dan kanan dengan mendadak. Melihat dirinya dikerubuti, Thian Oe lantas menyambut dengan gerakan Kaykiong siatiauw (Pentang gendewa memanah burung tiauw). Murid-muridnya Loei Tjin Tjoe juga sudah menyabet dengan goloknya. Dikerubuti oleh beberapa musuh, manalah Thian Oe bisa tahan? Dalam tempo sekejap, ia sudah keteter dan keadaannya berbahaya sekali. Mendadak terdengar suara berkerontrangan dan goloknya satu musuh terlempar di atas tanah, sedang musuh itu berteriak kesakitan sembari pegang tangannya. Orang yang menolong adalah gurunya sendiri. Sembari desak Tjoei In Tjoe dengan seranganserangan hebat, Siauw Tjeng Hong masih sempat hantam jatuh senjata murid-muridnya Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Melihat gelagat tidak baik, Tjoei In Tjoe lantas berseru: “Kabur!” dan bersama dua murid serta tiga cucu murid, ia panjangkan langkahnya. Thian Oe segera mengejar sembari tengteng pedang. “Oe-djie, balik! Jangan kejar!” berteriak Siauw Tjeng Hong. Thian Oe lantas balik dan waktu mau menanya, ia lihat gurunya sedang cabuti jarum, jarum emas dari badannya, dengan saban-saban gelengkan kepalanya. “Soehoe, bagaimana sih duduknya kejadian ini?” tanya Thian Oe. “Dalam ilmu pengobatan ada semacam cara mengobati dengan menggunakan jarum,” menerangkan Siauw Tjeng Hong. “Akan tetapi, yang paling luar biasa adalah dengan menimpuk dari tempat jauh, tujuh batang jarumnya pemuda itu bisa menancap tepat di jalanan darah yang diingini. Dari sini dapat dibayangkan, bukan saja ilmu ketabibannya pemuda itu luar biasa tinggi, tapi tenaga dalamnya pun tak dapat diukur bagaimana dalamnya!” “Kalau begitu, barusan ia menolong soehoe?” kata sang murid. “Tadi aku ketakutan setengah mati!” Siauw Tjeng Hong menghela napas panjang dan berkata: “Sungguh-sungguh di luar langit masih terdapat langit, di atas kepandaian masih terdapat kepandaian. Ia itu masih berusia begitu muda, tapi ilmu silatnya banyak lebih tinggi daripada aku. Benar-benar aku seperti kodok di dalam sumur yang tidak mengetahui luasnya langit dan bumi. Mulai dari sekarang, sungguh-sungguh aku tak berani tonjol-tonjolkan lagi ilmu silatku.” ..- “Soehoe berdiam di rumahku hampir sepuluh tahun, tapi semua orang, kecuali aku, tidak mengetahui, bahwa soehoe mempunyai kepandaian yang begitu tinggi,” kata Thian Oe. “Dari sini dapat dilihat, bahwa kesabaran soehoe sukar terdapat dalam dunia ini.” Siauw Tjeng Hong kembali menghela napas panjang dan berkata: “Kau mana tahu, bahwa di waktu muda, lantaran gara-gara tonjolkan kepandaian, aku sudah bentur bencana dan tanam permusuhan hebat dengan beberapa memedi itu.” Thian Oe yang belum pernah dengar asal-usulnya sang guru, jadi merasa sangat ketarik dan pasang kuping terang-terang. “Apakah kau tahu, di kolong langit dalam jaman ini, ilmu pedang partai mana yang paling bagus?” Tjeng Hong tanya muridnya. “Bukankah soehoe pernah bilang, ilmu pedang yang paling bagus adalah dari Thiansan?” jawab sang murid. “Ilmu pedang dari Thiansan, yang digubah oleh Hoeibeng Siansu telah diturunkan kepada Leng Bwee Hong dan kemudian diwarisi pula kepada Tong Siauw Lan. Mereka itu adalah pendekar-pendekar besar dari setiap jaman dan rasanya sukar dicari tandingannya di dalam dunia.” “Benar,” kata sang guru. “Akan tetapi ilmu pedang Thiansan, lantaran berpusat di tempat jauh,sesudah jamannya Tayhiap Tong Siauw Lan, jarang sekali terlihat di daerah Tionggoan. Maka itulah, tiga cabang besar dari Rimba Persilatan di daerah Tionggoan adalah Boetong, Siauwlim dan Gobie. Partai kita, Tjengshia pay, adalah pecahan dari Gobie dan telah berdiri sebagai satu partai sendiri.” Mendengar sang guru mau bicarakan soal partai-partai ilmu pedang dengan dirinya, Thian Oejadi merasa heran. “Coba kau tebak, berapa usiaku tahun ini?” tanya sang guru. Sembari awasi rambut orang yang sudah putih, Thian Oe menjawab: “Mungkin tidak berjauhan dengan usia ayah.” Ayahnya Thian Oe berusia lima puluh tahun lebih. “Lantaran jengkel, rambutku jadi putih sebelum waktunya,” kata Siauw Tjeng Hong sembari tarik napas. “Sekarang aku baru berusia empat puluh lebih sedikit.” Thian Oe kaget. Sebelum ia menanya apa-apa, gurunya sudah lanjutkan penuturannya: “Pada tiga belas tahun berselang, aku berada di Soetjoan. Tahun itu kebetulan tahunan Moh Tjoan Seng mengadakan kiatyan, yang diadakan saban sepuluh tahun sekali (Kiatyan = Dalam agama Budha, memberi ceramah dan sedekah kepada orang-orang miskin). Moh Tjoan Seng adalah tokoh kenamaan dari Boetong pay.” “Apakah Moh Tayhiap satu hweeshio (pendeta)?” tanya Thian Oe. “Bukan,” jawab sang guru sembari tertawa. “Moh Tayhiap bukannya memberi ceramah tentang keagamaan seperti caranya seorang pendeta. Ia memberi ceramah kepada orang tingkat mudaan dari kalangan Rimba Persilatan. Menurut pendengaranku, Moh Tjoan Seng adalah ahli pedang dari tingkatan tua dan ia adalah puteranya Koei Tiong Beng, ahli waris ilmu pedang Tatmo dari Partai Utara Boetong. Oleh karena harus menyambung turunan keluarga Moh, ia jadi menggunakan she ibunya, yaitu she Moh. Dalam kalangan Rimba Persilatan di daerah Tionggoan, ia diakui sebagai orang yang mempunyai ilmu silat paling tinggi. Saban sepuluh tahun sekali, Moh Tayhiap membuka pintu dan member ceramah tentang ilmu silat. Di sebelahnya itu, ia juga memberi petunjuk-petunjuk kepada orang-orang dari tingkatan lebih muda. Maka itulah, saban-saban ia mengadakan Kiatyan, orang-orang pandai dari berbagai cabang persilatan pada naik gunung buat mendengar ceramahnya. Pada tempo itulah, aku mulai kenal Loei Tjin Tjoe, Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe. Waktu itu, di lehernya Ong Lioe Tjoe belum tumbuh daging lebih. Namanya ketika itu adalah Ong Lioe (Lioe dalam artian “Mengalir”) Tjoe. Selewatnya tahun tersebut, lantaran di lehernya tumbuh daging lebih yang nonjol, orang-orang Kangouw tukar huruf Lioe (Mengalir) jadi Lioe (Daging lebih). Antara orang-orang yang hadiri Kiatyan terdapat pula seorang murid wanita Gobie pay yang bernama Tjia In Tjin, tergelar Sengtjhioe Siannio (Dewi tangan malaikat). Sepanjang warta, ia mempunyai ilmu silat paling tinggi di antara orang-orang tingkat kedua dari Gobie pay.” Waktu menyebutkan namanya Tjia In Tjin, badannya Siauw Tjeng Hong kelihatan sedikit gemetar.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |