Pada waktu Keng Thian kembali ke rumah penginapan, para pelayan sedang kebingungan dalam usaha menolong majikannya. Semula, mereka hanya merasa heran melihat sang majikan belum juga keluar dari kamarnya untuk memenuhi undangan Hoat-ong, tapi mereka tak berani masuk kedalam kamar. Kemudian, sesudah siang berganti malam dan sang majikan belum juga muncul, dengan memberanikan hati, salah seorang pegawai masuk ke dalam kamar. Begitu masuk, ia terkejut oleh karena sang majikan sedang tidur bagaikan mayat dan tak menjadi sadar meskipun dipanggil-panggil dengan suara keras. Buru-buru ia keluar dan memberitahukan rekanrekannya yang jadi kebingungan dan menduga majikan itu terkena “barang kotor.”
Salah seorang lantas pergi mengundang dukun untuk mengusir setan atau memedi yang mengganggunya. Keng Thian merasa geli dalam hatinya. Diam-diam ia mengembalikan surat undangan Hoat-ong dan membuka jalan darah si pemilik rumah penginapan. Sesudah itu, tanpa memperdulikan segala kekacauan, ia membereskan buntalannya dan tanpa pamitan lagi segera berlalu dari penginapan itu, sesudah meninggalkan sepotong perak di atas meja. Dalam peristiwa pada malam itu, ada banyak hal yang tidak dimengerti Keng Thian. Pertama, siapakah gadis Tibet itu? Kenapa, sedang semula ia menolak begitu keras untuk dijadikan Wanita Suci, akhirnya secara suka rela ia menyatakan suka menurut? Kedua, sebagai seorang yang baru turun gunung, Pengtjoan Thianlie tak mengenal jalan. Kenapa ia bisa datang ke kuil itu? Apakah kejadian itu hanya kejadian kebetulan saja? Ketiga, Koei Peng Go bermula mendesak supaya ia cepat-cepat mengangkat kaki, tapi kemudian mesem-mesem kepadanya. Apakah arti sikap itu? Selain itu, sedang Pengtjoan Thianlie sendiri pernah membantu melindungi guci emas, kenapa Hoat-ong bersikap begitu menghormat terhadapnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh Tong Keng Thian. “Jika dilihat dari sikapnya, Peng Go pasti mengenal baik gadis Tibet itu,” katanya didalam hati. “Tapi gadis itu sudah pasti bukan dayangnya.” Berselang beberapa saat, kentongan berbunyi empat kali. Keng Thian lantas mengambil keputusan dan tanpa bersangsi, ia segera menuju lagi ke kuil Lhama dengan gunakan ilmu mengentengkan badan. Begitu tiba, ia pergi ke Istana Wanita Suci yang terletak di sebelah timur. Ia sudah bertekad untuk menyelidiki hal ihwal gadis Tibet tersebut dalam usaha mencari tahu dimana adanya Pengtjoan Thianlie. Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah hinggap di atas genteng istana. Ketika itu, para Wanita Suci sudah berada dalam masing-masing kamarnya dan penerangan sudah dipadamkan. Sesudah terjadinya peristiwa hebat tadi, para wanita itu ternyata tak dapat tidur pulas dan masih terus membicarakan kejadian tadi dengan suara bisik-bisik. Sambil merangkak di atas genteng, Keng Thian mendengar suara kasak-kusuk itu, akan tetapi ia tidak mengetahui suara yang mana adalah suara si gadis Tibet dan ia juga tak berani sembarang masuk ke dalam kamar orang. Sambil menghela napas, Keng Thian mengangkat kepalanya. Mendadak, di sebuah loteng kecil yang terletak di sebelah timur, terlihat api lampu yang berkelak-kelik. Buru-buru ia menghampiri dan setelah datang dekat, lewat jendela kaca ia dapat kenyataan, bahwa di kamar itu terdapat tiga wanita yang bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng dan si gadis Tibet yang sedang dicarinya. Bukan main girangnya. Ia datang lebih dekat pula dan memasang kuping. “Ini beberapa lembar adalah pelajaran menimpuk dengan senjata rahasia,” demikian kedengaran suara Pengtjoan Thianlie. “Simpanlah baik-baik.” “Budi Tjietjie yang sangat besar, sampai mati aku tak akan melupakan,” kata sigadis Tibet. “Ah! Benar-benar mereka sudah saling mengenal,” berkata Keng Thian dalam hatinya. “Tapi kenapa ia turunkan pelajaran senjata rahasia, sedang ilmu silat ada begitu banyak macamnya?” Di lain saat terdengar suara tertawa Yoe Peng yang lalu berkata: “Kau hidup atau mati, untuk aku tak ada halangannya. Tapi ada orang yang tidak rela, jika kau sampai menutup mata!” Dari luar jendela, Keng Thian melihat gadis Tibet itu menggebuk Yoe Peng yang mulutnya usilan. “Aku sama sekali tidak berdusta,” kata pula Yoe Peng yang nakal. “Benar-benar ia sedang menunggu kau dengan tidak sabar.” “Ah! Kalau begitu, ia sudah mempunyai kecintaan,” kata Keng Thian dalam hatinya. “Tapi siapa?” Walaupun pintar dan cerdas, Tong Keng Thian sedikitpun tidak menduga, bahwa orang yang dimaksudkan Yoe Peng adalah Tan Thian Oe. Dengan mata sendiri, ia pernah menyaksikan hubungan yang rapat antara Thian Oe dan Yoe Peng, sehingga ia sama sekali tak mengira, bahwa kecintaan Thian Oe adalah si gadis Tibet. “Yoe Peng!” demikian terdengar Pengtjoan Thianlie membentak. “Jangan bicara yang gila-gila! Adik Chena, jagalah dirimu baik-baik!” Keng Thian tahu, si nona sudah mau berlalu. Tiba-tiba kesunyian sang malam dipecahkan suara bentakan yang keluar dari atas loteng. “Binatang!” membentak seorang wanita. “Berani betul kau menggerayang kesini! Leng-ouw (Anjing sakti)! Gigit orang itu!” Di lain saat, berbareng dengan suara menggeram yang dahsyat, empat ekor anjing sebesar anak kerbau dan galak luar biasa, menerjang Keng Thian. Anjing itu adalah dari daerah Tibet dan merupakan turunan dari perkawinan campuran antara anjing hutan dan anjing biasa, dan itulah sebabnya, mengapa galaknya luar biasa. Mereka mengepung Keng Thian dari empat penjuru, tak berbeda dengan cara manusia yang berakal budi. Baru saja Keng Thian membikin terpental yang satu, dua ekor yang lain sudah menubruk, yang satu coba menggigit lehernya, sedang yang lain menyambar pundaknya. Buruburu Keng Thian membentur dengan pundaknya sembari mengebas dengan tangan kirinya dan kedua anjing itu lantas saja terguling dengan terkuing-kuing. Sekonyong-konyong di tengah udara terdengar suara hebat bagaikan guntur, dibarengi dengan menubruknya seekor anjing yang agaknya menjadi pemimpin rombongan anjing itu. Kedua matanya yang berwarna biru seperti juga mengeluarkan api dan tubrukannya tidak kalah dengan tubrukan seekor harimau. Keng Thian memutarkan badan dan pada saat dua kaki depan anjing itu hampir mengenakan badannya, ia mengirimkan satu tendangan keras. Akan tetapi, binatang itu yang sudah mendapat latihan lama, dapat mengegosi tendangan tersebut. Keng Thian terkejut! “Cara berkelit anjing ini seperti juga manusia yang sudah belajar ilmu mengentengkan badan sepuluh tahun lamanya," katanya di dalam hati. Mengingat ini, dalam hatinya lantas timbul perasaan kasihan dan menyayangkan, jika binatang itu sampai jadi celaka. Tendangan Keng Thian barusan adalah tendangan Wanyo Lianhoan toeihoat, atau tendangan berantai. Sesudah tendangan kaki kiri meleset, kaki kanan harus menyusul. Akan tetapi, oleh karena timbulnya perasaan itu, Keng Thian tidak mengirimkan tendangan kedua. Di lain saat, anjing tersebut kembali sudah menubruk secara hebat. Tiga kawannya yang barusan terguling sekarang sudah bangun kembali dan sembari menyalak, mereka kembali menerjang Keng Thian. Sesudah mendapat pengalaman pahit, bagaikan manusia, keempat anjing itu merobah siasatnya. Sekarang mereka menggunakan siasat gerilya, yaitu buru-buru meloncat mundur jika Keng Thian menghantam dengan tangan atau kakinya dan menyerobot begitu lekas terbuka lowongan. Sesudah bertempur beberapa saat, karena mendengar bentakan-bentakan di atas loteng yang sesuai benar dengan gerakan-gerakan kawanan anjing itu, Keng Thian mengetahui, bahwa serangan itu dipimpin oleh seorang yang bersembunyi di atas loteng. Sementara itu, para Wanita Suci sudah pada keluar dari masing-masing kamarnya dan suara manusia menjadi semakin ramai. Keng Thian merangkap kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam dari ilmu Lweekee, sehingga keempat anjing itu tertolak mundur oleh satu tenaga yang tak kelihatan dan tidak dapat mendekati ia lagi. “Kedatanganku ini adalah untuk menemui seorang sahabat,” ia berseru dengan suara nyaring. “Aku sama sekali tidak mempunyai niatan kurang baik dan mengharap supaya pihak majikan yang terhormat sudi memanggil pulang keempat anjing ini. Jika tidak, janganlah salahkan aku memukul anjing tanpa memandang majikannya.” Baru saja Keng Thian berkata begitu, dari atas loteng melayang turun seorang wanita tua yang mengenakan pakaian warna hijau dan tangannya mencekal sebatang pedang panjang. “Binatang!” ia membentak. “Apakah belum cukup kau mengacau di ruangan sembahyang maka datang lagi ke Istana Wanita Suci? Jagalah pedangku!” Berbareng dengan makiannya ia menikam dengan ilmu pedang Thianliong pay dari Tibet. Keng Thian berkelit dan pada saat itu, keempat ekor anjing sudah membantu menyerang. Dengan sekali melirik, ia mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah si Ibu Suci yang sudah dilihatnya di ruangan sembahyang. “Benar-benar aku datang untuk menemui seorang sahabat yang berada disitu!” berteriak Keng Thian sembari menunjuk loteng. Ibu Suci menjadi gusar bukan main. “Jika kau berani keluarkan pula omongan kotor, kau akan binasa tanpa mempunyai tempat untuk mengubur mayatmu!” ia mencaci. Harus diingat, bahwa Wanita Suci dalam agama mereka dipandang sedemikian suci bersih, sehingga seorang lelaki melirik saja sudah tidak diperbolehkan. Lantaran begitu, mana boleh ia mempunyai sahabat lelaki yang tidak dikenal? Perkataan Keng Thian merupakan pelanggaran besar terhadap agama tersebut dan di mata sang Ibu Suci, ia adalah seorang bermoral bejat. Demikianlah, sambil menyerang dengan pedangnya secara sengit, ia memimpin serangan keempat anjing itu, sehingga Keng Thian menjadi sangat repot dan tidak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan. Pengtjoan Thianlie yang rupanya masih mendongkol tidak mau turun dari loteng untuk memberikan pertolongan, sehingga kedudukan pemuda itu menjadi sulit sekali. Ia sangat kuatir Hoat-ong keburu datang dan urusan bisa menjadi terlebih ruwet lagi. Dalam mendongkolnya, dengan kedua tangan ia menangkap seekor anjing yang lalu dilontarkan ke anjing lain hingga sembari berkuing-kuing, kedua binatang itu terguling-guling tanpa bisa bangun pula. Si Ibu Suci jadi sangat gusar dan lalu mengirim tiga serangan berantai. Dengan gerakan Poanliong djiauwpo (Tindakan naga), Keng Thian mengegos beberapa kali dan kemudian bagaikan seekor burung, ia melewati badan Ibu Suci dan menyambar seekor anjing lagi dengan ilmu Siauwkinna (Ilmu menangkap). Seperti tadi, ia mengangkat badan anjing itu yang lantas dilemparkan ke arah anjing yang ke empat. Tapi tak dinyana, anjing terakhir itu adalah anjing yang paling liehay. Dengan geraman hebat, dia meloncat tinggi dan terus menubruk Keng Thian. Loncatan tersebut sudah membikin timpukan Keng Thian jatuh di tempat kosong dan kedua kaki depannya sudah mengenakan baju pemuda itu. Buru-buru Keng Thian mengeluarkan ilmu Tjiam-ie sippattiat- dengan lweekang-nya yang sangat tinggi. Dengan sekali menggoyangkan badan, anjing itu sudah dilontarkannya sejauh beberapa kaki dan dengan satu egosan, ia berkelit dari tikaman si Ibu Suci. Mendadak suatu sinar dingin menyambar ke arahnya. Keng Thian tahu, benda itu adalah Pengpok Sintan dan lantas menangkap dengan sebelah tangannya. Setelah Sintan itu lumer, dalam tangannya ketinggalan serupa benda lain, sehingga hatinya menjadi kaget. Mendadak terdengar suara Pengtjoan Thianlie yang ditujukan kepada Ibu Suci: “Ibu Suci! Kau sedang repot, ijinkanlah aku berlalu lebih dulu!” Di lain saat, dua bayangan putih kelihatan turun dari atas loteng dengan cepat sekali. Melihat perginya dua wanita itu, Keng Thian tak mempunyai kegembiraan lagi untuk berdiam lebih lama. Tiba-tiba ia menyerang secara hebat dan selagi si Ibu Suci meloncat mundur, ia lantas mengenjot badannya untuk melarikan diri. Ibu Suci itu meluap darahnya dan berseru: “Leng-ouw! Ubar bangsat itu!” Berbareng dengan bentakannya, si Ibu Suci juga mengubar dengan diikuti empat anjingnya, sehingga Keng Thian tak dapat mencapai maksudnya. Sementara itu, di Istana Wanita Suci sudah terdengar suara lonceng tanda bahaya. Keng Thian mengerutkan alisnya, tapi lekas juga ia mendapat suatu tipu. Selagi seekor anjing menubruk, ia mengebas dan mendorong binatang itu ke arah Ibu Suci. Gerakannya cepat luar biasa dan sebelum Ibu Suci melihat tegas, mulut anjing itu yang mengeluarkan air liur sudah berada di depan mukanya yang lantas berlepotan air liur! “Binatang!” berteriak Ibu Suci bagaikan kalap dan kedua tangannya mendorong anjing itu. Di lain detik, berbareng dengan suara tertawanya yang nyaring, Keng Thian sudah berada di luar tembok Setibanya di luar, ia mengawasi ke empat penjuru, tapi Pengtjoan Thianlie sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ilmu mengentengkan badan si nona memang setingkat dengan Keng Thian dan mereka berdua sudah berlalu terlebih dulu. Dengan rasa putus harapan, pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Ia membuka tangannya dan ternyata, benda yang disertakan Pengpok Sintan tadi adalah selembar kertas kecil. Keng Thian membuka kertas itu dan dengan pertolongan sinar rembulan, ia membaca tulisannya: “Jangan campur urusan orang lain!” Keng Thian meringis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seorang diri: “Ah! Maksudku hanyalah ingin menemui kau. Siapa kesudian campur-campur urusan orang lain? Hm! Jika kau tak sudi menemui aku, aku tentu tak dapat memaksa. Tapi, kenapa beberapa kali kau mempermainkan aku?” Ia menengok ke belakang dan melihat seluruh istana Wanita Suci sudah terang benderang. “Ah! Hoat-ong tentu akan mendongkol sekali,” katanya di dalam hati. “Tak dinyana, tanpa sengaja aku jadi menanam permusuhan. Jika si gadis Tibet rela menjadi Wanita Suci, aku tentu tidak berhak untuk mencampuri urusannya lagi.” Demikianlah dengan perasaan tertindih, Keng Thian keluar dari kota Naichi dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sembari jalan, ia teringat, bahwa tujuan Pengtjoan Thianlie adalah Soetjoan barat untuk mencari pamannya, sehingga, meskipun tak mengenal jalan, lama atau cepat pasti ia akan tiba juga disitu. “Paling benar sekarang aku langsung menuju ke tempat Moh Pehpeh untuk menunggu kedatangannya,” pikir ia. Sesudah mengambil putusan itu, hatinya menjadi lebih lega dan ia lalu tidur di pinggir jalan. Pada besok paginya, ia lantas berjalan menuju ke arah timur. Sesudah melewati gunung Bayan Karasan, Keng Thian sudah berada di bagian barat propinsi Soetjoan. Semenjak dulu, Soetjoan barat yang penuh gunung dikenal sebagai tempatnya “manusia liar.” Berhari-hari, Keng Thian berjalan tanpa menemui manusia. Untung juga gunung itu kaya akan pohon-pohon buah sehingga ia dapat menghilangkan rasa haus dengan memetik buahbuahan hutan dan rasa lapar dengan membakar daging kambing hutan yang terdapat banyak sekali di pegunungan itu. Sesudah lewat lagi beberapa hari, tibalah ia di gunung Tjiakdjie san yang sudah termasuk wilayah bangsa Han. Tjiakdjie san dikenal sebagai gunung yang sangat berbahaya dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi ke angkasa dan curam luar biasa. Jika seorang sudah tiba di puncak yang tinggi dan memandang ke sebelah bawah, ia akan melihat gunung-gunung yang tertutup salju seakanakan binatang-binatang raksasa yang berbulu putih sedang mendekam di kaki gunung. Dimanamana orang dapat bertemu dengan batu-batu raksasa yang beraneka bentuknya dan jika dipandang dari jauh, batu-batu itu seolah-olah sekosol-sekosol yang diatur secara sedemikian indah oleh tangan sang alam sendiri. Sesudah berjalan lagi dua hari, di suatu lereng, Keng Thian melihat mengepulnya asap. Hatinya jadi girang, tapi di lain saat ia teringat, bahwa meskipun dilihatnya sangat dekat, tempat itu mungkin baru dapat dicapai sesudah berjalan dua hari lagi. Keng Thian mempercepat tindakannya dan sebelum berjalan berapa lama, cuaca mendadak berobah gelap. Ternyata ia sekarang sudah masuk ke bagian yang paling berbahaya dari gunung Tjiakdjie san. Jalan di tempat itu diapit dua puncak yang berdiri hampir berdempetan, sehingga di tempat-tempat yang tersempit, lebarnya hanya dua atau tiga kaki. Jalan itu bukan saja naik turun, tapi juga berbelit-belit dan penuh dengan batu-batu. Belum juga berapa jauh, mendadak Keng Thian mendengar suara bernapasnya manusia. Dengan kaget, ia berjalan lebih cepat. Di lain saat, ia melihat seorang lelaki yang berpakaian rombeng sedang menyender pada lamping gunung. “Siapa kau?” menanya Keng Thian. Orang itu mengucapkan beberapa patah kata yang tidak terang. Keng Thian mendekati. Sekonyong-konyong ia mengangsurkan kedua tangannya seraya berkata: “Tolonglah aku si pengemis!” Keng Thian mengawasi dan ia terkesiap. Kedua lengan orang itu penuh dengan bisul-bisul besar dan kecil. Sepuluh jerijinya bengkok, sedang di mukanya yang bersinar merah juga terdapat banyak sekali bisul. Tak bisa salah lagi orang itu adalah penderita penyakit kusta (lepra), sehingga Keng Thian yang gagah perkasa tanpa merasa mundur tiga tindak bahna kagetnya. Orang itu mengawasi dengan mata hampa sebagai tak ada semangatnya dan seolah-olah sudah beberapa hari ia tak pernah ketemu nasi. Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian heran tak kepalang. Pertama, menurut kebiasaan, penderita kusta kebanyakan terdapat di Tiongkok Selatan, sedang di daerah Utara barat penyakit itu adalah hal yang langka sekali. Kedua, Tjiakdjie san adalah sebuah gunung yang sangat berbahaya dan, kecuali orang yang berkepandaian tinggi, jarang ada manusia yang mampu mendaki gunung tersebut. Tapi, baru saja mengingat itu, ia berkata dalam hatinya sendiri: “Ah! Dia tentu adalah seorang yang melarikan diri karena desakan masyarakat.” Pada jaman ini, kita semua mengetahui, bahwa penyakit kusta bukan disebabkan pengaruh setan atau hukuman Tuhan. Akan tetapi, pada jaman itu, ialah jaman pemerintahan Boan, orang masih percaya, bahwa kusta adalah satu penyakit yang menandakan dosa seseorang dan seorang penderita kusta dipandang sebagai manusia berbahaya, sehingga mesti dibakar hidup-hidup dan tulang-tulangnya harus dikubur di dalam tanah. Di Tiongkok Utara barat jumlah penderita kusta ada sangat sedikit dan tidak banyak orang yang mengetahui tanda-tanda penyakit tersebut. Maka itu, memang benar ada sejumlah penderita kusta yang secara untung-untungan melarikan diri ke daerah Utara barat untuk menyingkir dari buruan sesama manusia. Akan tetapi, oleh karena macamnya si sakit memang sangat menakuti dan tak ada orang yang sudi memberi tempat meneduh padanya, maka jarang sekali mereka bisa tiba di Utara barat dengan masih bernapas. Memikir begitu, dalam hati Keng Thian segera timbul rasa kasihan. “Dengan badan menderita penyakit, ia lebih suka berkawan dengan binatang daripada dengan sesama manusia yang selalu mengubar-ubarnya,” katanya dalam hati. “Sungguh harus dikasihani! Dan sungguh besar nyalinya!” Ia segera mengeluarkan sepotong daging kambing dari sakunya dan berkata sembari melemparkan daging itu kepada si sakit: “Ambillah. Di sebelah depan terdapat banyak sekali buahbuahan. Kau bisa petik sendiri.” Melihat daging itu dilemparkan, orang itu tidak lantas memungut. Mendadak kedua biji matanya bergerak dan… suatu sinar berkredep keluar dari kedua matanya! Keng Thian terkejut oleh karena sinar yang sedemikian adalah sinar mata orang yang mempunyai kepandaian silat sangat tinggi. Tapi, di lain saat, sorot kedua mata itu lantas berobah menjadi sayu kembali dan perlahan-lahan ia membungkuk untuk memungut potongan daging itu. “Eh, siapa namamu?” menanya Keng Thian. “Apa kau pernah belajar silat?” Orang itu seperti juga tak mendengar perkataan Keng Thian. Ia duduk di atas tanah sembari makan daging itu secara rakus. “Ah, guna apa aku tanya namanya?” kata Keng Thian dalam hatinya. “Andaikata benar ia pandai ilmu silat, aku toh tak bisa berkawan dengan ia ini.” Memikir begitu, ia lantas bergerak untuk segera berlalu, tapi sebelum menindak, ia menengok ke belakang dulu. Di luar segala dugaan, orang itu sedang mengawasi ia dengan sorot mata gusar dan membenci. Keng Thian bergidik dan buru-buru berjalan pergi. Sebelum berjalan herapa jauh, Keng Thian tiba-tiba mendengar suara menggelegar di belakangnya dan ketika ia menengok, sebuah batu besar sedang menggelinding dari atas ke arahnya. Sebagaimana diketahui, jalan gunung itu sangat sempit, sehingga ia tak dapat menyingkir lagi. Oleh karena sudah tak ada jalan lain, buru-buru ia mengerahkan tenaga dalamnya dan dengan kedua tangannya menyampok batu itu, yang lantas saja terpental dan jatuh ke dalam jurang. Ia mendongak dan melihat si penderita kusta sedang menyontek sebuah batu lain. “Kau bikin apa?” membentak Keng Thian. Baru habis ia berkata begitu, batu tersebut sudah menggelinding ke bawah dengan kecepatan kilat. Mau tidak mau, ia terpaksa mengerahkan lagi tenaga dalamnya dan melontarkan pula batu itu. Pada waktu batu itu terpental, tanah dan debu pada muncrat, sehingga Keng Thian harus meramkan kedua matanya. Waktu ia membuka lagi matanya, orang itu sudah tak kelihatan bayang-bayangannya. Keng Thian gusar bukan main. “Hei! Binatang!” ia berseru sekeras-kerasnya. “Kita belum pernah saling mengenal, kenapa juga kau mau mencelakakan aku!” Tapi hanya kumandang suaranya yang kedengaran. Si penderita kusta tetap menghilang tanpa bekas. Sedari turun gunung, ia sudah mengalami banyak juga kejadian-kejadian mengherankan, tapi tak ada yang seaneh ini. Bahwa orang itu tinggi ilmu silatnya, sudah tak usah disangsikan pula. Tapi yang membikin Keng Thian tak habis mengerti, adalah: Terhadap orang itu, ia tak pernah berdosa dan malah sudah melepas budi dengan memberikan sepotong daging. Tapi kenapa, ia menurunkan tangan jahat? Apakah orang itu sudah hilang sifat kemanusiaannya? Tak lama kemudian, ia tiba di tempat terbuka dan jalan sudah tidak begitu berbahaya seperti tadi. la sekarang sudah sampai di bagian selatan dari gunung Tjiakdjie san dan sesudah mengasoh sebentar, ia segera meneruskan perjalananannya. Kira-kira magrib pada hari kedua, ia sudah tiba di tengah-tengah gunung itu. Di satu tanjakan ia menemukan sebuah rumah tanah yang berdiri sebelah menyebelah dengan sebuah gubuk beratap alang-alang. Dari dalam rumah itu mengepul asap dan hidung Keng Thian mengendus wanginya daging bakar dan nasi yang baru dimasak. Rumah tersebut berbentuk istal kuda panjangnya kira-kira tiga tombak dan lebarnya setombak lebih. Keng Thian mengetahui, bahwa rumah itu adalah semacam penginapan untuk orang-orang yang mendaki gunung untuk memetik daun obat atau berburu binatang. Sesudah berhari-hari lamanya menangsel perut dengan daging kering dan buah-buahan hutan, Keng Thian ingin sekali makan nasi yang putih dan segera juga ia mengetuk pintu. Tuan rumah adalah seorang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dengan cara-caranya yang sederhana, seperti biasanya seorang pegunungan. Mendengar permintaan menginap, lantas saja ia berkata sembari tertawa: “Beberapa bulan tak pernah ada tetamu, sekali datang satu rombongan besar. Tuan, malam ini kau tak akan kesepian. Di dalam sudah ada belasan orang, rombongan pedagang obat yang datang dari Selatan.” Sesudah memberikan sepotong perak untuk barang santapan, Keng Thian segera bertindak masuk. Dalam ruangan itu berjajar belasan pikulan obat-obatan dan begitu ia masuk, dua piauwsoe (orang yang bertugas sebagai pelindung) setengah tua terus mengawasi gerak-geriknya. Tiba-tiba terdengar suara mendehem dari seorang piauwsoe tua dan kedua kawannya itu lantas menundukkan kepala, seperti juga tidak melihat masuknya seorang tetamu baru. Selain ketiga piauwsoe itu, terdapat juga tujuh delapan orang lelaki yang berbadan kekar, pada menggeletak di atas tanah dengan menggunakan pikulan sebagai bantal. Di samping si piauwsoe tua duduk seorang pedagang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan yang matanya terus melirik pedang Keng Thian. Keng Thian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. “Apakah Saudarasaudara ingin pergi ke Tjenghay?” ia menanya sembari tertawa. Si piauwsoe tua hanya manggutkan kepalanya sedikit, sedang si pedagang menjawab dengan satu suara “hm.” “Aku sendiri ingin pergi ke Soetjoan barat,” berkata pula Keng Thian. “Aku merasa sangat beruntung malam ini dapat bertemu dengan kalian. Dengan mempunyai banyak kawan, kita bisa tidur enak.” “Bagus! Bagus!” berkata si piauwsoe tua. “Apakah Saudara datang dari utara?” “Benar. Jalanan gunung sukar sekali dilewati,” sahut Keng Thian. “Dengan berkelana seorang diri, nyali saudara benar-benar besar,” berkata pula piauwsoe itu. “Aku si tua mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai piauwsoe dan dalam pekerjaan itu, aku hanya mengandalkan bantuan sahabat-sahabat. Aku mohon saudara jangan mentertawakan diriku. Untuk bicara terus terang, jika harus berjalan seorang diri, aku tak akan berani mendaki gunung Tjiakdjie san.” Sehabis berkata begitu, kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan sorot tajam. “Gila! Si tua menganggap diriku sebagai perampok!” berkata Keng Thian dalam hatinya. Ia lantas saja menyoja dan berkata dengan suara hormat: “Loosoehoe janganlah bicara begitu merendah. Dapatkah aku mendapat tahu she dan nama Loosoehoe yang mulia?” “Aku she Kwee, namaku Tay Kie,” jawabnya. “Dan siapakah adanya saudara?” Mendengar pertanyaan orang, Keng Thian segera memperkenalkan dirinya secara terus terang Piauwsoe itu ternyata sungkan banyak bicara. Setiap pertanyaan, ia jawab dengan singkat. Keng Thian mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw orang selalu bercuriga terhadap mereka yang belum dikenal dan ia pun mengetahui, bahwa dirinya sangat dicurigai. Maka itu, ia tidak banyak menanya pula, hanya hatinya merasa agak heran, oleh karena belum pernah mendengar nama Kwee Tay Kie. Di daerah Seekong, Tibet, Tjenghay dan Sinkiang terdapat banyak sekali bahan obat yang luar biasa, seperti nyali biruang dan sebagainya, tapi sangat kekurangan obat-obatan biasa. Maka itu, setiap tahun seorang dua orang pedagang obat-obatan yang besar selalu mengunjungi beberapa propinsi itu dengan membawa obat-obatan biasa, untuk ditukar dengan bahan-bahan obat istimewa keluaran daerah tersebut. Setiap kali berdagang paling sedikit harganya meliputi sepuluh laksa tail perak, sehingga piauwsoe yang berkepandaian tanggungtanggung, tak akan berani bertugas untuk melindungi rombongan pedagang tersebut. Sesudah bersantap malam, rombongan pedagang lalu menyalakan perapian dan mereka tidur di sekitar perapian itu, dengan para piauwsoe menjaga bergiliran. Keng Thian sendiri lantas saja merebahkan diri di suatu sudut. Baru saja ia meramkan mata, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan dan dua piauwsoe setengah tua dengan serentak meloncat bangun. “Ada orang!” mereka berbisik. “Jangan ribut!” membentak si piauwsoe tua. Menurut kebiasaan rumah penginapan, untuk menggampangkan para tetamu yang keluar masuk, daun pintu hanya dirapatkan. Suara tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, sudah tiba di depan pintu. Sebelum pintu ditolak, terdengar suara tertawa yang sangat nyaring lebih dulu. Keng Thian dan semua orang merasa terkejut oleh karena suara itu adalah suara seorang wanita. Di lain saat, dua wanita masuk ke dalam, diikuti seorang lelaki. Kedua wanita itu, satu tua dan satu muda, mempunyai paras muka yang hampir sama, sehingga dapat diduga, bahwa mereka itu adalah ibu dan anak. Si wanita muda, yang pada rambutnya ditancapkan sekuntum kembang hutan, berparas riang gembira dan begitu masuk, ia berseru: “Ha! Begitu banyak orang? Benarbenar ramai!” Wanita yang setengah tua, yang kedua alisnya bengkok dan mengenakan pakaian warna dadu dengan sulaman kembang Botan, mengeluarkan suara “stt,” sembari menempelkan jerijinya pada mulutnya. “Perlahan sedikit!”, katanya. “Jangan mengganggu tamu-tamu lain!” Walaupun perkataannya merupakan perintah, akan tetapi paras mukanya mesem-mesem dan sama sekali tak mempunyai keangkeran seorang ibu. Keng Thian merasa geli. “Ie-ie-ku (Phang Lin) adalah satu manusia aneh,” katanya di dalam hati. “Wanita ini rasanya tak banyak beda dengan Ie-ie.” Pada pinggang kedua wanita itu tergantung gendewa dan sembari masuk, mereka tertawa haha-hihi, seolah-olah sepasang bocah yang belum mengenal asam garam dunia. Akan tetapi, meskipun lagaknya seperti anak-anak, mata mereka memancarkan sorot keksatriaan. Orang lelaki yang mengikuti di belakang mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun dan berbadan tinggi besar. Ia tidak membawa senjata, akan tetapi dilihat dari tindakannya yang mantap, sudah boleh dipastikan, bahwa ia seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Rombongan pedagang obat belum ada yang tidur pulas. Begitu ketiga tamu itu masuk, mereka semua membuka mata, terutama kedua piauwsoe setengah tua, yang terus mengawasi mereka tanpa berkesip. Si gadis mendadak tertawa nyaring seraya berseru: “Hei! Kalau mau lihat, lihatlah secara berterang! Guna apa main sembunyi?” Muka kedua piauwsoe itu lantas saja berobah merah dan matanya mendelik. Tapi sebelum mereka membalas menyemprot, si orang tua yang berbadan tinggi besar buru-buru menghampiri dan berkata sembari menyoja: “Anakku memang nakal sekali. Aku sangat mengharap, mengingat usianya yang masih sangat muda, saudara-saudara sudi memaafkannya.” Sehabis berkata begitu, ia mendorong puterinya seraya membentak: “Hee-djie! Lekas minta maaf pada sekalian paman!” Melihat sikap ayah si nona yang sangat patut, si piauwsoe tua lantas saja berdiri dan berkata sembari tertawa: “Anak-anak guyon-guyon, janganlah Looheng buat pikiran. Kedua kawanku adalah orang-orang kasar yang tidak mengenal aturan. Nona! Aku pun mengharap kau jangan menjadi gusar.” Dengan demikian, sengketa kecil itu sudah menjadi beres, orang-orang piauwkiok lantas pada merebahkan diri lagi, sedang si nona terus mengikuti kedua orang tuanya. Sembari berjalan, wanita setengah tua itu berkata kepada suaminya dengan suara yang cukup keras untuk didengar oleh semua orang: “Loyatjoe! Kau sendiri yang terlalu rewel! Kau sudah mengganggu semua orang yang ingin tidur.” Nyonya itu yang sangat menyayangi puterinya, sudah sangat mendongkol mendengar comelan sang suami dan orang-orang piauwkiok mengetahui, bahwa perkataannya ditujukan kepada mereka. “Dalam kalangan Kangouw, yang paling tak boleh dibuat gegabah adalah hweeshio, toosu, sasterawan dan wanita,” kata si piauwsoe tua dalam hatinya. “Kedua wania ini, yang membawa gendewa, kelihatannya bukan penjual silat. Ah! Malam ini aku harus berjaga-jaga.” Sesudah memilih suatu sudut, sang ibu dan puterinya segera menggelar tikar untuk mengasoh. Sambil menyandar pada tembok, Keng Thian mengawasi mereka. Mendadak, kedua mata si wanita setengah tua mengeluarkan sinar luar biasa dan setindak demi setindak, ia menghampiri Keng Thian. Tiba-tiba ia menghentikan tindakannya dan mengawasi pemuda itu dengan muka bersemu dadu dan sebelah tangannya memegang koen, sebagai lagaknya seorang gadis muda yang bertemu dengan kecintaannya. Pada saat itu, si orang tua yang berbadan tinggi besar menghampiri seraya berkata: “Tjengmoay, lebih baik kita mengambil tempat di pojok sana.” Sekonyong-konyong kedua matanya bersinar dan seperti si wanita, ia pun mengawasi Keng Thian. Keruan saja Keng Thian jadi kaget. “Ah! Kenapa begini lagaknya kedua orang tua ini?” ia menanya dalam hatinya. Beberapa saat kemudian, sembari tertawa si orang tua menyoja dan menanya: “Siauwko (Saudara kecil), bolehkah aku mendapat tahu she-mu yang mulia?” “Aku she Tong,” jawab Keng Thian. Si wanita mengeluarkan satu seruan tertahan dan menanya dengan suara tergugu: “Kau… kau she Tong?” “Perlahan sedikit!” membentak si tua. “Tong Siangkong (tuan),” berkata pula wanita itu dengan suara terlebih perlahan. “Kau datang dari mana dan sekarang mau pergi kemana?” Sekonyong-konyong puterinya tertawa. “Ibu,” katanya “Kenapa kau menanya begitu melit?” Keng Thian agak bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut juga: “Aku datang dari Tibet dan ingin pergi ke Soetjoan barat untuk mencari seorang sahabat.” “Hm,” berkata pula si wanita setengah tua. “Dari Tibet? Dilihat dari gerak-gerikmu. Aku rasa kau sudah pernah belajar ilmu silat dalam banyak tahun.” Sembari berkata begitu, ia mengawasi Yoeliong kiam yang digunakan sebagai bantal kepala oleh Keng Thian. Gadis itu kembali tertawa nyaring dan berkata: “Ibu! Benar-benar kau sudah linglung! Apakah kau tak lihat pedangnya? Perlu apa kau menanya lagi?” “Aku berjalan seorang diri dan dengan membawa pedang, hatiku jadi lebih besar,” kata Keng Thian. “Manalah aku mempunyai kepandaian silat?” Orang tua yang berbadan tinggi besar itu mesem-mesem, seolah-olah ingin memuji Keng Thian yang bisa merendahkan diri dan berbareng menegur kedustaannya. “Aku ingin menanyakan kau tentang satu orang yang she-nya sama dengan kau,” kata siwanita setengah tua. “Mungkin sekali ia masih tersangkut pamili dengan kau.” “Siapa?” menanya Keng Thian. “Orang itu bernama Tong Siauw Lan!” sahutnya. Keng Thian terkejut. Harus diketahui, bahwa kedua orang tua Keng Thian dulu pernah mengamuk di istana kaizar dan sudah membinasakan Kaisar Yong Tjeng. Walaupun kejadian itu sudah berselang banyak tahun, akan tetapi Tong Siauw Lan suami isteri masih tetap merupakan orang buronan yang menjadi musuh kerajaan Boan. Oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa Keng Thian tak berani membuka rahasia di depan sembarang orang. Wanita setengah tua itu mengawasi padanya dengan sorot mata tidak sabar dan dilihat dari sikapnya, ia sama sekali tidak mengandung maksud yang kurang baik. Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian segera berkata sembari tertawa: “Nama Tong Tayhiap aku sudah pernah dengar lama sekali. Ia adalah seorang pemimpin dari satu cabang persilatan dan aku sangat kagum padanya. Hanya sayang sungguh, sampai sebegitu jauh aku belum pernah dapat berjumpa.” Paras muka wanita setengah tua itu lantas saja berobah, seperti orang yang kecewa dan putus harapan. “Ibu!” kata puterinya. “Tong Pehpeh bertempat tinggal di atas gunung Thiansan, orang biasa mana bisa jumpai ia? Tapi setiap kali bertemu orang yang datang dari Sinkiang atau Tibet, kau selalu tak lupa untuk menanya. Apakah ibu tidak takut ditertawai orang?” Mendengar ejekan itu, sang ibu jadi mendongkol. “Setan kecil!” ia membentak. “Sekarang anak mau mengajar orang tua!” Oleh karena kuatir didesak terus, Keng Thian lantas berlagak menguap, seperti orang yang sudah sangat mengantuk, sehingga si orang tua jadi malu hati. “Hee-djie, Tjeng-moay, besok pagi-pagi Siauwko tentu ingin meneruskan perjalannya dan kita pun harus mengasoh.” Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan kembali ke tikarnya, diikuti kedua wanita itu. Sesudah mengalami beberapa kejadian luar biasa selama dua hari beruntun, mana Keng Thian bisa cepat-cepat pulas. Ia putar otaknya, tapi tak juga dapat menebak siapa adanya ketiga orang itu. Ia membuka matanya sedikit dan melihat kedua piauwsoe setengah tua itu sedang duduk di pinggir perapian dengan tangan mencekal golok dan matanya sering-sering melirik ke arah dua wanita itu. Si piauwsoe tua menggeros, tapi Keng Thian mengetahui, ia hanya berlagak pulas. Berselang beberapa lama para pegawai piauwkiok yang sudah kecapaian tak dapat menahan pula perasaan ngantuknya dan sudah pada menggeros keras. Mendadak, Kwee Tay Kie, si piauwsoe tua, membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan: “Awas!” Ia segera mencekal hoentjwee-nya (pipa panjang), yang lalu diisikan tembako, dinyalakan dan kemudian dihisap. Hoentjwee itu yang panjang dan kepalanya sebesar cangkir teh, berwarna hitam mengkilap, sehingga dapat diduga, bahwa hoentjwee itu bukan dibuat dari pada kayu, tapi dari pipa besi yang dapat digunakan sebagai senjata. Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan, disusul dengan terpentalnya daun pintu, dan di lain saat, belasan orang menerobos masuk. Yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Sembari mengacungkan gendewa yang dicekalnya, ia berseru sembari tertawa berkakakan: “Bagus! Bagus! Kambing-kambing gemuk semuanya berkumpul dalam rumah ini!” Kedua piauwsoe setengah tua itu serentak meloncat bangun, tapi sebelum mereka dapat bergerak lebih jauh, Kwee Tay Kie sudah meloncat ke depan dan sambil mengebas dengan hoentjwee-nya, ia memberi hormat seraya berkata: “Sahabat, selamat datang! Aku yang rendah adalah Kwee Tay Kie dari Tjinwie Piauwkiok di Pakkhia dan mencari sesuap nasi dengan menjalankan tugas sebagai satu piauwsoe. Mataku sungguh buta dan kupingku tuli sehingga tak mengetahui, bahwa Tjeetjoe (pangilan terhadap kepala perampok) bertempat tinggal di gunung ini, dan aku tidak mengunjungi terlebih dahulu untuk memberi hormat. Untuk semua keteledoran itu, aku memohon maaf.” Kawanan penjahat yang berdiri di belakang kepala perampok itu, tertawa terbahak-bahak. “Hei! Tak perlu kami mendengar segala perkataan-perkataan yang indah!” berteriak seorang. “Kami hanya tahu, kambing gemuk berada di depan mata dan tinggal menunggu ditangkap. Majikan! Bukankah begitu?” Kepala perampok itu mengawasi Kwee Tay Kie dan berkata sembari tertawa: “Siauwsamtjoe! Kau jangan bawel! Aku lihat, Kwee Piauwtauw adalah seorang yang mengenal aturan dan di dalam kalangan Kangouw, kita memang harus menghargakan tali persahabatan. Begini saja: Obatobatan ini justru sangat diperlukan di tempat kami dan tanpa sungkansungkan kami ingin memintanya. Semua pegawai Piauwkiok boleh berlalu tanpa mendapat gangguan dan kami pun tak akan merampas uang. Kwee Piauwtauw! Bukankah peraturan ini sudah cukup pantas?” Si pedagang obat ketakutan bukan main dan sekujur badannya jadi gemetaran. Ia mengawasi Kwee Tay Kie dengan perasaan kuatir, kalau-kalau si piauwsoe tua akan tunduk terhadap kemauan kepala perampok itu. Kwee Tay Kie dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. “Terima kasih atas kemurahan hati Tjeetjoe,” katanya. “Sebenarnya aku harus menurut pada kemauan Tjeetjoe, akan tetapi, seorang yang makan gaji, harus setia terhadap majikannya. Orang yang menyewa tenaga kami merupakan ayah ibu yang memberi makan kepada piauwkiok. Jika sekarang, untuk menyelamatkan diri, kami tunduk terhadap perintah Tjeetjoe dan meninggalkan sang ayah dan ibu, maka piauwkiok kami pasti akan segera menggulung tikar dan puluhan keluarga kami akan mati kelaparan. Tjeetjoe! Aku si tua mohon Tjeetjoe sudi mempertimbangkan perkataanku ini.” Kepala penjahat itu tertawa tawar. “Perkataan Kwee Piauwtauw sedikitpun tiada salahnya,” katanya dengan suara menyindir. “Akan tetapi, jika kami tidak berjual beli (merampok), apakah Kwee Piauwtauw mau suruh kami makan angin?” “Soehoe!” berseru salah seorang piauwsoe setengah tua itu. “Jika mereka sungkan memberi muka, guna apa kita bicara panjang-panjang lagi?” Si kepala perampok tertawa besar sambil menarik tali gendewa. Berbareng dengan suara menjepretnya gendewa, kedua piauwsoe setengah tua itu menangkis dengan goloknya. Mendadak terdengar suara “plak!” dan peluru itu pecah dengan mengeluarkan api yang lantas saja membakar baju kedua piauwsoe itu. Buru-buru mereka bergulingan di atas tanah dan waktu mereka bangun lagi, Kwee Tay Kie sudah bertempur dengan kepala perampok itu. Walaupun sudah berusia lanjut, gerakan Kwee Tay Kie sangat cepat dan sebelum si penjahat dapat melepaskan pelurunya, hoentjwee-nya sudah menyambar kepala si pemimpin rampok. “Bagus!” berteriak kepala perampok itu sembari mengebas dengan gendewanya untuk membabat pergelangan tangan Kwee Tay Kie. Serangan itu adalah satu serangan aneh, sehingga dengan cepat si piauwsoe memutarkan badannya sambil menyodok dengan hoentjwee-nya yang digunakan seperti sebatang tombak pendek. Serangan itu disusul dengan pukulan Tjinpo lianhoan (Majukan kaki secara berantai), hoentjwee-nya mengetok ke bawah, seperti orang mengetok dengan martil. Dan sebagai serangan yang ketiga, sembari memutar badan sekali lagi, Kwee Tay Kie menotok jalan darah Djoanma hiat di dada si penjahat dan kali ini hoentjwee tersebut digunakan sebagai Poankoan pit (senjata yang bentuknya seperti pit, pena Tionghoa). Demikianlah dengan beruntun Kwee Tay Kie mengirimkan tiga serangan dengan menggunakan tiga macam pukulan yang berlainan. Kepala perampok itu segera mengangkat gendewanya dan dengan tiga macam pukulan yang berlainan, ia dapat memunahkan ketiga serangan si piauwsoe tua. Ia tertawa berkakakan. “Piauwtauw Tjinwie Piauwkiok sungguh liehay!” katanya. “Tapi bertemu Hoeihweetan Tjoe Teng (Tjoe Teng si Peluru Api Terbang), keangkerannya akan menjadi musnah!” Sehabis berteriak, ia segera merobah cara bersilatnya, punggung gendewa digunakan untuk menyapu dan memukul. Sedang tali gendewa digunakan untuk membetot dan membabat. Gendewa tidak termasuk di dalam delapan belas jenis senjata dan jika seorang dapat menggunakan gendewa sebagai senjata, ia tentu mempunyai ilmu silat yang istimewa. Maka itu, sesudah bertempur lama juga, walaupun mempunyai pengalaman puluhan tahun, Kwee Tay Kie masih belum bisa berada di atas angin. Sementara itu, dengan dipimpin oleh kedua piauwsoe setengah tua itu, para pegawai piauwkiok sudah bertempur dengan kawanan perampok. Jumlah kedua belah pihak kira-kira berimbang. Pihak perampok terlebih unggul daripada para pegawai piauwkiok dalam ilmu silat, tapi dapat diimbangi oleh kedua piauwsoe itu yang kepandaiannya banyak lebih tinggi dari mereka. Dengan demikian, sesudah berkutet lama juga, belum kelihatan siapa yang bakal kalah. Keng Thian duduk dan menonton. Ia tidak mau lantas turun tangan dan diam-diam mengawasi gerak-gerik keluarga yang terdiri atas tiga orang itu. Tiba-tiba si gadis tertawa geli. “Ibu,” katanya “Perampok itu juga dapat menggunakan Tankiong (Gendewa peluru)!” “Fui!” membentak ibunya. “Dalam dunia yang lebar, apakah hanya kau seorang yang dapat menggunakan Tankiong?” “Benar! Tapi dalam dunia yang lebar ini, Tankiong dari keluarga Yo yang paling liehay,” berkata pula gadisnya. “Ibu! Aku masih ingat, kaulah yang berkata begitu.” “Bawel benar kau!” mengomel sang ibu. Keng Thian kaget. “Tankiong dari keluarga Yo?” ia menanya dirinya sendiri. “Keluarga Yo yang mana?” Sekonyong-konyong sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, gendewa si perampok menyambar bagaikan kilat dan di lain saat, pundak Kwee Tay Kie terluka dan ia terhuyung beberapa tindak. “Binatang! Biar sekarang aku mengadu jiwa tuaku!” ia berteriak. Kepala perampok itu tertawa berkakakan sembari mementang gendewa dan melepaskan belasan peluru. Begitu Lioehong Hweeyamtam (peluru api yang dibuat dari welirang) menyambar, beberapa pegawai piauwkiok roboh terjungkal dan beberapa orang lain pada terbakar bajunya, sehingga buru-buru mereka menggulingkan diri. Selagi si perampok melepaskan peluru, orang tua yang berbadan tinggi besar itu berkata pada puterinya: “Hee-djie. Aku lihat tanganmu sudah gatal sekali. Sekarang boleh kau turun tangan!” Si gadis tertawa girang dan sambil meloncat bangun, ia mementang gendewanya. Di lain saat, bagaikan bintang sapu sejumlah peluru menyambar peluru api si penjahat yang lantas pada jatuh dengan terbakar. Bukan main gusarnya kepala perampok itu. Sambil mengegos untuk menyingkir dari serangan Kwee Tay Kie, ia mementang gendewanya dan puluhan peluru api menyambar si nona seperti hujan gerimis. “Hee-djie!” berseru ibunya. “Caramu belum sempurna. Lihatlah ini!” Bagaikan kilat, si nyonya segera melepaskan puluhan peluru ke arah peluru-peluru api itu, yang, seperti juga mempunyai mata, lantas pada berbalik menyambar ke kawanan perampok. Dalam sekejap, beberapa perampok sudah bergulingan di atas tanah dengan ‘pakaian terbakar dan sebuah peluru api hampir-hampir saja mengenakan Tjoe Teng, si kepala perampok, yang lalu berteriak-teriak bahna gusarnya. Kwee Tay Kie yang sudah tidak menghitung hidup, jadi terkejut berbareng girang melihat datangnya bintang penolong yang tidak diduga-duga. Selagi ia bengong mengawasi si nyonya, tiba-tiba Tjoe Teng menendang dadanya dengan ilmu tendangan Tengkak. Pada detik yang sangat berbahaya, si orang tua yang berbadan tinggi besar berseru: “Tjengmoay! Bereskanlah buaya-buaya yang lainnya!” Sehabis berseru begitu, ia menjejek kedua kakinya dan badannya lantas melesat bagaikan seekor burung. Di lain saat, tangannya sudah menyambar kepala perampok itu yang lantas dilemparkan keluar pintu. Pada detik itu, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara tertawa menyeramkan yang tidak begitu diperhatikan orang oleh karena pertempuran sedang berlangsung hebat. Sesaat kemudian, seorang lelaki sudah berada dalam ruangan itu. Keng Thian yang kupingnya liehay sangat terkejut ketika mendengar suara tertawa itu. Ia mengawasi lelaki yang baru masuk itu, dan yang ternyata adalah seorang pengemis berpakaian rombeng dengan sebelah tangan mencekal tongkat hitam dan seluruh badannya penuh bisul. Orang tersebut bukan lain daripada si penderita kusta dengan siapa ia pernah bertemu di gunung Tjiakdjie san. Keng Thian tetap menyandar pada tembok, ia mengangkat leher bajunya, sehingga sebagian mukanya jadi ketutup. Begitu masuk, si pengemis mengebas tangannya dan si orang tua mundur beberapa tindak. “Siapa kau?” ia membentak dengan suara gusar. Si penderita kusta lantas saja mengeluarkan suara tertawa yang membikin orang bergidik. “Kau tak kenal aku, tapi aku kenal kau!” katanya sembari tertawa ha-ha he-he. “Di Shoatang, namamu besar sekali. Aku kira kau masih berada disitu dan telah mengunjungi dua kali, tapi selalu tidak bertemu. Tak tahunya kau berada di tempat ini! Ha-ha! He-he! Sungguh bagus! Sungguh bagus! Aku dengar Ngohengkoen-mu adalah ilmu silat yang paling liehay di sebelah selatan dan utara Sungai Besar. Maka itu, aku sengaja mencari kau untuk memperluas pemandanganku! Ah! Nyonya itu katanya adalah puterinya Tiattjiang Sintan (si Tangan Besi Peluru Malaikat, gelaran ayahnya nyonya tersebut). Hm! Aku dilahirkan agak terlambat, sehingga tak mempunyai kesempatan untuk berjumpa dengan Tiattjiang Sintan. Sungguh beruntung, di tempat ini aku dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang pada dua puluh tahun berselang, sudah menggetarkan dunia Kangouw. Dari beliau, aku pun ingin memohon pengajaran!” Kepala perampok yang tadi dilemparkan keluar pintu, sekarang sudah masuk kembali. Ia girang bukan main waktu mendengar kata-kata si pengemis, yang diduga adalah seorang penjahat juga. “Eh,” katanya. “Kambing gemuk itu kita bagi seorang separoh. Semangkok air kita minum bersama-sama!” Si penderita kusta mendelik dan membentak: “Siapa perdulikan kambing gemukmu! Keluar!” Ia mendorong dengan kedua tangannya dan badan si perampok lantas terpental serta menubruk pintu, sehingga sebelah daun pintu copot dari engselnya.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |