Mendengar suara ribut-ribut dan melihat larinya Keng Thian, kedua Lhama yang menjaga di luar segera bergerak untuk mengubar.
“Tolol!” membentak Hoat-ong. “Apa kau mau antarkan jiwa? Dia sudah kena pukulanku dan akan binasa dalam tempo tiga hari.” Sehabis berkata begitu, ia menghela napas. “Tak gampang orang itu memiliki ilmu silat yang sedemikian tinggi,” katanya di dalam hati. “Entah siapa yang menyuruh ia datang kesini, sehingga ia mesti korbankan jiwanya secara cuma-cuma. Sungguh sayang!” Dalam hatinya, pemimpin agama tersebut merasa sangat menyesal, bahwa secara ketelanjur, ia sudah menurunkan tangan yang begitu berat. Keng Thian merasakan punggungnya sakit dan begitu tiba di rumah penginapan, ia segera membuka Kimsie Djoanka, semacam baju kutang yang terbuat dari semacam benang berwarna emas. Dengan pertolongan sebuah kaca tembaga, ia melihat satu titik hitam di punggungnya. Keng Thian kaget, tapi sesaat kemudian ia berkata seorang diri: “Baik juga ada ini Kimsie Djoanka, jika tidak, isi perutku bisa terluka hebat. Sungguh tak terduga, tenaga dalamnya Hoatong begitu dahsyat.” Kimsie Djoanka itu mempunyai riwayat yang menarik. Dulu, ketika Phang Eng dan Phang Lin jangkep berusia satu tahun, Tjiong Ban Tong, pemimpin Boekek pay, telah menghadiahkan dua rupa mustika dari Rimba Persilatan, yaitu, yang satu Kimsie Djoanka, sedang yang lain golok Tokbeng Sinto. Pada hari itu, kedua saudara kembar itu dibiarkan memilih sendiri dan sebagai hasilnya, Phang Eng mengambil Kimsie Djoanka, sedang Phang Lin mengambil Tokbeng Sinto. Baju kutang tersebut terbuat dari bulu warna emas yang diambil dari punggungnya Kimmo houw (semacam singa berbulu emas) di pegunungan Himalaya. Djoanka itu, yang lemas dan enteng, tak dapat ditembuskan senjata tajam juga tak dapat dihancurkan dengan pukulan. Dengan adanya lapisan baju kutang itu, walaupun pukulan Hoat-ong sangat dahsyat, tenaganya sudah hilang separoh, dan ditambah pula tenaga dalam Keng Thian sendiri, pukulan tersebut hanya dapat menggetarkan isi perutnya, tapi tak sampai mencelakakannya. Buru-buru Keng Thian mengerahkan jalan pernapasannya dan menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat dari Soatlian. Sesudah itu, dengan hati lega, ia tidur untuk mengasoh. Pada besok paginya, si pelayan datang di kamar Keng Thian dan mereka lalu membicarakan pula halnya Hoat-ong. “Aku dengar, malam ini Hoat-ong akan mengadakan sembahyang besar,” kata si pelayan. “Mereka telah mengundang tetua-tetua kota ini dan para orang tua gadis-gadis yang kena ditangkap, semuanya ada seratus orang lebih. Inilah satu kejadian yang baru pernah terjadi. Besok pagi kita akan mengetahui, kenapa mereka menangkapi gadis-gadis cantik.” “Mereka tidak mengundang kau, cara bagaimana kau bisa mengetahui begitu cepat?” Keng Thian sengaja menanya. “Biarpun aku sendiri tak diundang, tapi majikanku mendapat undangan,” jawabnya. “Ialah yang memberitahukan hal itu kepadaku.” Keng Thian jadi girang dan lalu menanyakan lebih jauh tentang si pemilik rumah penginapan. Ia itu ternyata adalah seorang yang mempunyai kedudukan agak tinggi dalam kota Naichi dan telah mewarisi perusahaan rumah penginapan dari orang tuanya. Keng Thian juga mendapat tahu, bahwa orang bisa masuk ke dalam ruangan sembahyang dengan memperlihatkan surat undangan, dan mengingat banyaknya orang yang diundang, pemeriksaan tentu tidak dilakukan secara teliti. Kira-kira magrib, diam-diam Keng Thian masuk ke kamar tidur si pemilik rumah penginapan dan lalu bersembunyi di atas salah satu balok penyangga atap. Ia lihat, dengan penuh kegirangan, orang itu mengeluarkan makwa hitam yang indah, sedang surat undangan yang berwarna merah menggeletak di atas pembaringan. Keng Thian segera memulung sedikit tanah yang melekat di tembok dan menimpuk jalan darah Hoenswee hiat dari si pemilik rumah penginapan yang lantas saja terguling di atas lantai dan akan tetap rebah selama dua belas jam. Kemudian ia loncat turun dan sesudah membaringkan si pemilik rumah penginapan di atas pembaringan, ia segera memakai pakaian orang itu yang memang sudah tersedia. Untung juga, potongan badan si pemilik rumah penginapan tidak banyak berbeda dengan potongan badannya Selanjutnya, ia mengeluarkan sepotong Yayong tan yang lantas dihancurkan dengan sedikit air the dan kemudian dipoleskan pada mukanya. Yayong tan atau obat untuk merubah paras muka adalah semacam perlengkapan dari kawanan penjahat di jaman itu. Tong Siauw Lan, ayah Keng Thian, telah belajar membuat obat tersebut dari Kam Hong Tie. Setelah merubah paras mukanya dengan tangan mencekal surat undangan itu, sembari mesem Keng Thian segera berangkat menuju ke kuil Lhama. Cocok dengan dugaannya beberapa Lhama yang mendapat tugas untuk menyambut para tamu, tidak banyak rewel dan semua tamu yang membawa surat undangan dipersilahkan masuk tanpa pemeriksaan teliti. Sebelum sembahyang, terlebih dulu diadakan perjamuan. Orang-orang yang dijamu di gedung tengah adalah pemimpin-pemimpin dari berbagai kuil Lhama dan tamu-tamu penting. Di gedung sebelah timur adalah tempat perjamuan untuk para tetua kota Naichi dan ayah atau walinya gadisgadis yang telah ditangkap. Sesudah para tamu minum beberapa gelas arak, murid kepala dari Hoat-ong, yaitu Anan Tjoentjia (Tjoentjia adalah panggilan menghormat terhadap satu paderi atau Lhama), datang sendiri untuk melayani para tamu. “Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan,” demikian Anan mulai dengan pidatonya, sesudah mengajak para tamu mengeringkan segelas arak. “Hari ini kami ingin mengumumkan suatu berita menggirangkan kepada kalian, yaitu: Budha Hidup di Tibet sudah mengadakan perdamaian dengan Budha Hidup kita!” Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Selama seratus tahun, sudah puluhan kali kedua sekte bertempur hebat, sehingga menerbitkan kerugian jiwa manusia dan harta benda yang tak dapat dihitung berapa banyaknya. Maka itu, tidaklah heran jika berita tersebut disambut dengan kegirangan besar. Akan tetapi, sesudah sorakan mereka, beberapa tetua lantas saja berkata: “Kami ingin Budha Hidup menetap di Tjenghay dan tak mau beliau meninggalkan kami.” Anan mesem dan melanjutkan pidatonya: “Dalam perundingan perdamaian, Budha Hidup Panchen sudah menyetujui untuk memberikan Chinka, Sakya dan Chinpu kepada kita, supaya kita dapat mendirikan kuil-kuil yang seperlunya. Sesudah kuil-kuil selesai didirikan, Hoat-ong tentu harus pergi ke Tibet untuk melakukan upacara pembukaan. Akan tetapi, sesudah itu, beliau akan menyerahkan segala tugas mengurusnya kepadaku dan beliau sendiri akan balik kesini untuk melindungi kalian selama-lamanya.” Pidato itu kembali disambut dengan tampik sorak yang bergemuruh. Apa yang diumumkan oleh Anan Tjoentjia sudah diketahui oleh Tong Keng Thian. Yang belum didengar olehnya adalah nama-nama ketiga tempat itu. Pada waktu Anan menyebutkan Sakya hati Keng Thian bergoncang oleh karena ia ingat, bahwa Sakya adalah tempat kedudukan ayah Tan Thian Oe. Sesudah suara sorakan menjadi reda, Anan berkata pula: “Untuk keperluan upacara pembukaan kuil baru itu di Tibet, maka mau tidak mau, kita harus mempertahankan kebiasaan lama dan memilih Wanita-wanita Suci. Mereka yang dapat diangkat menjadi Wanita Suci mempunyai rejeki besar dan mempunyai jodoh dengan Sang Budha. Akan tetapi, Hoat-ong juga dapat mengerti jalan pikiran kalian, dan oleh karena itu, siapa saja yang tak setuju puterinya menjadi Wanita Suci, dapat memberitahukannya secara berterus terang dan beliau bersedia untuk melepaskan puteri-puteri mereka.” Keadaan sunyi senyap, tak ada yang berani menyatakan, pikirannya terlebih dahulu, sehingga Anan Tjoentjia mengulangi pula pertanyaannya. Sebagai hasilnya, antara tiga puluh enam ayah atau wali yang puterinya telah ditangkap, hanya tujuh yang menyatakan ingin mengambil pulang puterinya. Belasan orang lainnya tidak berani membuka suara, meskipun hatinya merasa tidak setuju, sedang beberapa belas ayah-ayah lain lagi menyatakan kegirangannya, bahwa puteri mereka ternyata berjodoh untuk menjadi murid Sang Budha. Sesudah beres, Anan segera mengajak para tamunya mengeringkan gelas arak sekali lagi. “Sekarang Hoat-ong mengundang kalian untuk bersembahyang,” kata Anan sesudah semua orang mencegluk araknya. “Kalian boleh masuk ke tempat sembahyang dan berbaris dengan rapi di lorak depan. Sesudah kalian memasang hio, seorang Lhama akan ambil hio itu dari tangan kalian dan menyampaikan semua nama.” Sehabis berkata begitu, Anan segera berjalan masuk, diikuti oleh semua orang, antaranya tentu saja juga Keng Thian sendiri. Ruangan sembahyang kelihatan angker sekali, dengan seratus lebih Lhama yang berbaris di dalam ruangan dan seratus lebih tamu yang berdiri di lorak. Di belakang meja sembahyang terdapat beberapa puluh patung Budha besar dan kecil. Perlahan-lahan Raja agama itu berdiri dan berjalan menuju ke depan patung Djielayhoed. Ia menyalakan sebatang hio yang besar dan lantas saja mulai bersembahyang. Walaupun sudah pernah bertempur, baru sekarang Keng Thian melihat tegas muka Hoat-ong. Badan Raja agama itu tinggi dan besar, mukanya bundar bagaikan rembulan dan kelihatan angker sekali. Diam-diam Keng Thian merasa girang, bahwa semalam ia tidak menurunkan tangan jahat. Sesudah Hoat-ong dan semua tamunya beres memasang hio, tiba-tiba terdengar suara lonceng dan di lain saat, dari belakang meja sembahyang keluar dua baris wanita yang mengenakan pakaian putih. Setiap baris terdiri dari delapan belas gadis yang dipimpin oleh seorang Ibu Suci. Begitu tiba di depan meja sembahyang, mereka segera menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu Budha yang kedengarannya merdu dan melapangkan dada. Berselang beberapa saat, Hoat-ong menepuk tangan dua kali sebagai tanda bahwa upacara sudah berakhir dan wanita-wanita itu segera masuk pula ke dalam dengan berbaris. Seorang Ibu Suci yang barusan memimpin salah satu barisan Wanita Suci, tidak turut masuk ke dalam, tapi segera menghampiri Hoat-ong dan berbicara dengan bisik-bisik. Semua orang menahan napas, tak ada yang berani berbicara. Keng Thian segera memusatkan semangatnya dan coba mendengarkan bisikan Ibu Suci itu. “Aku sudah membujuk berulang-ulang, tapi ia masih juga sungkan menurut,” katanya. “Baiklah,” kata Hoat-ong. “Coba kau ajak ia keluar.” Hati Keng Thian berdebar-debar, matanya mengawasi ke belakang meja sembahyang. Apakah ia harus lantas menyerbu, begitu Yoe Peng muncul? Ia sungguh merasa sangat sangsi dan tak dapat lantas mengambil putusan. Mendadak ia dengar suara tindakan dan dari pojok meja sembahyang kelihatan keluar dua orang wanita, yang satu adalah sang Ibu Suci, sedang yang lain adalah seorang wanita muda yang berpakaian serba putih. Keadaan jadi sunyi senyap, ratusan pasang mata mengawasi mereka. Mulut nona itu, yang mengenakan pakaian wanita Tibet, ditutup rapat-rapat, kedua matanya yang bening mengawasi ke depan dengan mendelong seperti juga orang yang tak sadar akan dirinya, sedang paras mukanya adalah dingin bagaikan es. Muka gadis itu hanya agak mirip dengan Pengtjoan Thianlie dan ia duga pasti bukannya Yoe Peng! Keng Thian terkesiap lantaran barusan ia sudah menduga pasti, bahwa wanita itu tentu bukan lain daripada Yoe Peng. Ia mengawasi si nona dengan tidak berkesip, lapat-lapat ia ingat, seperti juga sudah pernah bertemu dengan wanita itu, akan tetapi ia lupa dimana lagi kapan. Ia coba mengingat-ingat segala kejadian di keraton es. Satu hal yang ia dapat pastikan, bahwa dayang Pengtjoan Thianlie yang turun gunung hanya Yoe Peng seorang. Siapakah gadis yang menggunakan Pengpok Sintan, satu senjata rahasia yang hanya terdapat di keraton es? Iama memutar otak tapi tetap tak dapat menjawab pertanyaan itu. Dapat dimengerti jika Keng Thian tak ingat lagi siapa adanya gadis itu, yang bukan lain daripada Chena, jantung hati Tan Thian Oe. Pada waktu ia naik ke keraton es, di antara dayang-dayang Pengtjoan Thianlie memang juga terdapat Chena. Akan tetapi, oleh karena pada waktu itu seluruh perhatiannya ditujukan kepada Koei Peng Go seorang, maka dalam pertemuan ini, ia tak dapat mengenali pula nona ini yang telah dijumpainya baru sekali dua kali secara sepintas lalu. “Inilah dia,” berkata sang Ibu Suci sesudah berhadapan pula dengan Hoat-ong. “Ia bukan saja cantik dan suci bersih, akan tetapi juga pandai bersilat, sehingga aku tadinya berniat mengangkat ia sebagai Wanita Suci yang memimpin kuil di Sakya. Hanya sayang, ia tak berjodoh dengan Sang Budha, sehingga kita pun tak dapat berbuat apa-apa.” Di antara begitu banyak orang yang berdiri di lorak, perkataan Ibu Suci hanya dapat didengar oleh Keng Thian seorang. Tiba-tiba mata Chena bergerak dengan perlahan dan lalu mengawasi Hoat-ong. Di lain saat, mukanya terlihat seakan-akan kaget dan alisnya berkerut, seperti orang yang sedang memikir apa-apa. Akan tetapi, perobahan itu hanya terjadi dalam sekejap mata dan parasnya segera juga berbalik dingin kembali. Ketika itu, kedua Lhama yang dulu pernah bertempur melawan Keng Thian, berdiri di kiri kanan Hoat-ong. “Gadis ini tak boleh dilepaskan,” kata salah satu antaranya. “Ia pernah melukakan beberapa Lhama dengan ilmu siluman.” Muka Hoat-ong yang angker kelihatan menyeramkan dan ia tidak menjawab perkataan Lhama itu. Hati segenap hadirin jadi berdebar, mereka tak tahu, putusan apa yang akan diambil. Orang yang duduk berendeng dengan Hoat-ong adalah Khan (raja) dari Tukuhun. Sedari Chena muncul, kedua matanya mengawasi gadis itu tanpa berkesip. Sekonyong-konyong ia berdiri dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengan suara perlahan: “Aku memohon kemurahan Budha Hidup untuk mengampuni gadis itu. Izinkanlah aku membawa ia ke istanaku untuk diberi nasehat. Izinkanlah aku menebus kedosaannya dengan memperbarui istana Budha.” Pada jaman pemerintahan Tjeng, menurut kebiasaan di Tibet, Tjenghay dan tempat-tempat lain, Hoat-ong atau Raja agama, berkuasa atas keagamaan, sedang Khan, atau Raja, menguasai urusan pemerintahan dan politik. Kekuasaan agama dipandang lebih tinggi daripada kekuasaan politik, sehingga Raja agama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Raja manusia. Akan tetapi, pada waktu para Lhama sekte Topi Putih melarikan diri ke Tjenghay, mereka sudah bisa menetap disitu karena bernaung di bawah perlindungan Khan. Maka itulah, begitu mendengar perkataan Tukuhun Khan, Hoat-ong segera kerutkan alisnya dan paras mukanya memperlihatkan kesangsian yang sangat sukar di atasinya. Sementara itu, setelah mendengar permintaan Tukuhun Khan, Tong Keng Thian lantas saja naik darahnya. Ia merasa, raja itu mempunyai maksud yang kurang baik. Walaupun gadis itu bukannya Yoe Peng, Keng Thian sangat tak setuju, jika ia terjatuh kedalam tangan Khan itu. Selagi memutar otak untuk mencari jalan guna memberikan pertolongan, dari antara tamu-tamu agung mendadak keluar satu orang yang, sesudah memberi hormat kepada Hoat-ong, segera berkata dengan suara nyaring: “Perempuan siluman itu agaknya mempunyai riwayat yang mencurigakan. Maka itu, aku memohon izin Budha Hidup untuk menjajal padanya.” Keng Thian terkejut karena mengenali orang itu yang ternyata bukan lain daripada In Leng Tjoe, yaitu konconya Hiatsintjoe, yang pernah berusaha menangkap Liong Leng Kiauw. Sebagaimana diketahui, In Leng Tjoe adalah kaki tangan Kaizar Boan yang berada dalam perjalanan pulang ke kota raja, untuk melaporkan halnya Liong Leng Kiauw. Oleh karena ia kenal Raja agama sekte Topi Putih, maka waktu tiba di Tjenghay, ia mampir dan turut menghadiri upacara sembahyang itu. Dalam perhubungan antara kerajaan Tjeng dan Tukuhun Khan, meskipun benar Khan tersebut dapat dikatakan berdiri sendiri, akan tetapi secara resmi Tjenghay masih berada dalam kekuasaan Kaizar Boan. Oleh karena itu, mengingat In Leng Tjoe adalah orang penting dalam istana Tjeng, maka biarpun sangat gusar, Tukuhun tak berani sembarang mengumbar napsunya. Parasnya lantas saja jadi berubah dan ia menanya dengan suara dingin: “Cara bagaimana kau ingin menjajal ia?” “Khan yang Besar tak usah kuatir,” jawabnya. “Biarpun bagaimana juga, aku tak akan merusak paras mukanya.” Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa memperdulikan kegusaran Khan dan juga tanpa menunggu persetujuan Hoat-ong, ia segera menghampiri Chena dan menotok dada gadis itu dengan kedua jerijinya. Totokan itu adalah satu serangan hebat dan dilihat dari cara ia menurunkan tangan, In Leng Tjoe kelihatannya ingin memaksa supaya Chena menangkis pukulannya. Latar belakang dari tindakan itu adalah seperti berikut: Ketika baru tiba di kota Naichi, ia mendengar halnya seorang wanita yang sudah merobohkan beberapa Lhama dengan semacam senjata yang membikin orang kedinginan. Seperti Keng Thian, ia segera menarik kesimpulan, bahwa wanita itu adalah Yoe Peng. Barusan, sesudah melihat Chena, baru ia mengetahui, bahwa gadis itu bukan Yoe Peng. Akan tetapi, Pengpok Sintan adalah senjata rahasia istimewa yang hanya terdapat di keraton es. Maka itu, meskipun Chena bukan dayang Pengtjoan Thianlie, akan tetapi, dengan mempunyai Pengpok Sintan, ia tentu mempunyai hubungan rapat dengan Koei Peng Go. Sebagaimana diketahui suami isteri In Leng Tjoe pernah dihajar oleh Pengtjoan Thianlie dan mereka sangat membenci gadis tersebut. Itulah sebabnya, mengapa lantas saja In Leng Tjoe mengambil putusan untuk mempersulit Chena dan dengan totokannya itu, ia ingin mencari tahu apakah ilmu silat gadis itu sama dengan ilmu silat Koei Peng Go. Melihat orang menurunkan tangan jahat. Tukuhun Khan lantas naik amarahnya. “Jangan celakakan Wanita Suci!” ia membentak sembari loncat bangun dan teriaki orang-orangnya supaya maju menolong. In Leng Tjoe tidak memperdulikan bentakan itu dan dua jerijinya terus menotok dada Chena. Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dan badan In Leng Tjoe melesat ke atas setombak lebih, dan berbareng dengan itu, dua pahlawan Tukuhun Khan jatuh terlentang tanpa bisa bangun lagi. Di lain saat, orang melihat In Leng Tjoe memegang pergelangan tangannya, mukanya pucat dan keringatnya mengucur turun dari dahinya. Ia kelihatan menderita kesakitan hebat dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Hoat-ong terkesiap, ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa terjadi peristiwa begitu. Ia kenal kepandaian In Leng Tjoe yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. Biarpun wanita itu pandai ilmu silat, ia mengetahui, bahwa kepandaiannya belum seberapa dan masih kalah jauh dari kedua pahlawannya sendiri. Maka itu, ia tidak mengerti, cara bagaimana In Leng Tjoe bisa kena dihajar secara begitu mudah. Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengetahui, bahwa In Leng Tjoe terluka pada jalan darahnya akibat serangan senjata rahasia. Dan sungguh luar biasa, ia sendiri tak dapat melihat, senjata apa yang sudah digunakan untuk menghantam In Leng Tjoe. Dalam kagetnya, tanpa mengingat kedudukannya sebagai Budha Hidup, ia segera berdiri dan menghampiri In Leng Tjoe guna menyelidiki terlebih jauh. Sekonyong-konyong Chena merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara halus: “Terima kasih untuk budi Budha Hidup yang sangat besar. Aku yang rendah mulai dari sekarang bersedia untuk mempersembahkan jiwa dan raga kepada Sang Budha dan bersedia pula untuk menjadi pengikutnya selama-lamanya.” Pernyataan Chena sudah membikin Ibu Suci dan semua Lhama jadi terkejut. Dua hari ia tak makan dan tak minum, dua hari ia menolak segala rupa bujukan. Sungguh di luar dugaan, bahwa pada saat itu, ia sudah menyatakan persetujuannya tanpa diminta lagi. Begitu mendengar perkataan Chena, sang Ibu Suci segera mengucapkan doa, sebagai tanda, bahwa keinginan gadis itu sudah diterimanya dan disetujui pula. Sekonyong-konyong, Hoat-ong yang matanya sangat tajam melihat semacam perhiasan luar biasa yang tergantung pada dada Chena. Perhiasan itu dibuat daripada sepotong gading dan berbentuk bundar dengan ukiran huruf-huruf Sansekerta. Itulah sebuah Lenghoe (jimat) untuk menjaga keselamatan yang biasa diberikan oleh pemimpin agama Lhama kepada pengikutpengikutnya yang berjasa dan suci bersih. Dalam agama Lhama, gajah putih dipandang sebagai hewan yang paling mulia. Maka itu Lenghoe yang terbuat dari gading merupakan jimat yang dianggap paling tinggi khasiatnya dan jarang diberikan kepada seorang wanita. Chena adalah puteri tunggal Chinpu Hoan-ong, yang dulu paling berpengaruh dan paling luas wilayahnya di Tibet. Semasa hidupnya, Chinpu banyak berjasa terhadap agama Lhama dan itulah sebabnya, mengapa pada waktu Chena berusia tiga tahun, Panchen Lhama telah menghadiahkan Lenghoe gading itu. Dalam kalangan Lhama terdapat suatu kepercayaan, bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan untuk menolak segala “barang kotor.” Walaupun pernah berseteru, sekte Topi Kuning dan Topi Putih bersumber satu. Dari sebab begitu, Lenghoe yang diberikan oleh Raja agama sekte Topi Kuning atas nama Budha, juga diindahkan oleh Raja agama dari sekte Topi Putih. Ketika itu, Hoat-ong yang masih belum mengetahui asal-usul Chena, sudah menduga bahwa gadis itu adalah Wanita Suci dari sekte Topi Kuning. Mendengar Chena bersedia untuk menjadi Wanita Suci dari agamanya sendiri, sudah tentu saja ia jadi merasa girang sekali. Tapi sebelum ia keburu membuka suara, In Leng Tjoe sudah berteriak-teriak seperti orang gila. Ternyata, ia sudah berhasil membuka jalan darahnya dan dalam gusarnya, ia sudah berteriak-teriak. “Lukamu masih belum sembuh, tak dapat kau banyak bergerak,” berkata Hoat-ong dengan suara tawar. In Leng Tjoe terkejut dan menghentikan teriakannya. Mendadak, Tukuhun Khan menghampirinya dengan diikuti dua pahlawannya. “Bekuklah orang hutan ini!” ia membentak. “Siapa berani mengganggu Wanita Suci kami!” Selagi kedua pahlawan itu coba menangkap In Leng Tjoe, Tukuhun Khan mendekati Chena. Hoat-ong mesem dan berkata dengan suara nyaring: “Oh, Khan Yang Besar! Perkataanmu tiada salahnya. Ia sekarang sudah menjadi Wanita Suci dari agama kami, siapa pun tak boleh mengganggu padanya!” Muka Khan lantas saja berubah, tapi ia tidak berani bergerak lebih jauh. “Sesudah ia mendapat perlindungan Budha Hidup, aku pun tak mau banyak urusan lagi,” katanya dengan suara perlahan, tapi mukanya kelihatan menyeramkan sekali. Heran sungguh hati semua Lhama yang berada disitu. Inilah untuk pertama kali mereka menyaksikan bentrokan antara Hoat-ong dan Khan Yang Besar. Mereka merasa sangat tidak mengerti, mengapa Tukuhun Khan rela berselisih dengan Hoat-ong untuk seorang wanita yang sama sekali tidak diketahui siapa adanya. Baru saja Tukuhun Khan memutar badan, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan. Ternyata, kedua pahlawannya yang mau membekuk In Leng Tjoe sudah dirobohkan orang yang mau ditangkap. Bukan main gusarnya Tukuhun Khan. Sedang terhadap sang Budha Hidup ia tak dapat berbuat suatu apa, sekarang ia melampiaskan perasaan mendongkolnya terhadap In Leng Tjoe. “Bekuk padanya!” ia berteriak sekeras-kerasnya. Para pahlawannya yang berjajar di lorak dengan serentak menyerbu ke atas untuk menjalankan perintah sang raja. Keng Thian menyaksikan semua kejadian itu dengan perasaan geli. “Aku mau lihat, cara bagaimana Hoat-ong membereskan peristiwa ini,” katanya di dalam hati. Perlahan-lahan Raja agama itu menghampiri Tukuhun Khan. Mendadak, dua bayangan melesat dari samping Hoat-ong dan bagaikan dua ekor garuda, mereka menyambar ke arah Chena. Kedua bayangan itu adalah dua murid Hoat-ong, ialah Lhama jubah putih yang pernah bertempur dengan Keng Thian pada waktu perebutan guci emas. Di waktu itu, mereka berdua pernah mendapat bantuan In Leng Tjoe dan sekarang, ketika melihat In Leng Tjoe mendapat luka, tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera menyerang Chena. Mereka menganggap In Leng Tjoe telah dilukakan oleh Chena dan sama sekali tidak teringat, bahwa kepandaian ln Leng Tjoe masih lebih tinggi dari kepandaian mereka sendiri dan tentu saja banyak lebih tinggi daripada kepandaian Chena. Di samping itu, mereka sangat membenci Chena, oleh karena gadis itu pernah melukakan beberapa Lhama. Barusan, melihat sikap Hoat-ong, mereka kuatir Raja agama itu akan mengampuni Chena. Pada waktu menerjang, mereka belum mendengar terang perkataan Hoat-ong yang diucapkan terhadap Tukuhun Khan dan mereka juga tidak memperhatikan gading yang tergantung pada dada gadis tersebut. Ketika Hoat-ong menghampiri Tukuhun Khan, ia sedang memutar otak untuk mencari jalan guna meredakan keributan itu, maka ia tidak dapat melihat gerakan kedua Lhama yang semberono itu dan waktu ia mengetahui adanya serangan tersebut, ia sudah tidak keburu mencegah lagi. Pada saat yang sangat genting, dari sebelah luar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, dan pada detik itu juga, kedua Lhama itu bergemetar sekujur badannya dan meloncat setombak tingginya. Semua orang terkesiap dan menengok ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua orang wanita muda, dengan muka bersenyum, sedang maju menghampiri dengan tindakan ayu. Wanita yang berjalan di sebelah depan mengenakan pakaian warna biru laut, mukanya bundar laksana bulan, alisnya melengkung dan kedua matanya yang berwarna kebiru-biruan bersinar terang sekali. Dengan kecantikan-nya yang luar biasa dan sikapnya yang agung, ia sudah membikin semua orang terpesona, antaranya In Leng Tjoe sendiri yang mengawasi dengan mulut ternganga. Wanita yang berjalan di sebelah belakang, memakai pakaian yang hampir sama dengan wanita yang pertama, tetapi rambutnya dikepang dan diikat dengan sutera merah. Paras mukanya, yang bagaikan paras bocah nakal, kelihatan seperti mau tertawa, tapi bukan tertawa la mengikuti wanita yang pertama, seperti caranya seorang budak mengikuti majikannya. Melihat kedatangan mereka, Hoat-ong kaget tak kepalang. Harus diingat, bahwa dalam ruangan itu terdapat empat sampai lima ratus orang dan halaman di luar gedung dijaga oleh para Lhama yang jumlahnya tidak sedikit. Bahwa kedua wanita itu muncul secara tiba-tiba tanpa diketahui dulu oleh orang lain, adalah kejadian yang benar-benar luar biasa. Tapi orang yang paling terpengaruh oleh kedatangannya kedua wanita itu mungkin adalah Tong Keng Thian sendiri, oleh karena mereka bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng! Dalam kaget dan girangnya, hampir-hampir ia berteriak. Di lain saat, Koei Peng Go sudah berdiri di samping Chena. Begitu mengenali si nona yang dulu sudah membantu melindungi guci emas, kedua Lhama jubah putih yang semberono itu menjadi sangat gusar dan tanpa banyak bicara, mereka lalu menjotos. Badan Pengtjoan Thianlie sama sekali tidak bergerak. Pada saat empat buah tinju hampir mengenakan tubuhnya, tiba-tiba ia mengebas dengan tangan jubahnya dengan menggunakan ilmu Tjiam-ic sippattiat (Delapan belas cara merobohkan musuh dengan Kebasan baju), yaitu ilmu silat yang paling tinggi dan harus digunakan dengan tenaga dalam yang sangat besar. Begitu dikebas, badan kedua Lhama itu yang seperti kerbau besarnya lantas terpental serombak (Kulinya dan menggelinding sampai di kaki Hoat-ong. Di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah menarik tangan Chena dan lalu bertindak keluar. Ketika itu, mata semua orang sedang ditujukan kepada kedua Lhama itu yang kena dibikin terpental oleh Koei Peng Go dan hanya Tong Keng Thian seorang yang terus memperhatikan kedua wanita itu. Pada saat itu, Pengtjoan Thianlie agaknya tiba-tiba melihat Lenghoe yang dipakai Chena dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Di lain pihak, Chena kelihatan mendekatkan mulutnya pada kuping Pengtjoan Thianlie dan telah mengucapkan beberapa kata. “Tahan!” berseru Hoat-ong, yang, dengan sekali menjejek kaki, sudah berdiri di samping Pengtjoan Thianlie. Keng Thian kaget bukan main. Ilmu silat kedua orang itu hampir sama tinggi dan jika mereka sampai bertempur, mungkin ia tak akan dapat memisahkan. Sekonyong-konyong Chena mundur dua tindak dan sembari menyoja kepada Koei Peng Go, ia berkata dengan suara nyaring: “Sioelie (paderi atau imam wanita) dari agama Topi Putih memberi hormat kepada Hoehoat (Pelindung agama).” Hoat-ong kaget dan mengawasi dada Peng Go, dimana kelihatan tergantung sebuah Lenghoe yang mengeluarkan bau wangi-wangian halus. Itulah Pweyap Lenghoe (jimat kitab Budha yang suci) yang oleh para penganut agama Budha dianggap sebagai semacam mustika yang langka. Kecuali beberapa gelintir paderi suci, Budha Hidup atau raja-raja yang sangat berjasa terhadap agama, semua pengikut agama Budha, dari hidup sampai mati, belum tentu pernah melihat Lenghoe tersebut. Pweeyap Lenghoe yang dipakai oleh Pengtjoan Thianlie adalah warisan ibunya, yaitu Hoa Giok Kongtjoe. Nepal adalah negeri yang beragama Budha. Semasa hidupnya ayah Hoa Giok adalah murid Budha yang taat pada agamanya dan dalam kedudukannya sebagai raja Nepal membuat banyak sekali jasa terhadap agama. Itulah sebabnya, maka Raja agama telah menghadiahkan Pweeyap Lenghoe kepadanya sebagai pernyataan terima kasih dan penghargaan terhadap segala perbuatannya yang mulia. Sebagaimana diketahui, raja tersebut semula ingin sekali menurut contoh raja-raja Barat dan hendak mewariskan tahta kerajaan kepada puterinya yang tunggal. Oleh karena adanya niatan tersebut, maka pada waktu usianya sudah lanjut, ia mewariskan Lenghoe itu kepada Hoa Giok. Pweeyap Lenghoe dari Pengtjoan Thianlie tidak dapat disamakan dengan Hoesin Lenghoe (jimat untuk melindungi diri sendiri) dari Chena. Dengan memakai Lenghoe tersebut, kedudukan Chena adalah sebagai seorang Wanita Suci, atau Shenglie, yang masih berada di bawah kedudukan Lhama Besar. Di lain pihak, kedudukan Pengtjoan Thianlie merupakan kedudukan Pelindung agama, atau Hoehoat, dan tingkatannya dapat dibilang berendeng dengan tingkatan seorang Budha Hidup. Maka itulah, waktu Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Hoat-ong, Raja agama itu pun segera membalas dengan tidak kurang hormatnya. Para tetamu, terhitung juga Tong Keng Thian, yang tidak mengetahui tata tertib agama Lhama rata-rata merasa heran, ketika melihat Hoat-ong membalas hormatnya Koei Peng Go. Sementara itu, Keng Thian melihat Yoe Peng sedang kasak-kusuk dengan Chena. Mereka bicara dengan berbisik dan menggunakan bahasa Tibet. Apa yang kuping Keng Thian dapat menangkap hanya perkataan “Sakya” dan “Tan Thian Oe.” Chena kelihatan mengerutkan alisnya dan mengawasi Yoe Peng, seperti juga ia ingin meminta supaya dayang Koei Peng Go itu jangan banyak berbicara. “Hei! Siapa kau?” demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Keng Thian yang sedang memusatkan perhatiannya kepada kedua gadis itu, jadi gelagapan ketika melihat Raja agama itu menuding padanya. Ternyata, untuk coba mendengar pembicaraan antara Yoe Peng dan Chena, Keng Thian sudah melupakan dirinya dan maju terlebih jauh, sehingga ia berada di garisan depan. Hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, sembari menggereng seperti harimau terluka, In Leng Tjoe menerjang Pengtjoan Thianlie. Hoat-ong mengebas dengan tangan jubahnya sambil membentak: “In Leng Tjoe! Jangan kurang ajar!” “Lihatlah! Apa ini”” berteriak In Leng Tjoe sembari memperlihatkan satu Sinbong yang hitam bersinar. “Inilah Thiansan Sinbong! Sekarang terbukti, orang dari Thiansan pay, bersama-sama perempuan siluman itu, sudah datang kemari untuk mengacau. Budha Hidup! Kenapa kau tak mau lantas membekuk mereka?” Ternyata, senjata rahasia yang barusan menghantam In Leng Tjoe adalah Thiansan Sinbong yang dilepaskan oleh Tong Keng Thian. Sesudah dapat membuka jalan darahnya, dalam kegusarannya ia segera menerjang Koei Peng Go, yang sangat dibencinya. Dengan terkejut, Hoat-ong kembali mengebas dengan tangan jubanya. “In Leng Tjoe!” ia membentak. “Jangan bicara gila-gila. Lieposat (Wanita mulia) ini adalah seorang Pelindung agama.” Akibat kebasan Hoat-ong, In Leng Tjoe terhuyung beberapa tindak. Darahnya meluap, tapi ia tidak berani mengumbar napsu amarahnya terhadap Raja agama itu. Sesaat itu, para pahlawan Tukuhun Khan sudah menerjang In Leng Tjoe, yang, sambil berteriak keras, menghantam kalang kabut, sehingga dalam sekejap mata, banyak yang sudah terguling dengan mendapat luka-luka. Sesudah mengamuk hebat, In Leng Tjoe segera lari ke lorak dan para tetamu lantas saja menjadi kalut. Dalam keadaan yang sedemikian kalut, Tong Keng Thian masih tetap tenang dan kedua matanya terus mengawasi Koei Peng Go. Barusan, ketika In Leng Tjoe menerjang padanya, Pengtjoan Thianlie mengegoskan badan sembari mengebas tangan bajunya yang panjang dan gerakannya itu seperti juga gerakan menyingkirkan diri dari serangan musuh yang kuat. Akan tetapi sebenar-benarnya gerakan Peng Go ditujukan terhadap Keng Thian, oleh karena, pada saat ia mengegos, tangan bajunya membuat saru huruf “Tjauw” (lari) di tengah udara, dengan maksud supaya pemuda itu lekas-lekas melarikan diri. Melihat itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti. Sebelum dapat memikirkan harus berbuat bagaimana, In Leng Tjoe sudah lari sampai di hadapannya dengan diubar oleh dua Lhama. Dengan cepat, Keng Thian pasang kuda-kuda, dua jeriji tangan kirinya dipentang dan menyambar ke depan, sedang tangan kanannya ditarik ke belakang, dalam gerakan mementang gendewa. Itulah pukulan Thiansan pay yang paling liehay dan dikenal sebagai pukulan Houwtek siadjit (Houw Tek memanah matahari). Kedua jeriji yang menghantam ke depan menggunakan ilmu Tiattjie Sinkang (Ilmu jeriji besi), sedang sikutnya yang memukul ke belakang bekerja seperti satu martil besi. Ilmu silat In Leng Tjoe memang sudah kalah setingkat dari Tong Keng Thian dan ditambah dengan lukanya, ia lebih-lebih bukan tandingan pemuda itu. Melihat sambaran kedua jeriji Keng Thian, dengan mengandalkan ilmu Tiatposan (Ilmu baju besi, yaitu semacam ilmu weduk), In Leng Tjoe menyambut dengan pundaknya Berbareng dengan satu suara “tak!” tulang pundak itu patah dan hampir-hampir ia roboh di atas lantai. Pada detik itu, kedua Lhama yang mengubar juga sudah tiba dan sikut Keng Thian membentur tepat sang Lhama yang jalan di depan. Dengan teriakan keras, ia jatuh kejengkang dan badannya menubruk sang kawan yang berada di belakangnya, sehingga tak ampun lagi, mereka berdua terguling dengan berbareng. Biar bagaimanapun juga, In Leng Tjoe adalah pemimpin satu cabang persilatan dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Demikianlah, walaupun tulangnya patah, sesudah mengempos semangat, ia segera menerjang pula. Mendadak, dua sinar dingin kelihatan menyambar. Keng Thian, yang menduga Pengtjoan Thianlie sedang membantu ia, sudah tidak berjaga-jaga dan tahu-tahu mukanya basah dan bukan main dinginnya. “Jangan membiarkan dia lari!” berteriak kedua Lhama yang barusan dirobohkan sikut Keng Thian. Sekarang Hoat-ong sendiri sudah dapat mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain daripada si tetamu bertopeng yang semalam telah mengunjungi ia. “Terima kasih atas bantuan Lieposat,” berkata Hoat-ong sembari membungkuk dan lalu bergerak untuk turun tangan sendiri. Pengtjoan Thianlie mengawasi Raja agama itu sembari mesem. “Sesudah Budha Hidup mengenali siapa adanya ia, kenapa juga masih mau turun tangan? Apakah Budha Hidup masih ingin bertempur dengan agama Topi Kuning di Tibet?” menanya si nona. Hoat-ong terkejut dan lalu balas menanya: “Kenapa Lieposat berkata begitu?” “Apakah Budha Hidup mengetahui, bahwa orang itu sudah membantu kerajaan Tjeng dan agama Topi Kuning untuk melindungi guci emas?” Pengtjoan Thianlie berkata pula Waktu itu, kedua Lhama tadi sedang mencaci Keng Thian yang dulu telah melukakan mereka dalam perebutan guci emas. Hoat-ong jadi semakin bersangsi, ia mengawasi Pengtjoan Thianlie tanpa berkesip. “Pada waktu guci emas direbut kembali, aku pun berada disitu,” kata Pengtjoan Thianlie. Soal inilah yang membikin Hoat-ong bersangsi. Dari murid-muridnya ia mendapat tahu, bahwa dua lawan berat pada waktu itu adalah seorang dari Thiansan pay dan seorang wanita yang dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. “Ia adalah Hoehoat dari agama Budha, akan tetapi, siapakah yang sebenarnya dilindungi?” tanya Hoat-ong dalam hatinya. “Apakah benar pernyataan In Leng Tjoe, bahwa ia datang unuk menyeterukan aku?” Selagi Raja agama itu berada dalam kesangsian, Koei Peng Go sudah berkata pula: “Agama Topi Kuning dan Topi Putih sebenar-benarnya bersumber satu. Sekarang, sesudah diadakan perdamaian, Budha Hidup hendaknya jangan mempersulit orang itu. Bahwa guci emas waktu ini berada di Lhasa, sebenarnya adalah suatu kejadian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Aku mohon Budha Hidup sudi memaafkan aku yang sudah mencampuri urusan ini.” Hoat-ong adalah seorang yang sangat cerdas dan begitu mendengar perkataan Pengtjoan Thianlie, ia segera menjadi sadar. “Benar!” katanya didalam hati. “Untung juga hari itu mereka berdua sudah turun tangan. Andaikata waktu itu guci emas dapat direbut, cara bagaimana dapat dicapai perdamaian seperti yang tercapai hari ini? Ah! Ternyata mereka mempunyai pandangan yang sangat luas dan diam-diam sudah menyingkirkan akar permusuhan antara kedua agama.” Memikir begitu, ia lantas saja memberi hormat kepada Koei Peng Go dan menepuk kedua tangannya untuk memanggil balik kedua muridnya. Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie menimpuk mukanya dengan Pengpok Sintan guna membuka rahasia penyamarannya, Keng Thian merasa sangat tidak mengerti, kenapa si nona sudah bertindak begitu. Sesaat kemudian, ia menduga, bahwa Peng Go tidak sudi bicara dengan ia dan ingin mendesak supaya ia berlalu dari tempat itu, dan berhubung dengan dugaan tersebut, Keng Thian segera memutuskan untuk segera menyingkir. Akan tetapi, ia sudah kena “diikat” oleh In Leng Tjoe dan kedua Lhama itu, sehingga untuk sementara waktu, ia tak dapat meloloskan diri. Selagi bertempur hebat, ia tentu saja tidak dapat mendengar pembicaraan antara Hoat-ong dan Peng Go dengan jelas. Tiba-tiba Hoat-ong menepuk tangannya dan memanggil pulang kedua muridnya yang sedang mengerubuti Keng Thian, sehingga pemuda itu, yang justru sedang berkuatir Hoat-ong akan turut turun tangan sendiri, jadi merasa sangat heran. Sesudah dua lawan itu meninggalkan gelanggang pertempuran, merobohkan In Leng Tjoe sudah tidak merupakan soal lagi baginya. “Lootjianpwee, maafkan aku yang berlaku kurang ajar,” kata Keng Thian sembari tertawa dan mengirim dua pukulan berat, yang telak mengenakan bagian tubuh yang berbahaya. Apa yang lebih hebat lagi, ialah pukulan Keng Thian dengan menggunakan Imlat (Tenaga lembek), sehingga In Leng Tjoe semula tidak merasakan apa-apa dan sesudah lewat beberapa saat, baru ia terkena pengaruh pukulan itu. Sesaat itu, In Leng Tjoe bukan hanya menghadapi Keng Thian, akan tetapi juga para pahlawan Tukuhun Khan juga sudah bergerak untuk membekuk ia. Jalan yang paling selamat untuk In Leng Tjoe adalah meminta pertolongan Hoat-ong dan berdiam beberapa hari dalam kuil untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang angkuh, sebaliknya dari memohon pertolongan, ia menjejek kedua kakinya dan melompati tembok, akan kemudian kabur tanpa menengok lagi. Tindakannya itu sudah membikin lukanya jadi semakin berat dan ia terpaksa harus rebah sebulan lebih untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, ilmu silatnya banyak berkurang dan tugas melaporkan hal Liong Leng Kiauw kepada atasannya di kota raja, jadi tertunda. Maka Tong Keng Thian sudah melukakan In Leng Tjoe juga lantaran ingin memperlambat perjalanannya ke kota raja. Sesudah In Leng Tjoe kabur, Keng Thian lantas saja mengenjot badannya yang segera melesat keluar tembok. Selagi melompati tembok, ia menengok dan melihat si nona mengawasi padanya sembari mesem.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |