《《--Hok Kong An / 福康安 Fu'kangan -real historical figure, a Qing Court general during Qianlong reign. Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang cekal satu orang sembari membentak: “Dia!” Tak salah lagi orang itu adalah si pencopet, sebab sarung pedang kelihatan nongol di bawah jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot badannya buat rebut pulang pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan sekali goyang badannya, ia sudah terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian kabur dengan menyelesap di antara orang banyak. Thian Oe ternganga sambil pegangi jubahnya si copet, yang tenyata sudah akali ia dengan tipu “Tonggeret lepaskan kulit.” Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya dan hendak membekuk dengan cekalan Kinna hoat, si copet loloskan tangannya dari tangan jubah dan kabur dengan tinggalkan jubahnya. Sembari berteriak “tangkap!”, Thian Oe loncat memburu. Meskipun ilmu entengi badannya sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit lagi dan dalam tempo sekejap, ia sudah kabur keluar dari antara orang banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan beberapa orang yang jadi terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si copet sudah loncat ke atas sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di tempat tersebut dan orang banyak mengambil sikap acuh tak acuh, malahan beberapa antaranya yang kena dibikin terpelanting jadi berbalik maki Thian Oe yang dikatakan ceroboh. Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong kiam dan mulutnya memuji tak hentinya: “Pedang bagus! Sungguh bagus!” Dengan gusar, Yoe Peng dan Thian Oe loncat ke atas tenda itu, tapi si copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke lain tenda dan dengan beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak di belakangnya tenda-tenda. Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak berada di sebelah bawahnya! Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu bukit, di atas mana berdiri keraton Potala. Si copet lari dengan mendaki tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah selatan barat dan bukannya ke jurusan Potala. Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka tetap ketinggalan di belakang dalam jarak beberapa tombak. “Orang ini mungkin bukan copet sewajar,” kata Thian Oe. “Tak perduli,” kata Yoe Peng. “Dia sudah curi pedangku, aku mesti merebut pulang.” Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan akhirnya masuk ke satu daerah pegunungan yang sangat sepi. “Sahabat!” Thian Oe berteriak. “Sudahlah, jangan main-main!” Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok Hankong kiam yang sinarnya menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa lama, si copet mendadak berhenti di depannya satu rumah, yang mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu agak luar biasa, bukan pasegi tapi bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung tembok. Si copet mendadak lompati tembok dan masuk ke dalam. “Ha! Inilah sarangnya!” berseru Yoe Peng sembari enjot badannya. Thian Oe mau mencegah, tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas turut loncat. Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata. Di ruangan tengah terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga ruangan itu jadi terang seperti siang. Di tengah ruangan duduk seorang pembesar militer Boan dan si copet menyerahkan Pengpok Hankong kiam kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan berkata: “Benar! Benar pedang ini! Apa wanita itu datang bersama-sama?” Sebagaimana diketahui, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan sinar dingin yang luar biasa dan dapat membikin pingsan orang yang belum mempunyai cukup tenaga dalam. Tapi pembesar itu, yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan bulang-balingkan beberapa lama, seperti juga tidak merasakan suatu apa. Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: “Pulangkan pedangku!” Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: “Apa pedang ini milikmu? Ah, tak benar!” “Kenapa tak benar?” tanya Yoe Peng. Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: “Coba kau jalan dua tindak.” Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari ayun tangannya buat melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu menyambar ke arah si pembesar dan yang satunya lagi ke jurusan si copet. Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan kilat, tangannya sudah menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan Tjianpie Djie Lay (Djie Lay Hud dengan seribu tangan), ia sudah sambuti kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia pencet dan kedua Pengpok Sintan lantas meledak dalam telapakan tangannya! Gelombang demi gelombang, hawa yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya. “Sekarang kau tahu keliehayanku!” kata Yoe Peng sembari tertawa. “Hayo, pulangkan pedangku!” Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya Pengpok Sintan sudah menusuk sampai ke tulang-tulang, apa lagi jika peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng merasa pasti, pembesar itu tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera memohon ampun. Tapi tak dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan seperti juga tidak terjadi apa-apa, ia susut kedua tangannya yang penuh air es di bajunya. “Ah!” kata ia. “Baik juga ketemu aku. Kalau lain orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit keras.” Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara demikian, kepandaiannya orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah bawahnya si pemuda baju putih. Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan kirinya dan membuat setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan kemudian loncat menerjang. Itulah satu pukulan yang sangat liehay dari Tatmo Tjianghoat. “Ah! Ini jadi semakin tak benar!” kata si pembesar sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng. Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam kebingungannya tanpa memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut pedang. “Sungguh indah!” berseru pembesar itu. “Di antara tingkatan muda, kepandaian seperti ini sungguh jarang terdapat!” Selagi mulutnya bicara, tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian Oe rasakan jari-jarinya terbuka dan pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu, sedang lengannya pun kena tercekal! Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal lengannya Yoe Peng dan Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat berteriak, mereka sudah jatuh duduk di atas kursi, tanpa mendapat luka sedikit pun! Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut ternganga. Mereka hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang yang mempunyai kepandaian begitu tinggi. Pembesar itu mesem dan berkata: “Tak susah buat dapat pulang kedua pedang ini. Aku cuma mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya kalian?” “Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya,” sahut Thian Oe. Orang itu keluarkan satu seruan kaget dan berkata: “Ah, kalau begitu kau adalah Tan Kongtjoe. Maaf buat perbuatanku yang barusan.” Ia lalu berpaling kepada Yoe Peng dan menanya: “Dan kau?” Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. “Kekeliruanku yang tadi sudah terjadi lantaran adanya salah mengerti,” kata si pembesar dengan suara halus. “Aku menduga, kau adalah seorang wanita lain, tapi siapa nyana, biarpun pedangmu mirip dengan pedangnya, ilmu silatmu masih kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa barusan aku bilang, tak benar.” Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng loncat bangun dengan berbareng. “Wanita siapa yang kau ketemu?” tanya Yoe Peng. “Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?” ia balas menanya. “Aku adalah dayangnya,” jawab Yoe Peng. Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: “Nah, kalau begitu barulah benar. Siapakah adanya majikanmu?” Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng jadi sangsi. “Aku she Liong, namaku Leng Kiauw,” ia perkenalkan dirinya sembari mesem. “Banyak sahabat bilang namaku sukar diingat, dan oleh karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada panggil aku Liong Sam. Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang rendah?” Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa pembesar yang kelihatannya begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor satu di bawah perintahnya Hok Kong An — Liong Sam Sianseng yang kesohor namanya! Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya panglima besar tersebut terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan mukanya. Orang itu dikenal sebagai Liong Sam Sianseng. Pangkatnya kecil saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam penulis), tapi pengaruhnya sangat besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok Tayswee. Banyak sekali usaha yang berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya. Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur bagaimana tingginya. Tugas Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan main beratnya, akan tetapi, selama beberapa tahun, ia selalu dapat lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut katanya orang, sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong Sam tidak banyak dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar penting di bawahnya Hok Kong An. Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe bicara mengenai dirinya Liong Sam, mereka selalu merasa sangsi, apakah benar orang itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Mereka anggap, manakala benar ia mempunyai kepandaian seperti yang diagulkan orang, Liong Sam tentu tak akan sudi bekerja sebagai satu Tjamtjan di bawahnya Hok Tayswee. Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah utarakan perasaan kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa Liong Sam adalah seperti satu naga malaikat, yang kelihatan kepalanya, tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu, Thian Oe pernah tanyakan asal-usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara dan cuma gelenggelengkan kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun gunung, ia mau bawa Thian Oe pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma sungguh menyesal, sebelum niatan itu terwujut, Thiekoay sian sudah tinggalkan dunia ini buat selamalamanya. Dan sekarang, secara kebetulan sekali, dengan matanya sendiri, Thian Oe dapat saksikan kepandaiannya Liong Leng Kiauw. “Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan namanya majikanmu?” tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga belum menyahut. Ia hanya mengawasi dengan perasaan bimbang. “Lagi kapan kau bertemu ia?” tanya Thian Oe. “Apa kau kenal majikannya?” Liong Sam balas menanya. “Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!” jawabnya. Liong Sam kelihatan terkejut. “Hm!” ia menggerendeng. “Aku kira Pengtjoan Thianlie cuma cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!” “Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?” tanya Yoe Peng. “Tiga hari yang lalu, di waktu malam,” sahutnya. “Bagaimana bertemunya?” tanya lagi Yoe Peng. “Ia datang disini dan ambil serupa barang,” menerangkan Liong Sam.“Ia ambil barangmu?” tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin, lantaran ia sama sekali tak percaya. Puterinya mau mengambil barang lain orang. “Barang apa?” tanya Thian Oe. “Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya,” sahut Liong Sam secara menyimpang. “Cuma sayang, aku tak dapat tahan padanya.” Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya Liong Sam dan curi satu rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut guci emas yang di kirim dari Pakkhia. Rencana itu telah disusun oleh Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai ilmu entengi badan yang luar biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar terang serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah beberapa gebrakan, ia masih belum dapat jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan malam, ia tak dapat lihat tegas mukanya wanita tersebut yang mendadak tertawa bergelak-gelak dan berkata: “Cuma sebegini ilmunya Naga Malaikat!” Sehabis berkata begitu, ia menyerang dengan serangan aneh, sehingga Liong Sam terpaksa loncat mundur, dan dengan gunakan kesempatan itu, ia enjot badannya dan menghilang di tempat gelap. Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak pengalamannya jadi garukgaruk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah terjadi salah mengerti dan Yoe Peng, yang diduga adalah wanita itu sebab mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya wanita tersebut, sudah dipancing datang kesitu. Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang jadi bengong dengan masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Thian Oe sendiri sudah merasa pasti, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak percaya omongannya tuan rumah, bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat mencuri barangnya. “Bukankah di keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika? Mana bisa dipercaya, Kongtjoe mau curi barangnya!” kata Yoe Peng dalam hatinya. Tapi Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana yang dicuri oleh Pengtjoan Thianlie ada lebih berharga dari mustika apapun juga. Sementara itu, Liong Leng Kiauw tak habis mengerti, kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi rencananya. Apakah ia mau campur tangan? Mengingat ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi, mau tak mau hatinya jadi keder juga. Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe Peng, tapi ia tidak kata apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong kiam. Selagi Thian Oe mau pamitan, Liong Sam sudah mendahului dengan berkata: “Tan Kongtjoe, jika kalian tak mencela tempatku yang buruk, aku undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok aku akan antar kau pergi ke gedungnya Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga berada disitu.” “Apa ayah tinggal disitu?” tanya Thian Oe. “Bukan,” sahut Liong Sam. “Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee mau berunding dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh balik ke Sakya. Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok Kong An, sedang Yoe Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee terletak di tengah-tengah kota dan berdekatan dengan Gereja Besar (Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong Leng Kiauw tanyakan mengenai Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh Thian Oe. Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu di kamar peranti tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul dan undang Thian Oe masuk ke dalam. Baru saja kakinya menginjak undakan batu, ia dengar suaranya Liong Sam yang berkata sembari tertawa: “Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau bakal dapat kegirangan besar, tapi kau tidak mau percaya. Coba lihat, siapa yang datang!” Begitu masuk, ia lihat di tengah-tengah ruangan berduduk seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang lebih 40 tahun. Ia berwajah angker sekali, tapi pada keangkeran itu terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di sebelahnya pembesar Boan tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan Teng Kie. Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. “Oe-djie!” ia berseru. “Lekas memberi hormat kepada Hok Tayswee!” Thian Oesegera jalankan peradatan sesuai dengan adat istiadat, dan sesudah itu, ia lalu berdiri di samping ayahnya. Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: “Dengan lihat romannya Tan Sieheng, dengan sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong tua. Aku berani bilang, di belakang hari nama dan keberuntungannya Tan Sieheng akan berada di sebelah atasannya Taydjin sendiri. Sungguh aku harus memberi selamat kepada Taydjin.” “Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal kepada bantuannya Tayswee,” sahut Teng Kie. Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan pembesar negeri, maka itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka mulut lagi, ia sudah mendahului. “Hok Tayswee,” katanya. “Ada orang minta aku sampaikan serupa barang kepadamu.” “Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?” menegasi panglima itu dengan suara heran. “Barang apa?” Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima dari si pemuda baju putih dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang lantas buka tutupnya. Kotak itu ternyata berisi sejilid buku. Begitu membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan sembari pegang buku itu dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak sabaran: “Siapa yang berikan buku ini?” Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan begitu tenang, sekarang terlukis perasaan kaget dan girang. Teng Kie gelisah dan awasi puteranya. “Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak sekolah, yang aku ketemu di tengah jalan,” menerangkan Thian Oe. Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa bingung dan tidak mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan terima saja barangnya orang yang tak dikenal, buat disampaikan kepada panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak jadi gusar dan tangannya menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya buku tersebut, segera berkata dengan suara girang: “Hok Tayswee, sekarang kau sudah boleh legakan hati. Tan Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu kami.” “Urusan ini, benar-benar mengherankan,” kata lagi Hok Kong An. “Tan Sieheng, aku minta kau bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu itu?” “Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-usulnya,” sahut Thian Oe. “Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi,” berkata Liong Sam. “Menurut pendapatku, buku ini bukannya dicuri olehnya.” “Bagaimana kau tahu?” tanya Hok Kong An. “Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu saja,” jawab Liong Sam. Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras. “Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan yang luar biasa pula,” kata lagi Liong Leng Kiauw. “Aku rasa Tan Sieheng sudah bicara sejujurnya, sehingga Tayswee tak usah sangsikan lagi. Menurut anggapanku, kita memerlukan juga bantuannya Tan Sieheng.” “Benar,” sahut Hok Kong An. “Sekarang lebih baik kita rundingkan soal cara bagaimana harus menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah.” “Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?” tanya Tan Teng Kie yang sudah tak dapat menahan sabar lagi. “Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar),” sahut Hok Kong An. Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara bagaimana firman yang begitu penting bisa jatuh di tangan orang sembarangan, dan malahan, nyasar juga ke dalam tangannya puteranya sendiri? Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi kecelakaan atau kegirangan. “Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci emas itu,” Hok Kong An lanjutkan keterangannya. “Segala jalanan yang diambil dan tempat mengasoh pada setiap hari semuanya ditentukan secara jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain tahun, guci emas tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut dari tempat lima ratus li jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu harus ditaruh di Gereja Besar dan segala upacaranya juga sudah ditentukan dalam firman ini. Sedari mendapat laporan yang duluan, aku sudah tahu, bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi aku justru sedang buat pikiran, kenapa firman ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku sudah menjadi lega.” Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia lirik kotak itu dan kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok Kong An sudah berkata lagi: “Cuma saja, sekarang kita tahu terang, bahwa firman ini sudah kena dirampas orang di tengah jalan. Dimana adanya pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika Hongsiang menyelidiki, kedosaan ini tidaklah enteng.” “Tayswee tak usah kuatir,” kata Liong Leng Kiauw. “Biar bagaimana pun juga, firman itu sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian hari, kalau pengawalnya datang, kita anggap saja dialah yang sudah antar sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut memikul kedosaan buat ketidak becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu tidak akan sampai diketahui oleh Hongsiang.” “Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih hidup atau sudah mati?” tanya Hok Kong An. “Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena dibinasakan, dalam kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat memberitahukannya,” menerangkan Liong Leng Kiauw. Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak begitu percaya dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw, cuma saja, oleh karena keadaannya ada sedemikian, ia juga tidak dapat berbuat lain daripada tunggu perkembangan selanjutnya. “Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di tengah jalan,” kata Liong Sam. “Tak boleh terjadi!” kata Hok Kong An. “Kalau sampai dirampok di tengah jalan, kita pembesar-pembesar yang bertugas di Seetjong (Tibet) bisa kehilangan kepala! Liong Tjamtjan, apakah kita tetap akan menyambut guci itu menurut rencana yang sudah ditetapkan?” Hok Kong An tak tahu, bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan Thianlie. Kalau tahu, ia tentu akan jadi lebih kaget lagi. Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe. “Yah, kita turut rencana semula, dengan sedikit perobahan,” sahutnya. “Perobahan apa?” tanya Hok Kong An. “Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee pimpin upacara penyambutan,” sahut Liong Leng Kiauw. “Sekarang dirobah, biarlah aku yang pergi menyambut guci emas itu.” Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw adalah pengawal pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir keselamatannya terancam. Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata: “Kalau toh ada orang maui guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan… di tengah jalan. Penjagaan disini ada cukup kuat, sehingga aku rasa Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku akan minta soetee-ku bantu mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku anggap ia masih dapat menghadapinya,” Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah copet pedangnya Yoe Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan sang soeheng, ia mempunyai ilmu entengi badan yang istimewa. Walaupun mengetahui kepandaiannya Gan Lok masih kalah dengan soeheng-nya, tapi mengingat pentingnya guci itu, yang memang juga harus dilindungi oleh orang semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An segera manggutkan kepalanya buat menyatakan persetujuannya. “Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe,” kata Liong Sam. Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: “Anakku bisa apa?” “Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya,” kata Liong Sam sembari tertawa. “Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi, maka buat apalah Taydjin berlaku begitu sungkan!” “Pujian Liong Sianseng tentu tak salah,” Hok Kong An sambungi. “Baiklah, kita atur begitu saja.” Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: “Di sebelahnya itu, kita pun perlu minta bantuannya Tan Taydjin.” “Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?” kata Teng Kie. “Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa pengikut akan berangkat lebih dahulu buat membuka jalan,” kata Liong Leng Kiauw. “Tan Taydjin sendiri boleh pimpin seribu serdadu pilihan buat menyambut di tempat lima ratus li jauhnya. Berhubung dengan itu, aku minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan istimewa buat menyambut guci emas itu.” “Liong Sianseng, kau… kau jangan main-main,” kata Teng Kie dengan suara gugup. “Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?” “Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan,” jawabnya sembari mesem. “Bawa serdadu ada apa sukarnya? Tan Taydjin adalah seorang keluaran Hanlim yang hafal dalam segala rupa adat istiadat dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah calon satu-satunya yang paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut guci emas itu.” Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya, yaitu pangkat sipil kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang tidak cukup tinggi buat menjadi utusan guna menyambut kiriman yang begitu penting dari sang kaizar. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, Hok Kong An biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam, maka kali ini pun ia segera menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta bantuannya sang putera dan kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng Kiauw tentu mempunyai perhitungan yang sudah dipikir masak-masak, dan di sebelahnya itu, firman kaizar telah didapat pulang dari tangannya Thian Oe, yang menerimanya dari seorang lain, sehingga biar bagaimanapun juga, Thian Oe tentu masih mempunyai hubungan apa-apa dengan orang tersebut. Dengan diangkatnya Teng Kie sebagai utusan, sang putera tentulah juga akan mengeluarkan segala tenaganya buat bantu melindungi keselamatannya guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok Kong An ketika ia memberi persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis satu surat pengangkatan. “Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di daerah perbatasan,” kata Hok Kong An sembari tertawa. “Ini kali Taydjin menjalankan tugas yang sangat berat dan penting dan pahala Taydjin tentu akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah selesai, terdapat kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau malahan akan diberi pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu kesempatan sangat baik bagi Taydjin.” Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka, walaupun mengetahui beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi. “Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta bantuannya,” kata Liong Leng Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat Yoe Peng, ia jadi ingat Pengtjoan Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat, bahwa Thiekoay sian telah membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci itu, sedang si pemuda baju putih minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu sudah ditolak secara mentah-mentah. Apa yang mengherankan, kenapa sekarang ia curi rencananya Liong Sam? Apa ia niat merampas guci emas itu? Kalau benar, bagaimanakah baiknya? Dan sikap apa yang akan diambil oleh Yoe Peng? Itulah ada pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk dalam otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat lain, oleh karena ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut. Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan pulang bersama-sama puteranya. “Urusan ini benar-benar di luar dugaan,” katanya kepada sang putera. “Sedari tiba di Lhasa, berulang kali aku telah ajukan permohonan kepada Hok Tayswee supaya ia bikin betul kantor Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan. Kalau tak diluluskan, aku minta ia bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke kampung kita. Tapi ia tidak mau pecat padaku dan juga sungkan luluskan permohonan yang pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan, aku tetap luntang-lantung dan makan gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa nyana hari ini aku mendapat tugas yang begitu berat.” “Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba menunaikan tugas itu sebaik bisa,” kata sang putera. “Dan bagaimana dengan keadaan di Sakya?” “Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin pentang pengaruhnya, sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan,” jawab Teng Kie. “Cuma saja, ia kelihatannya tak dapat melupakan kau. Bulan yang lalu, ia malahan kirim orang buat menanyakan keadaanmu.” Thian Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa menikah dengan puterinya Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir. Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan dengan gedung Hok Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang sangat sederhana, dan oleh karena Teng Kie kempes kantongnya, ia cuma ambil seorang pelayan buat bantu mengurus rumahnya. Perabotan rumah juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan kemewahan kantor Soanwiesoe. Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda yang berdiri di tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng! Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata: “Nona ini adalah kawanku yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana kau bisa datang kesini?” “Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku tanyakan dimana letaknya rumahmu dan lantas pergi cari sendiri,” menerangkan Yoe Peng. “Apa orang tua ini ayahmu?” Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat istiadat bangsa Han. Teng Kie lihat gadis itu berparas cantik dan sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan dengan puterinya Touwsoe, ia menang beberapa kali lipat. “Kalau dipasangi dengan Thian Oe memang pantas sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa,” kata Teng Kie dalam hatinya. Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi tertawa dan berkata: “Ayah, dia adalah satu bidadari!” “Foei! Jangan omong kosong!” membentak Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya. Melihat lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi tertawa lebar. “Memang juga seperti bidadari!” katanya. “Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka guyon-guyon!” kata Yoe Peng. “Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya, dengarlah ceritaku,” kata sang putera yang lantas saja tuturkan segala pengalamannya dalam keraton es selama beberapa bulan. Teng Kie mendengari dengan mulut ternganga dan hampir-hampir tidak mau percaya cerita itu yang seperti cerita dongeng. Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama Thian Oe, diam-diam ia coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan Thianlie, tapi sebegitu jauh, uasaha itu tidak berhasil. Tanpa terasa musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang ditetapkan buat menyambut guci emas sudah hampir tiba. Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat satu hari lebih dahulu buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu beritahukan kekuatirannya kalau-kalau Pengtjoan Thianlie benar niat merampas guci itu, kepada Yoe Peng. “Kalau benar Kongtjoe datang, aku pasti berdiri di pihaknya,” kata Yoe Peng. “Jika ia mau merampas guci itu, aku tentu akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau buru-buru kabur dan aku berjanji tidak akan menyerang dirimu.” Mendengar jawaban orang, hatinya Thian Oe jadi lebih kesal. Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat dijadikan tunggangan dan mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan dua belas tanggal lima belas), supaya dapat bertemu dengan rombongan yang mengantar guci itu di mulutnya gunung Tantat san pada tangal dua puluh tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan jurang-jurang yang berbahaya dan pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar masuknya kawanan kecu. Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok sekali, tapi Yoe Peng selalu mengambil sikap tawar. Berhubung dengan musim dingin, jalanan tertutup salju, dan perjalanan jadi terlebih sukar lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju banyak, sehingga ia dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah. Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah sama sukarnya jalanan gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan tujuh hari, barulah mereka dapat lalui kurang lebih empat ratus li. Hari itu, mereka masuklah di dalam daerah pegunungan Tantat san. “Sesudah lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut gunung dan dapat prsatukan diri dengan mereka,” kata Liong Sam. “Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?” tanya Thian Oe. “Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho Sek Tjin-ong dan delapan pengawal utama dari keraton juga datang semuanya,” sahut Liong Leng Kiauw. “Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?” tanya Thian Oe. Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: “Sudah lama mereka dapat nama besar dan rasanya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah kita.” Didengar dari lagu suaranya, Thian Oe merasa Liong Sam tidak terlalu pandang mata kepada delapan orang itu. Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan gunung lugat-legot seperti ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat tiga penunggang kuda yang jalan berbaris, semua berpakaian hitam, sedang tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya menyolok sekali di atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan paling dahulu menengok ke belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan satu seruan tertahan, sebab ia kenali, orang itu bukan lain daripada Siamkam Tayhiap Bek eng Beng, yang tempo hari ia ketemu di shigatse. Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak munculkan muka, sehingga sesudah menengok sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan mereka lagi dan terus teriaki dua kawannya supaya berjalan terlebih cepat. “Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng,” kata Thian Oe dengan suara perlahan. “Kau kenal tidak sedikit orang,” kata Liong Sam sembari tertawa. “Walaupun mendapat julukan Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa liehay. Dua kawannya yang jalan belakangan banyak lebih tinggi kepandaiannya.” “Siapa mereka?” tanya Thian Oe. “Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari Tjionglam pay, yaitu Boesie Hengtee (dua saudara she Boe),” sahut Liong Sam. Boe-sie Hengtee adalah turunannya Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup pada jamannya Kaizar Soentie dan keluarga Boe biasanya hidup mengumpat dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak dinyana, sekarang kedua jagonya berada di Tibet. Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti usus kambing dan diapit oleh dua puncak gunung. Mendadak terdengar suara kelenengan kuda dan seekor kuda Arab yang tinggi besar kelihatan mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang memakai jubah pertapaan warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng keluarkan teriakan tertahan. “Ah, dia!” berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada Hoantjeng jubah merah yang pernah dua kali menyatroni keraton es dan binasakan Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran sekali, sebab, ketika mau lepaskan napasnya yang penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa paderi itu telah mendapat luka berat dan harus berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun buat dapat pulang tenaganya. Tapi baru saja berselang empat bulan, ia kelihatannya sudah sama gagahnya seperti sebelum mendapat luka. Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng tidak keburu menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan sangat gusar, Siamkam Tayhiap angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda itu. Bagaikan kilat, si paderi gerakkan tangannya, sedang badannya Bek Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah udara. Hampir pada detik yang bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari tunggangannya dan dua pasang tangan menyambar dengan berbareng. Paderi itu keluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kudanya. “Binatang tak kenal aturan!” kedua saudara Boe membentak. Mereka bergerak dengan berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya, sedang yang lain menyepak sama kaki kanannya. Si paderi buru-buru putar badannya buat sambut kedua serangan yang hebat itu. Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget, bintang itu terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di sebelah bawah tanjakan terdapat jurang yang dalamnya ratusan tombak, sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu, badannya tentu akan hancur lebur. Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa menolong tunggangannya. Tiba-tiba badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah seperti anak panah. Yang satu tangkap kaki belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki belakang kirinya sang kuda, dan kemudian, sembari kerahkan tenaga dalamnya, dengan berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas! Tenaga yang dikeluarkan tidak kebanyakan atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di atas tanah tanpa mendapat luka! Sesudah lihat kepandaian orang yang istimewa itu, si paderi tidak berani banyak tingkah lagi. Tanpa keluarkan sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek Eng Beng juga sudah duduk di atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie Hengtee mencegah dengan berkata: “Bek Toako, biarkan manusia itu berlalu.” Bek Eng Beng tundukkan kepalanya dan berbareng dengan berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di atasan kepalanya dan hinggap di atas punggung kuda. Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: “Hoantjeng itu cukup liehay. Kalau satu lawan satu, Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang dapat kemenangan.” Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun kelihatannya kaget ketika dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe cabut pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh. Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal: “Bangsat gundul minggir!” Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam terlebih cepat lagi. Dengan gerakan menuntun kambing, ia angkat si paderi dari atas kuda dan terus dilemparkan ke belakang, sedang sang kuda lari terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali. Selagi badannya berada di tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie balik badan), ia hinggap dengan selamat di atas punggung kudanya yang sedang lari keras! Cuma saja, lantaran sudah beruntun dua kali kena tubruk tembok, semangatnya jadi merosot dan ia cuma menengok ke belakang dan awasi Liong Leng Kiauw dengan sorot mata gusar. Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus. “Permusuhan apakah terdapat antara kau dan Hoantjeng itu?” tanya Liong Sam. “Ia binasakan guruku,” jawab Thian Oe. Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada terlebih liehay daripada Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak kepada tenaga dalam yang hanya bisa didapat dengan latihan lama. Jika dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai pukulan-pukulan sangat aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam Rimba Persilatan. Tapi kenapa ia kena dibinasakan oleh paderi tersebut? Ia heran, tapi tidak mau menanya pula, sebab bukan temponya buat bicara panjang-panjang. “Sekarang bukan waktunya membalas sakit hati,” kata ia. “Hayolah kita jalan terus.” Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan. Ketika itu, Bek Eng Beng bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua saudara Boe menoleh ke belakang dan dari sikapnya, ternyata mereka juga sedang dihinggapi perasaan heran. “Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat,” kata Liong Leng Kiauw. “Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?” tanya Thian Oe. Liong Sam tertawa dan menyahut: “Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan menuntun kambing) yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia terlalu tidak pandang mata kepada kita dan menerjang tanpa bikin persediaan. Maka itulah, dengan meminjam tenaganya sendiri, sekali gentak saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik.” Liong Sam bicara secara merendah sekali, akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai kepandaian yang sukar diukur bagaimana tingginya, lantaran dengan pukulan yang begitu sederhana, ia sudah bisa robohkan satu musuh yang begitu liehay. Dengan demikian, Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang pandai itu. Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara kelenengan kuda. Mereka menengok dan lihat si paderi jubah merah balik lagi dan sedang mengikuti dari sebelah kejauhan. “Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat merampas guci emas itu,” kata Thian Oe. “Jangan perdulikan padanya,” kata Liong Sam. “Kepandaiannya belum cukup buat bikin kita berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal muncul lain-lain orang yang lebih liehay dan kita harus sangat berhati-hati.” Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang jalan di depan mendadak tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda supaya Thian Oe dan Yoe Peng pun tahan kuda mereka dan mengawasi gerak-gerik ketiga orang itu dari jarak belasan tombak jauhnya. Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar terdapat seorang paderi kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian seperti paderi berkelana dari India. Di atas tanah terdapat satu paso pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si paderi sendiri lagi angsurkan kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah. Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. “Kasihlah,” kata Boe Lootoa (saudara she Boe yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong perak yang lantas dilemparkan ke dalam paso. Paderi itu menggerendeng dan mendadak lonjorkan tangannya buat usap kepalanya Bek Eng Beng. Bek Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan “memberi berkah” dari paderi India, buru-buru mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap pundaknya. Bek Eng Beng terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena arus listrik dan ia loncat setombak lebih tingginya sembari berteriak: “Ilmu iblis! Ilmu iblis!” “Kami juga mau memberi sedekah,” kata kedua saudara Boe sembari keluarkan seraup perak hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu. Dengan sikap tenang, si paderi kebas kedua tangan bajunya dan semua perak itu masuk ke dalamnya, dan kemudian, dengan miringkan tangan bajunya, ia tuang semua perak kedalam paso. Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa (bidadari menyebar kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia yang sangat tinggi. Dengan disertai tenaga dalam, perak hancur itu ada lebih liehay daripada puluhan piauw. Tapi si paderi dapat menyambut dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe jadi kaget sekali. Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua tangannya buat “memberi berkah”. “Tak usah banyak peradatan,” berkata Boe-sie Hengtee sembari menangkis dengan gerakan tangan Toalek Kimkong. Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti memukul kapas sehingga mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang sangat besar mendorong mereka. Buru-buru mereka tarik pulang tenaga yang sudah dikeluarkan dan-berbareng loncat mundur setombak lebih. Mereka jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak sampai mendapat luka. Mereka lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok lagi. Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu kembali keluarkan beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan angsurkan kedua tangannya.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2018
Categories |