Di antara desiran angin malam yang sayup-sayup, terdengar suara jeritan si perampok yang menyayatkan hati. Melihat itu semua, kawanan perampok jadi pecah nyalinya dan lari serabutan untuk menyelamatkan jiwa .
Orang-orang dari Piauwkiok dan si pedagang obat juga ketakutan setengah mati dan mereka mundur ke pojok tembok. Barusan, ketika si pengemis mendorong Tjoe Teng, baru Kwee Tay Kie dapat melihat bisul-bisulnya dan ia kaget tak kepalang. Bagaikan kesima, ia mengawasi dengan mata mendelong. Muka si orang tua yang berbadan tinggi-besar jadi pucat. “Apakah kau bukannya Toktjhiu Hongkay (si Pengemis Kusta Yang Tangannya Beracun) yang sengaja menyeterukan orang-orang gagah di kolong langit?” ia menanya. “Ha-ha! Hehe! Tak salah!” jawabnya. “Dalam dunia ini, tak banyak orang gagah yang mempunyai cukup derajat untuk bertempur dengan aku. Hayo! Keluarkanlah kepandaianmu!” “Hee-djie!” berseru si orang tua. “Lekas lari!” Dengan sekali meloncat, ia menyambar sebatang golok seorang pegawai piauwkiok dan tanpa berkata suatu apa, ia membacok. Orang tua itu sebenarnya tersohor liehay dalam ilmu silat tangan kosong Ngohengkoen dan tidak begitu biasa menggunakan golok. Akan tetapi, ia merasa jijik untuk berbenturan tangan dengan si kusta oleh karena melihat bisul-bisul yang membikin bulu roma berdiri. Si pengemis mendelik akan kemudian tertawa berkakakan seperti orang gila. “Ha! Kau jijik berbenturan tangan denganku?” ia berkata dengan suara mengejek. “Hm! Sebentar kau rasakan bagaimana enaknya rasa bisulku!” Ia pindahkan tongkat besinya ke tangan kiri dan tanpa bersenjata, tangan kanannya segera mengirim serentetan pukulan hebat, sembari mengangsek maju. “Hee-djie! Lari!” si nyonya meneriaki puterinya, sembari melepaskan tiga buah peluru yang menyambar ke muka, ke dada dan ke kaki, masing-masing menuju ke jalan darah yang membinasakan. Cara melepaskan tiga Sintan dengan beruntun itu sudah kesohor sedari dulu dan pernah merobohkan banyak sekali orang gagah. “Sintan keluarga Yo benar-benar liehay!” berseru si pengemis. Dengan menundukkan kepala, ia menghindari Sintan yang menyambar mukanya, dengan kedua jerijinya ia menjepit Sintan yang menghantam dada dan akhirnya, dengan tongkatnya ia menyampok peluru yang terbang ke kakinya. Sesudah itu, sambil membentak keras, ia membuka mulut dan menggigit belakang golok si orang tua. Puluhan tahun ia berkelana di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang mempunyai ilmu silat sedemikian luar biasa. Begitu goloknya digigit, ia merasakan tangannya kesemutan dan tanpa tercegah lagi, senjata itu terlepas dari tangannya. Si pengemis tertawa keras dan melonjorkan sebelah tangannya untuk mengusap muka lawannya. Si orang tua menggeram seperti harimau terluka dan sembari mengempos semangat, ia mengirim satu pukulan ke dada musuh. Dalam gusarnya, ia menghantam dengan pukulan membinasakan dari ilmu silat Ngohengkoen. Si penderita kusta mengeluarkan teriakan aneh dan meloncat mundur beberapa tindak akan kemudian, dengan sekali menotok tanah dengan tongkatnya, ia sudah meloncat pula ke depan dan berhadapan lagi dengan si orang tua. “Aku tak percaya kau dapat menahan tiga pukulanku!” katanya sembari tertawa haha-hihi. Jotosan Ngohengkoen si-orang tua barusan itu mempunyai tenaga kurang lebih delapan ratus kati dan seumur hidupnya, pukulan tersebut dapat dikatakan belum pernah meleset. Akan tetapi, kali ini tinjunya yang sedemikian liehay sudah dapat dipunahkan secara begitu mudah oleh si pengemis, maka tidaklah heran, jika ia jadi kaget berbareng kuatir. Sekonyong-konyong si pengemis menjotos dengan sebelah tinjunya dan selagi si orang tua mau loncat menyingkir, lehernya mendadak digaet dengan tongkat besi. Melihat ayahnya berada dalam bahaya, si gadis lantas melepaskan segenggam peluru dengan menggunakan ilmu Boanthian hoa-ie (Hujan bunga di selebar langit). Si pengemis terus menggentak sehingga orang tua itu jadi terguling dan kemudian berkata sembari tertawa: “Sebentar kau akan merasakan enaknya bisulku!” Berbareng dengan perkataannya itu, ia putarkan tongkatnya sehingga semua peluru jatuh berhamburan di atas tanah. “Bagus!” ia berseru. “Biarlah nona cantik ini lebih dulu merasakan gurihnya bisulku!” Sekali menotol tanah dengan tongkatnya, badannya melesat ke atas dan lalu menyambar gadis itu yang lantas saja jatuh kejengkang. Dalam kaget dan bingungnya sang ibu melepaskan tujuh peluru yang menghantam ke tujuh jalan darah si pengemis. Ia mengetahui, bahwa pelurunya tak akan dapat melukakan si penderita kusta, akan tetapi, dalam saat yang berbahaya itu, ia tak mempunyai lain jalan yang lebih baik. Tanpa memperdulikan peluru-peluru itu, si pengemis menurunkan tangannya untuk menjambak si nona. Pada detik yang luar biasa gentingnya, tiba-tiba saja terdengar suara “ssr, ssr” dan dua sinar merah berkelebat di tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, si pengemis mengeluarkan suara teriakan hebat dan tubuhnya melesat ke atas, hampir-hampir kepalanya mengenakan payon. Selagi badannya melayang turun ke bawah, ia menghantam si nyonya dengan tongkatnya. Nyonya itu kaget bukan main, sambil melemparkan gendewa, ia mencabut sepasang Lioeyap to (Golok daun lioe) untuk menyambut serangan itu. Si pengemis menyerang bagaikan harimau edan dan dalam tiga jurus saja, sepasang golok si nyonya sudah terpental ke tengah udara Sekonyongkonyong, pengemis itu menyembur dengan mulutnya sembari membentak: “Bocah! Kau juga berada disini?” Begitu kedua goloknya terpental, si nyonya jadi terkesima dan berdiri bengong. Di lain saat, kedua matanya menjadi silau lantaran munculnya sinar dingin dari sebatang pedang dan si pemuda baju putih sudah mulai bertempur dengan pengemis itu. “Yoeliong kiam!” berseru si nyonya dengan suara tertahan. Pemuda baju putih itu tentu saja bukan lain daripada Tong Keng Thian. Tadi, pada detik yang paling berbahaya, dengan satu timpukan yang sungguh indah, ia melepaskan dua Thiansan Sinbong. Melihat menyambarnya senjata rahasia, buru-buru pengemis itu menutup semua jalan darahnya Ia menduga, dengan menutup jalan darah, senjata rahasia itu tak akan dapat melukakan tubuhnya. Tapi sekali ini ia keliru. Thiansan Sinbong yang liehay luar biasa, ditambah dengan tenaga dalam Keng Thian yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, sudah dapat menobloskan “tutupan” itu. Begitu tertusuk, si pengemis merasakan jantungnya sakit dan ia mengetahui, bawa ia sudah mendapat luka berat. Hampir berbareng dengan senjata rahasianya, Keng Thian menerjang dengan Yoeliong kiam. Saat itu, dalam kegusaran hebat, si pengemis menyembur. Keng Thian segera berkelit dengan anggapan, bahwa musuh itu ingin meludahinya. Juga ia sudah menduga keliru. Mengimpi pun ia tak pernah, bahwa senjata rahasia si pengemis justru disimpan di dalam mulutnya dan dengan semburan itu, sejumlah senjata rahasia yang sangat halus menyambar dirinya Mendadak ia merasakan pergelangan tangannya seperti digigit semut, tak seberapa sakit, tapi sangat gatal. Darah Keng Thian naik tinggi. “Binatang!” ia membentak. “Kau ini tak bedanya dengan ular berbisa! Begitu bertemu manusia lantas menggigit!” Si pengemis tertawa besar. “Benar! Benar!” katanya. “Malam ini kau adalah manusia pertama yang digigit ular!” Tanpa banyak bicara, Keng Thian segera mengirim serangan berantai yang sangat hebat. Si pengemis cekal tongkatnya dengan kedua tangannya dan sekali tarik, ia mencabut keluar sebatang pedang besi yang hitam mengkilap. Ternyata, tongkat itu merupakan sarung pedang yang dibuat secara istimewa sekali. Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang sudah kesohor di seluruh Rimba Persilatan. Begitu kedua senjata berbentrok, lelatu api muncrat dan pedang si pengemis somplak. “Ih!” berseru si pengemis sembari meloncat mundur. Keng Thian juga diam-diam merasa kaget, oleh karena Yoeliong kiam yang dapat mengutungkan besi dan memapas baja, tak dapat memutuskan pedang besi itu. Ilmu silat si penderita kusta sangat aneh dan tak menurut peraturan biasa. Akan tetapi, walaupun kelihatan kalang-kabut, setiap serangannya sangat berbahaya dan mempunyai perobahan-perobahan yang tak diduga-duga. Dengan penuh kegusaran, Keng Thian menyerang dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat, akan tetapi, sesudah menjalankan habis delapan belas rupa serangannya, si pengemis belum memperlihatkan tanda-tanda keteter. Di sebelah ilmu silatnya, penderita kusta itu pun sangat dalam lweekang-nya dan kurang lebih dapat direndengkan dengan tenaga dalam Keng Thian. Sesudah si nona sadar dari pingsannya, ayah, ibu dan puteri itu lantas saja menerjang si pengemis jahat untuk membantu Keng Thian. Dengan tangan kanan mencekal pedang besi, ia melawan Keng Thian, sedang tangan kirinya yang memegang sarung pedang melayani tiga lawan baru itu. Tangan kanannya lebih banyak membela diri daripada menyerang, sedang tangan kirinya lebih banyak menyerang daripada membela diri. Dengan penuh semangat, Keng Thian mencecer musuhnya dengan Toeihong Kiamhoat dan dalam sekejap, tiga puluh jurus sudah lewat. Beberapa saat kemudian, di atas kepala si pengemis keluar uap panas dan keringat mengucur dari mukanya Keng Thian tahu, bahwa Thiansan Sinbong sudah mulai menyerang jantung orang itu dan ia lalu memperhebat serangannya. Si pengemis tiba-tiba mendelik dan menyapu Keng Thian dengan matanya yang bersinar seperti kilat. “Bocah!” ia membentak. “Dengan mengeluarkan tenaga begitu banyak, apa kau kira bisa hidup terus?” Keng Thian kertek giginya dan mengirim satu tikaman hebat. Pada saat ujung Yoeliong kiam hampir mengenakan badannya, si pengemis mendadak berjungkir balik dan meloncat keluar melewati mulut pintu. Keng Thian segera menjejek kedua kakinya untuk mengubar, akan tetapi, tiba-tiba ia merasakan badannya seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum dan semacam hawa amis naik ke tenggorokannya dari dalam perutnya! Di lain detik, matanya berkunang-kunang dan tanpa dapat berdaya lagi, ia roboh di atas tanah. Keng Thian segera mengempos semangatnya untuk menjaga jantungnya. Semua orang menjadi bingung dan berusaha untuk memberikan pertolongan. Walaupun terluka hebat, kuping Keng Thian terang sekali dan dapat menangkap satu-satu perkataan orang.“Loopiauwtauw janganlah menghaturkan terima kasih,” demikian terdengar suara si orang tua. “Mari kita periksa luka sahabat ini.” Keng Thian tak dapat bicara lagi, kepalanya berat dan lapat-lapat ia mendengar perkataan salah seorang: “Ih! Senjata rahasia apa yang digunakan olehnya?” “Jangan menggunakan sembarang obat, kalau salah, lukanya bisa jadi semakin berat.” “Ah! Kenapa seperti gigitan ular?” “Lihat! Mukanya bersemu hitam!” “Siapa mempunyai jarum emas? Coba keluarkan darahnya.” “Tak usah. Senjata rahasia sudah terang direndam dalam bisa ular…” Hanya sebegitu yang dapat didengar Keng Thian. Ia ingin sekali memberitahukan mereka, bahwa dalam kantongnya terdapat pil Pekleng tan yang dibuat daripada Soatlian, tapi mulutnya sudah terkancing. Kepalanya semakin lama jadi semakin berat dan sesaat kemudian, matanya gelap dan ia tak ingat dirinya lagi. Berselang tujuh hari, seperti orang yang baru mendusin dari suatu impian jelek, ia sadar kembali. Ketika itu, ia sendiri tentu saja belum mengetahui sudah pingsan begitu lama. Di antara kekaburan, ia ingat kejadian tujuh hari berselang dan ketika membuka kedua matanya, ia melihat sinar matahari yang menembus ke kamarnya dan dahan-dahan bunga yang bergoyang-goyang diluar jendela. Hidungnya mengendus serupa wangi-wangian yang halus sekali dan ia merasakan dadanya lapang. “Oh, Tuhan! Terima kasih! Terima kasih banyak! Akhirnya ia mendusin juga!” demikian terdengar suara wanita yang lemah lembut.Ia melirik. Kedua wanita yang ia jumpakan di gunung Tjiakdjie san pada tujuh hari berselang, kelihatan duduk di depan pembaringan sambil mengawasi mukanya dengan paras muka girang, sedang Yoeliong kiam tergantung di kepala ranjang. “Kenapa aku bisa berada disini?” menanya Keng Thian. “Tempat siapakah ini?” “Hee-djie,” berkata sang ibu. “Pergi ambil semangkuk Somthung (air godokan Yosom).” Sesudah itu, dengan suara halus ia berkata kepada Keng Thian: “Kau sudah terkena senjata rahasia beracun si pengemis kusta dan sudah rebah disini tujuh hari dan tujuh malam. Ini adalah rumah kami.” Keng Thian meramkan kedua matanya, mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Ia bergidik dan berkata dengan suara terharu: “Terima kasih!” “Bukan kau, tapi kamilah yang harus menghaturkan terima kasih padamu,” sahut si nyonya sembari tertawa. Sesaat itu, gadisnya sudah masuk pula dengan membawa Somthung yang lantas diberikan kepada Keng Thian. Sesudah minum air godokan itu, ia merasa badannya segar dan semangatnya terbangun. “Hee-djie,” berkata pula sang ibu. “Bawa keluar pakaian Tong Koko. Apa dua stel pakaian baru itu sudah selesai dijahit?” “Siang-siang sudah selesai,” jawab si nona Keng Thian mengendus bau amis yang keluar dari pakaiannya dan melihat mata ibu dan anak itu agak merah, satu tanda bahwa bermalam-malam mereka sudah menggadangi dirinya. Mengingat kebaikan orang Keng Thian jadi sangat terharu dan berkata dengan suara perlahan: “Budimu yang sangat besar, seumur hidup tak akan aku lupakan.” Mendadak si nona tertawa nyaring. “Ibu,” katanya. “Apakah lagak ayahnya juga seperti ia, halus dan lemah lembut?” Sang ibu tertawa dan tak meladeni pertanyaan puterinya yang nakal. “Racun itu hebat luar biasa dan jarang terdapat dalam dunia,” menerangkan si nyonya. “Sebenar-benarnya kau sendirilah yang sudah menyembuhkan lukamu. Untuk apa menghaturkan terima kasih kepada kami?” “Apa?” menanya Keng Thian dengan rasa heran. “Untung juga aku masih mengenali Yoeliong pokiam dan mengetahui cara menggunakan Pekleng tan,” jawab nyonya itu. “Kalau bukannya begitu, kami pun tak akan dapat berdaya lagi.” Si nyonya tertawa-tawa dan kemudian menyambung pula penuturannya: “Orang yang paling dulu mendapat tahu, bahwa kau sudah kena racun ular adalah si pedagang obat. Ia segera memberikan dua butir yowan (pil) yang istimewa untuk menyembuhkan luka digigit binatang berbisa. Obat itu sebenarnya sudah dipesan oleh sebuah toko obat besar di kota Pakkhia dan oleh karena merasa sangat berhutang budi atas pertolongan kita, tanpa merasa sayang ia sudah mengeluarkan obatnya yang mahal itu. Akan tetapi, yowan tersebut juga hanya dapat menahan menjalarnya racun untuk sementara waktu. Buru-buru kami menyewa tandu dan membawa kau sampai disini. Kami berusaha memberikan pertolongan dengan mengurut jalan darahmu, tapi semua tinggal sia-sia. Dalam kebingungan, tiba-tiba aku ingat, bahwa sebagai pemilik Yoeliong kiam, kau tentu membawa juga Pekleng tan yang terbuat dari Soatlian. Benar saja kami beruntung menemukan pil yang mujarab itu dalam kantongmu dan buru-buru aku menghancurkan sebutir Pekleng tan dengan air salju, separoh aku cekokkan ke dalam mulutmu dan separoh lagi dipoleskan pada lukamu. Hm! Sungguh hebat racun si pengemis kusta! Thiansan Pekleng tan yang dapat menyembuhkan segala rupa racun, masih memerlukan tujuh hari dan tujuh malam!” Ketika itu Keng Thian sudah sadar benar-benar dan ia ingat segala kejadian pada malam itu. Mendengar penuturan sang penolong, tanpa merasa ia menanya: “Kalau begitu kau kenal baik ayahku, bukan?” Si nyonya mesem dan paras mukanya mendadak bersemu dadu, seperti juga pada malam itu, ketika mereka baru bertemu muka. “Kenal baik?” ia mengulangi dengan suara perlahan. “Kami berdua, aku dan ayahmu, adalah kawan bermain sedari kecil! Apakah ayahmu belum pernah menyebutkan namanya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng? Aku adalah anak perempuan Tiattjiang Sintan.” “Ha!” Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan. “Kalau begitu, kau adalah Yo Pehbo. Ibu sering sekali menyebut namamu.” “Apakah ibumu baik?” menanya nyonya itu sembari tertawa. “Baik,” jawabnya. “Sering sekali ibu mengatakan, bahwa pada dua puluh tahun berselang, mereka pernah menerima budi ayahmu yang sangat besar. Lima tahun ayahku pernah menjadi murid Yo soetjouw (Kakek guru) dan kalau dihitung-hitung, aku harus memanggil Soesiok (Paman guru) kepada Pehbo.” Mendengar itu, si nyonya lantas saja teringat segala kejadian pada dua puluh tahun berselang dan paras mukanya lantas saja menjadi guram. “Apakah ayahmu baik?” ia menanya. “Baik, tak kurang suatu apa,” jawabnya. “Di Thiansan, ayah memelihara abunya Yo Soetjouw.” Mendengar itu, muka si nyonya lantas menjadi terang kembali. “Kami sebenarnya ingin pergi ke Thiansan guna menyambangi kedua orang tuamu. Tak dinyana, di tengah jalan bertemu dengan kau. Benar-benar maunya Tuhan.” Nama nyonya itu adalah Yo Lioe Tjeng, bekas tunangan Tong Siauw Lan. Belakangan sesudah pertunangan putus, ia menikah dengan Tjee Sek Kioe, seorang ahli silat Ngohengkoen. Memang sudah lumrahnya, bahwa seorang wanita sukar sekali dapat melupakan kecintaannya yang pertama. Maka itu, walaupun sudah menikah dan mempunyai seorang puteri, kadang-kadang ia teringat segala kejadian yang lampau. Sesudah banyak tahun berpisah dengan Tong Siauw Lan, sering-sering ia teringat bekas tunangan itu. Tjee Sek Kioe mengetahui isi hati isterinya dan pula mengetahui, bahwa sesudah mereka menikah dengan segala keberuntungan, kecintaan sang isteri terhadap Tong Siauw Lan bukannya “kecintaan” yang menyeleweng, akan tetapi suatu kecintaan dari seorang saudara. Di sebelah itu, ia pun merasa sangat kangen kepada Tong Siauw Lan, sahabatnya. Maka itulah, ketika sang isteri mengutarakan keinginannya, dengan segala senang hati ia menemani Yo Lioe Tjeng untuk pergi mencari Tong Siauw Lan. Dulu, keluarga Tjee bertempat tinggal di rumah Yo Tiong Eng. Tapi belakangan, gara-gara suatu kejadian, mereka pindah ke propinsi Soetjoan. Oleh karena hebatnya racun, sesudah sadar beberapa hari, Keng Thian baru dapat jalan merayap dengan berpegangan tembok dan untuk mendapat kembali seluruh kesehatannya, agaknya ia harus mengasoh sedikitnya setengah bulan lagi. Maka itu, tak dapat tidak ia harus berdiam terus di rumah keluarga Tjee untuk beberapa lama. Dengan penuh kecintaan, keluarga tersebut merawat Keng Thian, terlebih pula Yo Lioe Tjeng yang memperlakukan ia seperti puteranya sendiri. Puteri Tjee Sek Kioe, yang bernama Tjee Tjiang Hee, adalah seorang gadis jang simpatik dan gembira sifatnya, dengan gerak-geriknya yang lincah bagaikan seekor burung kecil. Sering sekali ia menemani Keng Thian dan sering pula meminta petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat. Dalam hari-hari pertama, oleh karena si pemuda belum kuat, Tjiang Hee sering menuntun si pemuda waktu jalan di kebun belakang. Keng Thian adalah seorang ksatria yang jiwanya bebas dari segala ingatan kotor dan sudah memperlakukan gadis itu seperti saudara kandungnya sendiri. Selang sepuluh hari lagi, kecuali badannya yang belum kuat betul, semua racun sudah tertolak keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan ia mendapat kembali kesehatannya. Malam itu, bersama Tjiang Hee, ia jalan-jalan di luar rumah. Di bawah sinar bulan jang laksana perak, ribuan bunga menyiarkan bau harum semerbak, oleh karena waktu itu adalah buntut musim semi dan permulaan musim panas, di kala kembang-kembang sedang mekarnya. Sesudah bercakap-cakap ke barat dan ke timur, mendadak Tjiang Hee munculkan soal Thiansan. “Apakah enak bertempat tinggal di Thiansan?” menanya si nona. “Yang sudah biasa tak akan merasakan apa-apa,” jawab Keng Thian. “Tapi untuk seorang yang baru datang, keadaan disana tentu mengherankan dan ia harus menyesuaikan diri dulu. Seluruh tahun gunung itu ditutup es dan dimana-mana terdapat sungai es. Dipandang dari jauh, sungai-sungai es itu seakan-akan ribuan naga yang berwarna putih.” “Oh, begitu?” berkata si nona dengan perasaan kagum. “Bukankah tempat itu jadi seperti surga dalam dongengan tempat tinggalnya dewi-dewi?” Keng Thian jadi teringat Pengtjoan Thianlie dan tanpa merasa ia berkata: “Aku sendiri pernah melihat keraton es!” “Di Thiansan?” menanya Tjiang Hee. “Bukan, bukan di Thiansan,” jawabnya. Tiba-tiba si nona melihat paras muka Keng Thian yang sedikit guram. “Apakah kau jadi ingat keluargamu, lantaran aku menyebut-nyebut Thiansan?” ia menanya. “Sesudah kau sembuh, kami semua akan mengantar kau pulang ke Thiansan.” “Bukan, aku bukan teringat keluargaku,” sahut Keng Thian. “Sesudah sembuh, aku malah ingin meneruskan perjalanan ke Soetjoan barat.” “Apa orang yang hidup di Thiansan tak merasa kesepian?” menanya pula si nona. “Di atas gunung terdapat beberapa keluarga yang berhubungan rapat sekali, sehingga kita tak merasa kesepian,” menerangkan Keng Thian. “Ie-ie-ku juga berada di Thiansan. Ia paling senang bergaul dengan nona-nona yang nakal.” “Menurut kata ibu, ibumu dan adiknya adalah saudara kembar dan muka mereka sangat mirip,” kata lagi Tjiang Hee. “Apa benar begitu?” “Benar,” jawabnya sembari tertawa. “Aku sendiri sering tak dapat membedakannya.” “Apakah muka saudara misanmu mirip dengan kau?” tanya Tjiang Hee. “Tidak,” jawab Keng Thian sembari tertawa dan kemudian menambahkan: “Piauwmoay-ku (adik misan perempuan) mirip sekali dengan kau.” “Apa ia cantik?” tanya si nona. “Cantik. Sungguh cantik!” jawabnya. “Secantik kau!” “Dusta,” kata Tjiang Hee. “Ia tentu banyak lebih cantik!” Sesaat kemudian, ia tertawa dan berkata pula: “Kata ibu, kau adalah seorang pemuda yang baik sekali, sama benar dengan ayahmu dulu. Kalau benar begitu, kau juga tentu adalah seorang muda yang sangat romantis.” “Apa?” menegasi Keng Thian dengan perasaan jengah. “Dulu, pada waktu ayahmu berdiam di rumah kakekku (Yo Tiong Eng), ia telah menulis sebuah sajak yang kemudian disimpan oleh ibuku,” menerangkan Tjiang Hee. “Belakangan, oleh karena merasa ketarik, aku mengambil sajak itu dan selalu kubawa-bawa dalam kantongku. Aku sendiri tak begitu mengerti isinya dan ingin minta petunjukmu. Sesudah membaca itu berulang kali, sedikit banyak aku mengetahui, bahwa penulisnya adalah seorang lelaki yang sangat romantis.” Tjiang Hee adalah puteri tunggal dari keluarga Tjee dan sedari kecil mendapat didikan seperti seorang anak lelaki. Maka itu, ditambah dengan adatnya yang sangat polos, ia selalu bicara terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Di lain pihak, mendengar si nona membicarakan soal ayahnya, Keng Thian merasa agak jengah. Akan tetapi, tersurung hati kepingin tahu, lantas saja ia berkata: “Bolehkah aku membaca itu?” Kertas itu sudah pecah di sana-sini, tapi huruf-hurufnya masih lengkap dan dapat dibaca. Di atas kalimat “Pek Tjoe Leng” atau Sajak Seratus Huruf terdapat tulisan yang artinya kira-kira seperti berikut: 飘萍倦侣 Sungguh lelah, hidup terombang-ambing, 算茫茫人海,友朋知否? Di antara lautan manusia, Apakah ada sahabat yang mengetahuinya? 剑匣诗囊长作伴 Sarung pedang dan kantong syair adalah kawan satu-satunya, 踏破晚风朝露。 Melawan sang angin malam, menginjak embun pagi, berjalan tak henti-hentinya, 长啸穿云 Nyanyiannya yang keras menembus awan. 高歌散雾 Suaranya yang santer membubarkan halimun. 孤雁来还去 Bagaikan seekor burung Gan yang terbang pergi akan kemudian balik kembali! 盟鸥社燕 Bagaikan si burung Yo, bagaikan si burung walet, 雪泥鸿爪无据 Menginjak salju, tapaknya tak berbekas! 云山梦影模糊, Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-samar, 乳燕寻巢 Anak wallet mencari sarang. 又惧重帘阻 Tapi takut rintangan sang tirai, 露白蓖苍肠断句 Walaupun dalam kantong sudah penuh dengan tulisan indah, 却情何人传语? Tapi siapakah yang dapat menyampaikan kepada si dia? 蕉桐独抱,霓裳细谱 Demikianlah sambil memeluk khim, menggubah lagu. 望断大涯路! Dengan mata mengawasi sang langit yang tiada tepinya! 素娥青女,仙踪甚日重遇 Sogo dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu? Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia tak dapat melupakan Lu Soe Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia menduga, bahwa Siauw Lan menulis untuk dirinya sendiri, dan itulah sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak tersebut sebagai peringatan yang indah. Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata: “Ibumu sungguh beruntung. Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi (Sogo dan Tjenglie)!” Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia menganggap, dengan “Sogo dan Tjenglie” dimaksudkan ibu Keng Thian. Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca sajak itu, Keng Thian yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang memikirkan seorang wanita yang berada jauh, yang bagaikan sekuntum bunga, hanya dapat dipandang, tapi tak dapat dipetik. “Ketika itu ayah berada dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak tersebut ditulis untuk Yo Pehbo,” katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak mengetahui asal-usul sajak tersebut, Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri. “Begitu ayahnya, begitu juga anaknya,” kata Tjiang Hee, tertawa. “Kau pun tentu seorang muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak berada disini.” Mendengar perkataan si nona, Keng Thian jadi merasa geli dan berkata dalam hatinya: “Hm! Mana kau tahu? Piauwmoayku dan kau sendiri sama saja seperti ibumu dahulu, sedang aku sendiri tak berbeda seperti ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku sedang memikirkan seorang lain!” Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee jadi merasa heran sekali. Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga, berjalan keluar ibu Tjiang Hee. “Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?” tanya si nakal. “Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar,” jawabnya sembari tertawa. Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik, gemar sekali berguyon-guyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-kata mereka itu sudah jadi jengah sekali. “Malam sudah larut, untuk apa Pehbo keluar seorang diri?” ia menanya. “Yah memang sudah larut malam,” jawab sang bibi sembari lirik mereka. Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng berkata dengan suara perlahan: “Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu belum pulih kembali. Hee-djie, tak boleh kau mengajak Tong Koko pergi terlalu jauh dari rumah ini.” Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya: “Kenapa?” “Keng Thian,” berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan puterinya. “Apakah kau masih ingat si pengemis kusta?” Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: “Manusia jelek yang seperti beburonan itu? Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku melupakannya!” “Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu,” kata Keng Thian sembari mesem. “Jika tidak sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah seorang pemuda yang berparas cakap.” Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena ia ingat serupa hal. Ia ingat penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana dulu mereka bertempur melawan Tokliong Tjoentjia di suatu pulau kecil. Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang penderita kusta dan kemudian melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat membenci manusia seumumnya. Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng Thian sungguh tidak mengerti halnya si pengemis kusta. “Dengan bisul-bisul yang memenuhi sekujur badannya, penyakitnya tentu sudah sangat berat,” pikir Keng Thian. “Tapi kenapa bulu alisnya tidak rontok? Apakah ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia? Jika benar begitu, penyakitnya tentu sudah sembuh lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru Tokliong Tjoentjia memperoleh ilmu silat yang tinggi. Di lain pihak, si pengemis masih berusia sangat muda dan sebagai orang jang menderita penyakit kusta, siapakah yang sudi menjadi gurunya? Tapi, kenapa ia mempunyai kepandaian yang begitu tinggi?” Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng Thian. Apakah si pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia? Ini juga tak mungkin, oleh karena, sepanjang penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah kembali ke Tionggoan dan tiga tahun kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si pengemis kusta paling banyak baru dua atau tiga tahun. Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir, semakin besar rasa sangsinya terhadap pengemis itu. “Pehbo,” katanya. “Kau menyebut-nyebutkan pengemis kusta itu, apakah dia sedang berada di dekat-dekat sini?” “Benar,” jawab Yo Lioe Tjeng. “Seorang guru silat dari Lengkoan datang berkunjung dan mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang pengemis kusta yang menyeterukan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Menurut katanya, Tong Lootaypo juga telah dirobohkan. Kedatangannya adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie, tanpa mengetahui bahwa kita juga sudah bergebrak dengan pengemis itu.” Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih dan jika benar-benar si pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang akan melawannya. “Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata rahasia?” tanya Tjiang Hee. “Benar,” jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada Keng Thian: “Pada dua puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh oleh Ie-ie-mu. Ketika itu, beberapa kali ia telah mencari kami untuk membalas dendam. Belakangan urusan itu dapat didamaikan oleh seorang sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat.” “Tong Lootaypo” atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe Tjeng, adalah Tong Say Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng Kiauw. Hati Keng Thian berdebar sebab ia memang mau mencari keluarga Tong yang secara kebetulan ternyata bertempat tinggal di Lengkoan. “Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?” berkata Tjiang Hee dengan suara gusar. “Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot segala orang.” “Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?” tanya Keng Thian. “Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu baru muncul sedari kira-kira dua tahun berselang,” jawab sang bibi. “Dari Tionggoan ia datang di Utara barat, dimana ia mencari orang-orang ternama dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu. Siapa juga tidak mengetahui asal-usulnya.” Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis kusta. “Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang terlebih aneh,” berkata Yo Lioe Tjeng. “Ada apa lagi?” menanya Keng Thian. “Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan bersama-sama pengemis itu,” menerangkan sang bibi. Keng Thian terkesiap. “Apa?” ia menegaskan. “Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari bercakap-cakap dengan tertawa-tawa,” menerangkan Yo Lioe Tjeng. “Kata orang, kedua wanita itu juga pernah berkunjung ke rumah keluarga Tong, tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya, orang itu tak mengetahui jelas.” Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng? Tapi Koei Peng Go adalah seorang angkuh dan sama sekali tak ada kemungkinan, bahwa ia sudi berjalan bersama-sama dengan seorang penderita kusta. Tapi, selain mereka berdua, siapa lagi yang “cantik bagaikan dewi?” *** Sekarang biarlah kita meninggalkan Keng Thian yang sedang kebingungan dan mengikuti gerak-gerik Pengtjoan Thianlie dan dayangnya. Malam itu, sesudah meninggalkan kuil Lhama, malam-malam mereka meneruskan perjalanan ke arah Soetjoan. Oleh karena tidak mengenal jalan, walaupun tidak salah arahnya, beberapa kali mereka mengambil cabang jalan yang salah, sehingga pada waktu tiba di Tjiakdjie san, mereka berada di belakang Keng Thian. Pada waktu berjalan di bagian gunung yang paling berbahaya, Yoe Peng mendadak mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur beberapa tindak. Di bawah sebuah batu besar kelihatan sedang rebah seorang pengemis yang pakaiannya rombeng dan kedua lengannya penuh bisul. Muka orang itu yang bersinar merah dan bengkak-bengkak kelihatan menakutkan sekali. Pengtjoan Thianlie yang tidak mengenal penyakit kusta, lantas saja timbul rasa kasihannya dan lalu berkata pada dayangnya: “Menolong jiwa satu manusia adalah lebih berharga daripada membuat gedung dari tujuh tingkat. Yoe Peng, coba kau mengangkat orang itu. Aku mau memeriksa keadaannya.” Yoe Peng tak menduga nonanya akan bertindak begitu dan ia menjadi serba salah. “Tempat ini jarang diinjak manusia,” berkata pula Koei Peng Go, setelah melihat kesangsian dayangnya. “Jika kita tidak menolong, siapa lagi yang akan memberikan pertolongan? Yoe Peng, hayo!” Pengtjoan Thianlie yang belum mempunyai banyak pengalaman, sudah bertindak dengan menuruti hatinya yang sangat mulia. Ia sama sekali tak ingat, bahwa oleh karena gunung itu jarang diinjak manusia, seorang yang bisa berada disitu tentu juga bukan manusia sembarangan Dengan terpaksa Yoe Peng maju beberapa tindak dan mengawasi si penderita kusta. “Orang ini rasanya tak akan bisa hidup lebih lama lagi,” katanya. “Bagaimana kau tahu?” tanya si nona. “Lihatlah! Ia rebah seperti mayat dan sudah tak dapat bergerak lagi,” berkata Yoe Peng. Belum habis Yoe Peng mengucapkan perkataannya, si pengemis mendadak berbangkis dan sesudah mengulet beberapa kali, ia bangun duduk. Dengan sorot mata ketolol-tololan, ia mengawasi Peng Go dan berkata dengan suara perlahan: “Aku sudah hampir mati. Apakah kamu berdua masih merasa perlu untuk hinakan diriku?” Mendengar suara itu, yang meskipun lemah, masih juga mempunyai semangat, si nona bersenyum dan lalu berkata: “Kau tentu sudah menahan lapar beberapa hari. Makanlah ini.” Tanpa menghaturkan terima kasih, si pengemis mengambil sepotong daging kambing kering yang diangsurkan oleh Peng Go itu dan lalu makan dengan bemapsu. “Kenapa sekujur badanmu penuh bisul?” menanya Pengtjoan Thianlie dengan suara kasihan. Si pengemis mendelik dan menyahut dengan suara aseran: “Sedari kecil, aku sudah begini. Jika kau jijik, pergilah jauh-jauh!” “Ah, bukan begitu,” kata si nona. “Maksudku adalah, jika mungkin aku mau coba mengobati penyakitmu.” “Mau mengobati aku?” menegasi si pengemis. Sesudah berkata begitu, ia menunduk dan tidak berkata suatu apa lagi. Dalam keraton es terdapat macam-macam obat yang mujarab dan beberapa antaranya selalu dibawa-bawa oleh si nona. Ia lantas saja mengeluarkan sebotol obat bubuk untuk mengobati rupa-rupa bisul beracun. “Cobalah obat ini, usapkan di bisulmu,” kata Peng Go sembari mengangsurkan botol obat itu. Sesudah mengusapkan obat bubuk itu di kedua lengannya, ia lalu membuka baju. “Tanganku tak sampai ke punggung,” katanya. “Yoe Peng, kau tolonglah!” memerintah Pengtjoan Thianlie. Sang dayang tentu saja tidak berani membantah perintah itu. Ia lalu mematahkan sebatang cabang pohon dan membungkus ujungnya dengan selembar kain putih, yang kemudian dicelup dalam air pancuran gunung. Kemudian ia tuangkan obat bubuk tersebut di atas kain basah itu yang lalu digosok-gosokan di punggung si pengemis. “Obat ini dingin rasanya, benar-benar bagus,” kata si pengemis. “Tapi penyakitku sudah sering sekali diobati dan aku sudah menggunakan ratusan macam obat tanpa berhasil. Maka itu, belum tentu obatmu dapat menyembuhkan.” “Jika obat itu tidak berhasil sesudah dua hari, aku akan memberikan kau lain obat,” kata si nona. “Hayolah kita berangkat!” berkata Yoe Peng dengan suara tidak sabar. “Bagus!” kata si pengemis. “Aku justru sedang kuatir tak dapat makanan. Dengan berjalan bersama kalian, bukan saja ada obat, tapi juga ada makanan!” Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berdiri. Pengtjoan Thianlie tak duga si sakit bakal berkata begitu. Sesudah berpikir beberapa saat, ia berkata: “Baiklah. Menolong orang harus menolong sampai akhirnya. Kau boleh mengikuti kami. Apa kau bisa jalan?” “Sesudah perut kenyang, jalanan gunung tak menjadi soal bagiku,” jawabnya dengan suara gagah dan sambil mengangkat tongkatnya, ia lalu mulai bertindak. Sesudah berjalan dua hari, tibalah mereka di bagian selatan gunung Tjiakdjie san dan dari situ, mereka sudah melihat rumah-rumah penduduk di kaki gunung. Selama dua hari itu, si pengemis mengikuti tanpa bicara. Setiap hari, Pengtjoan Thianlie memburu binatang dan membakar dagingnya untuk dijadikan barang santapan. Semua daging yang diberikan pengemis itu. “Di atas ada air terjun, di bawah ada solokan, kalian bisa loncat, tapi aku tak mampu.” Sehabis berkata begitu, lantas saja ia duduk di atas tanah. Yoe Peng merasakan dadanya sesak, tak tahu apa ia mesti menangis atau tertawa. “Siauwkontjoe! Sudahlah jangan ladeni padanya,” kata ia. “Tunggu,” kata Pengtjoan Thianlie. Belum sempat ia menyambung perkataannya, mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan yang menggetarkan seluruh selat. Di lain saat, dari antara tumpukan batu di lamping gunung, loncat keluar dua orang, satu antaranya bukan lain daripada Hiatsintjoe. “Siluman perempuan kecil!” ia membentak sembari tertawa berkakakan. “Akhir-akhir kita bertemu pula. Tong Keng Thian, si bocah bau, hari ini tak dapat melindungi kau!” Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie dan terus menghantam dengan kedua telapakan tangannya yang merah bagaikan darah. Kawannya juga sudah loncat turun dan tanpa berkata suatu apa, ia menjotos Yoe Peng dengan tinjunya yang sebesar mangkok nasi. Yoe Peng berkelit, tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan baru saja ia berkelit, punggungnya kembali sudah disambar kesiuran angin yang sangat tajam. Orang itu adalah pembantu Hiatsintjoe, namanya Kok Sek Koen, “manusia liar” dari gunung Tjiakdjie san. Selain mempunyai ilmu weduk Kimtjiongto, tenaganya juga luar biasa besarnya dan sekali menjotos, ia dapat membinasakan seekor harimau. Sesudah mendapat hajaran dari Phang Lin di atas Puncak Onta, sakit sekali hati Hiatsintjoe. Oleh karena tak ungkulan melawan Phang Lin, lantas saja ia tumplekan sakit hatinya kepada Keng Thian. Tanpa memperdulikan segala kesukaran, ia lalu pergi ke Tjiakdjie san untuk mengundang Kok Sek Koen guna menghadapi Keng Thian dan Peng Go. Ketika itu, melihat Keng Thian tidak berada bersama Pengtjoan Thianlie, hati Hiatsintjoe jadi lebih besar lagi. Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa baru saja berkelit, Yoe Peng sudah merasakan sambaran angin di punggungnya. Pukulan itu yang cepat bagaikan kilat, sudah tak dapat diegosi lagi. Pengtjoan Thianlie yang sedang repot melayani musuhnya tak dapat menolong lagi. “Celaka!” ia berteriak dengan hati mencelos. Tapi, satu kejadian tak diduga-duga telah terjadi. Bukannya Yoe Peng yang terkena pukulan, sebaliknya adalah Kok Sek Koen yang terhuyung beberapa tindak dan hampir-hampir jatuh terguling. “Binatang! Apa kau mau cari mampus?” ia membentak. Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, entah bagaimana, si penderita kusta sudah menggulingkan badannya dan tepat menghadang di antara Yoe Peng dan Kok Sek Koen, yang jadi sempoyongan karena dibentur badannya yang keras seperti batu. Dengan mata merah, Sek Koen menendang sekeras-kerasnya. “Celaka!” berteriak si pengemis sembari menggelindingkan badannya. Sek Koen kaget bukan main lantaran tendangannya yang begitu cepat masih dapat dikelit oleh pengemis itu. Pada saat ia bengong, tiga sinar dingin menyambar dan tiga jalan darahnya sudah kena dihantam Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie. Kok Sek Koen yang bertulang besi dan berkulit tembaga, tidak takut akan segala senjata rahasia. Tapi Pengpok Sintan adalah lain dari yang lain. Begitu kena, ia bergidik. Dengan menggunakan kesempatan itu, Pengtjoan Thianlie putar Pengpok Hankong kiam untuk melindungi Yoe Peng. Di lain pihak, si pengemis yang menggelinding pergi beberapa tombak jauhnya, sudah rebah-rebahan di atas tanah dengan menggunakan sebuah batu besar sebagai bantal kepala. Sambil membuka kedua matanya sedikit, ia menonton pertempuran itu. “Sahabat dari mana yang barusan munculkan diri?” seru Hiatsintjoe. Si pengemis mengulet dan berkata dengan suara ogah-ogahan: “Pintu kota kebakaran, sang ikan kekeringan. Tak bagus! Tak bagus!” Hiatsintjoe gusar bukan main, badannya melesat ke arah si pengemis. Tapi mendadak si pengemis sudah berguling pula dan menggelinding beberapa tombak jauhnya, akan kemudian tandalkan lagi kepalanya di atas sebuah batu. Dengan sikap acuh tak acuh, ia menonton pertempuran itu. Melihat gerak-gerik si pengemis, Hiatsintjoe kaget dan selagi ia mau mengubar untuk menurunkan tangan jahat, tiba-tiba ia mendengar jeritan Kok Sek Koen yang ternyata sudah terkena pedang Pengtjoan Thianlie. Gwakang (tenaga luar) Kok Sek Koen sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan, akan tetapi, apa mau ia harus menghadapi Pengpok Hankong kiam, semacam senjata mustika yang satu-satunya di dalam dunia. Meskipun pedang itu tidak dapat melukakan kulit musuh, akan tetapi hawanya yang luar biasa dinginnya sudah membikin Kok Sek Koen kelabakan. Sesudah tiga kali kena tikaman, Kok Sek Koen yang tenaga dalamnya belum seberapa tinggi, sudah merasa seolah-olah darahnya membeku, sehingga mau tidak mau, ia menjerit-jerit. Waktu mengundang sahabatnya itu, Hiatsintjoe ingin menggunakan ia untuk menghadapi Tong Keng Thian. Tapi tak dinyana, kawan yang berilmu weduk itu sudah kena ditindih dengan peluru es dan pedang es, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Dengan hati mendongkol, tanpa memperdulikan lagi si pengemis, buru-buru Hiatsintjoe menyerang Pengtjoan Thianlie untuk membantu kawannya. Begitu lekas si Malaikat Darah menghantam tiga kali beruntun dengan telapak tangannya, hawa yang sangat panas segera menyambar-nyambar, sehingga Kok Sek Koen jadi bersemangat pula dan lalu bantu menyerang secara hebat. Sekarang pertempuran berlangsung antara dua pasang musuh. Pengtjoan Thianlie dengan Pengpok Hankong kiam yang dingin melawan Hiatsintjoe yang pukulannya panas. Mengenai tenaga dalam, Hiatsintjoe lebih unggul setingkat daripada si nona, tapi dalam kiamhoat, Peng Go terlebih lihay daripada lawannya. Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan kekacekan antara mereka tidak seberapa besar. Tapi tidak begitu dalam pasangan antara Kok Sek Koen dan Yoe Peng. Baru saja bertempur setengah jam, sedang Pengtjoan Thianlie masih dapat berkelahi dengan penuh semangat, adalah Yoe Peng yang sudah tersengal-sengal napasnya. Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, tangan kanan Hiatsintjoe menghantam kepala Pengtjoan Thianlie dengan pukulan Soathoa kayteng (Kembang salju jatuh di kepala), sehingga si nona terpaksa mundur setindak sambil membabat dengan pedangnya. Pada detik itulah, yaitu pada waktu Peng Go berpisah dengan budaknya, tangan kiri Hiatsintjoe mendadak menyambar ke arah kepala Yoe Peng. Pukulan itu sedemikian cepatnya, sehingga Yoe Peng jadi seperti orang kesima. Pada saat yang saat berbahaya, mendadak saja ia merasakan betisnya dipeluk orang dan ditarik ke belakang, sehingga ia jadi terguling. Pada betisnya, ia lihat dua bekas telapak tangan berlumpur yang basah, sedang si pengemis lagi tidur meringkuk di tengah jalan. Sekarang ia tahu, bahwa orang yang barusan sudah menolong jiwanya adalah si pengemis kusta. Mengingat, bahwa betisnya itu telah dicekal tangan yang penuh bisul, uluhatinya menjadi ‘nak dan tanpa tercegah ia jadi muntah. Melihat sepak terjang si pengemis, Kok Sek Koen jadi gusar bukan main. “Pengemis bau!” ia membentak. “Kau sengaja mau merintangi kami?” Sehabis membentak, ia kirimkan tendangan Lianhoan toei (tendangan berantai) Si pengemis yang tadi meram-melek, tiba-tiba saja bangun berduduk dengan gerakan Lcehic tahteng (Ikan gabus meletik). “Eh, apa tempat ini milik bapakmu?” ia membentak. “Aku senang tidur disini, anak Allah (kaizar) pun tak dapat melarangnya.” Sehabis membentak, ia menyemburkan ludahnya. Kuatir kesembur ludah, Kok Sek Koen buru-buru loncat minggir. “Awas!” demikian teriakan Hiatsintjoe. Kok Sek Koen sama sekali tidak mengimpi, bahwa senjata rahasia si penderita kusta tersimpan dalam ludahnya. Sekonyong-konyong pundaknya gatal dan di lain saat, matanya berkunangkunang. Cepat bagaikan kilat, pengemis itu bergulingan sambil membabat dengan tongkat besinya dan tak ampun lagi, badan Kok Sek Koen yang tinggi besar rubuh bagaikan pohon ditebang. Pengpok Hankong kiam menyambar dan menikam manusia weduk itu. Selagi Peng Go menikam Kok Seng Koen, Hiatsintjoe sudah bergebrak dengan pengemis itu. Dengan gemas, Hiatsintjoe menurunkan pukulan yang membinasakan dengan kedua tangannya, tangan kanan mencengkeram tenggorokan, tangan kirinya menghantam dada. Selagi mau menyampok dengan tongkatnya, mendadak pengemis itu merasakan menyerangnya hawa yang sangat panas, sehingga ia sukar bernapas. “Celaka!” ia berseru, badannya kena disampok dan “plung!”, ia kecebur dalam kobakan di bawah jurang. Buru-buru Pengtjoan Thianlie memburu dan mengirim beberapa serangan hebat. Mendadak, paras muka Hiatsintjoe berubah, sedang dari atas kepalanya keluar uap putih. Dengan sekali menjejek kaki, badannya melesat ke atas dan terus kabur mendaki gunung, tanpa memperdulikan lagi nasib kawannya. Pengtjoan Thianlie merasa sangat heran, ia tidak mengerti kenapa Hiatsintjoe lantas melarikan diri. Ia mengawasi ke arah kobakan dan mendadak sadja ia jadi terpaku bahna kagetnya. Si pengemis yang barusan kecemplung, ternyata sedang duduk di atas batu dengan tidak memakai baju. Apa yang membikin si nona jadi kesima adalah: Kulit badan dan mukanya yang bisulan sudah berubah licin, sepuluh jerijinya yang bengkak-bengkok sudah menjadi lempeng, sedang mukanya yang bersinar merah sudah berubah menjadi putih! Meskipun ia tidak secakap Tong Keng Thian, tapi toh ia bukan seorang pemuda yang jelek romannya. Sekonyong-konyong Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget sambil menuding ke satu jurusan. Yang membikin Yoe Peng berteriak ternyata adalah Kok Sek Koen yang lengannya bengkak sebesar timba air, mukanya berwarna hitam, sedang mulutnya mengeluarkan rintihan yang menyayatkan hati. Dilihat dari tanda-tandanya, ia seperti juga kena digigit ular yang sangat berbisa. Sesaat kemudian, ia bergulingan, mulutnya menggigit rumput dan kedua tangannya mencengkeram tanah. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie merasa tak tega. Ia pungut sebutir batu dan menimpuk jalan darah Kok Sek Koen yang membinasakan. Si pengemis tertawa terbahak-bahak. “Yang mujur adalah Hiatsintjoe,” katanya. “Siapakah kau?” tanya Peng Go Sekali mengenjot badan, pengemis itu sudah hinggap di atas tanah datar dan sesudah memungut tongkat besinya yang berwarna hitam, ia menyahut sembari nyengir: “Aku adalah seorang penderita kusta yang romannya seperti memedi!” Waktu mempelajari buku obat-obatan bangsa Han, Peng Go pernah membaca penuturan tentang penyakit itu. “Apa? Penyakit kusta?” ia menegasi. Si pengemis tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan kedua tangan, ia mencekal tongkatnya yang kemudian ditarik. Dengan satu suara “srt”, tercabutlah sebatang pedang yang hitam mengkilap. Ia tunggingkan tongkat besi itu (atau lebih benar sarung pedang) dan dengan telapak tangannya, ia menadah semacam bubuk yang keluar dari dalamnya. Sesudah itu, ia mengusap mukanya. Hampir berbareng, Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget. Pengemis itu yang barusan saja berparas cakap dan berkulit licin, sudah pulang asal menjadi penderita kusta yang mukanya bersinar merah. Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. “Sesudah memperlihatkan mukamu yang sejati, guna apa kau main gila lagi?” kata si nona. Si nona ternyata sudah dapat menebak, bahwa tanda-tanda penyakit kusta itu adalah buatan belaka dengan mengerahkan tenaga dalam, sehingga otot-ototnya pada menonjol keluar, seolah-olah bisul penyakit kusta. Peng Go juga mengetahui, bahwa sinar merah pada mukanya adalah akibat semacam sepuhan yang disimpan dalam sarung pedangnya. Si pengemis menyapu dengan kedua matanya yang tajam. Mendadak ia mengeluarkan tertawa aneh. “Apa artinya muka yang sejati?” ia tanya. “Tahukah kau, bagaimana mukaku yang sejati?” Tiba-tiba ia loncat dan menikam si nona dengan pedangnya. Itulah serangan yang tidak diduga-duga! “Kenapa kau menyerang?” membentak Peng Go. Tanpa menyahut, si pengemis mengirim tiga serangan, serangan yang sangat hebat. Selama hidupnya, Pengtjoan Thianlie sering mengalami kejadian yang luar biasa. Akan tetapi, kejadian pada hari itu adalah pengalamannya yang paling aneh. Dengan mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, hampir-hampir Peng Go tak dapat mengelit tiga serangan itu. “Kongtjoe! Cabutlah senjata!” berseru Yoe Peng. Dengan gerakan Djieyan tjoanliam (Anak walet menembus tirai), Peng Go mengegos empat lima serangan. Waktu serangan ke enam menyambar, Pengpok Hankong kiam sudah terhunus dan bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie melakukan serangan pembalasan. Si pengemis bergidik akan kemudian tertawa terbahak-bahak. “Maksudku adalah untuk berkenalan dengan pedang mustikamu,” katanya sembari menyerang terlebih hebat. Pengemis itu ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya. Saban kali kedua senjata berbentrok, Peng Go selalu merasa lengannya pegal. Ia kaget berbareng heran, ketika mendapat kenyataan, bahwa ilmu silat orang itu tidak berada di sebelah bawahnya ataupun Keng Thian. Dengan cepat ia mengempos semangat dan melayani dengan terutama menggunakan ilmu mengentengkan badan dan menjaga, supaya pedangnya tidak kebentrok pedang si pengemis. Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat bagaikan titiran, seolah-olah berubah menjadi puluhan pedang. Hawa yang luar biasa dinginnya meliputi mereka berdua, sehingga orang yang ilmu silatnya kurang tinggi tentu sudah roboh kedinginan, meskipun tidak ketikam pedang. Si pengemis kusta seperti juga tidak merasakan hawa dingin itu. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berteriak: “Bagus! Bagus! Hawa memang sedang panas.” Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, tanpa ada yang keteter. “Orang ini tentu mempunyai asal-usul luar biasa,” pikir Pengtjoan Thianlie. “Untuk apa aku bertempur mati-matian?” Berpikir begitu, si nona lantas saja menyerang dengan pukulan-pukulan simpanan dari Tatmo Kiamhoat dan akhirnya, dengan pukulan Gioklie tauwso (Dewi menenun), Pengpok Hankong kiam berhasil memapas rambut si pengemis. Tapi pada saat itu juga, berbareng dengan suara “trang!”, pedang Pengtjoan Thianlie terbang ke atas udara! Ternyata, kedua belah pihak mempunyai pikiran yang sama. Masing-masing ingin menghentikan pertempuran, begitu lekas sudah berhasil memperlihatkan keunggulannya. Dalam gebrakan itu, gerakan Pengtjoan Thianlie agak lebih cepat dari lawannya, tapi si pengemis mempunyai tenaga dalam yang lebih besar, sehingga ia berhasil melontarkan pedang si nona. Yoe Peng terkesiap. “Binatang!” ia membentak. “Benar kau tak mengenal budi. Kebaikan dibalas dengan kejahatan!” Si penderita kusta tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mulutnya menyembur dan dua titik hitam sebesar kacang kedele, menyambar Yoe Peng. Hati Pengtjoan Thianlie mencelos, ia sudah tak keburu menolong lagi. Pada saat itu, sedapat mungkin Yoe Peng berkelit, tapi tak urung rambutnya terpapas juga. Dengan sekali meloncat, Peng Go sudah berhasil menyambut pedangnya yang sedang melayang jatuh. Selagi ia hendak menyerang pula, sekonyong-konyong si pengemis menangis, semakin lama semakin sedih dan keras. “Eh, kenapa engkau?” tanya Peng Go akhir-akhirnya. Tanpa menyahut, pengemis itu memasukkan pedang besinya ke dalam sarung yang berupa tongkat besi itu, dan kemudian terpincang-pincang, ia pergi ke solokan untuk mencuci mukanya. Di lain saat, sinar merah yang menakutkan sudah hilang dari mukanya dan pada kulitnya pun tidak terlihat lagi bisul-bisul yang menjijikan. Ia berdiri tegak dengan paras mukanya yang cakap dan angker. Mendadak ia menyoja dan berkata: “Untukmu, aku sudah melangggar sumpahku. Dalam dunia ini, kau adalah manusia pertama yang tidak membenci diriku. Kalian pergilah!” “Apa artinya perkataanmu itu?” tanya si nona. “Aku pernah bersumpah untuk memusuhi semua manusia yang ilmu silatnya tinggi,” jawabnya. “Kau dan aku adalah setanding. Sebenarnya aku ingin berkelahi terus sampai ada keputusan, tapi sekarang aku mengurungkan niatan itu.” “Kenapa?” tanya si nona. “Karena kau tidak membenci aku,” sahutnya. “Aku tak percaya,” kata Peng Go. “Aku sama sekali tidak percaya, bahwa selain aku, semua orang membenci kau.” “Kecuali jika Lu Soe Nio masih hidup dalam dunia ini,” kata si pengemis. “Menurut Soehoe (guru), dalam dunia ini hanya Lu Soe Nio yang tidak membenci kusta.” Dari mendiang ayahnya, si nona pun pernah mendengar nama Lu Soe Nio, seorang pendekar wanita yang dianggap sebagai ahli silat nomor satu di jaman itu. Ia menjadi heran karena ia tidak mengerti, ada hubungan apa antara Lu Soe Nio dan pengemis itu. “Bagaimana kau tahu, bahwa ia tidak membenci penderita kusta?” tanya Peng Go. “Selain itu, bukankah kau sendiri sebenarnya tidak menderita penyakit kusta!” Si pengemis menyusut air matanya, akan kemudian tertawa terbahak-bahak. “Perkataan guruku, mana bisa palsu?” katanya. “Di dalam dunia, hanya ia yang tidak membenci penderita kusta. Tidak! Sekarang ditambah dengan kau dan dalam dunia ini hanya dua orang yang tak membenci si sakit kusta.” “Terang-terang kau tidak menderita penyakit kusta,” kata pula si nona. “Apakah gurumu seorang penderita kusta?” “Aku dan guruku adalah sama saja,” sahutnya. “Jika tak ada guruku, siang-siang aku sudah mati di pinggir jalan, tanpa diperdulikan siapapun juga.” Koei Peng Go tergoncang hatinya. Ia ingat, bahwa menurut kitab ketabiban, kusta adalah penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan. Didengar dari keterangan si pengemis, gurunya seperti juga seorang yang pernah menderita penyakit itu dan yang belakangan sudah menjadi sembuh. Hatinya jadi semakin heran dan ia sungkan melepaskan orang itu dengan begitu saja. “Siapa gurumu?” tanya pula si nona. Pengemis itu mendelik. “Aku juga tak tahu, guruku siapa,” sahutnya. “Mana bisa begitu?” Pengtjoan Thianlie mendesak. “Apakah bocah yang baru berusia tiga empat tahun, bisa mengerti segala urusan?” pengemis itu berbalik menanya. “Ha?” Apakah kau mau mengartikan, bahwa kau sudah masuk dalam rumah perguruan sedari usia tiga empat tahun?’ tanya Peng Go lagi. “Benar,” jawabnya. “Baru saja aku belajar mendaki gunung sembari merangkak, guruku sudah meninggal dunia,” Pengtjoan Thianlie memanggut-manggutkan kepalanya. “Sungguh kasihan!” katanya. Mendadak paras muka si pengemis berubah. “Aku tak sudi dikasihani orang!” ia membentak sembari mengangkat tongkatnya, tapi sesaat kemudian, senjata itu diturunkan pula dengan perlahan. Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan mata tajam dan kemudian berkata dengan suara perlahan: “Gurumu…” Sebenarnya ia ingin berkata begini: “Jika benar gurumu sudah meninggal dunia ketika kau baru berusia tiga empat tahun, dari mana kau mendapat ilmu silat yang begitu tinggi?” Tapi ia tak dapat menanya terus, karena si pengemis sudah mendelik lagi dan berteriak: “Aku tak memperkenankan manusia yang mengasihani penderita kusta, menyebut-nyebut pula nama guruku!’ “Kongtjoe, marilah kita berangkat!” kata Yoe Peng yang sudah tidak dapat menahan sabarnya lagi. Pengtjoan Thianlie menggoyangkan tangannya dan dengan suara lemah lembut menanya pula: “Siapa namamu? Apa boleh aku majukan pertanyaan itu?” Pengemis itu mengawasi si nona dan menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya dan menjawab dengan suara perlahan: “Kau adalah orang pertama yang menanyakan namaku. Baiklah. Aku bersedia memberitahukannya. Namaku Kim Sie Ie, nama pemberian guruku.” Begitu mendengar, Peng Go mengetahui, bahwa “Kim Sie Ie” yang berarti “Peninggalan jaman emas” sama diucapkannya dengan “kim sie ie” yang berarti “disia-siakan atau diasingkan seluruh penghidupannya.” Kata si nona di dalam hatinya: “Jika ia seorang penderita kusta yang belum sembuh dari penyakitnya, menurut kebiasaan orang Han, memang ia harus diasingkan seluruh masa hidupnya.” Sesudah memberitahukan namanya, Kim Sie Ie terus mengawasi Peng Go. “Kemana kau mau pergi?” tanya si nona. “Kemana kau pergi, kesitu aku juga pergi,” jawabnya. “Kemana kau mau pergi?” “Ke Soetjoan barat,” jawabnya. “Kalau begitu, aku pun ke Soetjoan barat,” kata Kim Sie le. “Apakah kau kenal jalan?” Pengtjoan Thianlie sebenarnya tak ingin berjalan bersama-sama pemuda itu, tapi ia tidak bisa berdusta. “Aku sudah tanya-tanya,” sahutnya. “Sesudah lewat gunung ini, aku tak tahu jalan lagi.” “Jika begitu, apa boleh aku menyertai kalian?” tanya pemuda itu. Yoe Peng mendongkol sekali, ia mengawasi majikannya. Tapi Pengtjoan Thianlie yang penuh welas asih merasa kasihan kepadanya dan juga kuatir, jika pemuda itu nanti salah mengerti, kalau ia menolak. Maka itu, lantas saja ia menyahut dengan suara perlahan: “Baiklah.” “Begitu turun dari gunung ini, kita akan bertemu dengan rumah-rumah penduduk,” kata Yoe Peng. “Siauwkongtjoe, bagaimana kita dapat jalan bersama-sama dia?” Pengtjoan Thianlie yang tadi bicara dengan hati setulusnya, menjadi sadar begitu mendengar perkataan dayangnya. Pengemis yang berdiri di hadapannya, tidak berbaju, sedang celananya yang rombeng terbuat dari selembar karung. Sungguh tak pantas untuk seorang gadis seperti ia berjalan bersama-sama dengan pengemis itu. Kim Sie le tertawa terbahak-bahak. “Kau mencela pakaianku yang rombeng?” katanya sembari memutarkan badan dan di lain saat, ia sudah lari seperti terbang dan segera lenyap dari pemandangan. “Kau lihat!” kata Peng Go dengan suara menyesal. “Tanpa sebab, tanpa lantaran, kita kembali menanam bibit permusuhan.” “Siauwkongtjoe,” kata si pelayan. “Melihat dia saja, nyaliku sudah ciut.” “Ya,” kata si nona sesudah berselang beberapa saat. “Baik juga aku dulu-dulu tidak mengenal penyakit itu. Jika aku sudah tahu, mungkin sekali aku juga akan jadi ketakutan.” Ia sungguh tidak mengerti, kenapa Kim Sie Ie berkelakuan begitu aneh. Ia memutar otak, tapi tidak dapat memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis yang luar biasa.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |