Liong Sam segera keluarkan seraup perak hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee, ia lemparkan ke arah sang paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran, sesudah ada contohnya Boe-sie Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan gerakan Thianlie Sanhoa waktu melemparkan peraknya. Si paderi lalu kebas tangan bajunya, dan seperti tadi, semua perak lantas masuk ke dalamnya. Mendadak terdengar suara “bret” dan baju paderinya robek sedikit, sedang sebagian perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. “Bagus! Sungguh bagus!” Ia berseru sembari acungkan jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya yang lantas turun perlahan-lahan buat “memberi berkah”. Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata rahasia yang istimewa sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan sekali timpuk, akan tetapi, setiap keping menyambar dengan tenaga yang berlainan beratnya. Selainnya itu, pada sebelum menimpuk, lebih dahulu ia pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga kepingan perak itu menjadi gepeng seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan sangat tajam. Itulah sebabnya, kenapa kepingan itu dapat merobek bajunya si paderi. Tentu saja Thian Oe tak dapat lihat itu semua, sedang si paderi sendiri jadi sangat terkejut. Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw segera angkat tangannya buat menangkis sembari berkata dengan tertawa: “Jangan! Aku tak berani terima!” Begitu kebentrok, mereka sama-sama rasakan seperti dilanggar arus listrik dan kedua-duanya mundur beberapa tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas teriaki supaya Thian Oe dan Yoe Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak yang berantakan dan kembali menyender di batu besar sembari meramkan kedua matanya, buat tunggu kedatangannya lain orang. “Orang macam apa adanya paderi itu?” tanya Thian Oe sesudah mereka jalan beberapa jauh. “Aku cuma harap kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas,” sahut Liong Sam. “Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah ilmu Yoga yang tidak kalah dengan Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika kedatangannya adalah buat mencampuri urusan guci emas, kita sunguh bakal ketemu lawanan berat.” Sesudah mereka lalui dua lembah gunung, tiba-tiba mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong Sam bertiga menoleh ke belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung kuda tanpa bisa angkat kepalanya lagi! “Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia dipersen sedikit berkah,” kata Liong Sam sembari tertawa. Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: “Paderi itu memberi berkah seperti juga pembesar ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat tentu mesti diujinya. Ah, caranya benar aneh sekali.” “Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal telan tulang,” Yoe Peng beri pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara, ia seperti sedang berpikir keras. Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang tenda. Pada esok paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng dan kedua saudara Boe sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Liong Sam menghela napas dan sembari mengawasi keadaan di seputarnya, ia berkata: “Marilah kita berangkat pada sebelumnya matahari keluar, supaya bisa tiba terlebih siang di mulut gunung guna menanti kedatangannya guci emas!” Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya selat Tantat san. “Kalian tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat di sebelah depan,” kata Liong Sam. Belum habis perkataannya, dalam selat gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda yang sangat ramai. “Heran benar!” kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. “Menurut rencana, rombongan pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka sudah sampai begini pagi?” Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke tengah udara dan ribuan kuda dengan penunggangnya lapat-lapat sudah bisa terlihat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar, ia kuatir timbul kesulitan yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng harapkan munculnya Pengtjoan Thianlie. Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di luarnya lebar. Barisan Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi jadi dua pasukan yang keluar dari mulut selat secara angker sekali, seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan menutupi sinarnya matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang berpakaian indah dan beroman keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan itu terdapat sehelai bendera kuning yang berkibar-kibar menurut tiupannya angin dan di belakangnya bendera, tertampak empat payung sulam warna kuning, yang mendahului empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat saja, orang akan mengetahui, bahwa salah satu dari empat kuda itu menggendol guci emas di bebokongnya. “Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih dahulu?” tanya Thian Oe. “Tunggu dahulu,” jawab Liong Sam. Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba terdengar suara riuh dan serombongan orang menerjang keluar dari lereng gunung, dengan dikepalai oleh si pendeta jubah merah. Sambil putar sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan Boan, dengan dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah. Bagian depan Gielimkoen segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu bersenjata tongkat besi dan yang lain cekal golok, loncat keluar dan tahan majunya si pendeta. Dengan sepenuh tenaga, si pendeta jubah merah sampok dua senjata musuhnya yang lantas terpental, tapi untung tidak sampai terlepas. “Bangsat Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-coba merampas guci emas!” membentak satu perwira sembari kebaskan tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak panah segera maju ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab dihujani anak panah, sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua perwira di tengah-tengah. Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton pertempuran itu. “Apa kita perlu membantu?” tanya Thian Oe. “Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana,” sahut Liong Sam. Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua perwira itu berada di bawah angin. “Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat Besi) dan Tanto Tjioe Ngo (Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara delapan pengawal istana yang utama,” menerangkan Liong Sam. “Kalau sedang berkelahi, mereka biasanya tak suka orang membantu, tapi sekarang rupanya kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi.” Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat. Tongkatnya seperti juga berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar dengan disertai sama deruan angin yang santer, sehingga kedua perwira itu seakan-akan terkurung dalam bayangan tongkat. Selagi ia mau turunkan tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari belakang barisan Boan muncul seekor kuda, yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang kuda tiba di gelanggang pertempuran, badannya si penunggang sudah melesat ke tengah udara. “Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in itu (Pentang sayap mengusap awan)!” memuji Thian Oe. Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si pendeta angkat sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat obor menerangi langit) buat sambut serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu suara “srt”, satu benda hitam ngapung ke udara, mengikuti berkelebatnya sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang pesegi delapan sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu. “Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala Putih) Yoe It Gok,” kata Liong Sam. “Sekarang si Hoantjeng ketemu tandingan berat.” Benar saja dalam tempo sekejap keadaan jadi berobah. Si pendeta terus main mundur dan sekarang cuma dapat membela dirinya saja, tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan kelas satu dari Siauwlim pay dengan mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu pedang berantai) yang liehay bukan main. Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara riuh dan dari sebelah selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang. Rombongan sebelah selatan dipimpin oleh Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, sedang yang datang dari sebelah utara berada di bawah pimpinannya Boe-sie Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan berkata sembari tertawa: “Si tua she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari Lima Propinsi Utara agaknya semua turun kesini.” Sementara itu, kedua rombongan itu sudah menyerbu sehingga barisan Gielimkoen kembali menjadi kalut. Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan jagoan istana lantas dipecah buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya Bek Eng Beng ditahan oleh satu pasukan di bawah pimpinannya satu perwira yang bersenjata bandringan dan mereka lantas saja bertempur hebat. Boe-sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu terus sampai di tengah-tengahnya pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua pedangnya menyambar ke kanan kiri bagaikan hujan dan angin. Selagi mereka mengamuk hebat, dari belakang barisan muncul dua perwira yang lantas tahan majunya kedua saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan jagoan istana, yang satu bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain mencekal pedang. “Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!” membentak kedua saudara Boe sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu suara krontrangan, giginya golok kena tersabet putus, sedang pedangnya perwira yang satunya lagi kena dibikin terpental ke tengah udara. Buru-buru mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya Boe-sie Hengtee luar biasa cepat, dan berbareng sama berkelebatnya sinar pedang, kedua perwira itu kena bacokan dan roboh dari atas kudanya. Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang ke pasukan tengah, ke arah empat kuda putih itu. Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah dan balik badannya buat cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee bergerak luar biasa cepat, mereka menubruk ke kiri dan ke kanan dan segera sudah mendekati bendera kuning yang berkibar-kibar di pasukan tengah. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang berpakaian kebesaran kelas tiga, loncat keluar dari tengah-tengah pasukan Boan. Ia itu berkumis merah dan tangannya mencekal senjata yang rupanya aneh sekali. “Kau orang adalah bangsa Han, tapi kenapa sudi membantu orang asing buat merebut guci emas!” ia membentak sembari cegat majunya Boe-sie Hengtee. Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar jelas di antara gemuruhnya pertempuran. Kedua saudara Boe balas membentak: “Hei, kau juga bangsa Han, tapi kenapa kesudian menjadi budaknya bangsa Boan? Kami pasti tak akan permisikan guci emas itu diantar ke Lhasa. Majikanmu sudah duduki Tionggoan, apa dia belum puas? Dia sekarang masih mau telan juga Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah kemauannya kami sendiri, sama sekali tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu. Kau jangan omong besar, sambutlah senjataku!” Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. “Kamu orang sudah sekongkol sama bangsa asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang lidah di hadapanku,” kata ia. “Kalau benar kau punya kepandaian, ambillah guci emas itu dari tanganku!” Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat, dengan berbareng kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang lain menikam, sehingga gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah lingkaran yang bekerja sama, menyambar ke arah pingangnya perwira itu. Si perwira dengan cepat sodok masuk senjatanya ke dalam setengah lingkaran itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas saja terpencar dan suara mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama sekali. Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya, sedang Thian Oe berkata sembari tertawa: ” Orang itu tak usah malu menjadi kepala dari delapan pengawal istana, benar-benar ilmu silatnya liehay.” Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan liehaynya bukan main. Dalam sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa serangan berbahaya dengan beruntun. Senjata aneh dari perwira itu ada lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih panjang dari Poankoan pit (senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang terbuat dari bulu). Di atasnya tongkat itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang biasa digunakan buat cangkol senjata musuh. Maka itu, walaupun ilmu silatnya sangat tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee harus berlaku sangat hati-hati. “Apa namanya senjata perwira itu? Kenapa begitu liehay?” tanya Thian Oe. “Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan pengawal keraton,” sahut Liong Leng Kiauw sembari tertawa. “Tenaga dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee, sehingga biarpun ia menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa mendapat kemenangan. Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang terutama digunakan buat menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh jurus, Boe-sie hengtee bakal menjadi kalah.” Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng Beng dan kawan-kawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta jubah merah bersama enam boesoe Nepal kena ditahan di luar barisan. “Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu,” kata Thian Oe. “Mana bisa begitu mudah,” sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka guram. Baru saja ia habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah timur sudah terlihat munculnya tiga orang yang pakai pakaian seperti Lhama Tibet, cuma warnanya putih. Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah dan Sekte Topi Kuning. Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah kuning. Lhama yang pakai jubah putih, Thian Oe belum pernah lihat dan jadi merasa sangat heran. “Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat ngaduk di air keruh,” kata Liong Leng Kiauw. “Kalau begini, kita toh mesti turun tangan juga!” Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah dituturkan kepadanya oleh ayahnya. Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari Sekte Topi Kuning di Tibet. Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan pada jaman kerajaan Goan. Akan tetapi, di sebelahnya kedua sekte itu masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih, yang pentang pengaruh sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi Kuning. Di jaman Kerajaan Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman Kaizar Beng yang terakhir, yaitu pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng, Dalai Lhama ke lima telah minta bantuannya Kushi Khan, seorang pangeran Mongol dari Kokonor, buat tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong (Raja Tsang- Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi Kuning (atau Gelupa) berkuasa di Tibet. Sesudah diusir dari Tibet, orang-orang Sekte Topi Putih lari ke Tjenghay dan tancap kaki disitu dengan pemimpinnya yang dikenal dengan nama Hoat-ong. Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi melihat datangnya ketiga Lhama yang berjubah putih. “Kalau sampai guci emas kena dirampas oleh mereka, Tibet bakal jadi kalut sekali,” pikir Thian Oe. Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan Kiuhoan Sekthung (tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu diputar. “Kita harus pasang mata,” berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang pedangnya. Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam barisan Tjeng. Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka, akan tetapi, baru saja beberapa gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah terdesak mundur. Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat satu bayangan hitam. “Celaka!” berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan lantas pentang kedua kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti dari belakang. Thian Oe merasa heran sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang begitu tenang, jadi begitu kaget setelah lihat berkelebatnya bayangan hitam tersebut. Siapakah musuh itu? Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja ia terlihat di atas gunung Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari selat. Mula-mula cuma terlihat satu titik hitam. Dalam sekejap, seluruh badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah berada di lereng gunung. Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain daripada si pendeta India berkelana, yang kemarin mereka bertemu di tengah jalan. Di belakangnya pendeta itu kelihatan mengikuti beberapa bayangan hitam lain. “Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-kawannya,” kata Thian Oe dalam hatinya. “Kalau begini, guci emas sukar dilindungi lagi.” Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan pedangnya, ia menerjang masuk ke dalam barisan. “Atas titahnya Hok Tayswee, aku datang disini buat menyambut guci emas!” ia berseru. Dengan serentak, Gielimkoen terpecah dua buat memberi jalan kepadanya. Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang sudah berada di dalam barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung menghantam dengan berbareng. Liong Leng Kiauw, yang tidak ingin bertempur sama tiga Lhama itu, lantas tekan ujung pedangnya pada salah satu sekthung dan badannya segera melesat ke tengah udara. Dengan satu gerakan Koetjoe hoansin (Anak ayam putar badan) yang sangat indah, badannya sudah “terbang” melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian langsung memburu ke pasukan tengah. Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan enam boesoe Nepal di luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal goloknya yang berbentuk bulan sebelah. “Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau lantas melarikan diri?” berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal. Enam boesoe itu terkejut. “Jangan percaya omongannya!” membentak si pendeta jubah merah. “Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung berapi!” Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Enam boesoe itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang pernah turut si pendeta jubah merah naik ke keraton es dan mengenali Yoe Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga badannya bergoyang-goyang. Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng segera menerjang masuk ke dalam barisan. Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena tidak ingin kebentrok dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe segera teriaki Yoe Peng: “Mari kita gempur itu Hoantjeng!” Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe Peng bisa masuk secara gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh, tiga Lhama jubah putih mendadak menengok. “Bocah, lekas pergi!” kata satu antaranya yang menjadi pemimpin dan yang lantas menghantam dengan tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu tenaga yang luar biasa besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah udara. Ternyata, lantaran lihat usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama tidak tega turunkan tangan jahat dan cuma bikin terpental saja pedang mereka. Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan tiga Pengpok Sintan. Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada senjata rahasia yang begitu liehay. Diserang selagi tidak bersedia, tiga peluru itu dengan tepat mengenakan dada mereka yang terbuka lebar. Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa yang luar biasa dingin, sehingga badan mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng sambut pedang mereka yang sedang jatuh ke bawah dan lalu menerjang ke sebelah depan. Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera kasih lihat kepandaian yang menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia menotol ke kanan dan ke kiri, dan serdadu-serdadu Gielimkoen yang berada dalam jarak tujuh tindak dari ianya, begitu kena ditotol, begitu roboh. Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas. Sembari menyampok dengan Longgee pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan coba cegat si pendeta. Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan lantas papaki kedua saudara Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw Tjoen Loei. Kedua pedangnya saudara Boe lantas bekerja sama. Pedang kiri menikam dengan gerakan Lioeseng kangoat (Bintang sapu ubar bulan), sedang pedang kanan menyambar dengan gerakan Tjietian hoei-in (Kilat terbang di awan). Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin, kedua pedang yang barusan bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua pedang terus menikam jalanan darahnya Liong Leng Kiauw. Dalam ilmu pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak yang begitu dekat adalah serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu pedangnya Liong Leng Kiauw sangat luar biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung pedangnya sudah bentur ujung pedangnya Boe Lootoa, sehingga mengeluarkan suara “trang” yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu, dengan gunakan tenaga berbaliknya sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur ujung pedangnya Boe Loodjie, yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan dalam waktu yang luar biasa tepatnya, sehingga Boe-sie Hengtee merasa sangat terkejut. “Minggir!” berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga serangan kilat. Di antara ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan saja sudah cukup buat mengetahui isinya pihak lawan. Demikianlah Boe-sie Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya sang lawan ada banyak lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku sungkan dan tidak mau turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke samping buat membuka jalan. “Terima kasih,” berkata Liong Leng Kiauw sembari loncat. Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah tinggalkan Boe-sie Hengtee, lantas cegat majunya si pendeta berkelana. Saat itu, si pendeta sudah totok roboh dua pengawal yang melindungi guci emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei, dengan sikap acuh tak acuh, ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah jalanan darah Honghoe hiat. Buat ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah ilmu yang biasa saja. Akan tetapi, bahwa dalam perkelahian campur aduk di antara ribuan orang, si pendeta masih dapat kirim totokan yang begitu tepat, adalah satu kejadian yang langka dalam Rimba Persilatan. Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan tenaga dalamnya terus sampai di ujung Longgee pang, yang lantas digunakan buat tempel tongkat bambunya si pendeta. Dengan seluruh tenaga, ia menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi siapa nyana, Longgee pang itu seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang tongkat. Tjiauw Tjoen Loei rasakan bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga musuh yang luar biasa besarnya. Ia betot Longgee pang-nya tapi tak dapat terlepas lagi! Ia tahu, lweekang si pendeta ada banyak lebih tinggi dan jika bertahan sedikit lama lagi. Ia akan mendapat luka di dalam badan. Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan dengan suara “srt”, pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah dan pencarkan Longgee pang dari tempelannya tongkat bambu. “Tjiauw Taydjin, pergilah lindungi guci emas,” berkata Liong Leng Kiauw sembari tertawa. Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu merasa agak terkejut tapi begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia lantas tertawa terbahak-bahak. “Ah, kau pun datang!” katanya. “Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu,” kata Liong Leng Kiauw sembari menyabet dengan pedangnya, yang lantas ditangkis sama tongkatnya si pendeta. Menurut pantas, begitu kebentrok sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus. Akan tetapi, sampokannya si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya, sehingga begitu lekas kedua senjata kebentrok, badannya Liong Leng Kiauw jadi sempoyongan tiga tindak. Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan tangan kiri mencekal pedang, Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan tongkat musuh segera terpentil miring. “Bagus!” berseru si pendeta dengan perasaan kagum sebab barusan ia menyabet dengan gunakan tenaga dalam yang cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat punahkan serangan itu sama satu pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga serangan, dengan setiap serangan berisi tiga sambaran yang menuju ke arah sembilan jalanan darah. Si pendeta berkelana juga benar-benar ahli silat kelas utama. Dengan sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan membalas dan punahkan semua totokan lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan setimpal sehingga buat sementara waktu sukar dilihat siapa yang lebih unggul. Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah lewatkan tiga Lhama jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah merah. “Waktu kau menyatroni keraton es, jiwamu sudah diberi ampun. Apa kau lupa pesanan Kongtjoe kami?” membentak Yoe Peng. Pesanan Pengtjoan Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-buru pulang ke Nepal dan jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng itu adalah Koksoe (Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua kali ia mengalami kekalahan di keraton es. Maka itu, lantas ia menjadi gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut kejadian tersebut. “Perempuan tak kenal mampus!” ia membentak. “Biar aku kirim kau pulang ke akherat, supaya bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!” Ia berkata begitu lantaran menduga pasti, Pengtjoan Thianlie mesti binasa waktu terjadi gempa bumi. Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi seperti orang kalap. Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah dahului dengan serangan yang membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo (Bikin terbalik sungai es), sinar pedangnya berkelebat-kelebat menyambar dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah terkesiap dan berkata dalam hatinya: “Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silatnya ini bocah sudah maju begitu jauh!” Buru-buru ia menyampok dengan sianthung-nya. Pada saat itu, serupa hawa yang luar biasa dinginnya mendadak menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan gerakan tongkatnya jadi agak terlambat. Tapi meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena tersampok juga dan ia rasakan tangannya sakit sekali. Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali lipat lebih tinggi dari Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah capai sekali, kedua lantaran ilmu silatnya Thian Oe memang sudah maju jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat bantuannya Yoe Peng, maka dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali tidak bisa berada di atas angin. Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng mempunyai ilmu silat yang paling tinggi, sedang Pengpok Hankong kiam juga merupakan senjata luar biasa yang meminta banyak tenaganya musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat hebat. Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang berlangsung dengan serunya. Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan seluruh perhatiannya guna melayani musuh, tidak mempunyai tempo buat memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh di antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian Oe dan Yoe Peng melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah berhasil menerjang masuk ke pasukan tengah dan sudah rampas itu tiga kuda putih, satu antaranya menggendol bungkusan besar yang ditutup sama sutera sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei, kepala delapan pengwal istana, kelihatan sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan satu teriakan geledek. Thian Oe terkejut dan menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga berisi guci emas. Di lain saat, ketiga Lhama jubah putih itu sudah duduk di punggung kuda, yang sembari berbenger keras, sudah lantas menerjang keluar. Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi ketinggalan jauh dan tiga kuda putih tersebut kelihatannya akan segera dapat menerjang keluar dari barisan Tjeng. Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang Tjiauwhoen Sippat tjiauw (Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan belas macam pukulan). Delapan belas pukulan itu, yang satu lebih cepat dari yang lain, terutama digunakan buat menikam jalanan darah musuh. Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta tenaga dalam. Baru saja ia keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok (Memburu roh menarik sukma), napasnya si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan sembari kebas tongkatnya, ia loncat minggir buat kasih Liong Leng Kiauw lewat. Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga dalamnya si pendeta berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya sendiri. Menurut taksirannya, sesudah jalankan habis itu delapan belas pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta dapat dipukul mundur. Maka itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu pedangnya di jalankan separoh, si pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli silat kelas berat dan tak gampang orang dapat kelabui padanya. Panca inderanya yang sangat tajam sudah dapat tangkap, bahwa sengal-sengalnya si pendeta adalah sengal-sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia berlagak kalah? Tapi ketika itu, ia tidak sempat buat berpikir banyak-banyak. Dengan gunakan ilmu entengi badan, bagaikan kilat ia molos dari antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama jubah putih itu. Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw Tjoen Loei. Selagi lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei berkata: “Biarkan mereka pergi.” Leng Kiauw yang sedang bergerak luar biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan tetapi, ketika menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari acungkan tongkatnya. Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. “Apa aku dengar salah?” tanya ia dalam hatinya. “Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari para pengawal istana dan tugas terutama dalam melindungi guci emas itu jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata ‘Biarkan mereka pergi’? Dan kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar terus?” Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap sudah dapat candak tiga kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan tiga batang Kioehoan Sekthung menyambar dengan berbareng. Dengan gerakan Tianghong kengthian (Bianglala membentang di langit), Liong Leng Kiauw menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas tersampok miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi Leng Kiauw rasakan tangannya tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli silat sembarangan dan lebih pula, sang musuh duduk di atas kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia dengar teriakannya Tjiauw Tjoen Loei. Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu menggape dengan paras muka kebingungan. Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak lambat. Dengan menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar kudanya yang lalu dikaburkan seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka sudah lewati mulut selat gunung yang seperti terompet. Pertahanan tentara disitu agak tipis, sehingga dengan tidak banyak sukar mereka dapat menerjang keluar. Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. “Ah, apakah mereka bukan gunakan siasat pancing macan keluar gunung?” tanya ia dalam hatinya. “Apakah bungkusan yang digendol kuda putih bukannya berisi guci emas?” Akan tetapi, walaupun hatinya berpikir begitu, ia masih sangat bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang sangat besar dan jika guci emas sampai kena dirampas, semua pembesar Tjeng yang berada di Tibet harus turut pikul kedosaannya. Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu yang sudah menerjang keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan. Melihat guci emas kena dirampas, beberapa ribu serdadu Gielimkoen lantas saja menjadi kalut. Seluruh barisan lantas saja dirobah, pasukan belakang jadi pasukan depan, sedang yang di depan mengambil kedudukan di sebelah belakang. Laksaan anak panah menyambar dengan berbareng dan ribuan kuda coba mengubar ketiga Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih yang ditunggangi oleh mereka adalah kuda-kuda pilihan dari istal keraton kaizar. Bagaikan kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas tanjakan dan tentara Gielimkoen ketinggalan jauh sekali. Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar siulan yang nyaring dan panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang pakai baju putih. Dengan sekali ayun tangannya, tiga kuda putih itu berjingkrak dan berbenger keras. Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya. Mendadak si pemuda ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar hitam merah menyambar, masing-masing mengenakan tepat tiga tongkat itu. Tiga Lhama rasakan tangannya sakit dan tongkat mereka hampir-hampir saja terlepas dari tangannya. Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: “Thiansan Sinbong! Thiansan Sinbong!” Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari tertawa: “Serahkan guci emas itu dan lantas berlalu dari sini!” Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-gampang menyerah. Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya dan menerjang. Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: “Kau orang benar-benar kepengen dihajar, baru mau mengerti?” Ia ayun tangan kanannya dan tiga sinar hitam merah kembali menyambar. Tiga Lhama itu coba menyampok dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir pada saat itu juga, tiga tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan robohnya ketiga Lhama itu. Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si pemuda itu adalah murid dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa kepandaiannya pemuda tersebut ada lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri dan sudah cukup buat melayani tiga Lhama tersebut, sehingga hatinya jadi merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju menghampiri, dari lereng gunung mendadakan muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan warna hitam dan bersenjata tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah murid-muridnya si pendeta berkelana. Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan dikerubuti oleh lima ahli silat kelas satu yang bekerja sama secara erat sekali, tak gampang ia bisa buru-buru loloskan diri. Dilihat dari cara berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau “ikat” Liong Leng Kiauw di luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan tengah. Dengan begitu, hatinya Liong Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia dengar bentakannya si pemuda baju putih dan tiga ekor kuda putih itu sudah balik ke barisan Tjeng. Sejumlah serdadu lantas menyambut dan bungkusan yang digendol oleh salah satu kuda, masih tetap berada di atas punggungnya kuda itu. Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si pemuda dengan tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata sembari tertawa: “Lekas pulang ke Tjenghay. Kau orang semua sudah kena Sinbong. Dengan mengasoh empat puluh sembilan hari, mungkin kau orang akan sembuh kembali. Yang paling penting adalah jiwamu sendiri, buat apa kau orang terus ubar-ubar aku.” Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja, dengan andalkan ilmu Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya senjata rahasia itu tidak akan dapat celakakan dirinya dan sesudah pekerjaannya selesai, mereka masih dapat mencabutnya. Itulah sebabnya, mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju putih. Mereka cuma kuatir, kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan adanya kekuatiran tersebut, mereka jadi lebih ingin bertempur pula buat paksa si pemuda keluarkan obat pemunah. Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo sekejap, ia sudah masuk ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi kepung Liong Leng Kiauw dengan lantas berpencaran. Selagi Liong Leng Kiauw mau menghaturkan terima kasih, mendadak ia dengar teriakannya Boe-sie Hengtee: “Keng Thian-heng, sungguh kebetulan kau juga datang disini! Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas. Lekas rampas guci itu!” Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu silatnya si pemuda itu lebih hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia sampai turun tangan, siapakah yang dapat mencegahnya? “Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee,” kata si pemuda itu sembari tertawa. “Aku sekarang ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku mohon kalian bubar saja dan biarkan guci emas itu tiba di Lhasa!” Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi Utara jadi terkesiap. “Apa?” berteriak Bek Eng Beng. “Kau mau bantu kerajaan Tjeng melindungi guci emas itu?” “Benar!” jawabnya dengan tenang. “Aku datang buat melindungi guci emas itu.” “Tong Sieheng!” berseru Boe sie Hengtee. “Dengan membantu kerajaan Tjeng, apakah kau masih ada muka buat menemui ayahmu?” “Inilah justru kemauan ayahku sendiri,” jawab si pemuda sembari tertawa. “Boe Lootoa, sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu. Sebentar kita bertemu, di gunung depan, supaya aku dapat memberi penjelasan terlebih lanjut.” “Aku tak percaya!” membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras. Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main dan mereka mulai saling menyatakan pikirannya. “Oh, kalau begitu ia adalah puteranya Tayhiap Tong Siauw Lan?” kata yang satu. “Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku garuda kerajaan Tjeng? Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan namanya Tong Tayhiap?” tanya seorang lain. “Ah,” kata orang ketiga. “Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar panggilannya Boe-sie Hengtee, pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm! Anak poethauw (tidak berbakti)!” Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat sementara waktu. Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan, tjiangboen (pemimpin) dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong Keng Thian. Dengan keluarga Boe, Tong Siauw Lan mempunyai hubungan yang sangat rapat, dan ketika masih kecil Boe-sie Hengtee pernah naik ke Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh karena itu, mereka jadi kenal Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke dalam kalangan Kangouw, maka banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum tahu asal-usulnya. Mereka ingat, dahulu Tong Siauw Lan bersama-sama Kam Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-lain pendekar sudah musuhi kerajaan Tjeng secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan yang menggemparkan seluruh negeri. Salah satu antara tiga pendekar wanita yang menyatroni keraton kaizar dan kemudian bunuh mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri Tong Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya kaizar, ayah ibunya masih berani kutungkan, mana bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera melindungi guci emas dari kerajaan Tjeng? Dengan adanya pendapat begitu, semua orang gagah sukar percaya keterangannya Keng Thian dan mereka mengawasi pemuda itu dengan sorot mata gusar. Keadaan yang sunyi senyap menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal tunggu turunnya hujan lebat. Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja terdengar teriakan kaget dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang berkumpul di bawah bendera kuning jadi kalang kabut. Seluruh pasukan tengah lantas saja menjadi kalut. Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan puteranya Tong Siauw Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta keledai. Dari dalam kereta lantas menyambar dua martil besi, yang dengan gampang dibikin terpental sama satu sampokan tongkat. Dengan sekali kasih masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta tarik keluar dan terus lemparkan dua perwira yang menjaga dalam kereta itu! Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan gerakan Leehie tahteng (Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan terus menubruk ke dalam kereta, tapi si pendeta sudah keburu loncat keluar dan kabur ke jurusan barat. Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw Tjoen Loei dan lain-lain perwira mengetahui kejadian itu, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia putar tongkat bambunya dan semua serdadu Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya, begitu kebentur tongkat, begitu rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak terdapat lawanan yang mempunyai ilmu silat berarti, maka ia kelihatannya akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng. Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya dan terus mengubar. Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana sebenarnya adalah kereta yang paling jelek kelihatannya, seperti juga kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan pada robek, tapi keledainya pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru terdapat dalam kereta tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu siasat buat kelabui orang. Itu sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei kelihatan bingung dan ubar tiga Lhama jubah putih yang merampas tiga kuda putih itu, dalam hatinya ia merasa girang dan ingin supaya mereka buru-buru pergi supaya lawanan berat jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta India jubah hitam, yaitu murid-muridnya si pendeta berkelana, bertujuan memecah perhatian orang, supaya sang guru dapat menyerbu kereta itu dan rampas guci emas yang lagi diincar. Pendeta berkelana itu bukannya pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja Kalimpong, India. Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet dan dari sebab begitu, ia mengirim orang-orangnya buat coba rampas guci emas kiriman kaizar Tjeng. Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu, mengetahui rahasia tersebut. Maka itulah, begitu lihat si pendeta serbu kereta keledai, ia jadi terkejut dan cabut pedangnya buat mengubar. Di lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut memburu bagaikan terbang. Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya berhasil, lima murid itu lantas saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw. Walaupun ilmu silat mereka masih kalah jauh sekali jika dibanding dengan Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena adanya kerja sama dalam menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang seperti berantai dengan kepala dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka buat sementara waktu, Leng Kiauw dan Keng Thian kena juga “diikat” oleh mereka. Selagi Keng Thian mau turunkan tangan membinasakan, tiga Lhama jubah putih tiba-tiba datang menyerbu, sehingga mereka berdua jadi dikerubuti delapan orang. Dengan demikian, mereka jadi lebih sukar menoblos dan pada ketika itu, si pendeta berkelana sudah berada di luar barisan pasukan Tjeng. “Apa kau orang sudah bosan hidup!” membentak Keng Thian. “Kau bertiga sudah kena Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan darah. Jika kau orang pulang dan mengasoh sambil kerahkan pernapasan, mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau orang masih mau bertempur terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat apapun juga, jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!” Tapi tiga Lhama itu, yang sangat andalkan lweekang-nya yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng Thian dan terus menyerang dengan sengit. Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan sedang mendaki tanjakan dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di lereng gunung dan kalau ia sudah berada disitu, biarpun bisa terlepas dari “ikatannya” itu delapan musuh, Keng Thian dan Leng Kiauw tidak bakal dapat menyandak lagi. Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si pendeta berkelana, dari lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta India. Ternyata dalam rencana merebut guci emas, ia sudah bikin persiapan yang sangat rapi dengan membawa sepuluh orang muridnya, yang dibagi jadi dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam barisan Tjeng, sedang lima murid lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut. Sepuluh murid itu sebenarnya disiapkan buat cegat delapan pengawal istana atau cegat musuh-musuh yang menjaga di bagian belakang. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, delapan pengawal istana telah dibikin repot oleh rombongannya Bek Eng Beng, sehingga pertahanan di bagian belakang jadi kosong sama sekali. Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng gunung, lima pendeta India yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas mulai mundur, tapi tiga Lhama jubah putih masih saja menyerang secara hebat. “Hei!” berseru Keng Thian. “Coba kau bertiga rasakan, ada apa di jalanan darah Thiansoan hiat, di bawah tulang dada.” Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu, mereka merasa baal dan gatal, seperti juga ada binatang semut sedang berjalan, dan semakin lama perasaan itu jadi semakin hebat. Tiga orang itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera mengetahui, bahwa senjata rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan mengikuti jalanan darah. Bukan main kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi lambat. Pada saat itu, lima pendeta India sedang berusaha buat kabur, tapi belum dapat kesempatannya. Mendadak dengan satu bentakan keras, Tong Keng Thian menyabet dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang bagai bianglala “Rasakan tiamhoat-ku. Roboh!” Keng Thian berseru. Dengan satu getaran tangan, pedangnya totok jalanan darah lima pendeta itu yang hampir berbareng roboh di atas tanah! Tiga Lhama jubah putih terkesiap dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng Kiauw dan Tong Keng Thian lantas loncat melewati dirinya. Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung. Tingginya gunung Tantat san ada ribuan kaki dan buat mendaki setengah gunung, orang biasa harus gunakan tempo setengah hari. Leng Kiauw dan Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga biarpun mereka mempunyai ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan dapat menyandak pendeta itu. Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak dapat berbuat suatu apa, sedang orang-orang gagah dari Utara barat pun hanya dapat mengawasi dengan perasaan gusar. Berhubung dengan terampasnya guci emas, pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya. Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung yang sunyi senyap terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu serdadu Tjeng dan seratus lebih orang gagah jadi terkejut dan menduga-duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan itu. Tapi orang yang paling kaget adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu adalah lagu yang ia pernah dengar ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali. Tanpa merasa, ia hentikan tindakannya dan dongak mengawasi ke atas. Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul bayangannya seorang wanita, yang memakai jubah biru laut dengan ikatan pinggang sutera merah. Dengan sekelebatan saja ia sudah kenali, bahwa wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak dapat lupakan – Pengtjoan Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan biarpun disitu terdapat ribuan manusia dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya, sehingga andaikata jatuh sebatang jarum, suaranya akan dapat didengar. Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan. Orang-orang yang berada di bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang terbang turun dengan mengikuti alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di lereng gunung dan berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya. Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. “Serahkan guci emas itu dan pergi dari sini!” berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Suaranya lemah lembut, tapi tak mengenal kompromi, sedang sikapnya seakan-akan seorang ratu yang sedang mengeluarkan perintah. Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam batang tongkat bambu lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie, ia mengetahui sedang berhadapan sama musuh yang luar biasa tangguhnya. Maka itu, dengan mengebas tangan, ia beri tanda supaya lima muridnya turun tangan dengan berbareng. Mereka menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo (Jaring langit besar), yaitu suatu ilmu yang paling -istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok. Dengan sambaran enam tongkat itu, biarpun seorang mempunyai tiga kepala enam tangan juga masih sukar menjaganya. Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana, begitu berhadapan, enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang sedemikian kejam. Mendadak, badannya Pengtjoan Thianlie kelihatan berkelebat dan jerijinya mementil. Hampir berbareng terdengar jeritan kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke bawah gunung seperti layangan putus! Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar dan melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang tiada keduanya dalam dunia. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie berlipat-lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu, biarpun sama-sama Pengpok Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan oleh Yoe Peng, paling banyak muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan masih dapat pertahankan diri. Tapi dengan dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie, Sintan itu masuk ke dalam jalanan darah dan sang darah lantas membeku, sehingga tidaklah heran jika lima pendeta itu lantas roboh terguling ke dalam jurang. Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin luar biasa yang meresap ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai ilmu Yoga yang sangat tinggi, ia masih dapat pertahankan diri dan menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan Thianlie buka ikatan pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang memain di tengah udara. Di lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan biarpun ia gunakan Seantero tenaga dalam, ia tidak berhasil lepaskan tongkatnya dari gulungan itu. Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil betot terlepas tongkatnya si pendeta. Sembari keluarkan seruan “ih!” ia lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan. Si pendeta yang tongkatnya masih tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru itu mengenai tepat pada jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di belakang otak. Seketika itu juga, ia bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan khiekang (tenaga napas), tapi tidak dapat segera pulihkan kekuatannya. “Masih belum mau menyerah?” membentak Pengtjoan Thianlie sembari cabut pedangnya. Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa dingin seperti juga tutup seluruh badannya si pendeta. Ketika itu, dari dalam jurang sayup-sayup terdengar suara jeritan lima muridnya si pendeta yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka berat Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya ke dalam kantong. Di lain saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas bertahta batu-batu permata yang pancarkan sinar gilang gemilang ke empat penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci emas itu dan kemudian gentak ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta. Ia miringkan sedikit badannya buat memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur secepat mungkin. Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan sebelah tangan memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke bawah. Hosek Tjin-ong, raja muda yang pimpin barisan Tjeng segera memberi perintah supaya pasukan belakang jadi pasukan depan, yang kemudian dipecah jadi dua sayap buat kurung Pengtjoan Thianlie guna ditanya maksud kedatangannya dan buat rampas pulang guci emas itu. Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si pendeta jubah merah. Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang sehebat mungkin dengan pusatkan seluruh perhatiannya kepada musuh. Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun sudah terjadi banyak perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus cecar si pendeta jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang yang pertama menyerbu dan sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian Oe dan Yoe Peng yang serang padanya dengan mata merah. Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan mendadak berhenti dan keadaan jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi oleh karena munculnya Pengtjoan Thianlie. Yoe Peng melirik dan kegirangannya meluap-luap. “Thian Oe! Lihat siapa yang datang!” ia berteriak seperti orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga turut menengok dan begitu lihat siapa yang muncul, semangatnya terbang. “Pengtjoan Thianlie!” berseru Thian Oe sembari menikam dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku). Oleh karena hatinya sedang gemetar dan tidak nyana bakal diserang secara begitu, si pendeta jubah merah tidak keburu berkelit atau menangkis dan tak ampun lagi, pedangnya Thian Oe bersarang di dadanya! “Suruh kau nyingkir, kau tak mau nyingkir, sekarang sudah terlambat,” berkata Yoe Peng sembari menikam dengan pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan keras, ia roboh dan badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah balaskan sakit hati gurunya. Sesudah itu, sembari tuntun tangannya Yoe Peng, Thian Oe berlari-lari menghampiri Pengtjoan Thianlie. Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng Thian mendekati dan berbisik: “Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang sambut padanya. Aku rasa ia tidak mempunyai niatan kurang baik.” Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang sudah curi rencana menyambut guci emas. Di satu pihak, ia tidak percaya kalau Pengtjoan Thianlie mau membantu pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa heran, kenapa sesudah dapat rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan Thianlie malahan datang menghampiri. Ketika itu, delapan pengawal istana sudah loncat keluar dari barisan dan maju mengurung dari kiri dan kanan. Mendadak, Boe-sie Hengtee juga loncat keluar dari dalam barisan dan seperti angin puyuh mereka mendahului delapan pengawal istana. Di belakang mereka ikut belasan orang gagah dari Utara barat. Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan sendiri, sembari pegang gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat dan berkata: “Terima kasih banyak buat bantuan Liehiap (pendekar wanita). Harap serahkan guci emas itu kepadaku. Sekarang pekerjaankita sudah selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama rombongan kita.” Dengan berkata begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang baik sekali. Melihat delapan pengawal istana sudah bersiap buat mengepung, mereka berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang dapat loloskan diri, lantaran tangannya memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan perebutan. Maka itu, mereka minta si jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya kawan-kawannya dapat melindungi ia mengundurkan diri. Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya dan menanya: “Siapa kau?” Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie Hengtee jadi bingung sekali dan menyahut dengan pendek: “Kami adalah kawan-kawan yang mau rebut guci itu. Segala omongan yang tidak perlu bisa ditunda sampai sebentar.” Sehabis berkata begitu, mereka angsurkan tangan buat sambuti guci emas itu. “Kau orang mau minggir atau tidak?” kata Pengtjoan Thianlie sembari mementil dengan jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua saudara Boe lantas saja rasakan hawa dingin yang meresap sampai ke tulang dan roboh seketika itu juga. Kawan-kawannya jadi terkejut dan memburu. Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan lima enam orang lantas turut terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada loncat minggir, sedang Pengtjoan Thianlie terus bertindak maju. Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng jadi bukan main girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa Pengtjoan Thianlie berdiri di pihaknya. Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya dan memberi hormat sembari peluk senjatanya. “Liehiap benarbenar mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah membantu kerajaan dalam merebut pulang guci emas itu,” katanya dengan sikap hormat. “Pahala itu bukannya kecil dan dengan jalan ini, aku Tjiauw Tjoen Loei memberi hormat. Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawal-pengawal istana dan mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku.” Ia lantas angsurkan tangannya buat ambil guci tersebut. Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan alisnya dan berkata dengan suara tawar: “Aku tak perduli tongleng atau bukan tongleng. Aku tidak mempunyai tempo buat saling menghormat denganmu!” Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei bergidik dan lantas jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap, beberapa antaranya buru-buru menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem tawar, Pengtjoan Thianlie mementil beberapa kali dan beberapa pengawal istana lantas roboh kejengkang. Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka tidak menduga, bahwa wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Mereka berdiri bengong dan tidak berani bergerak buat melepaskan anak panah atau angkat senjata. Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian menghampiri dan berkata sembari rangkap kedua tangannya: “Bek Tayhiap, hari ini biar bagaimanapun juga kita tidak boleh rampas guci emas itu. Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya semua saudarasaudara lantas undurkan diri.” “Hm!” menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. “Aku tak nyana kau sekarang jadi kaki tangan kerajaan Tjeng.” Ia angkat tangannya buat menghantam Keng Thian, yang buruburu gunakan tiga jerijinya buat tekan kepalannya Bek Eng Beng dan berkata dengan suara perlahan: “Antara dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih enteng. Lebih baik kerajaan Tjeng yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci emas itu benar-benar tidak boleh diganggu.” Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di seluruh badannya. “Tapi, Boesie Hengtee sudah kena senjata rahasianya perempuan itu. Sakit hati ini bagaimana boleh tidak dibalas?” kata ia. “Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka,” kata Tong Keng Thian. “Lekas mundur! Lekas mundur!” Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam usaha merampas guci emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan bangsa Boan untuk berkuasa di Tibet. Tapi tidak dinyana, urusan itu mempunyai latar belakang yang sedemikian ruwet. Nepal dan Kalimpong juga ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba merampas guci tersebut. Dilihat dari sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet dikuasai oleh bangsa Boan daripada bangsa lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia lantas saja berkata: “Baiklah, aku setujui pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan.” Dengan sekali memberi tanda, orang-orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada mundur ke gunung depan sambil mendukung Boe-sie Hengtee. Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng Kiauw juga lagi bujuk Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen dan biarkan Pengtjoan Thianlie masuk ke dalam barisan. Melihat liehaynya wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas berada dalam tangannya, sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi kalau guci itu sampai menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka, sesudah memikir beberapa saat, ia segera menyetujui perkataannya Liong Leng Kiauw dan memberi perintah supaya semua serdadu jangan bergerak. Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat sayap depannya pasukan Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan buat Pengtjoan Thianlie. “Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut seorang Paduka Puteri,” kata Thian Oe sembari tertawa. “Ia toh memang seorang puteri,” sahut Yoe Peng. “Ah, ia kelihatannya sedang cari orang.” Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie masuk ke dalam barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan kedua matanya yang angker, ia menyapu segala orang yang berada disitu. Mendadak ia hentikan tindakannya dan mengawasi satu orang yang berdiri disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya Yoe Peng: “Ah, kalau begitu ia sedang cari dia!” “Siapa?” tanya Yoe Peng. “Pemuda baju putih,” sahut Thian Oe. Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda baju putih. Ia sebenarnya mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan oleh suasana yang tegang dan sunyi senyap. “Hm! Kau juga berada disini?” kata Peijgtjoan Thianlie sembari mesem. “Jah, kau pun sudah turun gunung,” jawab Keng Thian. Dua pasang mata kebentrok dan paras mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu. “Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima kasih,” kata Keng Thian sambil tertawa. “Sungguh beruntung, guci emas sudah dapat direbut pulang. Buat bantuanmu di ini hari, bukan saja aku, tapi semua pembesar di Tibet juga ingin haturkan banyak terima kasih.” Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap acuh tak acuh: “Ada hubungan apa guci emas ini dengan diriku? Aku juga merampas ini bukan untuk mereka. Siapa mau mereka haturkan terima kasih. Berapa harganya guci ini, sehingga dijadikan barang rebutan oleh semua orang? Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa bulan berselang, kau pernah bantu menyusun beberapa toeilian untuk keraton es. Mengetahui bahwa kau juga sangat inginkan guci emas ini, maka aku mau serahkan kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari sekarang, kedua belah pihak tidak berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewel-rewel lagi.” Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan kepadanya. “Eh,” ia kata. “Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu pedang di kakinya Puncak Es, belum dipenuhi!” Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. “Kau masih mau bertanding?” tanya ia. “Baiklah, malam ini jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini.” Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di antara orang banyak. Pertemuan yang tidak diduga-duga membikin ia agak kaget dan lalu gapekan tangannya buat memanggil mereka. “Kenapa kau berada disini?” ia tanya Yoe Peng. “Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak Es mendadak roboh dan gunung berapi meledak,” menerangkan Yoe Peng. “Terhalang dengan lahar panas, aku jadi tidak bisa pulang dan belakangan datang kesini.” “Dan kau?” tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe. Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut dengan suara gugup: “Aku sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja lantaran terjadinya gempa bumi, aku terpaksa lari keluar juga. Kalau kau mau menghukum, boleh hukum sekarang. Kejadian yang lain-lainnya semuanya diketahui oleh dayangmu.” “Baiklah,” kata Pengtjoan Thianlie. “Buat bicara sebenar-benarnya, aku kuatir kau tidak dapat loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku, sebenarnya harus dipenjarakan seumur hidup. Akan tetapi, sesudah lewati bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu kali. Semua kedosaanmu yang sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka buat pergi kemana juga.” Ia berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: “Kau sekarang boleh ikut aku pulang ke gunung.” Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari turun gunung, ia telah dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu Thian Oe yang merupakan sahabat baik sekali. Hatinya merasa sangat berat buat segera berpisahan, akan tetapi, ia tentu saja tidak berani membantah perintah majikannya, sehingga ia lantas saja menyanggupi sembari tundukkan kepalanya. Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa dan lantas tuntun tangannya Yoe Peng buat diajak pergi. “Tahan!” kata Tong Keng Thian. “Apa?” menegasi Pengtjoan Thianlie. “Kau terlalu tidak sabar dan mau bertempur disini?” “Bukan,” sahut Keng Thian sembari tertawa. “Pengpok Sintan-mu terlalu hebat!” Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: “Kalau kau takut, aku berjanji tidak akan gunakan Sintan.” “Kau salah tangkap maksudku,” kata Keng Thian. “Pengpok Sintan telah lukakan banyak sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati mereka.” “Oh begitu? Baiklah, ambil obat ini,” kata si jelita sembari angsurkan sebungkus obat, yang diterima oleh Keng Thian sambil menghaturkan banyak terima kasih. “Manusia dalam dunia memang banyak rewel,” menggerendeng Pengtjoan Thianlie seorang diri. “Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini,” kata Keng Thian sembari tertawa. Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan sikap kemalu-maluan ia berlalu sembari menuntun Yoe Peng. Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang lantas berlutut di hadapan Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua tangannya di atasan kepala dan mulutnya keluarkan suara ratapan. Hosek Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw: “Apa perlu kita bekuk itu beberapa penjahat?” “Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan Thianlie,” berbisik Leng Kiauw. “Kalau bertindak salah, bisa terjadi perobahan yang kurang enak.” Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci emas itu, hatinya sudah merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat itu. “Apa wanita itu dipanggil Pengtjoan Thianlie? Namanya luar biasa betul,” ia akhirnya kata sembari tertawa. Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma dapat dimengerti oleh Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng. Mereka itu memohon supaya sang puteri suka pulang ke negerinya. “Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah,” sahut sang puteri dengan suara tawar. “Pergi pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-baik saja mengurus negara.” Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi. “Mana Koksoe-mu?” tanya Pengtjoan Thianlie. “Ia sudah binasa,” jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe. “Aku yang bunuh ia,” Yoe Peng menyelak. “Dia memang suka cari urusan,” kata Pengtjoan Thianlie. “Buat apa rebut-rebut guci emas? Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri saja sudah cukup meminta tenaga dan pikiran, buat apa mengaduk di Tibet? Koksoe-nya binasa memang ada baiknya, supaya ia dapat sedikit pelajaran.” Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong Keng Thian bergirang. Leng Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie yang ilmu silatnya begitu tinggi, adalah seorang puteri dari negara Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab, biarpun si jelita sudah mengatakan tidak mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah membantu usahanya. Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam boesoe Nepal itu, seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas buru-buru undurkan diri dengan sikap hormat sekali, akan kemudian kabur secepat mungkin. Atas perintah panglimanya, pasukan Tjeng membuka satu jalan untuk mereka. “Hayolah kita berangkat!” kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok kepada dayangnya dan mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan tentara Gielimkoen tahan napasnya, mata mereka mengawasi bayangannya kedua wanita cantik itu dengan perasaan agak menyesal, bahwa mereka berdua sudah berlalu sedemikian cepat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan. Seperti kehilangan semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang puteri bersama dayangnya yang sedang berjalan keluar dari selat gunung. Mendadak Yoe Peng menengok sembari tertawa dan kedua matanya yang bagus kebentrok dengan matanya Thian Oe. Si anak muda goncang hatinya, tapi saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh dan yang sudah tarik seluruh perhatiannya. Chena yang pendiam adalah ibarat lembah gunung yang sunyi senyap, sedang Yoe Peng yang nakal dan lincah adalah seakan-akan bunga mawar di musim panas. Hatinya Thian Oe jadi merasa sangat terharu, ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar Chena masih hidup dalam dunia ini. Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah berada di lereng gunung dan kemudian mereka menghilang di antara pohon-pohon yang rindang. Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang telah jadi sedikit kacau akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong Keng Thian dengan niat mengambil pulang guci emas itu dari tangannya si pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele, lantaran Keng Thian cuma manggutkan sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik serahkan guci emas itu kepada Liong Leng Kiauw. “Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi,” katanya sembari tertawa. Leng Kiauw sambuti barang berharga itu, yang kemudian lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong. “Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama yang mulia?” tanya Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. “Kali ini Hiapsoe sudah membuat pahala yang sangat besar dan Siauw-ong (raja muda, bahasakan dirinya sendiri) akan melaporkan kepada Hongsiang (kaizar) yang tentu akan memberi hadiah sepantasnya.” “Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan hidup merdeka dan tidak inginkan nama maupun harta,” jawab Keng Thian dengan suara tawar. “Jika ada hadiah apa-apa, tolong bagikan saja hadiah itu kepada para serdadu yang bantu mengawal guci emas itu.” Ia keluarkan beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan kepada Liong Leng Kiauw seraya berkata; “Inilah obat buat orang-orang yang kena Pengpok Sintan. Telan saja dengan air matang dan orang itu akan segera sembuh. Liong-heng, aku mau berangkat lebih dahulu, biarlah kita bertemu pula di lain kali.” Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya, tapi sedemikian hangat terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong jadi merasa sangat tidak senang. Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak berseru: “Tong-heng, tunggu dahulu!” “Ada apa?” tanya Keng Thian sembari berbalik. Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya lima tjoen pesegi dan angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata: “Harap Tong-heng suka ambil barang ini.” Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia berkata dengan suara kaku: “Apakah aku membayar pulang guci emas dengan mengharap hadiah?” “Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri,” sahut Leng Kiauw sembari tertawa. “Ini adalah barang lama milik keluargamu, yang secara kebetulan sudah jatuh ke dalam tanganku. Puluhan tahun aku tolong simpan dan sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa sangsi, tanyalah ayahmu.” Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. “Didengar dari omongannya, barang ini bukanlah barang biasa,” kata ia dalam hatinya. “Ilmu silatnya ayahku, dalam jaman ini sukar dicari tandingannya. Apakah mungkin, barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain orang? Ilmu silatnya Liong Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-geriknya aneh sekali. Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di bawah perintahnya Hok Kong An dengan satu pangkat yang tidak besar dan tidak kecil? Apakah tidak bisa jadi ia ada seorang yang mempunyai asal-usul besar?” Dengan hati yang penuh pertanyaan, akhirnya Keng Thian mengambil putusan buat terima kotak batu pualam itu.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |