儿山 / Que Er Shan/ Tjiak Djie San Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang ke atas bagaikan gigi anjing. Selama berada di bagian tertinggi dari gunung itu, dunia dirasakan sempit dan berjalan di antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat perasaan menyeramkan. Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di tempat terbuka, darimana ia dapat memandang puncak-puncak yang lebih rendah dan kelihatan seolah-olah kambing-kambing berbulu putih. Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi terbangun. “Untung juga kita sudah melepaskan diri dari si kusta yang menyebalkan,” katanya sembari tertawa dan bertepuk tangan. “Jika ia masih berada disini, pemandangan yang begini indah seperti juga dikotorkan olehnya.” “Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu,” kata sang majikan sembari tertawa. “Dia sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau begitu jengkel terhadapnya?” “Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh,” kata pula Yoe Peng. “Mana bisa dia dibandingkan dengan Tong Siangkong.” Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si nona menghela napas panjang. Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati selat gunung di sebelah selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat di depan mata. Yoe Peng jadi semakin gembira. “Ah! Berjalan di jalan gunung selama beberapa hari ini, sungguh-sungguh menyesakkan dadaku,” katanya. “Sungguh menyebalkan terus menerus makan daging kambing bakar.” Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba ia menuding ke sebelah depan seraya berkata: “Coba lihat, siapa itu?” Yoe Peng mengawasi ke arah yang ditunjuk majikannya. Di lereng gunung tiba-tiba muncul seorang yang mengenakan pakaian berwarna hijau, sedang kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi. Beberapa saat kemudian, mereka kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie! Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya. “Kenapa kau kembali lagi?” tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim Sie Ie datang dekat. “Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus berpakaian rapi,” jawabnya. “Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain daripada mencuri pakaian supaya aku dapat berjalan bersama-sama kau.” “Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri,” kata Peng Go sembari tertawa. “Benar,” kata Kim Sie Ie. “Aku juga sudah mencuri lain macam barang. Apa kau mau?” Sehabis berkata begitu, dari kantong yang menggemblok di punggungnya, ia mengeluarkan rantang makanan yang terisi empat macam sayur dan nasi putih. Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: “Terima kasih.” Ia membagi separoh makanan itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: “Tidak, aku tak mau.” Meskipun mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit kusta, Yoe Peng tak dapat menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia sendiri lalu memetik beberapa buah dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak sekali, sorot mata Kim Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan dua butir air mata turun di kedua pipinya. Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak memperlihatkan lagak gila-gila agi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo menceritakan kejadian aneh dalam kalangan Kangouw. Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia bungkam dalam seribu bahasa, sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk mendesak. Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan Tjiakdjie san. Di sepanjang jalan, orang-orang yang berpapasan dengan mereka, selalu mengawaskan dengan sorot mata heran, sehingga Yoe Peng merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan majikannya yang sudah mau berjalan bersama-sama pengemis itu. Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: “Disini aku mempunyai seorang sahabat. Mari kita mengunjungi ia.” “Kami tidak mengenal sahabatmu itu,” kata Yoe Peng. “Kau pergilah sendiri.” Tapi Pengtjoan Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui, siapa sahabat orang aneh itu. “Sudah ketelanjur kita berjalan bersama-sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan sahabatmu itu,” katanya sembari tertawa. Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan nonanya. Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah gedung yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-manggil beberapa kali, tapi tak ada yang menyahut. Entah dengan menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat membuka pintu itu dan di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda. Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan agung, sehingga Peng Go merasa heran melihat si pengemis punya sahabat serupa pemuda itu. Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata heran. Sesaat kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: “Maaf, aku tidak mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama Hengtay datang disini?” Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi Kim Sie Ie mengeluarkan lagak-lagaknya yang gila-gila! “Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng,” kata Kim Sie Ie. “Siapa mau bertemu dengan kau?” Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng? Nama itu agak tak asing baginya. “Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali,” jawab si pemuda. “Apa? Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?” Kim Sie Ie menegasi. “Sayang! Sungguh sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta keluarga yang tingkatannya tua?” “Kakek dan pamanku sudah pada meninggal,” jawabnya. “Tak ada orang lagi yang dapat melayani kau.” “Mana bisa? Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari tingkatan lebih tua sudah pada mati seanteronya?” tanya si pengemis secara kurang ajar sekali. Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar. “Yang tingkatannya lebih tua dalam keluarga kami hanya ketinggalan Kouwkouw (bibi),” sahutnya dengan suara mendongkol. “Ia sudah tua dan berpenyakitan, sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/’ “Bagus!” kata Kim Sie Ie. “Coba panggil Kouwkouw-mu.” Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa mengeluarkan kata-kata yang sedemikian kurang ajar. “Dua tahun berselang, ketika Moh Tjoan Seng Loopeh datang berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak keluar menyambut,” katanya dengan suara dingin. “Dengan sebenar-benarnya ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika mungkin, beritahukan saja kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat menyampaikan kepada Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian.” Ia menyoja, sebagai suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi terlebih lama. Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh pemuda itu adalah paman yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, Moh Tjoan Seng adalah pemimpin Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang sebagai Moh Tjoan Seng masih belum mendapat kehormatan untuk disambut oleh Kouwkouw pemuda itu, bukankah permintaan Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak tahu diri? Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. “Apakah kau mau mengusir tamu?” tanyanya dengan suara aseran. “Mana aku berani? Mana berani? Maaf, harap dimaafkan,” jawab si pemuda, tapi kedua tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang mengantar tamu keluar. Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di lain saat, parasnya bersinar merah, mukanya penuh dengan daging yang menonjol keluar seperti bisul dan di kedua lengannya pun muncul bisul-bisul yang menjijikkan. Pemuda itu mencelos hatinya. “Kau! Kau!” ia berteriak. “Fui!” Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan tangannya bergerak, sehingga pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: “Kau mau mengusir aku, aku justru tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat, apakah kau mau keluar atau tidak!’ “Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!” demikian terdengar suara seorang tua. Beberapa saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, muncul dengan dipepayang seorang pelayan wanita. Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan berseru sambil menuding pengemis itu: “Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau juga menemui kau.” “Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?” kata si nenek. “Apa kau tak tahu? Ambil busurku!” Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia kelihatan lemah dan tidak berdaya, sekarang ia berubah angker dan garang. Ia menyambuti sebuah busur yang disodorkan pelayannya dan berbareng dengan suara menjepret, belasan peluru menyambar susul menyusul. Kim Sie Ie tertawa besar. “Sungguh beruntung hari ini aku dapat menyaksikan senjata rahasia dari keluarga Tong!” ia berseru sambil loncat dan memutarkan tongkatnya bagaikan titiran. Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu menyambar dengan macammacam cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang miring, ada yang lebih dulu berbentrok satu dengan yang lain, kemudian baru menyambar sasarannya, seperti bola bilyar — dan anehnya, setiap peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang besar! Cara melepaskan senjata rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba Persilatan! Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan disertai suara “tring-tring!” dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar luar biasa cepatnya, sudah berhasil mementalkan dua belas peluru itu. Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie mengeluarkan juga keringat dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman peluru-peluru itu. Ia sekarang mendapat bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek itu tidak berada di sebelah bawahnya. “Bagus!” seru si nenek. “Muda-muda tak sayang diri. Sungguh sayang!” Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama. Jika tadi peluru-peluru itu menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini menyambarnya tidak bersuara. Peluru-peluru itu melayang dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru. Mereka menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu mendekati sasaran kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan menambah kecepatannya dan melombai kelompok yang di sebelah depan. Di lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu menyambar tubuh Kim Sie Ie dengan serentak! “Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!” teriak Kim Sie Ie yang lantas saja jungkir balik beberapa kali di atas tanah. “Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!” ia berseru sembari meloncat dan menyemburkan ludahnya. Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia segera mengetahui, bahwa ia tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang namanya pernah disebut-sebut Tong Keng Thian. Beberapa puluh tahun berselang, nama nenek itu telah menggetarkan seluruh dunia Kangouw dan ia adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata rahasia nomor satu di jamannya. Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya dan oleh karena itu, belakangan ia dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu, Tong Kim Hong dan puterinya pernah berbentrok dengan kedua orang tua Tong Keng Thian dan dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu dapat diselesaikan. Liong Leng Kiauw adalah murid penutup dari Tong Kim Hong dan menjadi Soetee Tong Say Hoa. Dalam perjalanan ke Soetjoan untuk sekalian menyelidiki soalnya Liong Leng Kiauw, orang yang ingin dicari oleh Keng Thian adalah nenek itu. Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie terkejut ketika melihat Kim Sie Ie menggunakan senjata rahasianya yang mengandung racun. Tanpa berpikir lagi, ia menghunus pedangnya dan sembari meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di dada Kim Sie Ie, dengan tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata rahasianya. Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras, busur Tong Say Hoa berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai akibatnya, lima helai tali busur itu putus, sedang tongkat besi si pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, baju Kim Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie. “Bagus!” seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang sedang melayang turun, dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang. “Kau benar manusia kejam!” seru Peng Go dengan gusar sekali. “Lain kali jangan kau menemui aku lagi.” Si pengemis tidak menyahut, ia kabur terus sesudah melompati tembok. Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong, ia mengawasi punggung si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah ia harus gusar, apakah ia merasa sayang melihat perbuatan pemuda yang berkepandaian tinggi itu atau bersimpati kepadanya. Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang rusak. “Nona yang cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?” tanyanya. “Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku,” jawabnya dengan menyimpang. Si nenek kelihatan heran. “Hm!” Ia menggerendeng. “Kau keponakan Moh Tjoan Seng? Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis penderita kusta?” Di waktu mengucapkan kata-kata “pengemis penderita kusta,” suaranya mengandung kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum menganggap Kim Sie Ie sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah kenapa, begitu mendengar nada suara dan melihat sikap si nenek, hatinya lantas saja menjadi kurang senang. Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: “Aku menjumpainya di tengah jalan.” Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. “Tong Pehbo!” ia berseru dengan suara kaget. “Kau terkena senjata rahasianya!” Mengingat hebatnya racun senjata si pengemis, ia bergidik dan segala rasa simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin. “Aku tak nyana, ia seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!” katanya dengan suara gusar. “Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?” tanya si nenek sembari tertawa dingin. Si nona mengerutkan alisnya. “Pehbo,” katanya “Apakah kau sudi menggunakan obatku untuk memunahkan racun?” Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka terhadap Peng Go dan yang sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas saja berkata: “Nona, terima kasih untuk kebaikanmu. Untung ada kau yang sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat mustajab?” “Obat itu dibuat olehku sendiri,” jawab Peng Go. “Meskipun tidak dapat dipersamakan dengan Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk memunahkan racun. Tapi aku tak tahu, apakah obat itu berguna terhadap racun senjata rahasia pengemis itu.” Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es yang terasing dari dunia luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus menjalankan peradatan terhadap Tong Say Hoa sebagai seorang yang tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang tingkatannya tinggi. Selain itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat terhadap pernyataan terima kasih pemuda itu, ditambah pula dengan sikapnya yang angkuh, ia sudah membikin Tong Say Hoa jadi lebih mendongkol. Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti, Pengtjoan Thianlie merogoh sakunya untuk mengeluarkan obat. Tiba-tiba si nenek mendongak “Tidak!” “Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba,” bujuk si keponakan. Mendadak Tong Say Hoa mendelik. “Toan-djie!” ia membentak. “Senjata rahasia keluarga Tong belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar yang cupat pandangannya, mungkin tak tahu. Apa kau sendiri tidak tahu? Dalam tempo tiga hari, kutanggung pengemis kusta itu akan datang untuk menukar obatnya dengan obatku. Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua, rasanya ia masih dapat mempertahankan diri untuk tiga hari.” “Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?” tanya pemuda itu. “Pehbie tjiam (jarum alis putih)!” jawabnya. “Dalam tiga hari racunnya akan mengamuk, dalam tujuh hari ia akan mampus, jika tidak mendapat obat pemunahnya!” Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan Pehbie tjiam oleh suami Tong Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh Lie Tie menurut cara pengobatan yang liehay, tak urung ia masih harus menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui Peng Go dari mulut Keng Thian. “Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan sekarang ia hidup menyendiri di Tjengshia san,” kata Tong Say Hoa. “Dia adalah tetua Rimba Persilatan jaman ini dan tidak mengherankan, jika kau mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Aku sudah tua, maaf, aku tak dapat mengantar kau mencari pamanmu itu.” Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti juga mau mengusir ia. “Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin capai Pehbo,” katanya. “Tapi ada suatu kejadian yang aku ingin memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di penjarakan di Lhasa. Apakah Pehbo sudah tahu?” “Apa?” teriak si nenek dengan suara kaget. “Liong Leng Kiauw ditangkap di Lhasa?” Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari berusia tujuh tahun, Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong. Maka itu, meskipun secara resmi ia adalah Soetee (adik seperguruan) Say Hoa, akan tetapi, si nenek menganggap ia seperti putera sendiri. Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang diketahuinya. “Hm!” si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. “Besar benar nyali Hok Kong An dan Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka tidak mau membiarkan aku, si tua, hidup senang di rumah.” “Kouwkouw,” kata keponakannya. “Lebih baik kau jangan terlalu gusar. Sesudah kau sembuh, barulah kita berdamai bagaimana baiknya.” Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. “Benar!” katanya. “Toan-djie! Antar aku masuk.” Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia segera masuk ke dalam. Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go. “Siauwkongtjoe, mari kita berangkat,” kata Yoe Peng. Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan menyoja. “Kouwkouw-ku yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian jangan menjadi kecil hati,” katanya. “Siapakah ayahmu? Tjio Tayhiap atau Koei Tayhiap?” “Ayahku Koei Hoa Seng,” jawab si nona. Pemuda itu terkejut dan segera berkata: “Ah! Kalau begitu Koei Tjietjie! Namaku Tong Toan. Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak mempunyai pelindung, supaya Tjietjie sudi berdiam disini beberapa hari,” “Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan Pehbie tjiam dan sekarang hanya menunggu penukaran obat?” kata si nona. “Kepandaianku sangat cetek. Mana isa aku melindungi Kouwkouw-mu?” Tong Toan tertawa dan berkata pula: “Kouwkouw mengandalkan kepandaiannya secara berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa pengemis kusta itu tidak akan menyatroni lagi dalam tiga hari ini? Jika ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam menyatroni pula dalam tiga hari, siapa yang akan dapat melawan ia?” Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang ada benarnya. “Walaupun nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah seorang Tjianpwee,” katanya di dalam hati. “Jika aku lantas berlalu dan sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa berdosa.” Mengingat begitu, lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari dalam rumah keluarga Tong. Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say Hoa terus menyekap diri di dalam kamar, duduk bersemedhi untuk mengeluarkan racun dari badannya. Dengan memperhatikan paras muka Tong Toan yang semakin lama jadi semakin guram, Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa racun si pengemis sudah bekerja keras dan oleh karena itu, hatinya merasa sangat tidak enak. Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi semua orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan seorang tua dengan senjata beracun secara serampangan, adalah perbuatan yang menurut Peng Go, tidak bisa dimaafkan. Berpikir sampai disini, tanpa merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-duanya adalah pemuda yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim Sie Ie tak dapat direndengkan dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia ingat juga bagaimana Tong Keng Thian sudah mempermainkan dirinya dan berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie yang aneh, tapi yang mengandung kejujuran dalam keanehannya itu. Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian, ia sudah jatuh cinta. Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk segala cacat dan kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya mempunyai perasaan kepengen tahu, paling banyak perasaan kasihan. Itulah sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat “sifat baik” dalam keanehan pemuda itu. Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul. Dengan hati cemas, Peng Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan Tong Loothaypo. Keluarga Tong mempunyai rumah yang sangat besar, tapi hanya sedikit bujang mereka. Begitu si nona berada di luar kamar Tong Say Hoa, ia mendengar suara si nenek. “Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang,” kata si nenek dengan suara keras. “Jika ia tidak berlutut memohon ampun, jangan kau berikan obat pemunah itu!” “Kouwkouw,” kata Tong Toan. “Kita pun membutuhkan obatnya.” “Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah keluarga Tong,” bentak Tong Say Hoa. “Bahwa seorang pengemis sudah berani keluar masuk disini, adalah suatu kejadian yang sangat menghilangkan muka kita. Kalau ia tidak berlutut minta ampun, tak boleh kau memberikan obat itu. Mengerti?” “Tapi, Kouwkouw, kau…” kata Tong Toan, terputus-putus. “Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap menolak obatnya,” kata si nenek yang kepala batu. “Lebih baik biar dia mampus bersama-sama aku, supaya seluruh dunia mendapat tahu, siapa juga yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti membayar dengan jiwanya.” “Kouwkouw,” kata Tong Toan, tergugu. “Inilah… inilah…” Suaranya gemetar, hatinya sangat berkuatir. Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. “Manusia tak punya semangat!” ia membentak dengan gusar. “Benar-benar kau tak berhak menjadi anggauta keluarga Tong!” Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian yang memalukan. Ia tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan kejam hati. Ia merasa gusar terhadap Kim Sie Ie, tapi sesudah mendengar pembicaraan itu, perasaannya terhadap Tong Say Hoa menjadi lain. Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan. Mungkin sekali pemuda itu sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar pula ranjang digebrak. “Benar bandel kau!” membentak si nenek. “Sebelum mati, lebih dulu aku akan mengambil jiwanya!” Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan keluar. Buru-buru Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar biasa cepatnya, sekali berkelebat, ia sudah berada di belakang sebuah gunung-gunungan batu. Meskipun kepandaian pemuda itu masih kacek jauh jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari kecil sudah berlatih menggunakan senjata rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar biasa. Dengan cepat ia memburu ke arah berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu, dengan tindakan perlahan, Peng Go keluar dari tempat sembunyinya. Tong Toan sudah membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu mengenali nona itu. “Ah! Kiranya Koei Tjietjie!” katanya dengan suara halus. “Apakah kau mencari aku?” “Benar,” jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas saja bersemu dadu. “Ada urusan apa?” tanya Tong Toan dengan suara girang. “Aku mencari kau… mencari kau… untuk menanyakan hal ihwal seseorang,” jawabnya dengan suara tergugu. “Siapa?” tanya pula Tong Toan. “Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan olehmu,” jawab si nona. “Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau adalah penduduk disini, lebih gampang untuk menyelidikinya.” Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong Keng Thian, tapi dalam keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan nama pemuda itu. Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia tidak mengentarakan perasaan itu pada paras mukanya. “Karena dalam beberapa hari ini aku repot melayani Kouwkouw, tak sempat aku keluar rumah,” katanya. “Sesudah lewat malam ini, aku tentu akan menyelidiki. Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!” Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap suara seperti jatuhnya daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li. “Ini adalah urusan keluargaku sendiri,” kata Tong Toan. “Hanya dalam keadaan yang sangat berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie.” Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada Kim Sie Ie. Ia mengangguk dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan batu. Diam-diam ia merasa heran oleh karena, sedang tiga hari berselang Tong Toan berusaha menahan ia untuk bantu menghadapi Kim Sie Ie, kenapa sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat perlu. Di lain saat ia sadar. Perubahan sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala batu si nenek yang berkeras ingin menyelesaikan urusan itu dengan tenaga keluarga Tong sendiri. Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie sudah berada di dalam pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa yang menyeramkan. Sebelum Tong Toan sempat membuka mulut, pengemis itu sudah berseru: “Pehbie tjiam sungguh-sungguh liehay! Biar bagaimana pun juga, aku sudah berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong. Aku sungguh kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-sungkan lagi menggunakan senjata yang beracun. Apakah itu memang kebiasaan keluargamu?” Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: “Apakah senjatamu tidak beracun? Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang tua. Apakah itu perbuatan seorang ksatria?” Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali. Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. “Aku memang bukan ksatria,” katanya. “Perkataanmu tak perlu dikeluarkan!’ Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku ksatria dan tak pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim Sie Ie. Mendengar itu Tong Toan menjadi kaget. Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. “Aku memang biasa meminta pelajaran dari kaum ksatria yang berkepandaian tinggi,” katanya. “Jika Kouwkouw-mu seorang biasa, aku tentu tak akan perlu mencarinya. Tapi ia sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata rahasia nomor satu dalam dunia dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga Tong menempel merek ksatria. Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran bagus sekali.” “Apa katamu?” bentak Tong Toan. “Kami dari keluarga Tong tak akan membokong orang seperti kau!’ Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar. “Sekarang aku tanya,” katanya. “Bukankah menurut peraturan Rimba Persilatan, menjajal ilmu dianggap sebagai kejadian lumrah?” “Benar,” jawab Tong Toan. “Nah,” kata pula Kim Sie Ie. “Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu menggunakan jarum beracun Pehbie tjiam, untuk membinasakan aku. Coba kau katakan: Apakah yang aku harus lakukan? Dalam dunia, senjata beracun bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha! Tak bisa lain, aku pun harus melayani! Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk mengambil jiwa manusia. Tokliongteng-ku (Paku naga beracun) paling lama tiga hari. Kau mau aku mati? Gampang! Tapi, sebelum mampus, lebih dulu aku mau menyaksikan kau menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!” Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa si pengemis kusta sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu dengan jarum beracun. Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa mengetahui, bahwa ia hanya ingin menjajal ilmu, walaupun ia dapat menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia menggunakan senjata beracun. Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni sampai di Soetjoan utara dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan, sehingga namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say Hoa segera turun tangan untuk membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini, Tong Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti jika dipandang dari sudutnya. Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa saat kemudian, baru ia dapat menjawab dengan suara gusar: “Siapa mau bicara hal peraturan Kangouw dengan manusia yang sepak’terjangnya seperti anjing gila! Kouwkouw-ku mana kesudian menjajal ilmu dengan manusia semacam kau!” Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. “Jika kau banyak rewel lagi, aku tak akan memperdulikan peraturan Kangouw lagi!” ia membentak “Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!’ Selagi membentak kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas, sehingga Tong Toan menjadi terkejut. Beberapa saat kemudian, si pengemis tertawa dingin seraya berkata: “Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi sekarang, bukankah kau ingin memohon obat?’ “Dan kau?” Tong Toan berteriak. “Bukankah kau juga datang untuk memohon obat pemunah dari keluarga Tong?” “Benar,” jawabnya. “Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan dapat melalui malam ini, sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku merasa, bahwa dia pantas berlutut tiga kali di hadapanku untuk perbedaan empat hari itu?” “Apa?” bentak Tong Toan dengan suara gusar. “Dalam saling menukar obat, kau mau orang lain berlutut di hadapanmu?” “Menurut dugaanku, Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi,” kata Kim Sie le. “Nah! Kau saja, yang mewakili ia berlutut di depanku.” “Bagus mukamu!” berteriak Tong Toan. “Kaulah yang harus memohon ampun. Kalau kau tak mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat.” Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: “Kalau begitu, tiada jalan lain daripada membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan tangisanmu di hadapan peti jenazah!’ Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa sesudah tiga hari terkena jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah mengamuk hebat di dalam tubuh Kim Sie Ie, sehingga belum tentu ia tidak dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun tangan, si pengemis, yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya, sekonyong-konyong memotes sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: “Aha! Kau mau menggunakan kekerasan? Baiklah!” Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat bagaikan angin. Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari si pengemis. Cepat seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan pukulan Wankiong siatiauw (Mementang busur memanah burung rayawali), sedang tangan kanannya menabas dengan gerakan Pihong hoentjam (Mengebas angin menabas miring). Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh Tiongkok, keluarga Tong juga mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang. Dua pukulan tersebut, yang menyerang berbareng membela diri, adalah pukulan-pukulan rahasia yang hanya digunakan untuk menolong jiwa dalam saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos, bayangan itu sudah dapat mengelit pukulan Tong Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah berdiri di tengah-tengah antara kedua lawan. “Tak berani aku menerima bantuanmu,” kata Tong Toan dengan suara dingin. “Urusan keluarga Tong harus dipikul olehku sendiri.” Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia berpaling ke arah Kim Sie Ie dan berkata: “Ambil ini dan keluarkan obatmu!’ Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat kenyataan, bahwa obat pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya, sudah pindah ke tangan si nona. Ia terpaku dan setelah berselang beberapa saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputus-putus: “Kau… Kau…” Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir berbareng dengan Tong Toan iapun berseru dengan suara tertahan: “Kau!…” “Keluarkan obat pemunah!” perintah si nona dengan nada suara sebagai seorang ratu. “Bagus!” Kim Sie Ie berseru. Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: “Dengan saling menukar obat, tak ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu dan mulai dari sekarang, jangan kau menemui aku lagi!” ” Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru: “Ambil!’ Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun tangan. “Ini juga!” ia berteriak. Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda yang dilemparkan itu. Si nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu yang dibungkus dengan kertas kulit kambing. “Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya,” kata Kim Sie Ie dengan suara mendongkol. “Pandanglah sepuas hatimu.” Ia memutarkan badan, melompati tembok dan melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa. Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. “Sesudah terkena Pehbie tjiam, tak nyana ia masih begitu liehay,” katanya di dalam hati. “Untung juga aku tadi tidak lantas turun tangan.” Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan mendadak saja, ia menjadi bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua orang, yang satu adalah Tong Keng Thian, yang lain seorang wanita muda cantik dan kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan meseman manis. Di kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan jalan untuk mencari tempat Keng Thian. “Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan,” kata si nona di dalam hatinya. “Dari sini hanya memerlukan perjalanan dua hari. Siapa nona itu? Dengan maksud apa Kim Sie Ie memberikan gambar ini kepadaku?” Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya mendadak mendengar suara Tong Toan: “Koei Tjietjie!” Buru-buru ia memasukkan gambar itu ke dalam sakunya dan menengok. “Koei Tjietjie,” kata pemuda itu. “Bagaimana baiknya? Kouwkouw tentu menggusari aku.” Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia menyesapkan obat Kim Sie Ie ke dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan suara dingin: “Bagaimana kalau aku saja yang mewakili ia memohon maaf kepadamu?’ Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir. “Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon ampun, obat keluarga Tong tak boleh diberikan,” kata pula Peng Go. “Bukankah begitu?” “Benar!” jawabnya. “Nah!” kata lagi si nona. “Obat keluarga Tong diberikan olehku kepadanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu menghukum, ia tidak boleh menghukum kau. Obat ini lekas-lekas kau berikan kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau menyampaikan hormatku kepadanya.” Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: “Yoe Peng! Yoe Peng!” “Koei Tjietjie! Apa maksudmu?” tanya Tong Toan dengan suara bingung. Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. “Terima kasih untuk pelayananmu selama tiga hari,” kata Peng Go. “Sampai ketemu lagi!” “Koei Tjietjie,” kata Tong Toan. “Apakah kau merasa tidak senang terhadap kami?” “Kenapa tidak senang?” kata si nona. “Sesudah jiwa Kouwkouw-mu selamat, sekarang aku boleh berlalu dengan hati lega.” Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong Toan mengubar. Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang rembulan yang memancarkan sinar gilang gemilang, tapi kedua gadis itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie. Tanpa bantuan itu, jika ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak, Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu juga akan binasa bersama-sama Ia merasa menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-buru dan dengan perasaan berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan membawa obat. Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut daripada pikirannya. Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah kenapa, si nona selalu merasa tidak gembira. Tadi, sesudah melihat gambar itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat, ia ingin segera menemui Keng Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali, supaya tidak bertemu muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri tidak mengetahui, apakah ia mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia juga tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkannya. Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada malam itu, pada detik-detik yang sama, Tong Keng Thian pun sedang memikiri dirinya. *** Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-jalan di luar rumah, di bawah sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang untuk memberitahukan hal dilukakannya Tong Say Hoa oleh si pengemis kusta yang berkawan dua wanita cantik bagaikan bidadari. Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa “dua wanita cantik bagaikan bidadari itu” tentu bukan lain daripada Peng Go dan dayangnya. Sebenarnya ia tak mau percaya cerita itu, akan tetapi, sesudah mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua wanita tersebut, mau tidak mau, ia harus percaya juga. Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga, bahwa Keng Thian merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu. “Dalam satu dua hari ini, lebih baik kita menyingkir dulu,” katanya. “Sesudah kau sembuh baru kita melawan pengemis itu.” Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar, sembari monyongkan mulut,Tjiang Hee berkata: “Tong Koko baru saja sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan untuk menghibur hatinya. Mana ia tahan disekap di dalam rumah?” Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan cara apa selama belasan hari nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa sangat berterima kasih dan lantas saja ia berkata: “Sebenarnya, kita memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun aku belum sembuh betul, tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia dapat melukakan diriku lagi.” Tjiang Hee girang. “Tong Koko,” katanya. “Apakah kau sudah mempunyai akal untuk merobohkan padanya?” “Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata rahasianya yang disemburkan dari mulutnya,” Keng Thian menerangkan. “Tapi senjata itu hanya dapat menyerang dari jarak dekat. Thiansan Sinbong-ku dapat merobohkan musuh yang berada dalam jarak lebih dari enam tombak jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku dapat menggunakan Sinbong untuk menahan majunya.” Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: “Jika kau sudah mempunyai pegangan, boleh kau berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak menghalang-halangi lagi.” Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat sekali, Yo Lioe Tjeng, yang di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu, jadi merasa girang sekali. Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di pekarangan depan yang cukup luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di bawah sinar sang Puteri Malam, dengan segala pemandangannya yang sangat indah dan bau-bauan bunga yang harum semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga. Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di antara pohon-pohon kembang. “Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?” tanya si nona. “Tidak apa-apa,” jawabnya. Tjiang Hee tertawa geli. “Aku tahu,” katanya “Kau tentu ingin bertemu dengan kedua wanita itu yang katanya cantik seperti bidadari. Benarkah?” Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar dugaan, Keng Thian menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. “Benar,” sahutnya. “Aku sedang memikirkan mereka!” Si nona terkejut. “Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan mereka?” tanyanya. “Kenal,” jawab Keng Thian. “Mereka adalah sahabat-sahabatku.” “Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya justru berkawan pengemis kusta itu yang dibenci orang?” tanya Tjiang Hee pula. “Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya,” jawab Keng Thian. Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. “Aku tak ingin menemui pengemis kusta itu,” katanya. “Siapa menyuruh kau menemui ia?” kata Keng Thian. “Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang cantik bagaikan bidadari,” kata si nona. “Kenapa?” tanya Keng Thian. “Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai,” jawabnya. “Bolehkah aku turut kau menemui kedua Tjietjie itu?” “Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku,” kata Keng Thian. “Kenapa begitu?” tanya Tjiang Hee dengan suara heran. “Bukankah mereka itu sahabat-sahabatmu?” Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara perlahan: “Heemoay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku memberi penjelasan, kau tidak akan mengerti.” “Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku,” kata si nona yang merasa agak kurang senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam beberapa saat, kemudian berkata pula: “Dulu, waktu’aku baru saja mengerti urusan, aku sudah ingin bertemu denganmu. Apakah kau tahu?” Keng Thian tertawa. “Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam dunia ini ada seorang yang bernama Tong Keng Thian?” tanyanya. “Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal dirimu,” jawab Tjiang Hee. “Aku tak percaya,” kata Keng Thian. “Ibumu sendiri baru mengenal aku kira-kira setengah bulan lamanya.” “Ibuku sering-sering membicarakan hal ayahmu dengan aku,” si nona menerangkan. “Ia sering menceritakan rupa-rupa kejadian-kejadian menarik di waktu mereka masih belajar silat bersama-sama. Dalam beberapa tahun ini, ibu sering mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Thiansan guna menyambangi kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang suka marah-marah terhadapnya. Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan ayahmu. Sering-sering Ibu berkata begini: ‘Heedjie, kau sangat mirip dengan aku. Tong Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak tahu, apakah anaknya juga seperti ia atau tidak.’ Itulah sebabnya, mengapa sedari kecil aku sering menanya diriku sendiri: Macam apakah, Tong Koko ini? Biarpun aku belum pernah bertemu dengan kau, malah tidak mengetahui, apakah di dunia ada seorang yang seperti kau, tapi sering sekali aku membayang-bayangkan bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong Pehpeh. Dan sesudah benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda dengan apa yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama.” Hati Keng Thian jadi bergoncang. “Didengar dari perkataan Tjiang Hee, ternyata ibunya menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta keluarganya sendiri,” katanya di dalam hati. “Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?” “Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?” tanya pula si nona demi melihat Keng Thian termenung. “Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri,” jawabnya. “Apakah benar? Kau suka padaku?” menegas si nona dengan suara girang dan dengan sikap sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula. “Tentu saja,” sahut Keng Thian sembari tertawa. “Aku melihat kau seperti seekor burung Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan lagak-lagakmu selalu dapat menghilangkan kejengkelanku itu.” “Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu,” kata si nona. Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas dari segala pikiran menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa merasa mereka berjalan sembari bergandengan tangan. Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang diterangi sinar sang rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan Thianlie pun sangat gemar akan kembangkembang. Ia membayangkan, bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-jalan bersama Peng Go di waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat kepalanya dan… tiba-tiba di sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh bunga, ia melihat wajah seorang wanita muda! Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan es, sedang mengawasi ia. Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah terkena arus listrik. Ia gemetar, sembari mengeluarkan teriakan, ia meloncat ke depan. “Tong Koko! Ada apa?” seru Tjiang Hee. “Apakah manusia menyebalkan itu?” Ia berteriak begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta menyatroni pula. Tapi, setelah memperhatikan, ia melihat seorang wanita yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima dan terpaku! “Peng Go!” Keng Thian berteriak. Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap wajah Keng Thian dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur menjadi satu! Tanpa merasa, Tjiang Hee bergidik. Di lain saat, Peng Go memutarkan badannya dan dengan sekali berkelebat, ia menghilang dari pemandangan. “Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!” berteriak Keng Thian dengan suara menyayatkan hati, sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar dengan mengerahkan seantero tenaganya yang belum pulih kembali. Baru tiba di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling. Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-sengal. Dengan terkejut, ia membangunkan pemuda itu. “Apakah kau terluka?” tanyanya. Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee, kedua matanya mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah kehilangan semangat. “Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau?’ tanya Tjiang Hee dengan suara bingung. Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut: “Dia! Dia sudah pergi!” “Siapa dia?” tanya Tjiang Hee. “Pengtjoan Thianlie, yang barusan kita bicarakan,” sahutnya. “Ah! Kenapa ia tak mau bicara denganku?” Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la tidak mengerti, kenapa, jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian, ia sudah bersikap begitu? Keng Thian menghela napas berulang-ulang, seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya masih ada seorang wanita lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan, berbareng mendongkol. Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. “Tong Koko,” kata Tjiang Hee akhirnya. “Mari kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia ada wanita yang begitu cantik!” *** Tak usah dikatakan lagi, bahwa Pengtjoan Thianlie mabur karena menyaksikan Keng Thian berjalan-jalan dan bercakap-cakap secara hangat dengan seorang wanita muda, dengan bergandengan tangan. Dan selain itu, paras muka wanita tersebut benar-benar sama dengan gambar yang ia dapat dari Kim Sie Ie, dengan hati hancur, ia kabur, tanpa memperdulikan lagi teriakan-teriakan Keng Thian. Dalam sekejap saja ia sudah lari belasan li dan tiba di tepi sebuah sungai kecil, di kaki gunung, dimana Yoe Peng sedang menunggu. Melihat majikannya kembali seorang diri dengan gerak-gerik seperti linglung, Yoe Peng menjadi kaget dan menanya: “Kenapa Siauwkongtjoe kembali sendirian?” “Dia… dia…” kata si nona, terputus-putus, fa menengok dan memandang pemandangan malam yang indah, tapi tak kelihatan bayang-bayangan Keng Thian. Ia menjadi lebih-lebih mendongkol karena dalam anggapannya, Keng Thian tidak bersungguh hati dan teriakannya hanya keluar dari hati palsu. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa pemuda itu telah roboh di tengah jalan karena kehabisan tenaga. “Dia… dia tak akan datang,” jawabnya sesenggukan. “Kau sudah bertemu? Dan dia tak mau bersama-sama kau lagi?” tanya Yoe Peng dengan hati mencelos. Pengtjoan Thianlie merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia menundukkan kepalanya dan air matanya mengucur deras. Ia teringat bagaimana pertama kali Tong Keng Thian naik ke keraton es, ia teringat bagaimana mereka bertanding pedang dan segala sesuatu mengenai “toeilian” di dalam taman, la ingat akan semua kejadian itu yang tak akan bisa dilupakan olehnya. Mendadak, ia mendengar suara tertawa yang nyaring. Ia menoleh ke arah suara itu dan di lain saat, sambil menenteng tongkat besi, kelihatan Kim Sie Ie meloncat keluar dari antara pohon-pohon yang rindang daunnya. Pemuda itu sekarang mengenakan pakaian sasterawan mirip dengan Tong Keng Thian, akan tetapi, dengan menenteng tongkat dan meloncat-loncat seperti bocah nakal, ia jadi kelihatan lucu dan tidak sesuai dengan pakaiannya. “Kenapa kau tertawa?” bentak si nona, mendongkol. “Mentertawakan kau!” jawabnya, sembari tertawa haha-hihi. Dalam keadaan biasa, Pengtjoan Thianlie tentu sudah menghunus pedangnya. Tapi sekarang,dalam kesedihannya, ia tidak memperdulikan lagi segala ejekan. “Bukankah kau ingin sekali menemui ia?” tanya Kim Sie Ie. “Sesudah bertemu, kenapa kau jadi berbalik sedih. Apakah itu tidak lucu?” “Jangan mencampuri urusan orang lain!” Peng Go membentak pula. “Jika aku tak datang, kau tentu akan terus termenung-menung disini,” kata lagi Kim Sie Ie sembari nyengir. “Hayolah! Lebih baik menangis lebih siang daripada terlambat. Nangislah biar puas! Sesudah puas, kau akan merasa lega.” Mendengar itu, air mata Peng Go justru jadi berhenti. Si pengemis kusta lagi-lagi tertawa haha-hihi. “Bagaimana gambar pemberianku itu?” tanyanya. “Bukankah bagus sekali?’ “Bret!” Dengan gusar si nona merobek kertas bergambar itu. Kim Sie Ie menepuk-nepuk tangan. “Bagus! Bagus! Sesudah gambar itu dirobek, hatimu tentu menjadi enteng!” katanya. Kata-kata Kim Sie Ie yang mengandung sindiran, dimengerti jelas oleh Yoe Peng. Tapi Peng Go sendiri, yang sedang terbenam dalam kedukaan hebat, sebaliknya merasa perkataan itu ada juga benarnya. Ia menganggap, bahwa memang terlebih baik jika ia mencoret segala apa yang sudah lewat dan menuntut penghidupan baru dengan hati enteng. “Siauwkongtjoe, mari kita berangkat,” kata Yoe Peng. “Benar, memang lebih baik kalian kembali ke keraton es!” kata Kim Sie Ie. Pengtjoan Thianlie terkejut. “Bagaimana dia mengetahui asal-usulku?” tanyanya di dalam hati. Mendadak pemuda itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh: “Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa di dalam dunia hanya terdapat beberapa gelintir manusia baik-baik? Lebih baik berkawan dengan binatang daripada hidup bersama-sama manusia. Apakah sekarang kau percaya?’ Si nona tidak menjawab, ia berdiri bengong bagaikan patung. “Aku juga sudah merasa sebal hidup dalam dunia ini,” kata pula pemuda itu. “Keraton es-mu adalah seperti surga dalam dunia. Sungguh sayang kau sudah meninggalkan surga itu. Lebih baik kita pulang bersama-sama. Pinjamkanlah kepadaku suatu pojokan dari keratonmu, supaya aku bisa hidup secara tenteram.” “Kau ini benar-benar manusia yang tak tahu diri!” bentak Yoe Peng yang sudah tak dapat menahan sabar lagi. “Apakah kau mengira Siauwkongtjoe sudi mengijinkan keratonnya dinodakan oleh seorang penderita kusta?” Muka Kim Sie Ie lantas saja berubah pucat, kemudian ia mengeluarkan suara tertawa menyeramkan. Ia mengangkat tongkatnya, seperti hendak menyerang. Yoe Peng cepat-cepat menghunus Hankong kiam-nya dan loncat ke belakang majikannya. Peng Go mendongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara tawar: “Kau pergilah! Aku pulang atau tidak adalah urusanku sendiri. Tak usah kau mencampuri urusan orang lain. Kau sudah mengeluarkan perkataan tidak pantas, tapi aku juga tidak mau meladeni kau.” Kim Sie Ie mengawasi, lagaknya seperti bola karet yang kempes kehabisan angin. Perlahan-lahan ia menurunkan tongkatnya dan berkata: “Baiklah. Dengan memandang kau, aku pun tidak mau meladeni budak kecilmu.” Mendadak ia tertawa keras dan berkata dengan suara nyaring: “Sebenar-benarnya kita berdua adalah manusia-manusia yang telah disia-siakan oleh dunia. Menurut pantas, kita harus saling mengasihani. Tapi kau sebaliknya memandang aku sebagai lawan. Sungguh tak pantas! Jika di belakang hari kau bisa mendusin, beritahukanlah kepadaku.” Ia memutarkan badan dan terus berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Peng Go masih terus berdiri bengong. “Pengemis kusta itu seperti juga setan air,” kata Yoe Peng dengan suara gusar. Peng Go merasa heran dan lalu menanya: “Apa?” “Menurut kata orang Han, setan air paling jahat,” Yoe Peng menerangkan. “Dia mati di dalam air dan menjadi setan. Sebagai setan, tak hentinya ia mencari-cari pengganti. Begitu mengetahui ada orang yang sedang menderita, ia lantas memancing-mancing dengan rupa-rupa akal busuk, supaya orang itu membunuh diri dengan menyebur ke dalam air. Hm! Semua perkataannya itu hanya bertujuan supaya Siauwkongtjoe tak memperdulikan pula Tong Siangkong dan rela mengikuti jejaknya. Apakah dengan begitu, ia bukan seperti setan air?” Mendengar penjelasan dayangnya, tanpa merasa Peng Go yang sedang bersedih, jadi tertawa. “Belum cukup setahun kau turun gunung, lidahmu sudah begitu beracun,” katanya sembari mesem. “Apa Siauwkongtjoe tak percaya perkataanku?” tanya Yoe Peng. Paras muka Pengtjoan Thianlie segera berubah keren. “Aku sendiri mempunyai pendirian, tak usah kau banyak rewel,” katanya. Yoe Peng bungkam, tak berani membuka suara lagi. “Baiklah,” kata Peng Go dengan suara halus. “Kita sekarang menuju ke Soetjoan barat. “Sesudah bertemu dengan Pehpeh-ku, baru kita pulang ke Puncak Es dan tak usah memperdulikan lagi segala urusan dunia.” Yoe Peng menghela napas. Tanpa berkata suatu apa, ia mengikuti tindakan majikannya. *** Sekarang marilah kita menengok Keng Thian yang pulang ke rumah keluarga Tjee dengan dipimpin oleh Tjiang Hee. Di tengah jalan, pemuda itu menutup mulutnya, sehingga si nona jadi sangat berkuatir. Sesudah Keng Thian mengunci kamar tidurnya, Tjiang Hee tidak berani masuk tidur dan terus berjalan mundar-mandir dengan tindakan perlahan di depan kamar pemuda itu. Sampai kurang lebih jam empat pagi, di dalam kamar Keng Thian tidak terdengar suara apa-apa. Ketika itu Tjiang Hee sudah merasakan betapa dinginnya hawa malam dan ia juga sudah merasa ngantuk sekali. “Kakak tolol itu mungkin sudah tidur,” katanya di dalam hati. Selagi mau masuk ke dalam kamarnya, mendadak ia melihat jendela kamar Keng Thian terpentang dan seorang yang mengenakan pakaian putih meloncat keluar. Buru-buru si nona meloncat ke atas genteng sembari berseru: “Tong Koko!” Keng Thian merandek dan menengok. “Jangan ribut,” katanya dengan suara perlahan. “Jangan sampai ibumu bangun. Terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu. Aku mempunyai urusan penting dan harus berangkat sekarang juga!” “Tak bisa! Tak boleh begitu!” berseru Tjiang Hee, tapi Keng Thian sudah mengenjot badan dan dengan beberapa loncatan, ia sudah melompati tembok pekarangan. “Ibu!” teriak si nona. “Lekas keluar! Tong Koko mabur!” Suami isteri Tjee Sek Kiu yang tidur di kamar sebelah barat, lantas saja bangun, sedang Keng Thian sendiri, setelah mendengar teriakan Tjiang Hee, lantas saja berlari lebih cepat. Tjiang Hee jadi bingung, tanpa menunggu orang tuanya, ia segera mengubar. Meskipun baru sembuh, ilmu mengentengkan badan Keng Thian masih lebih unggul daripada Tjiang Hee. Sesudah mengubar beberapa lama, jarak antara mereka menjadi semakin lebar. “Tong Koko! Apakah benar-benar kau mau pergi juga secara begini!” seru nona Tjee dengan suara sedih. Mendengar seruan itu, hati Keng Thian menjadi sangat terharu dan dengan terpaksa, ia menghentikan tindakannya. Ia berpaling seraya berkata: “Hee-moay, di lain tahun, jika kalian pergi ke Thiansan, kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu pula. Aku mempunyai suatu urusan yang sangat penting dan mesti segera berangkat. Aku mohon kau jangan mengantar terlebih jauh.” Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berlari secepat-cepatnya, supaya tak mendengar pula teriakan si nona. Sesudah kabur belasan li, barulah Keng Thian membuang napas dan berlari lebih perlahan. Mengingat cara-caranya yang kurang pantas terhadap keluarga Tjee, hatinya sungguh merasa tidak enak. Untuk menyusul Pengtjoan Thianlie, ia pergi tanpa pamitan dan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ia merasa sangat malu terhadap Yo Lioe Tjeng dan puterinya yang sudah melepaskan budi begitu besar terhadapnya. Keng Thian telah menduga tepat, bahwa Peng Go akan pergi ke Soetjoan barat untuk menemui pamannya. Akan tetapi, ketika ia menanya-nanya di sepanjang jalan, tak ada seorang pun yang mengatakan pernah bertemu dengan Peng Go dan Yoe Peng. Sesudah berjalan sekian hari, tibalah ia di wilayah gunung Palong san, di sebelah barat propinsi Soetjoan. Jika orang terus berjalan ke arah selatan, ia akan tiba di daerah gunung Gobi san. Walaupun Palong san tidak sampai seberbahaya Tjiakdjie san, tapi jalannya yang legat-legot bagaikan ular dan terlebih panjang daripada Tjiakdjie san, malah di puncak-puncaknya yang berundak-undak, masih terdapat jalan yang berputar-putar ke atas seperti rumah keong. Sering sekali, puncak di sebelah depan kelihatannya dekat, tapi sesudah didekati, ternyata masih jauh sekali. Keng Thian adalah seorang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan berpengalaman luas dalam perjalanan di gunung, tapi toh, dalam sehari paling banyak ia bisa berjalan seratus li lebih dalam jarak lurus. Untung juga, daerah pegunungan di Soetjoan mempunyai pemandangan yang sangat indah. Sebagaimana diketahui, gunung Gobie san tersohor sebagai “Keindahan istimewa di kolong langit.” Dari Palong san, semakin ke selatan, pemandangan alam semakin indah permai, sehingga seorang pelancong dapat berjalan tanpa merasa jemu. Di gunung itu sangat sedikit jumlah penduduknya, sehingga sering-sering seorang pelancong tidak bisa mendapat tempat bermalam. Malam itu, Keng Thian tak menemukan rumah orang dan ia sudah bersiap-siap untuk mengasoh di salah sebuah gua. Tiba-tiba dari sebelah timur sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan seluruh gunung seperti juga sedang mandi dalam laut perak. Kegembiraannya terbangun dan ia segera mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanannya. Selagi enak berjalan, di sebelah depan mendadak muncul suatu pemandangan luar biasa, yaitu sekelompok batu-batu raksasa yang seolah-olah hutan batu. Setiap batu, yang tingginya paling banyak dua atau tiga puluh tombak, mempunyai bentuk-bentuk aneh dan indah luar biasa, ada yang berbentuk harimau, singa, beruang atau macan tutul. Tong Keng Thian adalah seorang yang sudah biasa menjelajah gunung-gunung besar di daerah Utara barat. Akan tetapi, melihat keangkeran hutan batu itu, tak urung ia merasa kagum dan heran. Dari jauh, hutan batu itu seakan-akan merupakan sekosol yang menedengi sinar rembulan. Akan tetapi, setelah didekati, Keng Thian menemukan suatu pintu gua, terbuat daripada dua batu raksasa yang menempel satu pada yang lain. Pintu itu, yang ditembusi sinar rembulan, hanya dapat dilewati seorang, sedang di dalamnya terdengar suara mengalirnya air. Dengan perasaan heran, Keng Thian masuk ke dalam pintu itu. Di balik pintu tersebut ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan pohon-pohon kembang dan di sekitarnya, terdapat pula batu-batu raksasa dengan pintu-pintu yang beraneka bentuknya. Keng Thian memilih sebuah terowongan yang paling besar dan merangkak masuk ke dalamnya. Semakin lama, ia masuk semakin dalam dan selagi enak merangkak, lapat-lapat kupingnya menangkap suara manusia. Bukan main herannya Keng Thian. Ia merangkak terus keluar dari terowongan dan kemudian, dengan menggunakan ilmu Pekhouw kang (Ilmu cicak), ia merayap naik ke atas sebuah batu raksasa yang tingginya kira-kira dua puluh tombak. Dari atas batu tersebut Keng Thian memandang ke sebelah bawah. Ia terkesiap berbareng heran. Di sebelah bawah terdapat sebidang tanah kosong yang merupakan satu selat gunung, dimana berdiri pula sejumlah besar batu-batu yang lebih kecil, paling tinggi hanya lima enam tombak. Batu-batu itu menjulang ke atas dan dilihat dari kedudukannya, mereka merupakan suatu tin (barisan). Dalam barisan batu itu terlihat dua orang, seorang lelaki dan seorang perempuan, yang sedang berputar-putar seperti juga tengah mencari jalan keluar. Jarak antara mereka dan pintu “hidup” tersebut sangat dekat, tapi sesudah berputar-putar mereka tetap tidak dapat keluar. Tong Keng Thian adalah seorang yang berpengetahuan luas, bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi ia juga mengenal ilmu Patkwa tin (Barisan Patkwa). Ketika itu, dari sebelah atas, ia memandang ke bawah dan tidak lama kemudian, ia sudah mengetahui, bahwa hutan batu itu yang muncul di atas bumi secara wajar, mempunyai kedudukan seperti Pattintouw susunan Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar kerajaan Han pada jaman Sam Kok). Barisan batu itu mempunyai delapan pintu dan seorang yang sudah masuk, tak akan bisa keluar lagi jika ia tidak dapat mencari “Pintu Hidup.”
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |