Meskipun Hiatsintjoe beradat angkuh, akan tetapi ia masih indahkan juga pangkatnya Tjong Lok. Maka itu, ia lantas menyetujui dengan berkata: “Baiklah, aku rasa Hok Tayswee pun tak nanti mau lindungi orang yang mau ditangkap oleh Kaizar.” Tjong Lok berpaling kepada Pengtjoan Thianlie seraya berkata: “Kedua giesoe (orang gagah) juga aku harap suka datang bersama-sama buat menjadi saksi.” “Siapa mau begitu banyak rewel,” sahut si nona. Keng Thian tertawa dan berkata sembari membungkuk: “Kami berdua adalah rakyat pegunungan yang tidak biasa bertemu dengan pembesar negeri. Maka itu, kami harap Taydjin suka bebaskan kami dari tugas tersebut dan sekarang juga kami ingin pamitan.” Sehabis berkata begitu, ia jejak kedua kakinya dan badannya lantas melesat, diikuti oleh Pengtjoan Thianlie. Ketika menengok di waktu hinggap di atas tembok, Keng Thian lihat Leng Kiauw manggutkan kepalanya sembari tertawa, dengan sorot mata yang mengandung perasaan berterima kasih. Hatinya Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan di sepanjang jalan terus putar otaknya. “Liong Loosam boleh dibilang satu manusia jempolan, cuma kenapa ia tak mau singkirkan diri?” kata Pengtjoan Thianlie. “Aku lihat ia adalah seorang yang bijaksana sekali,” sahut Keng Thian. “Sesudah urusan ini jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An, keadaan akan jadi berobah baik.” Mereka omong-omong sembari jalan dan tidak lama kemudian sudah tiba di kakinya Gunung Anggur. Penerangan Keraton Potala pancarkan sinarnya sampai ke lapangan yang terletak di kaki gunung, dimana Yoe Peng disuruh tunggu majikannya. Jauh-jauh mereka lihat di kaki gunung terdapat dua bayangan hitam yang sangat berdekatan satu sama lain, seperti sedang bicara dengan suara perlahan. “Dilihat dari bayangannya, orang itu seperti lelaki,” kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. “Kenapa Yoe Peng kelihatan begitu rapat?” Dengan tindakan perlahan Pengtjoan Thianlie mendekati dan segera juga ia dapat dengar suaranya sang dayang: “Kongtjoe bilang buat sementara tidak balik dahulu ke keraton es. Katanya, mau pergi ke Soetjoan. Mungkin sekali aku akan diajak dan mulai dari sekarang, kita lebih sukar bertemu muka lagi.” “Jika kau bertemu dengan Chena, aku mohon kau pesan ia pergi ke Sakya buat menemui aku,” kata bayangan hitam yang lain. “Apakah kau cuma pikiri Chena Tjietjie seorang?” kata Yoe Peng sembari tertawa. Pengtjoan Thianlie merasa sangat geli dan tanpa merasa ia jadi tertawa. “Ada orang!” kata bayangan hitam itu sembari loncat dan raba gagang pedangnya, tapi Pengtjoan Thianlie sudah mendahului loncat keluar dan berkata sembari tertawa: “Thian Oe, ilmumu benar sudah maju jauh. Apakah itu semua curian dari keraton es?” Bayangan hitam itu memang juga Thian Oe adanya Ia juga dapat dengar, bahwa Liong Leng Kiauw telah menemui urusan sulit dan ia sengaja datang buat coba menyelidiki. Tapi baru saja tiba di kaki gunung, ia sudah bertemu dengan Yoe Peng yang memberitahu, bahwa majikannya bersama Tong Keng Thian sudah pergi ke rumahnya Liong Sam. Mendengar begitu, hatinya Thian Oe menjadi lega dan ia segera pasang omong dengan sahabatnya itu. Thian Oe dan Yoe Peng pandang Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian seperti dewi dan dewa dan mereka yakin, bahwa dengan bantuan kedua orang itu, segala urusannya Liong Sam akan segera dapat dibikin beres. Mereka sama sekali tidak nyana, bahwa persoalan Leng Kiauw mempunyai latar belakang yang sedemikian sulit. Thian Oe kaget bukan main waktu lihat munculnya Pengtjoan Thianlie. “Aku sangat berhutang budi dengan gurumu dan tidak akan dapat membalasnya,” kata si nona dengan suara terharu. “Biarpun tanpa permisi, kau sudah belajar ilmu silatku, akan tetapi, mengingat hal itu terjadi sesudah gempa bumi dan juga lantaran kau belajar dengan tujuan menyelamatkan ilmu silatku, maka aku tidak salahkan padamu. Aku cuma mau tanya, perlu apa kau datang kemari?” “Bagaimana dengan keselamatannya Liong Sam Sianseng,” Thian Oe balas tanya. “Aku lihat, ia adalah seorang baik. Apakah kalian sudah membantu ia?” Ketika itu Tong Keng Thian sudah muncul dan ia berkata sembari tertawa: “Anak ini mempunyai hati yang hangat.” “Akan tetapi, kau lebih baik jangan campur-campur urusan ini,” kata Pengtjoan Thianlie. Mendengar itu, Thian Oe jadi tercengang. “Kali ini ayahmu telah berpahala besar dan tentu akan sangat dihargai oleh Hok Kong An dan Hosek Tjin-ong,” kata lagi Keng Thian. “Kalau nanti diberi hadiah, aku rasa paling sedikit ia akan dapat pulang pangkatnya yang dahulu, sehingga kau, ayah dan anak, bisa pulang ke negeri sendiri.” Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe dahulu berpangkat Tjiesoe di kota raja. Oleh karena berani menentang dorna Ho Koen di hadapan kaisar, belakangan ia disingkirkan ke Tibet dan sampai sekarang sudah ada sepuluh tahun. Tak usah dibilang lagi, ayah dan anak sangat kangen dengan kampungnya dan berharap-harap satu ketika akan dapat kesempatan buat pulang kembali ke Tiongkok. Keng Thian berkata begitu lantaran tahu rahasia hatinya Teng Kie dan puteranya. Thian Oe tertawa getir dan berkata: “Ho Koen sedang disayang dan pengaruhnya besar sekali, maka itu, manalah kami bisa pulang dengan gampang-gampang. Ayahku benar sudah dapat kembali pangkatnya, cuma sayang bukannya pangkat Tjiesoe.” “Pangkat apa?” tanya Keng Thian. “Pangkat Soanwiesoe pada sekte Sakya,” sahutnya. “Hok Tayswee sudah menyetujui buat bikin betul kantor Soanwiesoe dan kirim satu pasukan tentara guna antar ayah balik ke Sakya. Aku rasa,beberapa hari lagi kami sudah harus berangkat. Kepada ayah, Hok Tayswee telah berkata begini: ‘Di Sakya kau sudah kehilangan serdadu dan kehilangan muka, sehingga sebenarnya kau berdosa. Jasamu di ini kali digunakan buat menebus dosa itu dan dalam hal ini, Kaizar sudah bersikap sangat longgar terhadapmu. Maka itu, pergilah ke Sakya dan bekerja baik-baik untuk dua tiga tahun lagi. Waktu itu aku akan majukan usul kembali, supaya kau bisa dipermisikan pulang.’Demikian katanya Hok Tayswee. Hm! Ayahku bisa bilang apa lagi? Ia cuma bisa menurut perintah.” “Hai!” Keng Thian menghela napas. “Aku tak nyana, dalam kalangan pembesar Tjeng, hadiah dan hukuman diberikan secara begitu serampangan! Tapi pekerjaan di Sakya toh bukannya pekerjaan terlalu berat, sedang kalian sudah berdiam disana kurang lebih sepuluh tahun lamanya, maka apa sebab kau kelihatannya begitu jengkel?” Thian Oe tidak menjawab, la cuma kerutkan kedua alisnya. “Kau tak tahu!” Yoe Peng mendadak menyeletuk sembari tertawa. “Touwsoe di Sakya ingin rangkap puterinya dengan ia, sedang anak tolol itu sudah penuju lain orang, la tentu kuatir rewel lagi, kalau balik ke Sakya. Anak goblok! Lain orang mau, tapi tidak bisa, kenapa juga kau begitu susah-susah hati!” Sebagaimana diketahui, Yoe Peng pernah bergaul rapat sekali dengan Thian Ce, sehingga ia jadi mengetahui segala isi hatinya anak muda itu. Paras mukanya Thian Oe jadi merah seperti kepiting direbus, ketika dengar si nakal buka rahasia. Pengtjoan Thianlie jadi turut tertawa dan berkata: “Aku kira urusan apa, tak tahunya segala urusan kecil. Apa kau tidak punya kaki? Kalau tak mau, apa kau tak bisa kabur?” Si nona omong seenaknya saja lantaran, ia tak tahu seluk-beluknya kalangan pembesar yang sulit sekali. Buat Thian Oe, perkataannya Pengtjoan Thianlie malah telah menambah kejengkelannya. “Kau pulang saja,” kata Keng Thian. “Mari! Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat baik!” Ia tarik tangannya Thian Oe dan bicara dengan bisik-bisik di kuping orang. “Hm! Kau memang paling senang main gila!” kata Pengtjoan Thianlie. “Siasat busuk apa yang kau ajarkan padanya, sampai takut didengar orang?” “Rahasia langit tak boleh dipecahkan!” Keng Thian nyengir. “Siasatku ini tak boleh didengar oleh kalian.” “Siapa kesudian!” kata si nona sembari merengut. Benar saja, sesudah dibisiki Keng Thian, parasnya Thian Oe jadi lebih terang. “Tapi, Omateng pun sangat sukar dihadapinya,” kata ia. “Jangan takut,” membujuk Keng Thian. “Ilmu silatmu sekarang sudah bukan tandingannya Omateng lagi. Kau cuma perlu berlaku sedikit hati-hati buat jaga segala akal busuknya.” Ketika itu, sang rembulan sudah selam ke barat, sedang di tepi langit sebelah timur sudah kelihatan sinar terang. Oleh karena kuatir ayahnya buat pikiran, Thian Oe lantas saja pamitan dengan tiga sahabatnya itu. Keng Thian ulap-ulapkan tangan sampai anak muda itu berjalan jauh, sedang Yoe Peng mengawasi kawannya sambil berdiri bengong dengan paras muka sedih. “Anak otak!” kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. “Satu anaknya Touwsoe saja sudah bikin dia jadi ubanan, apa kau mau tambah kejengkelannya lagi?” “Kongtjoe, kau sungguh jail!” kata Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya. Pada waktu mereka bertiga tiba di pusatnya kota Lhasa, langit sudah terang dan orang-orang yang pada pelesir seluruh malam sudah pada bubar. Tiga hari kemudian, mereka tinggalkan Lhasa buat teruskan perjalanan ke Sinkiang. Selama tiga hari itu, mereka menyelidiki persoalannya Liong Leng Kiauw dan dapat tahu perkaranya sudah jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An. Buat sementara waktu Liong Sam ditahan dalam penjara sebab Hok Kong An mau tanyakan dahulu pikirannya kaizar, dan perjalanan pergi pulang ke kota raja akan meminta tempo setengah tahun. Sebab mengetahui keselamatannya Leng Kiauw sudah terjamin, maka Keng Thian bertiga lantas berangkat dengan hati lega. Ketika itu adalah permulaan musim semi. Meskipun salju belum lumer semuanya, akan tetapi jalanan sudah lebih gampang dilintasi. Sesudah berjalan sepuluh hari lebih, mereka sudah lewati wilayah Tibet dari sebelah selatan dan masuk ke dalam daerah Sinkiang. Keadaan bumi jadi berobah. Mereka sekarang berada di lautan pasir kuning dengan gunung yang berderet-deret “Tiongkok benar-benar besar,” kata Pengtjoan Thianlie sambil menghela napas. “Gunung apakah itu yang puncaknya menjulang awan?” “Itulah gunung Thiansan yang kesohor dalam dunia,” jawab Keng Thian. “Deretan gunung yang berada di sekitar ini semuanya adalah cabang-cabangnya Thiansan yang panjangnya lebih dari tiga ribu li. Jarak antara puncak selatan dan puncak utara ada kira-kira seribu li.” Pengtjoan Thianlie sebenarnya sedang gembira, tapi begitu lekas ia dengar disebutkannya Thiansan, parasnya lantas jadi berobah, tapi tak dapat dilihat oleh Keng Thian yang lantas berkata lagi: “Dari sini kalau jalan terus ke jurusan timur, orang bisa masuk ke dalam propinsi Kamsiok, dan dengan mengikuti jalanan canto (jalanan gunung dengan jembatan-jembatan kayu buat lewati jurang-jurang) yang dahulu dibuat oleh Kaisar Lauw Pang (pendiri kerajaan Han), orang bisa lantas masuk ke Soetjoan barat. Kalau kita terus ambil jalanan ke arah utara, kita bisa tiba di gunung Thiansan. Peng Go Tjietjie, apakah kau tak mau jalan-jalan dahulu di Thiansan?” Mendadak saja, Pengtjoan Thianlie tertawa tawar. “Apakah kau kira semua orang yang belajar ilmu silat harus berziarah di gunung Thiansan-mu?” katanya dengan suara kaku.“Eh, eh. Kenapa kau kata begitu?” kata Keng Thian dengan perasaan heran. “Bukankah mendiang ayahmu pun berasal dari partai Thiansan? Kenapa kau jadi bicara begitu?” Si nona tak menjawab, sehingga Keng Thian jadi lebih bingung lagi. Dalam perjalanan di padang pasir, puluhan li tidak bertemu manusia adalah kejadian yang lumrah. Hari itu, sesudah jalan kurang lebih seratus li, Keng Thian bertiga cuma dapat menemukan sebuah bukit yang dapat menahan angin dan pasir. Mereka lalu pasang tenda di kakinya bukit itu, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng satu tenda, sedang Keng Thian pasang tendanya di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li. Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas dengan rupa-rupa pikiran datang padanya berganti-ganti. Lantaran begitu, ia lalu pasang omong dengan dayangnya dan goda Yoe Peng dengan mengatakan ia itu agaknya tak dapat berpisah dengan Thian Oe. Yoe Peng membantah dan lalu balas goda majikannya, yang dikatakan sudah jatuh cinta kepada Keng Thian. Selagi mereka enak bercanda, dari kejauhan mendadak terdengar suara: “Uh! Uh!” Pengtjoan Thianlie berobah parasnya dan lalu pasang kuping. Suara itu aneh kedengarannya, mirip-mirip suara terompet tanduk, tapi juga seperti suara semacam tetabuhan Nepal. “Aku mau pergi lihat! Kau jangan bikin kaget Tong Siangkong,” kata si nona sembari sembat Pengpok Hankong kiam dan lalu loncat keluar dari tenda. Sesudah lari kira-kira delapan li, Pengtjoan Thianlie lihat beberapa orang sedang bertempur hebat di atas sebidang tanah rumput. Sesudah datang dekat, ia kenali, bahwa mereka itu adalah dua boesoe Nepal yang sedang ukur tenaga sama dua saudara Boe. Kedua boesoe itu bersenjata golok berbentuk bulan sisir, yang bagian atas gagangnya kosong melompong, sehingga mengeluarkan suara “uh, uh,” setiap kali digerakkan. Saat itu, kedua boesoe itu sudah kena didesak hebat oleh Boe-sie Hengtee yang pedangnya menyambar-nyambar bagaikan kilat. Begitu lihat kedatangannya Pengtjoan Thianlie, dua boesoe itu lantas berseru dalam bahasa Nepal dan dijawab oleh si nona dalam bahasa itu juga, yang tidak dimengerti oleh kedua saudara Boe. Boe Loodjie yang adatnya berangasan lantas saja berteriak: “Hei! Kalau mau bicara, nanti saja bicara sama Giam Loo-ong!” Sehabis membentak, ia menyabet dengan pedangnya yang sambar batang lehernya boesoe yang barusan bicara. Saat itu goloknya justru kena disampok oleh Boe Lootoa, sehingga ia tidak dapat menangkis lagi pedangnya Boe Loodjie. Pada detik yang sangat berbahaya, Pengtjoan Thianlie mendadak berteriak: “Tahan!” Sungguh cepat gerakannya si nona! Berbareng dengan bentakannya, pedangnya sudah menyambar, sehingga kedua saudara Boe terpaksa loncat mundur. “Perempuan siluman!” mereka membentak. “Kalau tidak dihajar, kau tentu kira di Tiongkok tidak ada orang yang bisa takluki padamu!” Berbareng dengan itu, pedangnya kedua saudara Boe sambar dadanya Pengtjoan Thianlie dengan satu gerakan Tianghong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), yaitu pukulan membinasakan dari kiamhoat Tjionglam pay. Si nona merasa gusar sekali, sehingga alisnya jadi berdiri. Mendadak, sembari empos semangatnya, ia getarkan Hankong kiam yang berobah jadi seperti puluhan batang pedang. Boe-sie Hengtee terkesiap dan buru-buru loncat ke samping buat hindarkan diri dari sambaran itu. Mereka tak nyana, serangan Tianghong koandjit yang sedemikian hebat sudah dapat dipunahkan secara begitu gampang. Tapi si nona tidak berlaku kejam. Melihat musuhnya mundur, ia tidak susul dengan lain serangan yang membinasakan. Ketika itu, kedua boesoe Nepal sudah berlutut di atas tanah, dengan tak hentinya bicara dalam bahasanya. Sembari putar pedangnya buat tangkis sesuatu serangan, Pengtjoan Thianlie juga ucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Nepal. Sesudah mendengar perkataannya kedua boesoe itu, paras mukanya si nona yang tadi mengandung kegusaran, jadi berobah sabar sampai akhirnya ia manggutkan kepalanya sembari mesem. Di lain pihak, Boe-sie Hengtee jadi meluap darahnya dan mereka menyerang mati-matian seperti orang kalap. Harus diketahui, bahwa mereka adalah turunan ahli silat kelas utama dan biasanya mereka merasa sangat bangga dengan kepandaiannya yang dianggap sudah tinggi sekali. Bahwa sekarang si nona layani mereka sembari bicara, seolah-olah tidak memandang sebelah mata, oleh mereka dianggap seperti satu hinaan yang sangat besar. Melihat kedua lawannya menyerang seperti kerbau gila dengan pukulan-pukulan yang sangat hebat, Pengtjoan Thianlie merasa agak terkejut dan tidak berani lagi melayani secara sembarangan. Ia putar pedangnya seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar putih yang sangat dingin. Mendadak, sembari kebaskan tangannya Pengtjoan Thianlie ucapkan beberapa perkataan Nepal dan kedua boesoe itu, seperti orang hukuman yang dapat pengampunan, manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali, akan kemudian bangun berdiri dan terus kabur secepat mungkin. Boe-sie Hengtee mau mengubar, tapi ditahan oleh si nona. Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie tertawa sembari menyampok dengan pedangnya, sehingga kedua saudara Boe rasakan tangannya kesemutan dan loncat mundur beberapa tindak. “Aku sudah perintah dua boesoe itu pulang ke negerinya dan kalian pun lebih baik pulang saja,” katanya dalam bahasa Han, dengan suara halus, tapi mengandung nada memerintah. Sebagai turunan ahli silat kelas utama, dalam kalangan Kangouw, Boe-sie Hengtee biasanya disegani orang dan kecuali beberapa orang dari tingkatan tua, siapapun tak berani berlaku kurang ajar di hadapan mereka. Maka itu, walaupun si nona bicara halus, mereka lantas saja menjadi gusar. “Dua bangsat itu datang kemari buat mengacau dan kau sudah berani lepaskan mereka,” membentak Boe Lootoa. “Sekarang, biarpun kau mau kabur, kami tak akan permisikan lagi.”“Siluman perempuan!” Boe Loodjie sambung perkataan saudaranya. “Aku memang sudah lihat, kau bukannya orang baik-baik. Tong Keng Thian sekarang tidak berada di dampingmu. Kau mau cari dia buat mintakan ampun juga sudah tidak keburu lagi!” Mendengar cacian itu, keruan saja si nona lantas menerjang pula. Pada waktu Pengtjoan Thianlie rebut guci emas, ia telah perintah supaya boesoe-boesoe Nepal itu segera pulang ke negerinya dan jangan mengacau lagi di Tiongkok. Maka itu, ketika baru bertemu, ia merasa gusar lantaran anggap, mereka berdua sudah langgar perintahnya. Akan tetapi, sesudah menanya terang, ia dapat kenyataan mereka bukannya melanggar perintah. Mereka datang di Sinkiang buat samper beberapa kawannya yang dikirim oleh Raja Nepal, guna pulang bersama-sama. Apa mau, di tengah jalan mereka bertemu dengan kedua saudara Boe, yang duga mereka mengandung maksud kurang baik. Dengan nasehatkan supaya Boe-sie Hengtee pulang saja, si nona sebenarnya bermaksud baik dan tidak mau permusuhan jadi berlarut-larut. Sebagai seorang yang adatnya tinggi, bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie mendengar cacian itu yang bawa-bawa juga namanya Tong Keng Thian. Sesudah bertempur lagi beberapa lama, sembari berseru keras, kedua saudara Boe pentang langkah seribu, dengan tak hentinya memaki “perempuan siluman.” “Binatang tak kenal mampus!” kata si nona dalam hatinya. “Dengan pandang mukanya Keng Thian, aku tidak ambil jiwa anjingmu. Tapi, kau mesti dihajar adat!” Ia empos semanatnya danterus mengubar. Begitu menyandak, ia totol bebokongnya kedua saudara Boe dengan Hankong kiam dan hawa dingin yang sangat hebat meresap ke tulang-tulang. Boe-sie Hengtee seperti juga tahu si nona tidak akan turunkan tangan jahat dan begitu Hankong kiam menotol, mereka lantas berbalik buat menyampok dengan pedangnya akan kemudian lari lagi. Sesudah ubar-ubaran lima enam li, beberapa kali bebokongnya Boe-sie Hengtee kena ditotol, sehingga perlahanlahan mereka merasa tidak tahan lagi dan gemetar sekujur badannya. “Masih berani memaki?” tanya si nona* sembari tertawa. Sekonyong-konyong kedua saudara Boe bersiul keras dan berbareng dengan itu, dari atas satu gundukan tanah loncat keluar satu wanita muda. Di bawah sinarnya rembulan, dapat dilihat ia memakai pakaian warna ungu dengan satu tusuk konde emas pada rambutnya, parasnya cantik bagaikan gambar dan tertawanya manis seperti bunga yang baru mekar. “Ah, dua bocah ini sekarang kena tubruk tembok,” katanya sembari tunjuk kedua saudara Boe. “Betul bikin malu orang! Hayo lekas mundur!” “Kouwkouw (bibi),” kata kedua saudara Boe. “Perempuan siluman itu sangat liehay. Hati-hati! Lebih baik undang Loodjinkee (orang tua).” “Omong kosong!” membentak si Kouwkouw itu. “Lekas mundur! Masa buat urusan begini kecil mesti seret-seret tangan orang tua?” Dilihat dari paras mukanya, nona itu belum cukup berusia dua puluh tahun dan banyak lebih muda dari Boe-sie Hengtee. Tapi didengar dari panggilan kedua saudara Boe, ia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari mereka itu. Melihat munculnya orang baru, Pengtjoan Thianlie segera hentikan tindakannya. Si nona mengawasi Pengpok Hankong kiam seperti lagaknya satu bocah nakal dan berkata sembari tertawa: “Pedangmu bagus sekali, mengkilap kredepan. Boleh dibuat main? Dibuat dari apa sih?” Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie jadi tertawa. “Pedang ini bukan barang mainan,” katanya. “Aku suka hadiahkan padamu, tapi kau tentu tidak akan dapat pegang padanya. Siapa kau?” “Kenapa tak dapat?” kata si nona. “Ibu! Boleh aku ambil barangnya lain orang?” Pengtjoan Thianlie terkejut dan ketika ia menengok, di atas gundukan tanah sudah berdiri seorang wanita usia pertengahan yang mengenakan pakaian warna hitam dan rambutnya diikat dengan sutera putih yang merupakan dua kupu-kupu. Pengtjoan Thianlie terkesiap, la kagum, lantaran tanpa terdengar suara apa-pun, tahu-tahu nyonya itu sudah berdiri disitu. Nyonya itu mengawasi padanya sembari mesem dan lagaknya tidak berbeda dengan si nona muda. “Ada ibunya, ada anaknya,” kata Pengtjoan Thianlie dalam hatinya. “Coba lihat, ia mau apa.” “Bwee-djie (anak Bwee),” kata si nyonya sembari tertawa. “Kepandaiannya Tjietjie itu ada lebih tinggi daripada kau. Jika tak percaya, coba jajal. Kau tak akan dapat ambil barangnya. Eh, Toaboe, Siauw-boe, kenapa kau orang jadi berkelahi dengan ia?” Boe-sie Hengtee maju mendekati dan bicara panjang lebar, antaranya terdengar perkataan “perempuan siluman” yang diucapkan keras-keras dan rupanya disengaja supaya dapat didengar oleh Pengtjoan Thianlie. Pengtjoan Thianlie jadi gusar sekali, tapi sebelum sempat unjuk kegusarannya, si gadis muda sudah berkata: “Ibu, kau selalu tidak memandang mata padaku. Aku bukan anak-anak lagi. Cobalah aku jajal-jajal.” Ia berpaling kepada Pengtjoan Thianlie dan berkata sembari tertawa: “Tjietjie, pinjam pedangmu. Bolehkah?” Mendadakan saja, ia loncat tinggi dan lalu menubruk dari tengah udara dalam gerakan yang luar biasa cepatnya. Pengtjoan Thianlie terkejut dan menyabet dengan pedangnya. “Ah, benar saja tak kena!” kata si gadis. Tiba-tiba, ia putar badannya yang masih berada di tengah udara, tangan kirinya coba tepuk pundaknya Pengtjoan Thianlie, sedang lima jerijinya tangan kanannya coba cekal ugal-ugalannya Peng Go. Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie sudah jarang terdapat dalam dunia, akan tetapi, ilmunya gadis itu, yang dapat menubruk bulak-balik seperti burung di tengah udara, lebih-lebih mengherankan. Tiga kali Pengtjoan Thianlie menyabet dengan Hankong kiam, tapi selalu dapat dikelit secara gampang sekali. Sembari loncat pergi datang dan melesat ke sana-sini, seperti kupu-kupu berterbangan di antara bunga-bunga, gadis itu kelit sabetan-sabetannya Hankong kiam, dengan tangannya sabansaban menyambar buat coba rebut pedang tersebut. “Sungguh indah gerakanmu!” memuji Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. “Bagus! Bagus sekali!” memuji wanita setengah tua itu. “Bwee-djie hati-hati! Itulah Tatmo Kiamhoat!” Ketika itu Pengtjoan Thianlie sudah mulai menyerang dengan pukulan-pukulan Tatmo Kiamhoat yang terlebih hebat dan Hankong kiam menyambar-nyambar seperti hujan dan angin. Lewat lagi beberapa saat, si gadis mulai kelihatan keteter. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie yang memang tidak bermaksud jahat, lantas mau hentikan serangannya, akan tetapi, sebelum ia tarik pulang pedangnya, gadis itu sudah berseru: “Dengan tangan kosong aku tak dapat menangkan kau. Sekarang aku mau gunakan pedang!” Berbareng dengan perkataannya itu, ia putar Imdannya di tengah udara dan tahutahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang pendek yang mengeluarkan sinar berkredepan. Ketika itu, Pengtjoan Thianlie sedang menyerang dengan gerakan Tjoenhong kiattang (Angin musim semi buyarkan kedinginan) dan ujung pedangnya sambar kedua matanya gadis itu. Mendadak gadis itu menyampok dengan pedangnya dan terus menikam ke arah perutnya Pengtjoan Thianlie. Buru-buru Pengtjoan Thianlie putar tangannya dan membuat satu lingkaran dengan pedangnya, dengan tujuan menggulung pedang lawannya. Tapi, siapa nyana, kiamhoatnya gadis itu tidak menurut peraturan yang biasa. Terang-terangan, barusan ia menikam ke arah perut, tapi setahu bagaimana, ujung pedangnya miring sedikit dan sambar dada! Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie yang lantas sedot napasnya dan otot dadanya “melesak” kira-kira satu dim dalamnya. Saat itu, ujung pedang si gadis sudah menyentuh bajunya Pengtjoan Thianlie. Mendadak ia rasakan ujung pedang seperti juga menikam kapas dan tenaga pedang sudah kena dibikin buyar, sehingga ia jadi terkesiap! Pada saat itulah, Pengtjoan Thianlie balik tangannya dan kirim pukulan Kisoei lengpeng (Air membeku menjadi es), yang meskipun menyambarnya kelihatan enteng, disertai tenaga dalam yang sangat kuat. Pengtjoan Thianlie duga gadis itu tidak akan dapat menyambut pukulannya dan benar saja, ia lantas loncat mundur dua tindak dan kemudian barulah menyambut dengan gerakan Hoeitouw imsan (Loncat melewati gunung). Hoeitouw imsan adalah satu pukulan biasa dari ilmu pedang Boetong yang dikenal baik oleh Pengtjoan Thianlie. “Kau tak boleh gunakan pukulan itu,” katanya sembari tertawa. “Buat sambut seranganku, kau harus gunakan pukulan Hoayong kiatto (Di Hoayong mencegat jalanan).” Dengan pukulan Hoeitouw imsan, si penyerang harus lebih dahulu menikam dua kali ke sebelah kiri dan kemudian menikam satu kali ke sebelah kanan. Dua tikaman yang pertama cuma gertakan dan tikaman yang ketiga barulah serangan yang benar-benar. Oleh Karena mengetahui jalannya pukulan tersebut, Pengtjoan Thianlie segera majukan dirinya buat tutup bagian kirinya, supaya dua tikaman gertakan menjadi buyar dan tak dapat menikam lagi ke sebelah kanan. Tapi tak dinyana, gerakannya gadis itu benar-benar luar biasa. Barusan, terang-terangan ia menikam dengan gerakan Hoeitouw imsan, tapi tak diduga, begitu ujung pedangnya menyambar, arahnya lantas berobah, yaitu menikam beruntun dua kali dari sebelah kanan. Dalam pertempuran antara ahli dan ahli, yang paling berbahaya adalah taksiran yang salah. Saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah majukan dirinya dan perhatiannya ditujukan ke sebelah kiri, sehingga bagian kanannya jadi terbuka. Buat menangkis dengan Hankong kiam sudah tidak keburu lagi. Si gadis mesem dan coba sabet putus ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie. “Bwee-djie, hati-hati!” mendadak si wanita setengah tua berteriak. Saat itu, ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie mendadak berkibar dan gulung gagang pedangnya si gadis! Barusan, jika gadis itu benar-benar menikam, Pengtjoan Thianlie pasti akan mendapat luka. Tapi ia memang tidak mempunyai niatan kurang baik. Melihat ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat indah, dalam kenakalannya, ia ambil putusan buat putuskan ikatan pinggang itu. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie ada banyak lebih tinggi daripada gadis itu. Semua bagian badannya sudah terlatih baik dan otot-ototnya secara otomatis menurut segala kemauannya. Pada detik si gadis sedikit bersangsi, ia sudah keburu kerahkan tenaga dalam di pinggangnya dan ikatan pinggang itu lantas berobah menjadi senjata yang kebut dan gulung pedang sang lawan. Baik juga si gadis sudah diperingati oleh ibunya, sehingga ia masih dapat loncat mundur pada saat yang tepat. Begitu lawannya mundur, Pengtjoan Thianlie segera mencecer dengan serangan-serangan kilat dan tidak memberi kesempatan lagi kepada gadis itu buat keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh. Dengan cepat ia jadi keteter dan cuma dapat membela diri saja. “Kau curang!” berseru si gadis sembari monyongkan mulutnya. “Kenapa kau tak kasih aku balas menyerang? Adu pedang cara begini, aku tak mau!” “Cis” Pengtjoan Thianlie tertawa. “Baiklah. Aku berikan lagi kesempatan.” Ia pertahankan gerakan Hankong kiam dan buka lowongan supaya dapat diserang. Si gadis jadi gembira dan dengan beruntun kirim tiga serangan yang masing-masing berbeda satu sama lainnya. Serangan pertama adalah pukulan Bansoei tiauwtjong (Laksaan sungai mengalir ke laut) dari kiamhoat Gobie pay, yang kedua Tjoenma poentjoan (Kuda bagus mengubar mata air) dari Khongtong pay, sedang yang ketiga adalah Kimtjiam touwsie (Jarum emas menolong manusia) dari Siongyang pay. Apa yang mengherankan adalah: Setiap serangan berobah arahnya pada detik penghabisan, umpamanya serangan yang bermula kelihatannya seperti Bansoei tiauwtjong mendadak berobah arahnya dan menikam dari jurusan yang tidak diduga-duga. Pengtjoan Thianlie yang sudah siap sedia sudah dapat loloskan diri dari serangan-serangan itu dengan gunakan ilmu entengi badannya. Tapi lantaran dicecer, ia sekarang cuma dapat membela diri dan tidak sempat lagi balas menyerang. Hatinya Pengtjoan Thianlie mendadak bergoncang sebab ia ingat penuturan mendiang ayahnya. Dahulu, ketika sedang rundingkan berbagai cabang persilatan di Tiongkok, ayahnya pernah ceritakan halnya satu ilmu pedang tunggal gubahan Pekhoat Molie. Ilmu pedang itu merupakan petikan dari sarinya macam-macam kiamhoat, yang kemudian diolah lagi menjadi satu. Meskipun gerakannya bersamaan dengan gerakan macam-macam kiamhoat itu, tapi arah serangannya, pada detik penghabisan, berbeda dan malahan sebaliknya dari kiamhoat yang asli. “Apakah ilmu pedangnya nona ini ada ilmu pedang Pekhoat Molie?” tanya Pengtjoan Thianlie dalam hatinya. Tidak salah dugaannya si nona. Ilmu pedang gadis muda itu memang juga ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Buat ahli silat biasa, biarpun kenal ilmu pedang tersebut, tak gampang-gampang dia dapat melawannya. Tapi Pengtjoan Thianlie adalah lain dari yang lain. Dasar dari ilmu pedangnya adalah Tatmo Kiamhoat yang sangat tinggi dan kiamhoat tersebut telah dicampur dengan ilmu pedang Eropa dan Arab, sehingga jadi sangat luar biasa. Maka itu, begitu lekas mengenali ilmu pedangnya lawan dan pusatkan semangatnya buat melayani, si gadis tidak dapat berbuat banyak lagi dengan pukulan-pukulan yang aneh. Demikianlah sesudah lewat beberapa saat, gerakan pedangnya si gadis lantas mulai kalut. “Mau bertempur terus?” tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. Gadis itu tak menyahut, dengan mendadak badannya melesat tinggi dan selagi badannya turun ke bawah, ia menikam dengan pedangnya. Ia ternyata gunakan ilmu aneh yang bisa menubruk di tengah udara seperti burung, dicampur dengan ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Pengtjoan Thianlie terkesiap. Tanpa sempat berpikir lagi, badannya sudah turut melesat ke udara dan membabat dengan gerakan Itwie touwkang (Rumput wie seberangi sungai). Saat itu, mereka berdua samasama berada di tengah udara dan gerakan pedang cepat bagaikan kilat. Begitu lekas pedangnya menyambar ke tenggorokan orang, Pengtjoan Thianlie lantas merasa menyesal. Ia sama sekali tak bermusuhan dengan gadis itu, kenapa juga turunkan tangan yang jahat? Ia mau tarik pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu lagi! Si gadis keluarkan satu teriakan kaget. “Bwee-djie, kau masih tak percaya aku?” demikian ia dengar suara ibunya, dan berbareng, ia rasakan badannya diangkat dan dilemparkan, akan kemudian hinggap di atas tanah tanpa kurang suatu apa. Ketika menengok, ia lihat ibunya sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie. Barusan, pada saat hatinya menyesal tapi pedangnya sudah tak dapat ditarik pulang, tiba-tiba saja depan matanya Pengtjoan Thianlie berkelebat satu bayangan hitam, yang menyelak di antara kedua batang pedang yang sudah hampir beradu dan sudah berhasil menolong gadis itu. Pengtjoan Thianlie yang begitu liehay jadi kesima dan badannya kej engkang ke belakang. “Hatihati!” ia dengar satu suara berbisik dan merasa badannya didukung orang. Ia jungkir balik, akan kemudian hinggap di muka bumi dengan selamat. Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan berdebar-debar. Wanita setengah tua itu, yang pakaiannya dan lagaknya seperti si wanita muda, ternyata mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur bagaimana dalamnya. “Sungguh cantik! Apa kau sudah punya mertua?” tanya wanita itu sembari tertawa, lagaknya mirip seperti bocah nakal. Mukanya Pengtjoan Thianlie lantas saja bersemu merah. Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan puteri dan sedari kecil biasa dihormati oleh para dayangnya, inilah buat pertama kali seorang yang baru ketemu berani guyon-guyon padanya. Sesudah kenyang tertawa, wanita itu lalu berkata lagi: “Ilmu silatmu juga benar-benar indah. Inilah baru boleh dibilang, kepandaian dan paras dua-dua jempol. Maukah kau dicarikan mertua olehku?” “Kau tua-tua kenapa bicara begitu sembarangan?” sahut si nona dengan perasaan mendongkol. “Jika kau terus omong gila-gila, aku tak akan berlaku sungkan lagi!” Wanita itu tertawa terbahak-bahak. “Usiamu masih begitu muda, kenapa begitu galak?” katanya. “Sama seperti Tjietjie-ku. Titsoen-ku (cucu keponakan) namakan kau perempuan siluman, tapi aku lihat kau seperti nenek bawel!” Si nona jadi meluap darahnya dan lantas angkat pedangnya. Ia tahu bukan tandingan, tapi amarahnya mesti dilampiaskan. Wanita itu tapinya terus tertawa. “Terhadap anakku kau berlaku cukup sungkan,” kata ia. “Tapi terhadap titsoen-ku, tanganmu kejam sekali. Siapa gurumu?” “Sudah! Sudah!” berteriak Pengtjoan Thianlie. “Memang aku hinakan titsoen-mu. Nah, hukumlah aku!” Si nona yang beradat angkuh lantas saja menikam, meskipun tahu bakalan kalah. “Aku sungguh sayang padamu,” kata si wanita yang terus kocok si nona. “Kau begitu cantik, mana tega aku menghukum kau!” Sehabis berkata begitu, dengan mendadak ia usap mukanya Pengtjoan Thianlie. Terang-terang, si nona lihat gerakan tangannya, tapi toh ia tidak keburu kelit! Sekarang Pengtjoan Thianlie benar-benar gusar. Seperti orang kalap ia putar pedangnya dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang membinasakan. “Kau benar-benar marah?” tanya wanita itu sembari tertawa dan kembali usap kepala orang. Pengtjoan Thianlie terus menerjang dan kirim beberapa tikaman. Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma kelit dan mulutnya ngoceh lagi:“Ah, pedangmu sungguh-sungguh bagus! Cuma sayang sekarang musim dingin. Kalau musim panas tak perlu bawa-bawa kipas lagi. Dari apa dibuatnya? Coba kasih aku lihat!” Pengtjoan Thianlie terkejut dan lantas putar Hankong kiam bagaikan titiran. “Aku mau lihat cara bagaimana kau rebut pedangku,” katanya didalam hati. Tiba-tiba si nona endus bebauan yang sangat harum dan dengan satu suara “tring!” Pengpok Hankong kiam sudah kena dipentil terbang dengan dua jerijinya dan kemudian disambut dengan satu tangannya. “Benar-benar aku pusing,” katanya sembari bulak-balik pedang itu. “Benar-benar aku tak tahu, dibuat dari bahan apa.” Kaget dan gusarnya si nona ngaduk menjadi satu. Tanpa pikir akibatnya, ia menubruk seperti macan edan. “Buat apa begitu kesusu! Aku toh tak inginkan milikmu!” kata lagi si wanita setengah tua sembari tertawa. Ia angsurkan tangannya dan kembalikan pedang itu. Begitu terima pedangnya, begitu si nona menikam lagi. Bagaikan kilat, si wanita tangkap lengannya dan berkata pula: “Coba aku lihat lagi. Aduh benar-benar cantik! Tugas comblang pasti aku jalankan!” Sembari ngoceh, tangannya kembali usap mukanya Pengtjoan Thianlie. Sesudah kenyang menggoda, ia lepaskan tangannya dan sedang suara tertawanya masih kedengaran, bayangannya sudah menghilang dari pemandangan! Pengtjoan Thianlie celingukan. Boe-sie Hengtee dan si gadis juga sudah tidak berada disitu. Rupanya mereka sudah berlalu, ketika si wanita setengah tua goda dirinya. Si nona menghela napas berulang-ulang dan parasnya lesu sekali. “Ayah ibuku sudah peras pikiran dan tenaga buat gubah ilmu pedang ini dengan anggapan tiada bandingannya di dalam dunia,” katanya dalam hati. “Tapi siapa nyana, wanita itu saja aku sudah tidak mampu menangkan. Ah, kalau begini, keinginan ayahku rasanya tidak akan terwujut.” Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak tahu, bahwa ilmu silat dan tingkatannya wanita itu Cuma dapat direndengi oleh dua tiga orang saja dalam Rimba Persilatan. Dengan hati mendeluh, si nona jalan balik ke tendanya. Ketika itu sudah lewat tengah malam dan sang rembulan pancarkan sinarnya yang gilang gemilang, sehingga padang pasir jadi seperti mandi dalam lautan perak, dalam suasana yang sunyi-senyap. Di padang pasir, benda yang jauhnya beberapa li masih dapat dilihat. Kedua tenda yang dipasang di kaki gunung jauh-jauh sudah kelihatan. Mendadak hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang. Di depan tendanya Tong Keng Thian terdapat dua bayangan orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki adalah Keng Thian, tapi potongan badan yang perempuan, bukan potongan badannya Yoe Peng. Sesudah berlari-lari kurang lebih satu li lagi, barulah ia dapat tahu, bahwa wanita itu adalah gadis yang barusan jadi lawannya! Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie keluar dari tendanya buat selidiki itu suara “uh, uh,” Keng Thian sedang gulak-gulik dalam tendanya dengan tidak dapat pulas. Otaknya selalu tak dapat lupakan si nona yang sikapnya membikin ia tidak mengerti. Sedikit banyak, ia sudah mengetahui asal-usulnya, yaitu turunan dari jago partai Thiansan dan cucu perempuannya Koei Tiong Beng. Tapi, kenapa terhadap Thiansan pay, si nona kelihatannya adem sekali? Kenapa? Ia ingat, ketika mau turun gunung, ayah ibunya pesan supaya ia cari tahu dimana adanya paman Koei Hoa Seng. Sekarang ia sudah dapat cari puterinya Koei Hoa Seng, tetapi si nona tak sudi naik ke Thiansan buat menemui sahabat-sahabat dari mendiang ayahnya. Kenapa? Memikir pergi datang, pemuda itu jadi semakin jengkel. Jika lain orang, ia tentu sudah memaksa buat mendapat tahu seterang-terangnya. Tapi terhadap Pengtjoan Thianlie, ia benar-benar tak sanggup berlaku keras, oleh karena adanya keagungan si nona yang wajar, yang membikin orang tidak berani rewel-rewel di hadapannya. Dalam kekesalannya itu, Keng Thian jadi gusar pada dirinya sendiri. Kenapa, sesudah kenal Pengtjoan Thianlie, ia jadi begitu tolol? Saat itu, dalam otaknya berkelebat bayangannya seorang wanita lain, seorang gadis jelita yang usianya lebih muda dari Pengtjoan Thianlie. Gadis itu adalah Lie Kim Bwee, puteri Ie-ie-nya (bibi) sendiri (puterinya Lie Tie dan Phang Lin). Kim Bwee adalah kawan memainnya sedari kecil, tapi ia heran sekali, terhadap nona itu, ia tidak mempunyai perasaan seperti yang dirasakan terhadap Pengtjoan Thianlie. Angin diluar tenda jadi semakin santer dan di antara suaranya angin, sayup-sayup, ia dapat dengar suara “uh, uh.” “Apakah itu bukan suara goloknya boesoe Nepal?” ia tanya dalam hatinya. Dalam pertemuan di Shigatse dan di gunung Tantat san ketika bantu merebut guci emas, ia tahu gagang goloknya boesoe Nepal berlubang dan mengeluarkan suara “uh, uh,” jika kesampok angin. Keng Thian heran. Kenapa mereka masih berada di Tiongkok? Ia keluar dan loncat ke atas tenda, dari mana ia lihat bayangannya Pengtjoan Thianlie yang sedang berlari-lari ke arah utara barat. Tadinya ia mau mengubar, tapi kemudian urungkan niatannya. Ia ingat, kedua boesoe Nepal adalah orang sebawahannya Pengtjoan Thianlie, sehingga jika si nona datang, segala urusan tentu bisa menjadi beres. Di sebelahnya itu, jika menguntit, ia kuatir si nona jadi gusar dan menganggap ia terlalu mau tahu urusan lain orang. Mengingat begitu, ia urungkan niatannya dan dengan tindakan perlahan, menuju ke tendanya Pengtjoan Thianlie. Di luar tenda ia bertemu Yoe Peng yang kelihatannya bingung. “Ah, Tong Siangkong!” katanya. “Kenapa malam-malam begini masih jalan-jalan?” “Kau dengar itu suara “uh, uh,” tanya Keng Thian. “Dengar,”sahutnya. “Mungkin cuma suara burung.” “Kongtjoe-mu?” tanya Keng Thian sembari tertawa. “Ia kecapaian dan sudah pulas,” Yoe Peng mendusta. “Aku keluar lantaran dengar suara tindakanmu. Baliklah, kalau kau bikin ia mendusin, ia bisa jadi gusar.” Keng Thian tertawa dan lantas balik ke tendanya. “Benar saja dia tak mau aku mendapat tahu,” kata pemuda itu dalam hatinya. Biarpun mengetahui Pengtjoan Thianlie bukan sedang menghadapi bahaya, Keng Thian tak dapat tetapkan hatinya. Ia sulut sebatang lilin besar dan duduk termenung dalam tendanya. Tak tahu sudah lewat beberapa lama, mendadak di luar tenda terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan kain tenda dipentil beberapa kali. Keng Thian loncat bangun dan menanya: “Kau sudah pulang?” Ia heran. Sedang si nona mau rahasiakan kepergiannya, kenapa sekarang ia datang pada tendanya? Tangannya membuka tenda dan segera juga kupingnya dapat dengar suara tertawa yang sudah dikenal baik. “Koko, kau sedang pikiri siapa?” tanya satu suara wanita. “Ah, aku kira siapa, tak tahunya setan kecil!” kata Keng Thian sembari tertawa. Wanita itu bukan lain daripada Lie Kim Bwee, adik misanannya (piauw).“Tak salah omongannya Toa-boe dan Siauw-boe,” kata Kim Bwee sembari tertawa haha-hihi. “Ada dia, mesti ada kau. Mereka kata, tendamu mesti berdekatan dengan tendanya dan benar saja tidak meleset. Eh, kau tahu bagaimana keadaannya kecintaanmu sekarang? Aku sih tahu!” Keng Thian bingung berbareng geli. “Kenapa? Kau ketemu padanya?” tanya ia sembari pukul si nona dengan perlahan. “Sudah punya kawan baru, kenapa kau jadi begitu galak? Sudahlah, aku tak mau bicara,” Kim Bwee menggoda terus. “Baiklah, Piauwmoay-ku yang manis,” kata Keng Thian sambil membungkuk. “Aku minta maaf. Puas? Hayo, lekas bilang.” Kim Bwee tertawa-tawa. “Tadi aku bertempur dengan dia,” katanya. “Benar-benar hebat! Aku rasa, kau juga bukan tandingannya. Hati-hati lho! Mesti siap-siap buat dihajar olehnya!” Keng Thian yang sangat kepengen tahu keadaannya Pengtjoan Thianlie, seperti juga tidak dengar godaan adiknya. “Apa? Kau bertempur dengan ia? Dan dia?” tanya Keng Thian. “Ibu sedang main-main dengan dia,” jawabnya. “Kau tahu adat ibu. Tak tahu ia mau main-main sampai kapan.” “Dan Boe-sie Hengtee?” Keng Thian tanya lagi. “Kedua mustika itu bilang, lantaran kau lindungi ‘si perempuan siluman’, mereka sungkan menemui kau,” jawab Kim Bwee. “Tapi aku tahu, sebenar-benarnya mereka merasa jengah lantaran kena dikalahkan oleh ‘perempuan siluman’ itu. Eh, siapa sih namanya? Aku belum pernah lihat wanita yang begitu cantik. Sungguh tak pantas Toa-boe dan Siauw-boe namakan ia ‘perempuan siluman’.” Keng Thian yang sedang kebingungan, mana sempat ladeni godaan adiknya. Ia jalan mundar-mandir dan tarik napas berulang-ulang seraya berkata: “Hai, bagaimana baiknya? Ie-ie bertempur dengan ia. Bagaimana baiknya?” “Eh, kenapa kau begitu kebingungan?” kata Kim Bwee sembari tertawa. “Ibu toh bukan mau binasakan padanya. Ibu sendiri bilang, dia cantik sekali. Ia cuma mau main-main sedikit.” Tapi Keng Thian tidak dapat dihiburi dengan perkataan Kim Bwee. Ia kenal adatnya Pengtjoan Thianlie yang tak dapat dipermainkan secara begitu. Ia merasa sangat jengkel, kenapa semakin tua bibinya jadi semakin suka geguyonan. Ia rupanya lupa, bahwa di waktu masih kecil, berkat sifat bibinya yang suka bercanda, ia sendiri jadi lebih dekat dengan sang bibi daripada dengan ibunya sendiri. Phang Lin dan Phang Eng (ibunya Keng Thian) adalah saudara kembar, tapi sifatnya berbeda seperti langit dan bumi. Phang Eng pendiam dan sungguh-sungguh, Phang Lin nakal dan berandalan. Sifat itu tidak berubah sampai Phang Lin berusia lanjut. Boe Kheng Yab (ibunya Lie Tie atau neneknya Lie Kim Bwee) adalah murid penutup dari Pekhoat Molie. Itu sebabnya kenapa Lie Kim Bwee paham ilmu silatnya Pekhoat Molie. Di sebelahnya itu, ia juga dapat berbagai macam ilmu dari ibunya, antaranya ilmu berkelahi di tengah udara seperti seekor burung. Ilmu tersebut didapat oleh Phang Lin dari Patpie Sinmo (Memedi Delapan Tangan) Sat Thian Tjek. Phang Lin bukan saja turunkan ilmu silatnya, tapi juga adatnya yang suka bercanda kepada puterinya itu. Melihat piauwheng-nya kejengkelan, Kim Bwee jadi semakin bungah hatinya.“Siapa suruh dia hinakan Toa-boe dan Siauw-boe,” katanya sembari tertawa. “Kau tak lihat cara bagaimana mereka dibikin kucar-kacir? Benar-benar bikin orang mendongkol! Bebokongnya ditotok dengan pedang, tidak ditikam, cuma dipermainkan, seperti kucing permainkan tikus. Aku sungguh tak sampai hati! Ibu tolong balaskan sakit hatinya. Eh, kau belum beritahu, siapa sih namanya?” “Ah, jangan begitu melit,” Keng Thian menghela napas. “Semua orang sendiri. Namanya Peng Go. Koei Tiong Beng yang setingkat dengan nenekmu, adalah kakeknya. Kalian permainkan dia, Iethio tentu akan menegur.” “Kau mau mengadu?” tanya Kim Bwee sembari letletkan lidahnya. “Aku tak takut! Aku takut pada ayah, tapi ayah takut pada ibu dan ibu takut padaku. Kau mengadu juga tak ada gunanya.” Keng Thian benar-benar tidak berdaya. Ia cuma mengharap, di kemudian hari Pengtjoan Thianlie akan mengetahui adatnya sang ie-ie yang suka memain dan dapat menyayang bibinya itu. Memikir begitu, hatinya jadi lebih tenang. “Eh, kenapa kalian bisa berada disini?” ia tanya sesudah berdiam beberapa saat. “Piauwko,” kata si nona sembari colek janggut kakaknya. “Kau benar sudah otak miring. Masakan ujian tiga tahun sekali yang diadakan oleh ayahmu sendiri, kau sudah tidak ingat lagi?” Thiansan pay mempunyai anggauta yang berjumlah besar, yaitu turunan dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan). Sesudah Tong Siauw Lan pimpin partai tersebut, tiga tahun sekali ia kumpulkan murid-murid Thiansan pay buat diuji ilmu silatnya. Ini dinamakan Pertemuan Kecil. Saban sepuluh tahun sekali diadakan Pertemuan Besar, dimana bukan saja murid-murid, tapi orang-orang dari tingkatan tua juga diundang datang, seperti MohTjoan Seng, Tjio Kong Seng dan yang lain-lain. Tahun itu ialah tahun Pertemuan Kecil. Tahun yang lalu, ketika mau turun gunung, Tong KengThian telah dapat kelonggaran istimewa dari ayahnya buat tidak usah hadiri Pertemuan Kecil itu, jika terpaksa. Kalau mungkin, ia tentu saja mesti pulang pada temponya yang tepat, akan tetapi, kalau dalam usaha mencari Koei Hoa Seng ia berada di tempat jauh, maka ia boleh tidak usah pulang ke Thiansan. Itulah sebabnya, kenapa Keng Thian sudah lupakan hal tersebut. Biarpun sudah dibikin sadar, tapi masih ada hal yang kurang dimengerti. “Ujian yang dibuka oleh ayahku, ada hubungan apa dengan kedatangan kalian?” tanya ia. “Apa benar kau belum pernah dengar penuturannya Iethio (ayahnya Keng Thian)?” tanya Kim Bwee. “Biarlah aku ceritakan. Dahulu, Hoei-angkin Lootjianpwee, yaitu soetji nenekku, pernah turunkan beberapa jurus ilmu silat kepada suami isteri Huke-tsihu, pemimpin suku Hapsatkek. Isterinya Huke-tsihu, yang bernama Mungmanlis, telah meninggal dunia pada kira-kira sepuluh tahun berselang. Waktu aku masih kecil, aku pernah bertemu padanya yang datang buat sambangi nenek (Boe Kheng Yao). Ketika nenek meninggal dunia, ia sudah terlalu tua buat bisa datang menyambangi.” “Tapi, kalian mempunyai hubungan apakah dengan Mungmanlis yang sudah mati?” tanya Keng Thian dengan perasaan heran. “Apa kau mau cari ia di tempatnya Giam Loo-ong?” “Eh, apa kau tolol atau berlagak tolol?” kata si nona sembari monyongkan mulutnya. “Aku benar-benar tolol,” jawab Keng Thian sembari tertawa. “Nah, kalau begitu, kau dengarlah,” kata Kim Bwee sembari mesem. “Mungmanlis benar sudah meninggal dunia, tapi ia mempunyai anak cucu. Dari Hui-angkin Lootjianpwee, ia cuma dapat beberapa jurus ilmu silat, sehingga tidak bisa dibilang menjadi murid dan dengan demikian, ia pun tidak termasuk anggauta Thiansan pay. Belakangan, cucu-cucunya Mungmanlis mendapat tahu, bahwa Iethio dan Ie-ie tiga tahun sekali mengadakan Pertemuan Kecil buat uji kepandaiannya murid-murid Thiansan dan juga memberi petunjuk-petunjuk. Lantaran begitu, mereka ingin turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mengingat nenek, ibu sudah permisikan mereka datang. Belakangan, oleh karena kuatir mereka tidak dapat cari tempat pertemuan, ibu segera mengambil putusan buat sambut mereka. Tapi sebenarnya, ibu sudah merasa sangat kesepian dan kepengen turun gunung buat main-main. Aku sendiri tentu saja merasa sangat girang bisa turut jalan-jalan. Itu sebabnya kenapa sekarang kami berada disini. Sudah mengertikah kau? Eh, aku dengar di sebelah depan adalah wilayahnya suku Hapsatkek. Apa benar?” “Benar,” sahut Keng Thian. “Ie-ie hapal benar keadaan di Sinkiang, buat apa kau tanya-tanya aku?” “Aku sudah sebal jalan di padang pasir ini,” kata Kim Bwee sembari tertawa. “Aku menanya sebab kuatir ibu dustai aku.” Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula: “Di tengah jalan, kami bertemu dengan Toa-boe dan Siauw-boe yang mengatakan sedang ubar dua orang. Lantaran kami juga mau seberangi padang pasir ini, maka kami lantas jalan bersama-sama. Tak dinyana, malam ini kami bertemu dengan wanita yang bernama Koei Peng Go itu.” . “Dan dimana adanya dua boesoe Nepal itu?” tanya Keng Thian. “Boesoe Nepal?” menegasi si nona. “Yah, itu dua orang yang diubar oleh Toa-boe dan Siauw-boe,” jawab Keng Thian. “Aku tak lihat,” jawabnya. “Sesudah mereka ribut-ribut, barulah aku turun tangan.” Keng Thian jadi tertawa geli. “Eh, kenapa kau tertawa?” tanya Kim Bwee. “Mungkin kedua boesoe itu sudah dibinasakan oleh Toa-boe dan Siauw-boe, sehingga kau punya Peng Go Tjietjie menjadi gusar.” Keng Thian tak mau ladeni ocehannya sang adik. Ia keluar dari tenda dan memandang ke tempat jauh dengan paras muka guram. “Kenapa belum juga pulang?” ia berkata seorang diri. “Mungkin ibu belum cukup menggoda ia,” kata si nona. “Apa Ie-ie bakal datang kesini?” tanya Keng Thian. Mendadak Kim Bwee pegang pundak kakaknya dan bisik-bisik di kupingnya: “Ibu bilang, ia bersedia jadi comblang. Malam ini ia goda sang penganten dan lantaran kuatir kau berdua menjadi gusar, ia tak mau datang kesini. Ibu perintah aku memberitahukan kau, supaya ajak pengantenmu pulang ke Thiansan.” “Omong kosong!” membentak Keng Thian. “Ah, bukan omong kosong!” jawab Kim Bwee. “Apakah sesudah tiba disini, kau tak mau menemui Twathio dan Twa-ie?” Keng Thian jadi kewalahan. Ia angkat tangannya seperti orang mau memukul dan si nakal berlari-lari sembari berteriak-teriak. Pada saat itulah, mendadak berkelebat satu bayangan orang yang memakai pakaian warna putih dan dalam sekejap sudah berada di hadapan mereka. Lie Kim Bwee berhenti tertawa. “Cepat benar kau balik!” katanya. Tong Keng Thian sendiri sembari tertawa lantas maju menghampiri. Pengtjoan Thianlie awasi mereka dengan sorot mata dingin dan mendadak, ia putar badannya dan berlalu tanpa berkata sepatah kata. Sebenarnya, ia merasa suka terhadap Kim Bwee. Cuma saja, lantaran barusan ia lihat si nona bercanda begitu hangat dengan Keng Thian, ditambah perkataan “cepat benar kau balik,” hatinya jadi berdongkol. Selainnya begitu, barusan ia sudah digoda pulang pergi oleh ibunya Kim Bwee, sehingga amarahnya jadi naik. Ia jalan terus balik ke tenda dan tidak ladeni teriakannya Keng Thian. “Hebat benar adatnya!” kata Kim Bwee sembari letletkan lidah. “Tong Koko, aku sudah bikin marah kau punya Peng Go Tjietjie. Tak berani aku berdiam lama-lama lagi disini.” Terhadap adik misan yang nakal itu, benar-benar Keng Thian tak berdaya. Ia cuma bisa tertawa getir. Baru jalan beberapa tindak, si nona berpaling dan berkata pula: “Ingat! Ajak isterimu supaya bisa berkenalan dengan saudara-saudara. Penemuan kali ini dibikin di atas Puncak Onta dari gunung Mostako. Yang bakal memberi ceramah tentang ilmu silat adalah ibumu sendiri. Kesempatan itu benar-benar tidak boleh dilewati begitu saja.” Sehabis berkata begitu, dengan satu tertawa nyaring, si nakal lantas berlari-lari dengan gunakan ilmu entengi badan dan dalam sekejap saja, ia sudah menghilang dari pemandangan. Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan KengThian hampiri tendanya Pengtjoan Thianlie. Penerangan sudah padam, cuma lapat-lapat ia dengar suara tangisan. “Peng Go Tjietjie,” ia memanggil. Tak ada sahutan. Ia memanggil lagi beberapa kali, tapi tetap si nona tidak menyahut, Cuma suara tangisan lantas berhenti. Keng Thian berdiri bengong di depan tenda. Mendadak satu ingatan berkelebat di otaknya. “Piauwmoay guyon-guyon, tapi perkataannya memang ada benarnya juga,” katanya didalam hati. “Memang baik juga jika aku bisa bawa Peng Go menemui ayah dan ibu. Ayah dan beberapa tjianpwee lainnya sangat pikiri Koei Hoa Seng Pehpeh. Mereka tentu akan girang sekali kalau bisa bertemu dengan puterinya Koei Pehpeh. Cuma saja, Peng Go selalu kelihatan kurang senang jika dengar aku mau ke Thiansan dan Ie-ie baru saja permainkan dia. Sekarang ia tentu lebih-lebih sungkan pergi ke Thiansan. Ah, bagaimanakah baiknya?” Dalam kebimbangan, tangannya mendadak kena langgar batu giok pemberian Liong Sam yang berada dalam kantongnya. “Perjalanan buat menemui Pehhu-nya (paman) Peng Go mesti makan tempo beberapa bulan,” pikir Keng Thian. “Kalau bisa pergi dahulu ke Thiansan, dua urusan, bisa beres dengan berbareng, sedang ayah dan ibu juga tak usah pikiri aku. Berbareng dengan itu, aku juga bisa tahu asal-usulnya Liong Sam Sianseng. Tapi bagaimana membujuk Peng Go?” Sesudah putar otaknya, tiba-tiba ia dapat jalan yang sangat baik. Ketika itu sang malam sudah hampir terganti dengan siang. Sesudah mendapat pikiran baik, Keng Thian jadi bersemangat. Ia tidak balik ke tendanya, tapi jalan mundar-mandir di depan tenda si nona sampai fajar menyingsing. Begitu lekas terang tanah, tenda tersingkap dan Yoe Peng munculkan diri. Ia merasa heran ketika lihat Keng Thian masih berada disitu dan lalu berkata: “Kongtjoe bilang, kau tak usah kawani ia lagi. Ia bisa pergi sendiri.” Tong Keng Thian tercengang. Ia tak duga hatinya Pengtjoan Thianlie begitu keras. Sesudah putar otak setengah malaman, baru ia dapat satu tipu bagus, tapi sekarang jadi sia-sia saja. Ia jadi bengong dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Melihat si pemuda jadi seperti orang linglung, Yoe Peng jadi kasihan berbareng geli. “Eh, apa semalam kau tak tidur?” ia tanya. Keng Thian tertawa getir. Ia tidak jawab pertanyaan orang, tapi berkata seorang diri: “Keadaan sekarang bukannya seperti keadaan semalam, untuk siapakah ‘ku gadangi sang malam di tengah angin dan embun!” Baru saja ia habis ucapkan perkataan begitu, tenda kembali terbuka dan Pengtjoan Thianlie kelihatan berjalan keluar! Hatinya si nona sebenarnya masih mendongkol, akan tetapi begitu dengar sajak yang diucapkan oleh Keng Thian, ia jadi girang berbareng sedih, sehingga hampir-hampir ia kucurkan air mata. Sajak itu adalah buah kalamnya Oey Tiong Tjek, seorang sastrawan kenamaan pada jaman itu, yang dikenal bukan saja di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi malahan sampai di daerah perbatasan yang jauh. Sedari usia sepuluh tahun, pada waktu kedua orang tuanya masih hidup, Pengtjoan Thianlie sudah baca kumpulan sajak-sajaknya Oey Tiong Tjek. Maka itulah, begitu dengar ucapannya Tong Keng Thian, ia jadi merasa terharu, seolah-olah si pemuda yang sengaja menggubah sajak tersebut untuk dirinya. “Ah, si tolol ternyata sudah gadangi malam di tengah angin dan embun untuk diriku!” katanya didalam hati. Melihat Pengtjoan Thianlie muncul waktu ia baru saja habis ucapkan perkataannya, mukanya Keng Thian jadi bersemu merah lantaran jengah. “Peng Go Tjietjie! Pagi benar kau sudah bangun!” katanya sembari menghampiri. “Kau sendiri terlebih pagi,” kata Yoe Peng. “Eh, Siauw Kongtjoe! Si tolol tak tidur seluruh malam!” Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata suatu apa. Sesudah lewat sekian lama, ia dongak dan berkata dengan suara tawar: “Terima kasih yang kau sudah kawani kami selama banyak hari. Mulai dari sekarang, tak usah lagi. Kami sendiri bisa tanya-tanya jalanan.” Keng Thian yang tajam kupingnya lantas bisa menangkap, bahwa biarpun suaranya tawar, tapi cukup lunak.”Di padang pasir, orang paling gampang kesasar,” katanya sembari tertawa. “Selainnya begitu, di tengah jalan kalian belum tentu bisa bertemu orang-orang yang kenal jalan. Aku justru sedang senggang dan dengan mau sendiri, aku bersedia jadi penunjuk jalan. Kenapa juga kalian mau jalan sendiri?” Sekali ini, si nona kena dikalahkan juga. Sebenarnya, jika turuti adatnya, ia masih ingin ngambek dan semprot si pemuda dengan beberapa perkataan tajam. Akan tetapi, lantaran sungkan dikatakan jelus terhadap si nona cilik yang kelihatannya begitu rapat dengan Keng Thian dan juga sebab merasa tidak tega buat keluarkan perkataan berat, maka, sesudah dengar omongannya Keng Thian, ia manggut sedikit dan berkata dengan suara perlahan: “Baiklah.” Sebagai orang yang belum pernah menjelajah di padang pasir, Pengtjoan Thianlie tidak tahu ke arah mana mereka sedang berjalan, oleh karena di hadapan mereka cuma terlihat lautan pasir yang seakan-akan tiada tepinya. Sesudah berjalan beberapa hari, deretan gunung yang tadinya hanya kelihatan samar-samar jadi semakin nyata, sedang sebuah gunung besar yang menjulang keawan semakin lama jadi semakin dekat. “Bukankah kau bilang mau pergi ke Soetjoan?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Tapi kenapa kita agaknya mendekati Thiansan?” “Dari sini Thiansan masih jauh sekali,” jawab Keng Thian sembari tertawa. “Kita sekarang sedang potong jalan, supaya lebih dekat.” Si nona yang tidak kenal jalan, tidak berkata apa-apa lagi dan terus mengikuti saja. Selama beberapa hari yang pertama, sikapnya Pengtjoan Thianlie masih tawar, akan tetapi, sesudah lewat belasan hari, ia dapat pulang kegembiraannya dan berjalan sembari omong-omong dan tertawatawa. Sesudah seberangi lautan pasir, pada suatu hari tibalah mereka di depannya satu gunung besar yang atasnya tertutup es dan salju. Pada lerengnya gunung tersebut terdapat satu puncak tertutup salju yang bentuknya seperti seekor onta, kepalanya di timur, buntutnya di sebelah barat. Hatinya Pengtjoan Thianlie jadi curiga dan tanya: “Apakah ini bukannya Thiansan?” “Bukan,” jawab Keng Thian. Jika tak percaya, kau boleh tanya gembala.” Di kaki gunung itu .terdapat tanah rumput yang sangat subur, dimana orang sering dapat ketemukan kaum gembala yang angon binatang piaraannya. Sesudah berjalan lagi beberapa li, mereka bertemu serombongan orang yang sedang giring ontanya dan waktu ditanya, mereka menerangkan, bahwa gunung itu adalah gunung Mostako, sedang puncak yang seperti onta dinamakan Puncak Onta. Mendengar keterangan itu, hatinya Pengtjoan Thianlie baru menjadi lega. Ia tidak tahu, bahwa gunung Mostako sebenarnya adalah cabangnya Thiansan, sedang tempat itu sudah dekat sekali dari Puncak Selatan.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |